Jumat Berdarah di Al-Rawdah
MOHAMMED Abdel Fattah, 26 tahun, sedang memberikan khotbah Jumat di masjid Al-Rawdah di daerah Sinai, Mesir, dua pekan lalu. Ia sudah dua tahun rutin mengisi khotbah di masjid di desa kecil dan sepi di dekat Kota Bir al-Abd, sekitar 230 kilometer dari ibu kota Mesir, Kairo, itu. Al-Rawdah juga dikenal sebagai tempat kelahiran Syekh Eid al-Jariri, ulama sufi pendiri tasawuf di Semenanjung Sinai.
Khotbahnya baru berjalan dua menit ketika Fattah mendengar dua ledakan dari luar masjid. "Kemudian ada orang-orang bersenjata memasuki masjid dan mulai menembaki semua orang yang masih berdiri," katanya, seperti dilansir Independent. Penembakan membabi-buta ini menewaskan 305 orang, 27 di antaranya anak-anak; melukai 128 lainnya; dan menjadi teror paling mematikan dalam sejarah Mesir.
Tidak ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun kecurigaan tertuju pada kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Provinsi Sinai, yang dulu bernama Ansar Bayt al-Maqdis. Selain karena salah satu pelakunya membawa bendera ISIS dan memberontak terhadap militer Mesir, sejumlah warga Bir al-Abd mengaku didatangi kelompok ISIS, yang melarang mempraktikkan sufi saat Maulid Nabi Muhammad dan memperingatkan warga agar tak bekerja sama dengan aparat keamanan.
HOROR ini bermula dari datangnya lima jip yang membawa 25 orang bersenjata dengan pakaian militer. Mereka membawa senapan mesin dan bendera hitam mirip bendera ISIS. Ada sekitar 500 anggota jemaah di masjid Al-Rawdah. Semuanya adalah laki-laki dari desa yang total populasinya 2.000 orang itu.
Jaksa Mesir, Nabil Sadeq, mengatakan beberapa penyerang itu bertopeng. Adapun yang tak bertopeng terlihat memiliki janggut lebat dan rambut panjang. Mereka mengenakan celana militer dan kaus hitam. Salah satu dari mereka membawa spanduk hitam bertulisan "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah".
Tiba di masjid, orang-orang bersenjata itu berpencar. Satu kelompok berjaga di depan pintu masuk utama. Lainnya di jendela masjid. "Mereka berjumlah antara 25 dan 30, membawa bendera Daesh, serta mengambil posisi di depan pintu masjid dan 12 jendela dengan senapan otomatis," ujar Sadeq. Daesh adalah sebutan untuk ISIS.
Serangan dimulai dengan ledakan bom di luar masjid, diikuti tembakan melalui jendela. Kelompok lainnya meledakkan dan membakar mobil di luar untuk mencegah orang melarikan diri. Kelompok ketiga memantau jalan-jalan di sekitarnya, membunuh penduduk desa yang menuju masjid.
Fattah, imam masjid itu, jatuh dari mimbar saat ledakan awal. Ia kemudian terinjak oleh orang-orang yang melarikan diri dari serangan tersebut. "Saya tidak melihat atau merasakan apa pun, kecuali dua-tiga tubuh berdarah yang jatuh di atas saya," katanya. Tertindih korban yang jatuh, ia tak bisa bergerak.
"Saya bisa melihat jemaah mencoba melarikan diri melalui jendela, tapi orang-orang bersenjata itu menembak kepalanya," ucap seorang penduduk yang selamat. Sebagian dari korban tewas itu jatuh menimpanya setelah tertembak senapan otomatis kelompok militan tersebut.
Tembakan beruntun itu membuat jemaah berebut keluar dari jendela. "Pintu kecil yang mengarah ke lorong ruang wudu adalah satu-satunya tempat jemaah bergegas melarikan diri," kata seorang pegawai pemerintah berusia 38 tahun yang tidak ingin disebutkan namanya. Ia juga jatuh dan ditindih oleh korban lainnya.
Salah satu korban selamat, Ebid Salem Mansour, mengatakan semua orang berusaha berbaring di lantai atau menunduk. "Jika Anda mengangkat kepala, Anda akan tertembak," kata pria 38 tahun yang menderita dua luka tembak di kaki ini. Tak berselang lama, pria bersenjata itu kembali masuk masjid. "Siapa pun yang diyakini belum meninggal atau masih bernapas, ditembak mati."
Selain menyasar jemaah, kelompok bersenjata itu pergi ke rumah-rumah di sekitar masjid, menembaki penghuninya sambil meneriakkan "Allahu Akbar". Saksi mata mengatakan aksen beberapa penyerang mengindikasikan mereka Badui. Mereka juga menembaki petugas ambulans yang hendak menolong korban. Kelompok bersenjata itu pergi sebelum militer Mesir datang.
Ini bukan serangan pertama ISIS Sinai terhadap tokoh sufi. November tahun lalu, mereka memancung tokoh sufi lokal terkemuka, Syekh Suleiman Abu Heraz. Menurut The Star, Heraz ditangkap dari peternakannya di dekat El-Arish. Menggunakan pedang panjang, algojo memotong kepala pria tua itu. ISIS memajang foto pembunuhan itu di Internet.
Sebelumnya, media propaganda ISIS sering mengecam para sufi. Dalam edisi Januari lalu, tokoh ISIS Sinai bersumpah akan membidik para sufi karena dianggap sebagai penyembah berhala.
"Kelompok ini tidak dapat disangkal adalah kelompok yang paling terkoordinasi dan efektif secara operasional di Mesir," begitu menurut sebuah analisis Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah yang bermarkas di Washington, DC, seperti dilansir USA Today.
ISIS Sinai awalnya bernama Ansar Bayt al-Maqdis. Juli 2012, kelompok tersebut menyerang pipa Mesir yang mengekspor gas ke Israel. Mereka diketahui berusaha melakukan pembunuhan terhadap pemimpin negara itu dan melakukan beberapa pengeboman dari Kairo ke ujung selatan Semenanjung Sinai. Kelompok tersebut saat itu hanya memiliki afiliasi yang longgar dengan Al-Qaidah.
Serangan ISIS Sinai meningkat begitu kuat sehingga, pada 2014, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan kelompok tersebut sebagai organisasi teroris asing. Pada November 2014, mereka bersumpah setia kepada ISIS dan secara resmi mengubah namanya menjadi ISIS Provinsi Sinai.
Mereka juga dianggap sebagai otak di balik meledaknya jet Rusia yang terbang dari Mesir ke Saint Petersburg di atas Semenanjung Sinai pada 2015. Ledakan itu menewaskan 224 penumpangnya. Saat itu ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Tapi ISIS Sinai menyangkal terlibat dalam serangan mematikan di Al-Rawdah. Kantor berita ISIS, Al-Haq, merilis video berdurasi tiga menit yang menyatakan ISIS Provinsi Sinai tak berhubungan dengan serangan terhadap masjid sufi itu. Ia justru menuduh tentara Mesir menggunakan serangan tersebut untuk menarik suku Al-Sawarka agar berperang melawan ISIS.
Namun bantahan ini tak sejalan dengan kesaksian warga Al-Rawdah. Menurut warga desa itu kepada harian Israel Haaretz, mereka mengaku telah diperingatkan ISIS Sinai untuk berhenti berkolaborasi dengan pasukan keamanan Mesir dan menangguhkan ritual sufi Islam buat memperingati Maulid Nabi Muhammad. Peringatan terakhir datang satu pekan sebelumnya.
Mohammed Ibrahim, salah satu mahasiswa di desa tersebut, mengatakan milisi telah memperingatkan masyarakat beberapa hari sebelum serangan Jumat itu. "Kelompok militan itu diketahui beberapa kali membagikan selebaran yang meminta penduduk desa tak bekerja sama dengan pasukan keamanan dan meninggalkan tasawuf," katanya.
Penduduk Al-Rawdah lainnya, Mohammed Darwish, 30 tahun, mengatakan milisi bersenjata ISIS juga pernah mendatangi rumah pemimpin klan di desa itu, Syekh Hussein al-Jerirr, dua kali sepanjang tahun ini. "Mereka mengancamnya untuk tidak mengadakan pertemuan sufi," ucapnya.
Abdul Manan (Reuters, Independent, Times of Israel, Haaretz)
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 3 Desember 2017
Khotbahnya baru berjalan dua menit ketika Fattah mendengar dua ledakan dari luar masjid. "Kemudian ada orang-orang bersenjata memasuki masjid dan mulai menembaki semua orang yang masih berdiri," katanya, seperti dilansir Independent. Penembakan membabi-buta ini menewaskan 305 orang, 27 di antaranya anak-anak; melukai 128 lainnya; dan menjadi teror paling mematikan dalam sejarah Mesir.
Tidak ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Namun kecurigaan tertuju pada kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Provinsi Sinai, yang dulu bernama Ansar Bayt al-Maqdis. Selain karena salah satu pelakunya membawa bendera ISIS dan memberontak terhadap militer Mesir, sejumlah warga Bir al-Abd mengaku didatangi kelompok ISIS, yang melarang mempraktikkan sufi saat Maulid Nabi Muhammad dan memperingatkan warga agar tak bekerja sama dengan aparat keamanan.
HOROR ini bermula dari datangnya lima jip yang membawa 25 orang bersenjata dengan pakaian militer. Mereka membawa senapan mesin dan bendera hitam mirip bendera ISIS. Ada sekitar 500 anggota jemaah di masjid Al-Rawdah. Semuanya adalah laki-laki dari desa yang total populasinya 2.000 orang itu.
Jaksa Mesir, Nabil Sadeq, mengatakan beberapa penyerang itu bertopeng. Adapun yang tak bertopeng terlihat memiliki janggut lebat dan rambut panjang. Mereka mengenakan celana militer dan kaus hitam. Salah satu dari mereka membawa spanduk hitam bertulisan "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah".
Tiba di masjid, orang-orang bersenjata itu berpencar. Satu kelompok berjaga di depan pintu masuk utama. Lainnya di jendela masjid. "Mereka berjumlah antara 25 dan 30, membawa bendera Daesh, serta mengambil posisi di depan pintu masjid dan 12 jendela dengan senapan otomatis," ujar Sadeq. Daesh adalah sebutan untuk ISIS.
Serangan dimulai dengan ledakan bom di luar masjid, diikuti tembakan melalui jendela. Kelompok lainnya meledakkan dan membakar mobil di luar untuk mencegah orang melarikan diri. Kelompok ketiga memantau jalan-jalan di sekitarnya, membunuh penduduk desa yang menuju masjid.
Fattah, imam masjid itu, jatuh dari mimbar saat ledakan awal. Ia kemudian terinjak oleh orang-orang yang melarikan diri dari serangan tersebut. "Saya tidak melihat atau merasakan apa pun, kecuali dua-tiga tubuh berdarah yang jatuh di atas saya," katanya. Tertindih korban yang jatuh, ia tak bisa bergerak.
"Saya bisa melihat jemaah mencoba melarikan diri melalui jendela, tapi orang-orang bersenjata itu menembak kepalanya," ucap seorang penduduk yang selamat. Sebagian dari korban tewas itu jatuh menimpanya setelah tertembak senapan otomatis kelompok militan tersebut.
Tembakan beruntun itu membuat jemaah berebut keluar dari jendela. "Pintu kecil yang mengarah ke lorong ruang wudu adalah satu-satunya tempat jemaah bergegas melarikan diri," kata seorang pegawai pemerintah berusia 38 tahun yang tidak ingin disebutkan namanya. Ia juga jatuh dan ditindih oleh korban lainnya.
Salah satu korban selamat, Ebid Salem Mansour, mengatakan semua orang berusaha berbaring di lantai atau menunduk. "Jika Anda mengangkat kepala, Anda akan tertembak," kata pria 38 tahun yang menderita dua luka tembak di kaki ini. Tak berselang lama, pria bersenjata itu kembali masuk masjid. "Siapa pun yang diyakini belum meninggal atau masih bernapas, ditembak mati."
Selain menyasar jemaah, kelompok bersenjata itu pergi ke rumah-rumah di sekitar masjid, menembaki penghuninya sambil meneriakkan "Allahu Akbar". Saksi mata mengatakan aksen beberapa penyerang mengindikasikan mereka Badui. Mereka juga menembaki petugas ambulans yang hendak menolong korban. Kelompok bersenjata itu pergi sebelum militer Mesir datang.
Ini bukan serangan pertama ISIS Sinai terhadap tokoh sufi. November tahun lalu, mereka memancung tokoh sufi lokal terkemuka, Syekh Suleiman Abu Heraz. Menurut The Star, Heraz ditangkap dari peternakannya di dekat El-Arish. Menggunakan pedang panjang, algojo memotong kepala pria tua itu. ISIS memajang foto pembunuhan itu di Internet.
Sebelumnya, media propaganda ISIS sering mengecam para sufi. Dalam edisi Januari lalu, tokoh ISIS Sinai bersumpah akan membidik para sufi karena dianggap sebagai penyembah berhala.
"Kelompok ini tidak dapat disangkal adalah kelompok yang paling terkoordinasi dan efektif secara operasional di Mesir," begitu menurut sebuah analisis Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah yang bermarkas di Washington, DC, seperti dilansir USA Today.
ISIS Sinai awalnya bernama Ansar Bayt al-Maqdis. Juli 2012, kelompok tersebut menyerang pipa Mesir yang mengekspor gas ke Israel. Mereka diketahui berusaha melakukan pembunuhan terhadap pemimpin negara itu dan melakukan beberapa pengeboman dari Kairo ke ujung selatan Semenanjung Sinai. Kelompok tersebut saat itu hanya memiliki afiliasi yang longgar dengan Al-Qaidah.
Serangan ISIS Sinai meningkat begitu kuat sehingga, pada 2014, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan kelompok tersebut sebagai organisasi teroris asing. Pada November 2014, mereka bersumpah setia kepada ISIS dan secara resmi mengubah namanya menjadi ISIS Provinsi Sinai.
Mereka juga dianggap sebagai otak di balik meledaknya jet Rusia yang terbang dari Mesir ke Saint Petersburg di atas Semenanjung Sinai pada 2015. Ledakan itu menewaskan 224 penumpangnya. Saat itu ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Tapi ISIS Sinai menyangkal terlibat dalam serangan mematikan di Al-Rawdah. Kantor berita ISIS, Al-Haq, merilis video berdurasi tiga menit yang menyatakan ISIS Provinsi Sinai tak berhubungan dengan serangan terhadap masjid sufi itu. Ia justru menuduh tentara Mesir menggunakan serangan tersebut untuk menarik suku Al-Sawarka agar berperang melawan ISIS.
Namun bantahan ini tak sejalan dengan kesaksian warga Al-Rawdah. Menurut warga desa itu kepada harian Israel Haaretz, mereka mengaku telah diperingatkan ISIS Sinai untuk berhenti berkolaborasi dengan pasukan keamanan Mesir dan menangguhkan ritual sufi Islam buat memperingati Maulid Nabi Muhammad. Peringatan terakhir datang satu pekan sebelumnya.
Mohammed Ibrahim, salah satu mahasiswa di desa tersebut, mengatakan milisi telah memperingatkan masyarakat beberapa hari sebelum serangan Jumat itu. "Kelompok militan itu diketahui beberapa kali membagikan selebaran yang meminta penduduk desa tak bekerja sama dengan pasukan keamanan dan meninggalkan tasawuf," katanya.
Penduduk Al-Rawdah lainnya, Mohammed Darwish, 30 tahun, mengatakan milisi bersenjata ISIS juga pernah mendatangi rumah pemimpin klan di desa itu, Syekh Hussein al-Jerirr, dua kali sepanjang tahun ini. "Mereka mengancamnya untuk tidak mengadakan pertemuan sufi," ucapnya.
Abdul Manan (Reuters, Independent, Times of Israel, Haaretz)
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 3 Desember 2017
Comments