Cara Abe Memikat Pekerja Migran
UNDANG-UNDANG Pengendalian Imigrasi dan Pengakuan Pengungsi akhirnya lolos meski dihadang partai oposisi di majelis rendah dan majelis tinggi Jepang. Rincian regulasi imigrasi baru itu diungkapkan pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe, Selasa pekan lalu, dan akan efektif berlaku pada April mendatang. “Pemerintah memutuskan menerima pekerja asing (kerah biru) melalui ‘pintu depan’ untuk pertama kalinya,” kata Junichi Akashi, guru besar madya di University of Tsukuba dan pakar keimigrasian, kepada Japan Times, Senin pekan lalu.
Melalui regulasi ini, Jepang membuka pintu lebih lebar bagi pekerja asing yang terampil. Dalam lima tahun pertama, sebanyak 345 ribu pekerja ditargetkan masuk ke 14 sektor industri, termasuk keperawatan, kebersihan, manufaktur, perhotelan, pertanian dan perikanan, serta pemrosesan dan layanan makanan. Targetnya adalah pekerja yang berasal dari Cina, Indonesia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Pemerintah Abe menyatakan kebijakan ini hanya membuka kesempatan bagi tenaga kerja terampil untuk periode waktu tertentu. Alasan utama Abe mendorong kebijakan baru ini adalah populasi yang menua dan menurun.
Menurut data Kementerian Kesehatan Jepang, ada 921 ribu kelahiran bayi pada 2018, turun 25 ribu dari tahun sebelumnya. Populasi saat ini sekitar 127 juta dan diprediksi turun hingga di bawah 100 juta pada 2049. Berdasarkan estimasi The Wall Street Journal, populasi Jepang menyusut lebih dari 300 ribu jiwa per tahun.
Menurut simulasi Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017, populasi pekerja Jepang berusia 15-64 tahun menyusut 41,4 persen, dari 77,28 juta pada 2015 menjadi 45,29 juta pada 2065. Berkurangnya populasi ini terasa di kota-kota besar, meski dampaknya lebih terlihat di kota kecil. Salah satunya di Kota Akitakata, Prefektur Hiroshima.
Akitakata adalah daerah seluas 538,2 kilometer persegi dan terletak 800 kilometer arah barat Tokyo, ibu kota Jepang. Populasinya turun dari 30.983 pada 2014 menjadi 28.910 pada November 2018. Sekitar 40 persen penduduknya berusia 65 tahun atau lebih. Berkurangnya populasi ini membuat pabrik suku cadang mobil dan pertanian kekurangan pekerja, banyak rumah kosong, serta jalan-jalan gelap dan sepi menjelang sore.
Menurut Wali Kota Akitakata Kazuyoshi Hamada, populasi warganya menyusut lebih dari 10 persen sejak kota ini didirikan pada 2004. Kota perdesaan ini memiliki lebih dari 600 warga non-Jepang atau sekitar 2 persen dari total populasi.
“Mengingat rendahnya tingkat kelahiran dan populasi yang menua, ketika Anda mempertimbangkan siapa yang dapat mendukung orang tua dan operasi pabrik, kami membutuhkan orang asing,” ucap pria 74 tahun itu. Menurut dia, warga asing yang diperbolehkan tinggal lebih lama adalah solusinya.
Akitakata, seperti kota Jepang lain, juga punya pekerja asing kerah biru. Mereka datang melalui tiga jalur: visa jangka panjang yang diberikan sejak 1990-an untuk sebagian besar warga keturunan Amerika Latin dari etnis Jepang; program pelatihan teknis, yang sering dikritik sebagai “pintu belakang” yang eksploitatif terhadap tenaga kerja asing tidak terampil; dan pelajar asing yang diizinkan bekerja hingga 28 jam seminggu, meski kenyataannya lebih dari itu. Sekitar dua pertiga warga asing saat ini adalah peserta pelatihan yang berasal dari Cina, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Sebagian besar hanya diizinkan tinggal hingga tiga tahun.
Hamada sadar bahwa mengintegrasikan warga asing sangatlah penting. Sebuah survei pada 2017 menunjukkan 48 persen penduduk Akitakata setuju terhadap kedatangan warga asing, naik dibanding 30,8 persen dari survei 2010. “Saya pikir hidup kita akan diperkaya dengan budaya yang berbeda. Tapi orang Jepang yang tidak terampil dalam komunikasi dan bahasa adalah penghalang terbesar,” tutur Yuko Okita, 64 tahun, yang bekerja di layanan taksi lokal.
Akitakata juga sulit menarik pekerja baru karena kecil dan cukup terpencil. “Akitakata berjalan lambat. Ini tidak cukup menarik bagi orang muda,” ujar Taniuti, pria asal Brasil yang juga ayah dua anak. “Tapi ini tempat yang bagus untuk membesarkan anak-anak.” Gayeta, 22 tahun, peserta pelatihan di sebuah pabrik suku cadang mobil, menyebutkan tak banyak yang bisa dilakukan di Akitakata seusai jam kerja. “Tidak ada tempat untuk pergi. Hanya ada yama (gunung),” katanya.
Pada Maret tahun lalu, Wali Kota Hamada meluncurkan rencana yang membuat pekerja asing bisa tinggal lebih lama. Usul Hamada untuk menarik orang asing sebagai teijusha atau penduduk jangka panjang adalah inisiatif pertama di negeri itu. “Akitakata semacam pelopor dalam hal ini,” ucap Toshihiro Menju, direktur pelaksana lembaga penelitian Japan Center for International Exchange, di Tokyo.
Kerisauan Hamada juga menjadi perhatian Shinzo Abe, yang sedang menggenjot perekonomian negaranya. Menurut Asia Nikkei, ekonomi Jepang secara tahunan menyusut sekitar 2,5 persen pada periode Juli-September. Abe ingin menggenjot ekonomi menjadi 600 triliun yen (US$ 5,4 triliun) pada 2020 dari kondisi saat ini sekitar 550 triliun yen. Salah satu kendalanya adalah kurangnya tenaga kerja.
Saat pemerintah Abe mengusung regulasi baru tentang imigrasi ini, perlawanan keras datang dari oposisi. Salah satu alasan oposisi: Jepang harus memanfaatkan lebih banyak pekerja perempuan dan lanjut usia. Tapi, menurut Japan Times, 70 persen dari 37,25 juta wanita berusia 15-64 tahun sudah punya pekerjaan pada November tahun lalu. Sampai September, rasio pencari kerja dengan pelamar mencapai 1,64. Itu berarti ada 164 pekerjaan yang tersedia untuk 100 kandidat.
Jepang mengeluarkan visa pelajar dan pelatihan kerja bagi sejumlah besar pekerja asing tidak terampil. Para pekerja tidak resmi itu mengisi 40,5 persen dari 1,28 juta pekerja asing sampai Desember 2017.
Pemerintah Abe lalu mengajukan Undang-Undang Pengendalian Imigrasi yang kemudian disetujui majelis rendah dan majelis tinggi. “Sistem (visa kerja) ini diperlukan bagi pekerja asing berketerampilan untuk berperan lebih besar di Jepang di tengah masalah kekurangan tenaga kerja secara nasional,” tutur Abe dalam sebuah konferensi pers di Tokyo, 10 Desember 2018.
Dengan ketentuan baru ini, pekerja asing berusia 18 tahun atau lebih dapat melamar untuk dua status residensi baru. Tipe pertama untuk orang yang masuk ke bidang pekerjaan dengan pengetahuan dan pengalaman tertentu. Visa ini berlaku hingga lima tahun, tapi pemegangnya tak boleh membawa keluarga. Tipe kedua untuk peminat pekerjaan yang membutuhkan tingkat keterampilan lebih tinggi. Pekerja tipe ini diizinkan membawa keluarga dan memperpanjang masa berlaku visa berulang kali.
Para penentang regulasi baru khawatir akan dampaknya dalam jangka panjang. Chieko Kamibayashi, profesor di Hosei University yang juga pakar keimigrasian, menyebutkan para pekerja migran akan tetap berada di Jepang meski visa mereka telah berakhir. “Kita harus khawatir terhadap ekstremisme yang bisa menjadi ancaman bagi keamanan rakyat Jepang,” ucap wirausahawan Ken Kato kepada South China Morning Post. Kosuke Oie, anggota komisi Federasi Asosiasi Pengacara Jepang, risau akan berulangnya kesalahan lama, termasuk eksploitasi pekerja asing oleh para broker.
Pemerintah Abe berusaha menjawab sejumlah kekhawatiran itu. Dalam paket kebijakannya, ada 126 langkah yang akan diambil dengan anggaran kolektif sekitar 22,4 miliar yen. Ini termasuk pendirian sekitar 100 pusat konsultasi nasional yang memberikan dukungan dalam 11 bahasa: Jepang, Inggris, Cina, Vietnam, Korea, Spanyol, Portugis, Nepal, Indonesia, Thailand, dan Tagalog.
Pemerintah juga berjanji memperkenalkan proses penyaringan yang lebih ketat untuk menindak para calo nakal yang mengeksploitasi pekerja asing melalui ikatan utang. Selain itu, pemerintah mengalokasikan 600 juta yen untuk program pendidikan bahasa Jepang bagi imigran non-Jepang dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar pekerja asing tidak “terkonsentrasi berlebihan di daerah perkotaan utama”.
ABDUL MANAN (JAPAN TIMES, REUTERS, MAINICHI, GUARDIAN, SOUTH CHINA MORNING POST)
Majalah Tempo, 13 Januari 2019
Melalui regulasi ini, Jepang membuka pintu lebih lebar bagi pekerja asing yang terampil. Dalam lima tahun pertama, sebanyak 345 ribu pekerja ditargetkan masuk ke 14 sektor industri, termasuk keperawatan, kebersihan, manufaktur, perhotelan, pertanian dan perikanan, serta pemrosesan dan layanan makanan. Targetnya adalah pekerja yang berasal dari Cina, Indonesia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Pemerintah Abe menyatakan kebijakan ini hanya membuka kesempatan bagi tenaga kerja terampil untuk periode waktu tertentu. Alasan utama Abe mendorong kebijakan baru ini adalah populasi yang menua dan menurun.
Menurut data Kementerian Kesehatan Jepang, ada 921 ribu kelahiran bayi pada 2018, turun 25 ribu dari tahun sebelumnya. Populasi saat ini sekitar 127 juta dan diprediksi turun hingga di bawah 100 juta pada 2049. Berdasarkan estimasi The Wall Street Journal, populasi Jepang menyusut lebih dari 300 ribu jiwa per tahun.
Menurut simulasi Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017, populasi pekerja Jepang berusia 15-64 tahun menyusut 41,4 persen, dari 77,28 juta pada 2015 menjadi 45,29 juta pada 2065. Berkurangnya populasi ini terasa di kota-kota besar, meski dampaknya lebih terlihat di kota kecil. Salah satunya di Kota Akitakata, Prefektur Hiroshima.
Akitakata adalah daerah seluas 538,2 kilometer persegi dan terletak 800 kilometer arah barat Tokyo, ibu kota Jepang. Populasinya turun dari 30.983 pada 2014 menjadi 28.910 pada November 2018. Sekitar 40 persen penduduknya berusia 65 tahun atau lebih. Berkurangnya populasi ini membuat pabrik suku cadang mobil dan pertanian kekurangan pekerja, banyak rumah kosong, serta jalan-jalan gelap dan sepi menjelang sore.
Menurut Wali Kota Akitakata Kazuyoshi Hamada, populasi warganya menyusut lebih dari 10 persen sejak kota ini didirikan pada 2004. Kota perdesaan ini memiliki lebih dari 600 warga non-Jepang atau sekitar 2 persen dari total populasi.
“Mengingat rendahnya tingkat kelahiran dan populasi yang menua, ketika Anda mempertimbangkan siapa yang dapat mendukung orang tua dan operasi pabrik, kami membutuhkan orang asing,” ucap pria 74 tahun itu. Menurut dia, warga asing yang diperbolehkan tinggal lebih lama adalah solusinya.
Akitakata, seperti kota Jepang lain, juga punya pekerja asing kerah biru. Mereka datang melalui tiga jalur: visa jangka panjang yang diberikan sejak 1990-an untuk sebagian besar warga keturunan Amerika Latin dari etnis Jepang; program pelatihan teknis, yang sering dikritik sebagai “pintu belakang” yang eksploitatif terhadap tenaga kerja asing tidak terampil; dan pelajar asing yang diizinkan bekerja hingga 28 jam seminggu, meski kenyataannya lebih dari itu. Sekitar dua pertiga warga asing saat ini adalah peserta pelatihan yang berasal dari Cina, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Sebagian besar hanya diizinkan tinggal hingga tiga tahun.
Hamada sadar bahwa mengintegrasikan warga asing sangatlah penting. Sebuah survei pada 2017 menunjukkan 48 persen penduduk Akitakata setuju terhadap kedatangan warga asing, naik dibanding 30,8 persen dari survei 2010. “Saya pikir hidup kita akan diperkaya dengan budaya yang berbeda. Tapi orang Jepang yang tidak terampil dalam komunikasi dan bahasa adalah penghalang terbesar,” tutur Yuko Okita, 64 tahun, yang bekerja di layanan taksi lokal.
Akitakata juga sulit menarik pekerja baru karena kecil dan cukup terpencil. “Akitakata berjalan lambat. Ini tidak cukup menarik bagi orang muda,” ujar Taniuti, pria asal Brasil yang juga ayah dua anak. “Tapi ini tempat yang bagus untuk membesarkan anak-anak.” Gayeta, 22 tahun, peserta pelatihan di sebuah pabrik suku cadang mobil, menyebutkan tak banyak yang bisa dilakukan di Akitakata seusai jam kerja. “Tidak ada tempat untuk pergi. Hanya ada yama (gunung),” katanya.
Pada Maret tahun lalu, Wali Kota Hamada meluncurkan rencana yang membuat pekerja asing bisa tinggal lebih lama. Usul Hamada untuk menarik orang asing sebagai teijusha atau penduduk jangka panjang adalah inisiatif pertama di negeri itu. “Akitakata semacam pelopor dalam hal ini,” ucap Toshihiro Menju, direktur pelaksana lembaga penelitian Japan Center for International Exchange, di Tokyo.
Kerisauan Hamada juga menjadi perhatian Shinzo Abe, yang sedang menggenjot perekonomian negaranya. Menurut Asia Nikkei, ekonomi Jepang secara tahunan menyusut sekitar 2,5 persen pada periode Juli-September. Abe ingin menggenjot ekonomi menjadi 600 triliun yen (US$ 5,4 triliun) pada 2020 dari kondisi saat ini sekitar 550 triliun yen. Salah satu kendalanya adalah kurangnya tenaga kerja.
Saat pemerintah Abe mengusung regulasi baru tentang imigrasi ini, perlawanan keras datang dari oposisi. Salah satu alasan oposisi: Jepang harus memanfaatkan lebih banyak pekerja perempuan dan lanjut usia. Tapi, menurut Japan Times, 70 persen dari 37,25 juta wanita berusia 15-64 tahun sudah punya pekerjaan pada November tahun lalu. Sampai September, rasio pencari kerja dengan pelamar mencapai 1,64. Itu berarti ada 164 pekerjaan yang tersedia untuk 100 kandidat.
Jepang mengeluarkan visa pelajar dan pelatihan kerja bagi sejumlah besar pekerja asing tidak terampil. Para pekerja tidak resmi itu mengisi 40,5 persen dari 1,28 juta pekerja asing sampai Desember 2017.
Pemerintah Abe lalu mengajukan Undang-Undang Pengendalian Imigrasi yang kemudian disetujui majelis rendah dan majelis tinggi. “Sistem (visa kerja) ini diperlukan bagi pekerja asing berketerampilan untuk berperan lebih besar di Jepang di tengah masalah kekurangan tenaga kerja secara nasional,” tutur Abe dalam sebuah konferensi pers di Tokyo, 10 Desember 2018.
Dengan ketentuan baru ini, pekerja asing berusia 18 tahun atau lebih dapat melamar untuk dua status residensi baru. Tipe pertama untuk orang yang masuk ke bidang pekerjaan dengan pengetahuan dan pengalaman tertentu. Visa ini berlaku hingga lima tahun, tapi pemegangnya tak boleh membawa keluarga. Tipe kedua untuk peminat pekerjaan yang membutuhkan tingkat keterampilan lebih tinggi. Pekerja tipe ini diizinkan membawa keluarga dan memperpanjang masa berlaku visa berulang kali.
Para penentang regulasi baru khawatir akan dampaknya dalam jangka panjang. Chieko Kamibayashi, profesor di Hosei University yang juga pakar keimigrasian, menyebutkan para pekerja migran akan tetap berada di Jepang meski visa mereka telah berakhir. “Kita harus khawatir terhadap ekstremisme yang bisa menjadi ancaman bagi keamanan rakyat Jepang,” ucap wirausahawan Ken Kato kepada South China Morning Post. Kosuke Oie, anggota komisi Federasi Asosiasi Pengacara Jepang, risau akan berulangnya kesalahan lama, termasuk eksploitasi pekerja asing oleh para broker.
Pemerintah Abe berusaha menjawab sejumlah kekhawatiran itu. Dalam paket kebijakannya, ada 126 langkah yang akan diambil dengan anggaran kolektif sekitar 22,4 miliar yen. Ini termasuk pendirian sekitar 100 pusat konsultasi nasional yang memberikan dukungan dalam 11 bahasa: Jepang, Inggris, Cina, Vietnam, Korea, Spanyol, Portugis, Nepal, Indonesia, Thailand, dan Tagalog.
Pemerintah juga berjanji memperkenalkan proses penyaringan yang lebih ketat untuk menindak para calo nakal yang mengeksploitasi pekerja asing melalui ikatan utang. Selain itu, pemerintah mengalokasikan 600 juta yen untuk program pendidikan bahasa Jepang bagi imigran non-Jepang dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar pekerja asing tidak “terkonsentrasi berlebihan di daerah perkotaan utama”.
ABDUL MANAN (JAPAN TIMES, REUTERS, MAINICHI, GUARDIAN, SOUTH CHINA MORNING POST)
Majalah Tempo, 13 Januari 2019
TREN PENURUNAN POPULASI JEPANG 1995-2018
Tahun: 1995
Akitakata: 35.821
Jepang : 125.570.246
Tahun: 2000
Akitakata: 34.439
Jepang : 126.925.843
Tahun: 2005
Akitakata: 33.096
Jepang : 127.767.994
Tahun: 2010
Akitakata: 31.487
Jepang : 128.057.352
Tahun: 2015
Akitakata: 29.488
Jepang : 127.094.745
Tahun: 2018
Akitakata: 28.122
Jepang : 126.440.000
BAHAN: DIOLAH DARI WWW.CITYPOPULATION.DE
Comments