Beda Hitung Ihwal Deforestasi
PRESIDEN Joko Widodo berpidato dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Skotlandia, 1 November lalu, selama sekitar empat menit. Menggunakan bahasa Indonesia, Presiden Jokowi antara lain mengatakan Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan krisis iklim, dari keberhasilan menekan kebakaran hutan hingga turunnya deforestasi. Pada 2020, ujar Jokowi, deforestasi turun menjadi 115 ribu hektare, terendah dalam 20 tahun terakhir.
Pidato yang terdiri atas 299 kata itu memicu pertanyaan aktivis lingkungan Indonesia yang ikut dalam perhelatan di Glasgow ataupun yang melihat perkembangan konferensi iklim itu dari Jakarta. Aktivis lingkungan yang terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace Indonesia, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar konferensi pers secara daring bertajuk “Tanggapan atas Pidato Presiden Jokowi pada COP26”, Rabu, 3 November lalu.
Selain menyoal sikap Indonesia yang dinilai tak ambisius, hal lain yang dikritik adalah perihal deforestasi. Hilangnya hutan akibat beralih fungsi ini menjadi salah satu topik penting karena deforestasi menyumbang signifikan bagi lepasnya emisi gas rumah kaca, yang membuat suhu bumi memanas. Sesuai dengan Perjanjian Paris, Indonesia dan 190 negara lain berkomitmen menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius pada 2100.
Greenpeace, dalam siaran pers pada Selasa, 2 November lalu, mempertanyakan klaim penurunan angka deforestasi itu. Menurut data lembaga lingkungan internasional ini, deforestasi di Indonesia sebenarnya secara rata-rata justru meningkat. Pada 2003-2011 terjadi setidaknya deforestasi sebesar 2,45 juta hektare. Bandingkan dengan periode 2011-2019 yang jumlahnya mencapai 4,8 juta hektare. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi.
Kalaupun ada penurunan data deforestasi pada periode 2019-2020, menurut Greenpeace, itu tidak lepas dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan aktivitas pembukaan lahan terhambat. Organisasi lingkungan yang berdiri pada 1971 dan berkantor pusat di Amsterdam, Belanda, ini menilai, selama hutan alam tersisa masih dibiarkan ada dalam area konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agung Ruandha Sugardiman, ketika dihubungi pada Kamis, 11 November lalu, hanya membagikan pernyataannya ke media online tiga hari sebelumnya. Menurut Agung, data deforestasi yang disampaikan presiden itu didasari perhitungan berbasis sains serta diversifikasi dengan peninjauan lapangan. “Apakah salah kalau Presiden mengatakan ini terendah selama 20 tahun terakhir ini?”
Koalisi masyarakat sipil, termasuk Greenpeace, tak hanya menyoal angka deforestasi. Data kebakaran hutan yang diklaim turun 82 persen pada 2020 pun dipertanyakan. Menurut Greenpeace, penurunan luas kebakaran hutan dan lahan pada 2020 jika dibandingkan pada 2019 yang mencapai 296.942 hektare ini luasnya setara dengan empat kali wilayah DKI Jakarta. Selain itu, penurunan itu disebabkan fenomena La Nina dan bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah.
Polemik deforestasi ini mendorong Forest Watch Indonesia (FWI) melakukan analisis. Menurut Direktur Eksekutif FWI Mufti Barri, data deforestasi yang dimiliki lembaganya terbatas sampai 2017. FWI menghitung deforestasi dengan melihat tutupan hutan dari hasil analisis citra satelit dan membandingkannya dengan data tahun sebelumnya. Soal besaran per tahunnya dihitung dengan menggunakan rata-rata.
Mufti memberi contoh deforestasi pada kurun 2000-2009. Pada 2000, luas tutupan hutan ditaksir sekitar 106 juta hektare dan menjadi 88 juta hektare pada 2009. Jumlah luas tutupan hutan pada 2009 dibanding pada 2000 itulah yang kemudian dibagi per tahun. Hasilnya, pada 2000-2009, ditaksir ada deforestasi sekitar 1,4 juta hektare per tahun.
Cara yang sama juga dilakukan untuk menghitung data tahun berikutnya. Pada 2009-2013, tercatat ada deforestasi rata-rata 1,1 juta hektare per tahun, lalu 2013-2017 ada kenaikan menjadi 1,4 juta hektare per tahun. “Melihat data itu, secara aktual deforestasi masih tinggi,” ujarnya, Selasa, 9 November lalu.
Jikapun satu-dua tahun ini deforestasinya berkurang, kata Mufti, mungkin karena faktor pandemi. Wabah yang dipicu oleh virus SARS-CoV-2 ini menyebabkan aktivitas pabrik atau usaha pengelolaan kayu yang banyak terdapat di Jawa, seperti di Gresik dan Semarang, berkurang. “Itu berdampak pada berkurangnya permintaan kayu,” tuturnya.
Salah satu yang mungkin membuat data deforestasi antara pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat lingkungan berbeda adalah penghitungannya. Menurut Mufti, pemerintah juga menghitung reforestasi—penanaman kembali hutan yang dirusak—dan itu berdampak pada jumlah tutupan hutan. Apalagi kalau daerah itu berubah menjadi area hutan tanaman industri, atau sawit, yang jelas berbeda dengan hutan. “Kami tidak menghitung reforestasi. Dari citra satelit itu kelihatan bukan hutan alam,” katanya.
Mufti menambahkan, emisi karbon yang dilepas dari deforestasi jauh dari lebih besar daripada yang diserap oleh kegiatan reforestasi, meski luasnya sama. “Misalnya kita menebang hutan 100 hektare, dan menanam pohon sejenis 100 hektare juga, itu berbeda kemampuannya dalam menyerap karbon,” ujarnya.
Kalau pemerintah berkomitmen mengatasi perubahan iklim di sektor lahan dan hutan, Mufti menjelaskan, angka deforestasi harus ditekan. Pada saat yang sama rehabilitasi juga tetap harus dilakukan kalau menginginkan net sink pada 2030. “Izin-izin juga dihentikan,” ucapnya. Agung Ruandha Sugardiman tak menjawab saat dimintai komentar soal apakah ada faktor perbedaan penghitungan yang menyebabkan perbedaan data deforestasi tersebut.
Indonesia ikut menandatangani Deklarasi Pemimpin di Glasgow tentang Pemanfaatan Lahan dan Hutan pada Selasa, 2 November lalu. Deklarasi ini merupakan komitmen untuk menghentikan dan memulihkan hutan dan degradasi lahan pada 2030. Sehari kemudian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mencuit di akun Twitter-nya, deklarasi itu pemaksaan terhadap Indonesia untuk nol deforestasi pada 2030.
Menurut Siti, memaksa Indonesia untuk nol deforestasi pada 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil. Sebab, setiap negara memiliki masalah kunci sendiri dan ada kewajiban konstitusi untuk melindungi rakyatnya. Ia menyebut Kalimantan dan Sumatera yang terdapat banyak jalan terputus karena harus melewati kawasan hutan. Padahal ada lebih dari 34 ribu desa di kawasan hutan dan sekitarnya. “Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan. Lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi?” tulis Siti, Rabu, 3 November lalu.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan memang pembangunan infrastruktur juga menyebabkan deforestasi. Namun, kalau melihat alokasi izin untuk pembangunan infrastruktur, jumlahnya kecil, yaitu sekitar 10 persen. Adapun sekitar 90 persen lain adalah untuk pertambangan. “Jadi tidak nyambung argumentasinya,” katanya, Kamis, 11 November lalu.
Selain soal pemanfaatan, yang juga tak boleh diabaikan adalah besarannya. Ketua tim kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan deforestasi pada periode Presiden Jokowi selama lima tahun, pada 2015-2020, sekitar 2,13 juta hektare, yang setara dengan 3,5 kali luas Pulau Bali. Bandingkan dengan deforestasi selama 11 tahun pada 2003-2014 di dua pemerintahan sebelumnya yang mencapai 4,19 juta hektare. “Dengan statistik seperti itu, apakah ini layak disebut penurunan signifikan?” ujarnya, Sabtu, 13 November lalu.
Majalah Tempo edisi 13 November 2021
Comments