Dua Janji untuk Rakhine

PEMERINTAH Myanmar baru saja menghadapi dua sidang penting mengenai Rohingya, yakni di Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss; dan Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat. Menteri dari Kantor Penasihat Negara Myanmar U Kyaw Tint Swe berjanji menyelesaikan masalah dalam negerinya dengan menggelar pengadilan militer atas kasus kekerasan terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Mereka juga akan bekerja sama dengan Bangladesh untuk memulangkan kaum Rohingya di luar negeri.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah membentuk tim pencari fakta di Myanmar untuk menyelidiki kasus genosida terhadap Rohingya. Tim yang dipimpin Marzuki Darusman itu sudah melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan serta menyatakan bukti kejahatan genosida sudah sangat memadai dan cukup untuk mendakwa Panglima Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing beserta lima jenderal lain. Tahap selanjutnya adalah memutuskan mekanisme pengadilan.

Swe menolak pilihan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk kasus ini. Menurut Swe, Myanmar bukan pihak dalam Mahkamah. Selain itu, kata dia, sudah ada penyelidikan oleh militer yang menunjukkan pengadilan militer akan segera diadakan.

"Myanmar tidak menentang pertanggungjawaban atas kesalahan apa pun terkait dengan banyaknya orang yang mengungsi ke Bangladesh," ujar Swe dalam debat umum sesi ke-74 Majelis Umum PBB di New York, Sabtu, 28 September lalu. Badan internasional mana pun, menurut dia, "Tidak memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan di negara kami."

Menurut Reuters, militer Myanmar memang mempersiapkan pengadilan militer menyusul adanya penyelidikan kuburan massal di Rakhine. Laporan Associated Press pada Februari 2018 menyebutkan setidaknya ada lima kuburan massal Rohingya di Desa Gu Dar Pyin. Pemerintah mengatakan kuburan itu memuat mayat teroris, bukan warga sipil. Di situs web militer Myanmar tertulis bahwa penyelidikan yang mereka lakukan menemukan ada "kelemahan dalam mengikuti instruksi" di Gu Dar Pyin dan pengadilan militer akan "dilanjutkan sesuai dengan prosedur".

Kyaw Tint Swe juga berjanji menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya melalui kerja sama dengan Bangladesh dan PBB. Myanmar ingin ada solusi jangka panjang dan praktis untuk memulangkan lebih-kurang 740 ribu orang Rohingya. "Prioritas kami sekarang mempercepat repatriasi dan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi mereka yang kembali setelah diverifikasi."

Swe mengatakan setiap pengungsi Rohingya di Bangladesh akan diberi kartu identitas setelah kembali, entah kartu kewarganegaraan entah "kartu verifikasi nasional" bagi yang belum memenuhi syarat menjadi warga negara. Ia beralasan, Myanmar telah menegaskan bahwa banyak orang Rohingya yang datang dari tempat lain dan bukan warga negaranya.

Bangladesh memperingatkan dampaknya secara regional jika masalah ini tak segera selesai. Krisis itu, kata Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, melampaui kamp-kamp tempat sebagian besar pengungsi tinggal. Bangladesh juga akan membangun pagar kawat berduri di sekitar lebih dari 30 kamp pengungsi untuk menghentikan ekspansi mereka. "Kami memikul beban krisis yang merupakan akibat dari tindakan Myanmar sendiri," ucap Hasina.

Solusi yang ditawarkan Naypyitaw untuk memulangkan warga Rohingya tak cukup meyakinkan bagi tim pencari fakta. Saat ini masih ada sekitar 500 ribu orang Rohingya di Myanmar dan mereka bermukim di kamp-kamp. Mereka pun tak bisa mengakses pendidikan atau perawatan kesehatan dan mencari nafkah serta tetap menjadi sasaran undang-undang kewarganegaraan yang diskriminatif.

Menurut anggota panel tim, Christopher Sidoti, masih dibatasinya akses warga Rohingya terhadap pelayanan dasar, seperti pendidikan, merupakan salah satu unsur kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya yang belum berakhir di Rakhine. Dengan keadaan seperti ini, kata Marzuki, hampir satu juta pengungsi Rohingya hampir mustahil kembali dari Bangladesh. "Tidak ada tempat yang aman dan layak bagi mereka untuk kembali. Tanah dan desa Rohingya telah dihancurkan, dibersihkan, disita, dan sudah ada bangunan di atasnya," ujarnya.

Abdul Manan (Reuters, ABC News)

Majalah Tempo, 13 Oktober 2019

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO