Gempa Seusai Corona
JAM sudah menunjukkan pukul 11.00 pada 10 Februari lalu. Haoran dan Sisi, laki-laki dan perempuan usia pertengahan 20 tahun, masih berada di kamar mereka di Kota Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, Cina. Haoran masih di bawah selimut, mengotak-atik telepon seluler Huawei-nya. Pacarnya, Sisi, duduk bersila di lantai dan berfokus pada laptop. Ketika MarketWatch bertanya tentang apa yang mereka lakukan, keduanya menjawab serempak, “Bekerja.”
Perusahaan Cina seharusnya kembali beroperasi sejak awal Februari lalu seusai liburan Imlek selama sepekan, yang berakhir pada 30 Januari. Namun wabah virus corona baru, Covid-19, mengubah semuanya. Hingga 20 Februari, korban yang terinfeksi di Cina sebanyak 74.680 orang dan meninggal 2.122 orang. Di luar Cina, 1.096 orang terinfeksi di 25 negara dan 8 orang meninggal.
Untuk mencegah penyebaran virus itu, sejumlah perusahaan memperpanjang masa libur atau meminta karyawannya bekerja dari rumah. Kalaupun kantornya beroperasi, karyawan harus mengikuti prosedur kesehatan yang ketat. Di Sichuan, tempat Haoran dan Sisi tinggal, Covid-19 telah menginfeksi 520 orang dan membuat 3 orang meninggal.
Korban terbanyak virus itu berada di Provinsi Hubei, dengan 62.031 orang terinfeksi dan 2.029 orang meninggal. Pemerintah Hubei meminta perusahaan tidak beroperasi sebelum 10 Maret. Ketentuan ini tidak berlaku untuk perusahaan yang diperlukan buat pengendalian wabah, fasilitas publik, dan barang kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Saat virus corona merebak di Wuhan, ibu kota Hubei, pada Januari lalu, pemerintah mengisolasi kota itu dengan membatasi orang bepergian serta menghentikan kereta api, bus, dan angkutan umum lain. Pembatasan serupa dilakukan di kota lain saat virus menyebar ke hampir seluruh provinsi itu.
Menurut New York Times, dampak terhadap pabrik sebenarnya cukup terbatas karena wabah itu berlangsung selama Imlek. Banyak kegiatan bisnis tutup selama liburan dan ratusan juta pekerja mudik ke perdesaan. Saat korban corona terus bertambah, pemerintah memperpanjang masa liburan agar masyarakat tetap berada di rumah. Banyak area industri utama, termasuk Shanghai, Suzhou, dan Provinsi Guangdong, memperpanjang masa libur.
Wabah corona telah menghanguskan keuntungan dari industri pariwisata dan perhotelan Cina. Hotel dan restoran yang biasanya penuh dengan pesta pora jadi kosong. Konser dan acara olahraga dibatalkan. IMAX, perusahaan film layar lebar yang berbasis di Toronto, Kanada, menunda peluncuran lima film yang hendak diputar selama liburan.
Maskapai penerbangan internasional, termasuk American Airlines, Delta Airlines, United Airlines, Lufthansa, dan British Airways, telah membatalkan penerbangan ke Cina. Dengan terbatasnya penerbangan dan pembatasan kesehatan masyarakat, operasi perusahaan multinasional di negara itu juga terhambat.
Bank-bank besar, termasuk Goldman Sachs dan JPMorgan Chase, mengarahkan karyawannya untuk tinggal di rumah selama dua pekan.
General Motors, yang tahun lalu menjual lebih banyak mobil di Cina daripada di Amerika Serikat, menutup pabrik-pabriknya di Negeri Panda setidaknya untuk sepekan atas permintaan pemerintah. Ford Motor juga meminta manajernya di Cina bekerja dari rumah sementara pabrik-pabriknya tidak beroperasi.
Huang Qifan, Wakil Ketua Komite Urusan Keuangan dan Ekonomi Kongres Rakyat Nasional, memperingatkan bahwa dampak corona “lebih menakutkan daripada wabah itu sendiri”. “Jika pemerintah tidak bertindak, sejumlah besar perusahaan manufaktur kecil dan menengah akan hancur,” kata mantan Wali Kota Chongqing itu, seperti dikutip Asia Times.
Huang juga menyoroti sektor jasa yang rentan terkena dampak jangka panjang. Industri pariwisata Cina menyumbang lebih dari 11 persen produk domestik bruto pada 2017. “Jumlah orang yang langsung dan tidak langsung bekerja di industri ini melebihi 100 juta. Jika sektor ini sangat terpukul, pengangguran akan meningkat dan memperberat tekanan pada stabilitas sosial di seluruh masyarakat,” dia menambahkan.
Presiden Cina Xi Jinping menyadari bahaya itu. Menurut Reuters, dalam rapat Komite Partai Komunis Cina pada 3 Februari lalu, Xi memperingatkan para pejabat tingginya bahwa upaya pengendalian virus yang terlalu jauh bisa mengancam ekonomi. Menurut kantor berita Xinhua, Xi meminta komite partai dan pemerintah di semua tingkatan mencapai target pembangunan ekonomi dan sosial pada tahun ini.
Wabah corona telah menekan pertumbuhan ekonomi Cina. Perkiraan konservatif dari perusahaan konsultan Oxford Economics menyebutkan pertumbuhan ekonomi Cina tahun ini akan merosot menjadi 5,6 persen, turun dari 6,1 persen pada tahun lalu. Tapi faktor penting yang harus dihitung adalah berapa lama pemerintah dapat mengendalikan virus ini. “Ekonomi Cina mungkin akan berkontraksi tajam pada kuartal pertama sebagai akibat dari langkah-langkah yang telah diambil untuk membatasi penyebaran virus,” ujar Mark Williams, kepala ekonom Asia di Capital Economics, lembaga riset berbasis di London.
Ini memang bukan krisis virus pertama yang dihadapi Cina. Sebelumnya ada wabah sindrom pernapasan akut (SARS), yang pertama kali muncul di Provinsi Guangdong sebelum menyebar ke negara-negara lain. SARS merenggut 800 nyawa di seluruh dunia dan memangkas 0,5-1 poin persentase dari pertumbuhan Cina pada 2003.
Namun Covid-19 menghantam Cina pada saat perekonomian negara itu tumbuh lebih besar dan terkoneksi lebih luas dengan dunia. Setiap ada tekanan pada pertumbuhan Cina akan memukul ekonomi global lebih keras dari sebelumnya. Menurut taksiran New York Times, tekanan terhadap ekonomi Cina akan mengurangi pertumbuhan ekonomi global 0,2 persen ke tingkat 2,3 persen, laju paling lambat sejak krisis keuangan global satu dekade lalu.
Sejak 2003, Cina tumbuh dari ekonomi terbesar keenam di dunia menjadi terbesar kedua di belakang Amerika Serikat. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan Cina sendiri menyumbang 39 persen dari ekspansi ekonomi global pada 2019.
Taimur Baig, kepala ekonom dan direktur pelaksana untuk penelitian kelompok di bank DBS, mengatakan seluruh dunia bahkan tidak memperhatikan ketika pertumbuhan Cina melambat sekitar 1 poin persentase seusai wabah SARS. “Sekarang Cina menyumbang hampir seperlima dari pertumbuhan global. Perlambatan ekonomi Cina setengah persen saja akan menjadi gempa bumi,” kata Baig kepada CNBC.
Pengeluaran konsumen yang lebih rendah juga akan menekan industri jasa Cina, yang hari ini menyumbang bagian lebih besar dari produk domestik bruto negara itu dibanding pada 2003. Itu juga berarti akan menghambat ekonomi Cina dan dunia. Konsumen Cina menghabiskan banyak uang di luar negeri. Sejak 2014, menurut Organisasi Pariwisata Dunia, Cina menjadi negara sumber terbesar pengeluaran pariwisata internasional, naik dari posisi ketujuh pada 2003.
Larangan perjalanan dan pembatalan penerbangan oleh maskapai internasional akan berdampak pada sektor pariwisata Cina di luar negeri. Itu ancaman bagi banyak ekonomi, terutama di Asia, menurut Kelvin Tay, kepala investasi regional di UBS Global Wealth Management. “Jika Anda melihat Asia, sektor pariwisata Cina menjadi bagian lebih besar dari ekonomi untuk hampir semua negara,” ucapnya kepada CNBC.
Selain itu, dampaknya akan terasa di Eropa. Dari jalan-jalan di Paris ke kilang anggur Burgundy, jumlah wisatawan Cina tampak menurun sejak Beijing melarang tur kelompok di luar negeri pada 27 Januari lalu. Ketakutan meningkat setelah seorang turis Cina berusia 80 tahun meninggal karena virus corona di sebuah rumah sakit di Paris, 15 Februari lalu.
Banyaknya negara yang membatasi perjalanan ke dan dari Cina membuat wisatawan Cina menghilang dari Eropa. Di beberapa tempat, penyebaran virus juga berdampak buruk pada wisatawan dari negara lain. “Orang tidak ingin berada di kereta atau pesawat atau pergi ke konferensi,” kata Alberto Corti dari Confcommercio, asosiasi bisnis terkemuka di Italia.
Meskipun pertumbuhan wisatawan Cina di Eropa meningkat pesat, jumlahnya relatif kecil dibanding wisatawan Eropa atau Amerika. Museum Louvre, misalnya, kata juru bicaranya, Sophie Grange, tidak mengalami penurunan jumlah pengunjung sejak awal wabah. Tahun lalu turis Cina adalah pengunjung Louvre terbanyak kedua setelah warga Amerika.
Namun operator tur membatalkan pemesanan 3.000 kamar di sekitar 40 hotel di Dijon, kota favorit kedua turis Cina setelah Paris. Di Jerman, tempat wisatawan Cina menyumbang sekitar 3 persen pengunjung, dilaporkan ada pembatalan tur kelompok dan penurunan jumlah wisatawan. Di Füssen, dekat Kastil Neuschwanstein, pemesanan kamar orang Cina di EuroParkHotel International telah dibatalkan hingga paruh pertama April.
Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), selain wisata, pengaruh besar Cina terhadap dunia adalah perdagangan. Meningkatnya permintaan di Cina, menurut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menjadikan negara itu sebagai importir terbesar kedua di dunia sejak 2009. Cina adalah importir komoditas terbesar, seperti minyak, bijih besi, dan kedelai, serta komponen elektronik, seperti sirkuit terpadu. Permintaan barang-barang itu bisa merosot seiring dengan perlambatan ekonomi Cina.
Wabah ini juga dapat mempengaruhi ekonomi global melalui ekspor Cina. Negara itu menjadi eksportir top dunia sejak 2009, naik dari posisi keempat pada 2003. “Jepang dan Vietnam memiliki ketergantungan yang sangat besar pada rantai pasokan Cina,” kata Taimur Baig. Mereka mengimpor bahan dan suku cadang dari Cina untuk membuat produk sendiri.
Tekanan ekonomi ini, cepat atau lambat, juga akan berdampak pada politik dalam negeri Cina. Menurut Asia Times, Xi Jinping memberhentikan kader-kader partainya di Wuhan. Jiang Chaoliang, Sekretaris Partai Komunis di Hubei, dipecat dan digantikan oleh Wali kota Shanghai Ying Yong. Ma Guoqiang, Ketua Partai Komunis di Wuhan, mengalami nasib serupa.
Akademikus Yuen Yuen Ang dari University of Michigan menyimpulkan bahwa politik dan pemerintahan Cina tidak akan sama meski wabah ini nanti bisa ditangani. “Xi tidak dapat menghindari kesalahan atas serangan balasan terhadap kebijakan domestiknya yang ketat dan tindakan keras di luar negeri yang sudah mulai mengurangi dukungan terhadapnya bahkan sebelum wabah ini,” ujarnya.
ABDUL MANAN (GUARDIAN, CNBC, NEW YORK TIMES, SHINE, ASIA TIMES)
Majalah Tempo, 1 Maret 2020
Perusahaan Cina seharusnya kembali beroperasi sejak awal Februari lalu seusai liburan Imlek selama sepekan, yang berakhir pada 30 Januari. Namun wabah virus corona baru, Covid-19, mengubah semuanya. Hingga 20 Februari, korban yang terinfeksi di Cina sebanyak 74.680 orang dan meninggal 2.122 orang. Di luar Cina, 1.096 orang terinfeksi di 25 negara dan 8 orang meninggal.
Untuk mencegah penyebaran virus itu, sejumlah perusahaan memperpanjang masa libur atau meminta karyawannya bekerja dari rumah. Kalaupun kantornya beroperasi, karyawan harus mengikuti prosedur kesehatan yang ketat. Di Sichuan, tempat Haoran dan Sisi tinggal, Covid-19 telah menginfeksi 520 orang dan membuat 3 orang meninggal.
Korban terbanyak virus itu berada di Provinsi Hubei, dengan 62.031 orang terinfeksi dan 2.029 orang meninggal. Pemerintah Hubei meminta perusahaan tidak beroperasi sebelum 10 Maret. Ketentuan ini tidak berlaku untuk perusahaan yang diperlukan buat pengendalian wabah, fasilitas publik, dan barang kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Saat virus corona merebak di Wuhan, ibu kota Hubei, pada Januari lalu, pemerintah mengisolasi kota itu dengan membatasi orang bepergian serta menghentikan kereta api, bus, dan angkutan umum lain. Pembatasan serupa dilakukan di kota lain saat virus menyebar ke hampir seluruh provinsi itu.
Menurut New York Times, dampak terhadap pabrik sebenarnya cukup terbatas karena wabah itu berlangsung selama Imlek. Banyak kegiatan bisnis tutup selama liburan dan ratusan juta pekerja mudik ke perdesaan. Saat korban corona terus bertambah, pemerintah memperpanjang masa liburan agar masyarakat tetap berada di rumah. Banyak area industri utama, termasuk Shanghai, Suzhou, dan Provinsi Guangdong, memperpanjang masa libur.
Wabah corona telah menghanguskan keuntungan dari industri pariwisata dan perhotelan Cina. Hotel dan restoran yang biasanya penuh dengan pesta pora jadi kosong. Konser dan acara olahraga dibatalkan. IMAX, perusahaan film layar lebar yang berbasis di Toronto, Kanada, menunda peluncuran lima film yang hendak diputar selama liburan.
Maskapai penerbangan internasional, termasuk American Airlines, Delta Airlines, United Airlines, Lufthansa, dan British Airways, telah membatalkan penerbangan ke Cina. Dengan terbatasnya penerbangan dan pembatasan kesehatan masyarakat, operasi perusahaan multinasional di negara itu juga terhambat.
Bank-bank besar, termasuk Goldman Sachs dan JPMorgan Chase, mengarahkan karyawannya untuk tinggal di rumah selama dua pekan.
General Motors, yang tahun lalu menjual lebih banyak mobil di Cina daripada di Amerika Serikat, menutup pabrik-pabriknya di Negeri Panda setidaknya untuk sepekan atas permintaan pemerintah. Ford Motor juga meminta manajernya di Cina bekerja dari rumah sementara pabrik-pabriknya tidak beroperasi.
Huang Qifan, Wakil Ketua Komite Urusan Keuangan dan Ekonomi Kongres Rakyat Nasional, memperingatkan bahwa dampak corona “lebih menakutkan daripada wabah itu sendiri”. “Jika pemerintah tidak bertindak, sejumlah besar perusahaan manufaktur kecil dan menengah akan hancur,” kata mantan Wali Kota Chongqing itu, seperti dikutip Asia Times.
Huang juga menyoroti sektor jasa yang rentan terkena dampak jangka panjang. Industri pariwisata Cina menyumbang lebih dari 11 persen produk domestik bruto pada 2017. “Jumlah orang yang langsung dan tidak langsung bekerja di industri ini melebihi 100 juta. Jika sektor ini sangat terpukul, pengangguran akan meningkat dan memperberat tekanan pada stabilitas sosial di seluruh masyarakat,” dia menambahkan.
Presiden Cina Xi Jinping menyadari bahaya itu. Menurut Reuters, dalam rapat Komite Partai Komunis Cina pada 3 Februari lalu, Xi memperingatkan para pejabat tingginya bahwa upaya pengendalian virus yang terlalu jauh bisa mengancam ekonomi. Menurut kantor berita Xinhua, Xi meminta komite partai dan pemerintah di semua tingkatan mencapai target pembangunan ekonomi dan sosial pada tahun ini.
Wabah corona telah menekan pertumbuhan ekonomi Cina. Perkiraan konservatif dari perusahaan konsultan Oxford Economics menyebutkan pertumbuhan ekonomi Cina tahun ini akan merosot menjadi 5,6 persen, turun dari 6,1 persen pada tahun lalu. Tapi faktor penting yang harus dihitung adalah berapa lama pemerintah dapat mengendalikan virus ini. “Ekonomi Cina mungkin akan berkontraksi tajam pada kuartal pertama sebagai akibat dari langkah-langkah yang telah diambil untuk membatasi penyebaran virus,” ujar Mark Williams, kepala ekonom Asia di Capital Economics, lembaga riset berbasis di London.
Ini memang bukan krisis virus pertama yang dihadapi Cina. Sebelumnya ada wabah sindrom pernapasan akut (SARS), yang pertama kali muncul di Provinsi Guangdong sebelum menyebar ke negara-negara lain. SARS merenggut 800 nyawa di seluruh dunia dan memangkas 0,5-1 poin persentase dari pertumbuhan Cina pada 2003.
Namun Covid-19 menghantam Cina pada saat perekonomian negara itu tumbuh lebih besar dan terkoneksi lebih luas dengan dunia. Setiap ada tekanan pada pertumbuhan Cina akan memukul ekonomi global lebih keras dari sebelumnya. Menurut taksiran New York Times, tekanan terhadap ekonomi Cina akan mengurangi pertumbuhan ekonomi global 0,2 persen ke tingkat 2,3 persen, laju paling lambat sejak krisis keuangan global satu dekade lalu.
Sejak 2003, Cina tumbuh dari ekonomi terbesar keenam di dunia menjadi terbesar kedua di belakang Amerika Serikat. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan Cina sendiri menyumbang 39 persen dari ekspansi ekonomi global pada 2019.
Taimur Baig, kepala ekonom dan direktur pelaksana untuk penelitian kelompok di bank DBS, mengatakan seluruh dunia bahkan tidak memperhatikan ketika pertumbuhan Cina melambat sekitar 1 poin persentase seusai wabah SARS. “Sekarang Cina menyumbang hampir seperlima dari pertumbuhan global. Perlambatan ekonomi Cina setengah persen saja akan menjadi gempa bumi,” kata Baig kepada CNBC.
Pengeluaran konsumen yang lebih rendah juga akan menekan industri jasa Cina, yang hari ini menyumbang bagian lebih besar dari produk domestik bruto negara itu dibanding pada 2003. Itu juga berarti akan menghambat ekonomi Cina dan dunia. Konsumen Cina menghabiskan banyak uang di luar negeri. Sejak 2014, menurut Organisasi Pariwisata Dunia, Cina menjadi negara sumber terbesar pengeluaran pariwisata internasional, naik dari posisi ketujuh pada 2003.
Larangan perjalanan dan pembatalan penerbangan oleh maskapai internasional akan berdampak pada sektor pariwisata Cina di luar negeri. Itu ancaman bagi banyak ekonomi, terutama di Asia, menurut Kelvin Tay, kepala investasi regional di UBS Global Wealth Management. “Jika Anda melihat Asia, sektor pariwisata Cina menjadi bagian lebih besar dari ekonomi untuk hampir semua negara,” ucapnya kepada CNBC.
Selain itu, dampaknya akan terasa di Eropa. Dari jalan-jalan di Paris ke kilang anggur Burgundy, jumlah wisatawan Cina tampak menurun sejak Beijing melarang tur kelompok di luar negeri pada 27 Januari lalu. Ketakutan meningkat setelah seorang turis Cina berusia 80 tahun meninggal karena virus corona di sebuah rumah sakit di Paris, 15 Februari lalu.
Banyaknya negara yang membatasi perjalanan ke dan dari Cina membuat wisatawan Cina menghilang dari Eropa. Di beberapa tempat, penyebaran virus juga berdampak buruk pada wisatawan dari negara lain. “Orang tidak ingin berada di kereta atau pesawat atau pergi ke konferensi,” kata Alberto Corti dari Confcommercio, asosiasi bisnis terkemuka di Italia.
Meskipun pertumbuhan wisatawan Cina di Eropa meningkat pesat, jumlahnya relatif kecil dibanding wisatawan Eropa atau Amerika. Museum Louvre, misalnya, kata juru bicaranya, Sophie Grange, tidak mengalami penurunan jumlah pengunjung sejak awal wabah. Tahun lalu turis Cina adalah pengunjung Louvre terbanyak kedua setelah warga Amerika.
Namun operator tur membatalkan pemesanan 3.000 kamar di sekitar 40 hotel di Dijon, kota favorit kedua turis Cina setelah Paris. Di Jerman, tempat wisatawan Cina menyumbang sekitar 3 persen pengunjung, dilaporkan ada pembatalan tur kelompok dan penurunan jumlah wisatawan. Di Füssen, dekat Kastil Neuschwanstein, pemesanan kamar orang Cina di EuroParkHotel International telah dibatalkan hingga paruh pertama April.
Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), selain wisata, pengaruh besar Cina terhadap dunia adalah perdagangan. Meningkatnya permintaan di Cina, menurut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menjadikan negara itu sebagai importir terbesar kedua di dunia sejak 2009. Cina adalah importir komoditas terbesar, seperti minyak, bijih besi, dan kedelai, serta komponen elektronik, seperti sirkuit terpadu. Permintaan barang-barang itu bisa merosot seiring dengan perlambatan ekonomi Cina.
Wabah ini juga dapat mempengaruhi ekonomi global melalui ekspor Cina. Negara itu menjadi eksportir top dunia sejak 2009, naik dari posisi keempat pada 2003. “Jepang dan Vietnam memiliki ketergantungan yang sangat besar pada rantai pasokan Cina,” kata Taimur Baig. Mereka mengimpor bahan dan suku cadang dari Cina untuk membuat produk sendiri.
Tekanan ekonomi ini, cepat atau lambat, juga akan berdampak pada politik dalam negeri Cina. Menurut Asia Times, Xi Jinping memberhentikan kader-kader partainya di Wuhan. Jiang Chaoliang, Sekretaris Partai Komunis di Hubei, dipecat dan digantikan oleh Wali kota Shanghai Ying Yong. Ma Guoqiang, Ketua Partai Komunis di Wuhan, mengalami nasib serupa.
Akademikus Yuen Yuen Ang dari University of Michigan menyimpulkan bahwa politik dan pemerintahan Cina tidak akan sama meski wabah ini nanti bisa ditangani. “Xi tidak dapat menghindari kesalahan atas serangan balasan terhadap kebijakan domestiknya yang ketat dan tindakan keras di luar negeri yang sudah mulai mengurangi dukungan terhadapnya bahkan sebelum wabah ini,” ujarnya.
ABDUL MANAN (GUARDIAN, CNBC, NEW YORK TIMES, SHINE, ASIA TIMES)
Majalah Tempo, 1 Maret 2020
Comments