Akhir Penantian Raja George
STADION Samuel Kanyon Doe di Monrovia, Liberia, yang memiliki daya tampung 35 ribu orang, sudah terisi penuh sebelum kampanye dimulai pada 23 Desember 2017. Itu adalah kampanye terakhir pemilihan umum Presiden Liberia putaran kedua. "Kami tahu kami akan menang," kata Wilson Tarpeh, manajer kampanye George Weah, calon presiden dari Koalisi untuk Perubahan Demokratik (CDC), melihat antusiasme pendukungnya. Dalam pemilihan ini, Weah menghadapi Joseph Boakai, calon presiden dari Partai Persatuan yang juga wakil presiden inkumben tiga periode.
Optimisme Tarpeh terbukti setelah melihat para pemilih datang ke 5.390 tempat pemungutan suara di seluruh negeri, yang disiapkan untuk 2,1 juta pemilih- dari total sekitar 4,1 juta penduduk. Hasil penghitungan, seperti diumumkan Komisi Pemilihan Umum Liberia, 732,185 (61,5 persen) suara memilih Weah, 457,579 (38,5 persen) suara untuk Boakai. Hasil ini mengakhiri penantian Weah untuk menjadi presiden dan ia akan menggantikan Ellen Johnson Sirleaf, yang memimpin Liberia selama tiga periode sejak 2006.
Kabar kemenangan Weah ini menjadi bahan pembicaraan di daerah Gibraltar, salah satu kawasan di Monrovia tempat Weah menjalani masa kecilnya. Warga di sana berbicara tentang bagaimana daerah kumuh mereka kini menjadi "komunitas presiden". "Orang bisa mengklasifikasikan komunitas kita, mengatakan seperti itulah anak-anak jalan di sini, dan hari ini komunitas ini menghasilkan seorang presiden," kata Veronica Doe, 46 tahun, kepada New York Times.
Doe mengatakan dia bermain bola basket di lapangan sepak bola yang sama dengan Weah pada 1980-an. Sekarang ibu tujuh anak itu menjual air dalam kantong plastik kecil dari pendingin, salah satu usaha yang menggerakkan ekonomi lokal. Di sebelah kiosnya, sebuah gang sempit yang dikelilingi kawat berduri mengarah ke rumah sederhana tempat Weah dulu dibesarkan oleh neneknya. Rumah itu sekarang ditempati penyewa lain: wanita penjual arang, biskuit, dan roti dalam bungkusan.
Weah lahir di kawasan kumuh yang terletak di Pulau Bushrod, Monrovia, 1 Oktober 1966. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu daerah kumuh yang instalasinya tak teratur, sampah berserakan di jalan, dan daerahnya banjir beberapa bulan dalam setahun. Weah dibesarkan oleh neneknya setelah ayahnya, William T. Weah, seorang mekanik, dan ibunya, Anna Quayeweah, pedagang, berpisah.
Menurut Biography.com, pada usia 15 tahun Weah bermain sepak bola untuk klub pemuda Young Survivors. Pada usia 22, ia ditemukan oleh pelatih tim nasional Kamerun, Claude Le Roy, yang menyampaikan kabar tentang kemampuan Weah kepada Manajer AS Monaco Arsene Wenger. Wenger terbang ke Afrika untuk bertemu dan kemudian mengontrak Weah. Setelah itu, Weah bermain di sejumlah klub dan memperoleh ketenaran sebagai striker kelas dunia untuk tim Italia, AC Milan. Dia meraih penghargaan sepak bola terbesar dunia, Ballon d’Or, dan dinobatkan badan sepak bola dunia FIFA sebagai Pemain Terbaik Afrika abad ini.
Namun, tulis New York Times, Weah tidak pernah berkompetisi di Piala Dunia karena Liberia dilanda perang saudara yang dipicu oleh Presiden Charles Taylor. Kemiskinan dan perang saudara pada 1990-an membuat Lone Star- julukan tim nasional Liberia- bertahan hanya dengan bantuan Weah, yang ikut bermain, melatih, dan membiayai timnya. Pada 2002, setelah Lone Star hampir lolos ke Piala Dunia dan kemudian tampil buruk di Piala Afrika, Weah pensiun dari sepak bola.
Presiden Charles Taylor digulingkan pada 2003, yang mengakhiri perang sipil negara itu. Taylor kini menjalani hukuman 50 tahun penjara karena kejahatan perang di sebuah penjara Inggris. Dia dinyatakan bersalah karena mendanai kelompok pemberontak di Sierra Leone, bukan karena perekrutan tentara anak-anak, pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan seperti yang dituduhkan di dalam negeri Liberia.
Pada tahun-tahun akhir perang sipil Liberia itu, Weah kembali ke negaranya sebagai duta untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tak berselang lama, ia terjun ke politik dengan membentuk partai CDC. Ia pun mengumumkan niatnya mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan umum 2005. Namun Weah menghadapi penentangan keras. Pengkritiknya mengolok-oloknya karena ia tidak memiliki pendidikan formal serta kurang pengalaman politik. Sedangkan pesaing Weah adalah Ellen Johnson Sirleaf, lulusan Harvard University, kampus bergengsi di Amerika Serikat. Sempat lolos di putaran pertama, Weah kalah dari pasangan Sirleaf-Joseph Boakai.
Menyadari bahwa pendidikan menjadi salah satu masalah, Weah belajar administrasi bisnis di Devry University di Miami, Amerika Serikat. Dia membantah anggapan masuk sekolah ini semata karena ingin menjadi presiden. Menurut Weah, seperti dilansir Foxsport.com, apa yang ia lakukan adalah ingin "memperbaiki potensi karena saya pikir itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan".
Gagal dalam pemilihan presiden tak membuat Weah kendur. Dia kembali menantang Sirleaf dalam pemilihan presiden 2011. Bedanya, kali ini ia maju sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan Winston Tubman. Pasangan Tubman-Weah kalah dari pasangan Sirleaf-Boakai. Pada 2014, Weah mencalonkan diri sebagai anggota Senat dari CDC untuk wilayah Montserrado dan terpilih. Setelah itu, ia kembali maju sebagai calon presiden pada 2016.
Dalam pemilihan ini, Weah menggandeng Jewel Howard Taylor dari NPP sebagai calon wakil presiden. Senator perempuan itu adalah mantan istri Charles Taylor. Weah membela keputusannya ini. "Dia adalah orang Liberia, mampu, berkualitas, dan Liberia mencintainya. Saya juga percaya pada kesetaraan gender, jadi saya pikir memiliki pasangan seorang wanita sebagai wakil presiden saya adalah hal yang baik," katanya kepada DW.
Dalam kampanyenya, Weah berjanji menurunkan tingkat kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja di bidang infrastruktur dan pertanian. Dia menggunakan popularitasnya sebagai ikon olahraga untuk meraih dukungan kelompok muda, yang jumlahnya sekitar 60 persen populasi Liberia. Strategi Weah membuahkan hasil.
John H.T. Stewart di Liberianobserver.com menilai harapan pemilih muda sangat tinggi terhadap Weah, yang mengusung tema kampanye "Perubahan untuk Harapan". "Apakah Weah akan dapat memenuhi janjinya seperti pendidikan gratis dan perawatan medis untuk semua orang? Lihat saja," ujarnya. Tantangan sulit lainnya, kata Stewart, adalah melaksanakan rekomendasi laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) terkait dengan perang sipil negara itu. Sebab, kebijakan itu akan mengganggu sejumlah politikus yang juga kolega Weah.
Liberia punya beban utang yang diwariskan mendekati US$ 1 miliar dan angka pengangguran 2,8 persen. Itu pula aspirasi pemilihnya. Richard M. Nahas, 20 tahun, pendukung Weah, mengatakan bahwa ia memiliki harapan tinggi terhadap pria yang akrab disapa Raja George itu. "Saya ingin dia membawa kesempatan kerja dan membangun ekonomi negara. Itu yang kami butuhkan sekarang," ujarnya.
Abdul Manan (Reuters, Guardian, New York Times, Cnn, Al Jazeera)
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 7 Januari 2018
Optimisme Tarpeh terbukti setelah melihat para pemilih datang ke 5.390 tempat pemungutan suara di seluruh negeri, yang disiapkan untuk 2,1 juta pemilih- dari total sekitar 4,1 juta penduduk. Hasil penghitungan, seperti diumumkan Komisi Pemilihan Umum Liberia, 732,185 (61,5 persen) suara memilih Weah, 457,579 (38,5 persen) suara untuk Boakai. Hasil ini mengakhiri penantian Weah untuk menjadi presiden dan ia akan menggantikan Ellen Johnson Sirleaf, yang memimpin Liberia selama tiga periode sejak 2006.
Kabar kemenangan Weah ini menjadi bahan pembicaraan di daerah Gibraltar, salah satu kawasan di Monrovia tempat Weah menjalani masa kecilnya. Warga di sana berbicara tentang bagaimana daerah kumuh mereka kini menjadi "komunitas presiden". "Orang bisa mengklasifikasikan komunitas kita, mengatakan seperti itulah anak-anak jalan di sini, dan hari ini komunitas ini menghasilkan seorang presiden," kata Veronica Doe, 46 tahun, kepada New York Times.
Doe mengatakan dia bermain bola basket di lapangan sepak bola yang sama dengan Weah pada 1980-an. Sekarang ibu tujuh anak itu menjual air dalam kantong plastik kecil dari pendingin, salah satu usaha yang menggerakkan ekonomi lokal. Di sebelah kiosnya, sebuah gang sempit yang dikelilingi kawat berduri mengarah ke rumah sederhana tempat Weah dulu dibesarkan oleh neneknya. Rumah itu sekarang ditempati penyewa lain: wanita penjual arang, biskuit, dan roti dalam bungkusan.
Weah lahir di kawasan kumuh yang terletak di Pulau Bushrod, Monrovia, 1 Oktober 1966. Kawasan ini dikenal sebagai salah satu daerah kumuh yang instalasinya tak teratur, sampah berserakan di jalan, dan daerahnya banjir beberapa bulan dalam setahun. Weah dibesarkan oleh neneknya setelah ayahnya, William T. Weah, seorang mekanik, dan ibunya, Anna Quayeweah, pedagang, berpisah.
Menurut Biography.com, pada usia 15 tahun Weah bermain sepak bola untuk klub pemuda Young Survivors. Pada usia 22, ia ditemukan oleh pelatih tim nasional Kamerun, Claude Le Roy, yang menyampaikan kabar tentang kemampuan Weah kepada Manajer AS Monaco Arsene Wenger. Wenger terbang ke Afrika untuk bertemu dan kemudian mengontrak Weah. Setelah itu, Weah bermain di sejumlah klub dan memperoleh ketenaran sebagai striker kelas dunia untuk tim Italia, AC Milan. Dia meraih penghargaan sepak bola terbesar dunia, Ballon d’Or, dan dinobatkan badan sepak bola dunia FIFA sebagai Pemain Terbaik Afrika abad ini.
Namun, tulis New York Times, Weah tidak pernah berkompetisi di Piala Dunia karena Liberia dilanda perang saudara yang dipicu oleh Presiden Charles Taylor. Kemiskinan dan perang saudara pada 1990-an membuat Lone Star- julukan tim nasional Liberia- bertahan hanya dengan bantuan Weah, yang ikut bermain, melatih, dan membiayai timnya. Pada 2002, setelah Lone Star hampir lolos ke Piala Dunia dan kemudian tampil buruk di Piala Afrika, Weah pensiun dari sepak bola.
Presiden Charles Taylor digulingkan pada 2003, yang mengakhiri perang sipil negara itu. Taylor kini menjalani hukuman 50 tahun penjara karena kejahatan perang di sebuah penjara Inggris. Dia dinyatakan bersalah karena mendanai kelompok pemberontak di Sierra Leone, bukan karena perekrutan tentara anak-anak, pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan seperti yang dituduhkan di dalam negeri Liberia.
Pada tahun-tahun akhir perang sipil Liberia itu, Weah kembali ke negaranya sebagai duta untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tak berselang lama, ia terjun ke politik dengan membentuk partai CDC. Ia pun mengumumkan niatnya mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan umum 2005. Namun Weah menghadapi penentangan keras. Pengkritiknya mengolok-oloknya karena ia tidak memiliki pendidikan formal serta kurang pengalaman politik. Sedangkan pesaing Weah adalah Ellen Johnson Sirleaf, lulusan Harvard University, kampus bergengsi di Amerika Serikat. Sempat lolos di putaran pertama, Weah kalah dari pasangan Sirleaf-Joseph Boakai.
Menyadari bahwa pendidikan menjadi salah satu masalah, Weah belajar administrasi bisnis di Devry University di Miami, Amerika Serikat. Dia membantah anggapan masuk sekolah ini semata karena ingin menjadi presiden. Menurut Weah, seperti dilansir Foxsport.com, apa yang ia lakukan adalah ingin "memperbaiki potensi karena saya pikir itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan".
Gagal dalam pemilihan presiden tak membuat Weah kendur. Dia kembali menantang Sirleaf dalam pemilihan presiden 2011. Bedanya, kali ini ia maju sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan Winston Tubman. Pasangan Tubman-Weah kalah dari pasangan Sirleaf-Boakai. Pada 2014, Weah mencalonkan diri sebagai anggota Senat dari CDC untuk wilayah Montserrado dan terpilih. Setelah itu, ia kembali maju sebagai calon presiden pada 2016.
Dalam pemilihan ini, Weah menggandeng Jewel Howard Taylor dari NPP sebagai calon wakil presiden. Senator perempuan itu adalah mantan istri Charles Taylor. Weah membela keputusannya ini. "Dia adalah orang Liberia, mampu, berkualitas, dan Liberia mencintainya. Saya juga percaya pada kesetaraan gender, jadi saya pikir memiliki pasangan seorang wanita sebagai wakil presiden saya adalah hal yang baik," katanya kepada DW.
Dalam kampanyenya, Weah berjanji menurunkan tingkat kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja di bidang infrastruktur dan pertanian. Dia menggunakan popularitasnya sebagai ikon olahraga untuk meraih dukungan kelompok muda, yang jumlahnya sekitar 60 persen populasi Liberia. Strategi Weah membuahkan hasil.
John H.T. Stewart di Liberianobserver.com menilai harapan pemilih muda sangat tinggi terhadap Weah, yang mengusung tema kampanye "Perubahan untuk Harapan". "Apakah Weah akan dapat memenuhi janjinya seperti pendidikan gratis dan perawatan medis untuk semua orang? Lihat saja," ujarnya. Tantangan sulit lainnya, kata Stewart, adalah melaksanakan rekomendasi laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) terkait dengan perang sipil negara itu. Sebab, kebijakan itu akan mengganggu sejumlah politikus yang juga kolega Weah.
Liberia punya beban utang yang diwariskan mendekati US$ 1 miliar dan angka pengangguran 2,8 persen. Itu pula aspirasi pemilihnya. Richard M. Nahas, 20 tahun, pendukung Weah, mengatakan bahwa ia memiliki harapan tinggi terhadap pria yang akrab disapa Raja George itu. "Saya ingin dia membawa kesempatan kerja dan membangun ekonomi negara. Itu yang kami butuhkan sekarang," ujarnya.
Abdul Manan (Reuters, Guardian, New York Times, Cnn, Al Jazeera)
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 7 Januari 2018
Comments