Klausul Asing Penjerat Rappler
TAK banyak yang berubah dari suasana redaksi kantor media online Rappler di North Wing Estancia Offices, Kota Pasig, Manila, Filipin a, Kamis pekan lalu. Keputusan Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC), yang membatalkan izinnya, tak menghentikan operasi media yang dikenal kritis terhadap Presiden Filipina Rodrigo Duterte ini. "Kami bertekad tetap beroperasi dan melayani pembaca dengan laporan independen tanpa rasa takut seperti ditegaskan Pemimpin Redaksi Maria Ressa," kata jurnalis Rappler, Gema B. Mendoza, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
SEC membatalkan izin Rappler pada 11 Januari 2018 karena dugaan melanggar aturan konstitusi mengenai pembatasan kepemilikan dan kontrol media massa oleh asing. Menurut SEC, sebagian dana Rappler berasal dari Omidyar Network, perusahaan Pierre Omidyar, pendiri situs belanja eBay. Suntikan dana Omidyar ke Rappler dilakukan melalui Philippine Depositary Receipt (PDR), skema perjanjian ketika seseorang atau perusahaan menanamkan uang tanpa memiliki sahamnya.
Rappler masih tetap beroperasi karena ada upaya hukum yang masih dilakukan. Petisi banding terhadap keputusan SEC diajukan pada Senin pekan lalu. Pengacara Rappler, Francis Lim, dalam petisinya mempertanyakan alasan pencabutan izin, prosedur pemeriksaan yang tak sesuai dengan ketentuan, serta adanya perbedaan perlakuan terhadap Rappler karena ada perusahaan media lain yang melakukan skema permodalan serupa tapi tidak diselidiki SEC. "Kami sangat berharap kasus ini pada akhirnya diputuskan untuk kepentingan negara yang lebih luas," kata pengacara dan mantan Presiden Bursa Efek Filipina itu.
Penyelidikan terhadap Rappler bermula ketika ada surat dari Office of Solicitor General (OSG), badan otonom yang melekat dengan Departemen Kehakiman, pada 14 Desember 2016. Badan yang berfungsi sebagai penuntut umum ini meminta SEC menyelidiki Rappler Inc dan Rappler Holding Corporation soal kemungkinan pelanggaran terhadap Konstitusi 1987. Bagian 11 dari Konstitusi Filipina itu menyatakan, "Kepemilikan dan pengelolaan media massa terbatas pada warga negara Filipina, koperasi, atau asosiasi, yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola warga negara tersebut."
Persatuan Wartawan Filipina (NUJP) mengaitkan kasus Rappler ini dengan sejumlah berita kritisnya terhadap Presiden Duterte. Beberapa berita itu membuat tidak senang Istana Malacanang, kantor kepresidenan, seperti soal Christopher "Bong" Go, anggota staf khusus Duterte yang diduga mengintervensi proyek pengadaan kapal selam Angkatan Laut pada awal 2017. Juga liputan Rappler tahun lalu tentang para narablog pendukung Duterte yang kemudian menjadi orang dekatnya atau bekerja di pemerintahan.
SEC membentuk panel khusus pada 8 Juli 2017 untuk memeriksa Rappler mengenai kemungkinan pelanggaran aturan kepemilikan dan kontrol asing terhadap media massa. Hal ini mencuat setelah Presiden Duterte, saat berpidato terbuka pada 24 Juli 2017, menyatakan bahwa Rappler "dimiliki sepenuhnya oleh orang Amerika" dan memperingatkan bahwa itu melanggar konstitusi. Selain itu, dalam pidato kenegaraan tersebut Duterte menyebut grup ABS-CBN, media penyiaran besar Filipina. "Ini pernyataan publik pertama Presiden yang menyerang Rappler, meskipun para pembelanya di dunia online sudah melakukannya sejak 2016," tulis Rappler.
Setelah pernyataan Duterte itu, SEC meneruskan pemeriksaannya sampai September 2017. Setelah empat bulan tak terdengar kabar, tiba-tiba SEC menerbitkan keputusan pada 15 Januari 2018. Isi keputusannya membatalkan PDR Rappler serta mencabut izinnya karena melanggar konstitusi dan Anti-Dummy Law. SEC menuduh perusahaan induk Rappler "sengaja membuat skema yang rumit untuk menutupi investasinya yang bersumber dari luar negeri".
Rappler, menurut Maria Ressa, terkejut atas keputusan itu. "(Keputusan ini) bersifat politis. Kami akan melawan keputusan ini," ucapnya saat konferensi pers menanggapi keputusan SEC itu. Maria juga mengklarifikasi tudingan SEC. Menurut dia, Omidyar Network bukan pemilik dan pemegang saham Rappler. Kepemilikan mereka melalui PDR tidak memberi mereka hak untuk melakukan intervensi dalam operasi perusahaan media tersebut.
Keputusan SEC ini mengundang kecaman dari dalam dan luar negeri. Committee to Protect Journalists (CPJ) menyebut langkah SEC ini sebagai "serangan langsung terhadap kebebasan pers". Amnesty International mengatakan ini "usaha untuk membungkam jurnalisme independen". Adapun NUJP menyebut langkah SEC ini sebagai "salah satu dari banyak ancaman Duterte terhadap media yang mengkritik dia dan pemerintahannya, seperti Philippine Daily Inquirer dan jaringan siaran ABS-CBN, yang perpanjangan izinnya diancam akan diblokir". Sekretaris Jenderal NUJP Dabet Panelo, kepada Tempo, Kamis pekan lalu, mengatakan, "Pemerintah menggunakan SEC untuk mengekang Rappler."
Rappler tak tinggal diam menghadapi tekanan ini. Dalam petisi bandingnya, Senin pekan lalu, pengacara Rappler antara lain menyebut tiga hal untuk menangkis keputusan SEC itu: suntikan dana, prosedur pemeriksaan, dan alasan pencabutan izin.
Menurut Rappler, skema pendanaan melalui PDR adalah instrumen keuangan yang digunakan perusahaan untuk mengamankan investasi asing tanpa melanggar batasan kepemilikan saham. Omidyar memang menyuntikkan dana, tapi tidak memiliki hak kontrol karena tak menjadikannya sebagai pemegang saham. Sejumlah perusahaan besar media di Filipina, seperti ABS-CBN dan GMA, juga memakai skema PDR.
Francis Lim menilai proses pemeriksaan SEC terhadap Rappler tak sesuai dengan ketentuan internal lembaga itu. Ada prosedur yang dilewati sehingga merampas peluang Rappler untuk membela diri. Dalam petisinya, Rappler menyatakan, "penyimpangan prosedural dan substantif serius dalam keputusan SEC" itu membuat mereka berkesimpulan bahwa "tujuan sebenarnya keputusan ini adalah membungkam Rappler dan memberangus kebebasan berekspresi".
Juru bicara Presiden Filipina, Harry Roque, membantah tudingan adanya keterlibatan Duterte di balik keputusan SEC. Ia juga menyatakan kasus ini bukan soal kebebasan pers, melainkan karena Rappler menggunakan "skema yang menipu" untuk mengumpulkan dana. Dia juga membantah adanya tekanan politik dari Istana Malacanang terhadap SEC untuk menyasar pengkritik presiden. Kepala SEC, Teresita Herbosa, mempersilakan Rappler menempuh jalur hukum. "Itu hak mereka," tuturnya.
Selain harus menghadapi ancaman pencabutan lisensi, dua kasus lain sudah menunggu Rappler. Biro Penyelidik Nasional (NBI) melakukan penyelidikan pidana terhadap Rappler atas pelanggaran Anti-Dummy Law serta kasus pencemaran nama di media cyber dan dijerat dengan Undang-Undang Kejahatan Cyber yang disahkan pada September 2012. Gugatan pencemaran nama diajukan pengusaha Wilfredo Keng atas berita Rappler pada Mei 2012, empat bulan sebelum Undang-Undang Kejahatan Cyber disahkan. "Rappler sedang dibuat untuk membayar dengan harga tertinggi untuk menjalankan kebebasan pers," kata Lim.
Abdul Manan (Rappler, Reuters)
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 4 Februari 2018
SEC membatalkan izin Rappler pada 11 Januari 2018 karena dugaan melanggar aturan konstitusi mengenai pembatasan kepemilikan dan kontrol media massa oleh asing. Menurut SEC, sebagian dana Rappler berasal dari Omidyar Network, perusahaan Pierre Omidyar, pendiri situs belanja eBay. Suntikan dana Omidyar ke Rappler dilakukan melalui Philippine Depositary Receipt (PDR), skema perjanjian ketika seseorang atau perusahaan menanamkan uang tanpa memiliki sahamnya.
Rappler masih tetap beroperasi karena ada upaya hukum yang masih dilakukan. Petisi banding terhadap keputusan SEC diajukan pada Senin pekan lalu. Pengacara Rappler, Francis Lim, dalam petisinya mempertanyakan alasan pencabutan izin, prosedur pemeriksaan yang tak sesuai dengan ketentuan, serta adanya perbedaan perlakuan terhadap Rappler karena ada perusahaan media lain yang melakukan skema permodalan serupa tapi tidak diselidiki SEC. "Kami sangat berharap kasus ini pada akhirnya diputuskan untuk kepentingan negara yang lebih luas," kata pengacara dan mantan Presiden Bursa Efek Filipina itu.
Penyelidikan terhadap Rappler bermula ketika ada surat dari Office of Solicitor General (OSG), badan otonom yang melekat dengan Departemen Kehakiman, pada 14 Desember 2016. Badan yang berfungsi sebagai penuntut umum ini meminta SEC menyelidiki Rappler Inc dan Rappler Holding Corporation soal kemungkinan pelanggaran terhadap Konstitusi 1987. Bagian 11 dari Konstitusi Filipina itu menyatakan, "Kepemilikan dan pengelolaan media massa terbatas pada warga negara Filipina, koperasi, atau asosiasi, yang sepenuhnya dimiliki dan dikelola warga negara tersebut."
Persatuan Wartawan Filipina (NUJP) mengaitkan kasus Rappler ini dengan sejumlah berita kritisnya terhadap Presiden Duterte. Beberapa berita itu membuat tidak senang Istana Malacanang, kantor kepresidenan, seperti soal Christopher "Bong" Go, anggota staf khusus Duterte yang diduga mengintervensi proyek pengadaan kapal selam Angkatan Laut pada awal 2017. Juga liputan Rappler tahun lalu tentang para narablog pendukung Duterte yang kemudian menjadi orang dekatnya atau bekerja di pemerintahan.
SEC membentuk panel khusus pada 8 Juli 2017 untuk memeriksa Rappler mengenai kemungkinan pelanggaran aturan kepemilikan dan kontrol asing terhadap media massa. Hal ini mencuat setelah Presiden Duterte, saat berpidato terbuka pada 24 Juli 2017, menyatakan bahwa Rappler "dimiliki sepenuhnya oleh orang Amerika" dan memperingatkan bahwa itu melanggar konstitusi. Selain itu, dalam pidato kenegaraan tersebut Duterte menyebut grup ABS-CBN, media penyiaran besar Filipina. "Ini pernyataan publik pertama Presiden yang menyerang Rappler, meskipun para pembelanya di dunia online sudah melakukannya sejak 2016," tulis Rappler.
Setelah pernyataan Duterte itu, SEC meneruskan pemeriksaannya sampai September 2017. Setelah empat bulan tak terdengar kabar, tiba-tiba SEC menerbitkan keputusan pada 15 Januari 2018. Isi keputusannya membatalkan PDR Rappler serta mencabut izinnya karena melanggar konstitusi dan Anti-Dummy Law. SEC menuduh perusahaan induk Rappler "sengaja membuat skema yang rumit untuk menutupi investasinya yang bersumber dari luar negeri".
Rappler, menurut Maria Ressa, terkejut atas keputusan itu. "(Keputusan ini) bersifat politis. Kami akan melawan keputusan ini," ucapnya saat konferensi pers menanggapi keputusan SEC itu. Maria juga mengklarifikasi tudingan SEC. Menurut dia, Omidyar Network bukan pemilik dan pemegang saham Rappler. Kepemilikan mereka melalui PDR tidak memberi mereka hak untuk melakukan intervensi dalam operasi perusahaan media tersebut.
Keputusan SEC ini mengundang kecaman dari dalam dan luar negeri. Committee to Protect Journalists (CPJ) menyebut langkah SEC ini sebagai "serangan langsung terhadap kebebasan pers". Amnesty International mengatakan ini "usaha untuk membungkam jurnalisme independen". Adapun NUJP menyebut langkah SEC ini sebagai "salah satu dari banyak ancaman Duterte terhadap media yang mengkritik dia dan pemerintahannya, seperti Philippine Daily Inquirer dan jaringan siaran ABS-CBN, yang perpanjangan izinnya diancam akan diblokir". Sekretaris Jenderal NUJP Dabet Panelo, kepada Tempo, Kamis pekan lalu, mengatakan, "Pemerintah menggunakan SEC untuk mengekang Rappler."
Rappler tak tinggal diam menghadapi tekanan ini. Dalam petisi bandingnya, Senin pekan lalu, pengacara Rappler antara lain menyebut tiga hal untuk menangkis keputusan SEC itu: suntikan dana, prosedur pemeriksaan, dan alasan pencabutan izin.
Menurut Rappler, skema pendanaan melalui PDR adalah instrumen keuangan yang digunakan perusahaan untuk mengamankan investasi asing tanpa melanggar batasan kepemilikan saham. Omidyar memang menyuntikkan dana, tapi tidak memiliki hak kontrol karena tak menjadikannya sebagai pemegang saham. Sejumlah perusahaan besar media di Filipina, seperti ABS-CBN dan GMA, juga memakai skema PDR.
Francis Lim menilai proses pemeriksaan SEC terhadap Rappler tak sesuai dengan ketentuan internal lembaga itu. Ada prosedur yang dilewati sehingga merampas peluang Rappler untuk membela diri. Dalam petisinya, Rappler menyatakan, "penyimpangan prosedural dan substantif serius dalam keputusan SEC" itu membuat mereka berkesimpulan bahwa "tujuan sebenarnya keputusan ini adalah membungkam Rappler dan memberangus kebebasan berekspresi".
Juru bicara Presiden Filipina, Harry Roque, membantah tudingan adanya keterlibatan Duterte di balik keputusan SEC. Ia juga menyatakan kasus ini bukan soal kebebasan pers, melainkan karena Rappler menggunakan "skema yang menipu" untuk mengumpulkan dana. Dia juga membantah adanya tekanan politik dari Istana Malacanang terhadap SEC untuk menyasar pengkritik presiden. Kepala SEC, Teresita Herbosa, mempersilakan Rappler menempuh jalur hukum. "Itu hak mereka," tuturnya.
Selain harus menghadapi ancaman pencabutan lisensi, dua kasus lain sudah menunggu Rappler. Biro Penyelidik Nasional (NBI) melakukan penyelidikan pidana terhadap Rappler atas pelanggaran Anti-Dummy Law serta kasus pencemaran nama di media cyber dan dijerat dengan Undang-Undang Kejahatan Cyber yang disahkan pada September 2012. Gugatan pencemaran nama diajukan pengusaha Wilfredo Keng atas berita Rappler pada Mei 2012, empat bulan sebelum Undang-Undang Kejahatan Cyber disahkan. "Rappler sedang dibuat untuk membayar dengan harga tertinggi untuk menjalankan kebebasan pers," kata Lim.
Abdul Manan (Rappler, Reuters)
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 4 Februari 2018
Comments