Saudi Baru Sang Pangeran
HOTEL Ritz-Carlton Riyadh mengeluarkan pengumuman tak biasa pada Sabtu dua pekan lalu. Petugas hotel mewah itu meminta tamu-tamunya bergegas ke lobi beserta barang bawaan masing-masing agar bisa dipindahkan ke hotel lain. Para tamu itu tak tahu persis apa yang terjadi sampai akhirnya tersebar kabar bahwa Komite Antikorupsi Arab Saudi menangkap 11 pangeran serta puluhan mantan menteri dan pengusaha karena dugaan korupsi. Ritz-Carlton Riyadh, yang biaya menginap semalamnya sekitar Rp 4,6 juta, menjadi salah satu "penjara" bagi mereka.
Penangkapan besar-besaran terhadap orang penting di negara Teluk itu terjadi tak lama setelah Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud mengeluarkan dekrit pembentukan Komite Antikorupsi pada pagi harinya. Esoknya, Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa "Komite Tertinggi Arab Saudi" akan mengusut kasus korupsi tingkat tinggi ini. Komite yang dipimpin Putra Mahkota Muhammad bin Salman tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap hukum negara ini dan memperbaiki iklim investasi.
Reaksi atas penangkapan ini beragam. Sejumlah media Barat menyebutnya sebagai manuver untuk menyingkirkan mereka yang selama ini berpotensi menghalangi Muhammad bin Salman-yang biasa disebut MBS, singkatan namanya-menjadi raja. Menurut Al Bawaba, rakyat Saudi menyebut penangkapan itu sebagai "Revolusi 4 November", tema yang kemudian menjadi topik tren di media sosial Twitter. Raja Salman dipuji karena "memerangi korupsi", meski tepuk tangan terbanyak dialamatkan kepada putranya, Muhammad bin Salman. Dalam wawancara di televisi pada awal 2017, Salman junior pernah mengatakan, "Tidak ada yang di atas hukum, entah itu pangeran entah menteri."
***
MUHAMMAD bin Salman lahir di Jeddah, 31 Agustus 1985. Ia putra tertua Raja Salman bin Abdulaziz dari istri ketiganya, Fahdah binti Falah bin Sultan. Salman muda menamatkan sekolahnya di Riyadh. Dia masuk daftar 10 siswa teratas dalam prestasi akademik, tulis Al-Arabiya. Sang Pangeran menyelesaikan gelar sarjana hukum dari King Saud University dan berada di peringkat kedua di kelasnya.
Salman menghabiskan beberapa tahun kariernya di sektor swasta sebelum terjun ke politik. Ia pernah menjadi konsultan untuk Komisi Ahli, badan yang berada di bawah Kabinet Saudi. Pada Desember 2009, pada usia 24 tahun, ia menjadi penasihat khusus untuk ayahnya, yang menjadi Gubernur Provinsi Riyadh. Pada periode itu, MBS berganti-ganti posisi, termasuk menjadi Sekretaris Umum Dewan Kompetitif Riyadh.
Pada 2013, Salman menjabat Kepala Pengadilan Kerajaan. Tahun berikutnya dia diangkat menjadi Menteri Negara. Setelah menjadi raja, Salman bin Abdulaziz menobatkan Salman sebagai Menteri Pertahanan dan Muhammad bin Nayef, paman Salman, sebagai Deputi Putra Mahkota.
Perubahan lebih penting bagi Salman terjadi pada April 2015. Raja Salman menunjuk Muhammad bin Nayef sebagai Putra Mahkota dan Salman Deputi Putra Mahkota. Nayef merangkap jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri dan Salman Menteri Pertahanan serta Presiden Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan.
Dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya News Channel, mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menggambarkan Salman sebagai "orang yang sangat berpengetahuan luas, sangat cerdas". Dia menambahkan bahwa Putra Mahkota itu memiliki sikap "bijak melampaui usianya". Menurut media online Dawn, banyaknya jabatan Salman membuat para diplomat menjulukinya sebagai "Mr. Everything".
Pada periode inilah Salman merancang rencana luas untuk membawa perubahan ekonomi dan sosial bagi Saudi, yang kemudian dikenal sebagai Visi 2030 Saudi. Ini adalah rencana ekonomi jangka panjang Kerajaan untuk menghilangkan ketergantungan pada minyak dan program reformasi terhadap birokrasi negara yang dianggap tidak efektif.
Agresif dalam ekonomi di dalam negeri, Salman juga lebih keras dalam politik luar negeri. Salah satu yang dilakukan MBS saat menjadi Menteri Pertahanan adalah meluncurkan kampanye militer di Yaman, Maret 2015, bersama negara-negara Arab lain. Serangan ini dilakukan setelah Abdrabbuh Mansur Hadi, Presiden Yaman yang didukung Saudi, dipaksa diasingkan oleh kelompok pemberontak Houthi, yang didukung Iran.
Salman juga dituding telah memelopori pemboikotan Qatar, bersama Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir, pada awal Juni 2017 karena dugaan mendukung terorisme dan ikut campur dalam urusan negara tetangganya. Qatar membantah tuduhan tersebut dan menolak mematuhi permintaan para tetangga Arab itu.
Penunjukan Salman menjadi Deputi Putra Mahkota pada 2015 memicu spekulasi soal siapa yang akan menjadi penerus Raja Salman. Dengan komposisi saat ini, maka penerusnya adalah Muhammad bin Nayef, bukan Salman. Raja Salman mengakhiri spekulasi ini pada 21 Juni lalu saat dia mencopot Nayef dari posisinya sebagai Putra Mahkota dan menggantinya dengan Salman. Nayef juga kehilangan posisinya sebagai Menteri Dalam Negeri.
Sejumlah analis menyebut langkah Raja Salman ini mengabaikan konsensus lama dalam pembagian kekuasaan di antara keluarga keturunan Ibnu Saud. Namun ada juga yang menyebut langkah ini untuk mengamankan rencana Saudi baru yang dicanangkan raja dan putranya itu.
Pangeran Salman banyak dipandang sebagai wajah Saudi modern. Tidak seperti generasi tua keluarga Kerajaan, dia banyak mendapat perhatian media dan fotonya terpampang di sejumlah papan reklame dan televisi. Setelah menjadi Putra Mahkota, Salman melancarkan sejumlah kebijakan baru. Pada Agustus, Saudi meluncurkan proyek pengembangan massal untuk mengubah 50 pulau dan sejumlah tempat di Laut Merah menjadi resor mewah, menghidupkan lagi bioskop yang sudah lama tutup, dan memperbolehkan konser musik. Terobosan lain yang diungkap September lalu, yang mendapat banyak pujian, adalah pencabutan larangan perempuan menyetir.
Visi Salman soal "Saudi baru" ini disampaikan secara resmi dalam konferensi ekonomi bertema "Davos in Desert" di Riyadh, akhir Oktober lalu. Pertemuan ekonomi internasional itu dihadiri 3.000 pengusaha dari berbagai penjuru dunia, termasuk Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde. Salman mengumumkan investasi sebesar US$ 500 miliar atau sekitar Rp 6.764 triliun untuk kota dan zona bisnis baru. Dijuluki Neom, kawasan seluas sekitar 26.500 kilometer persegi itu berada di pantai Laut Merah, barat laut Arab Saudi, dekat Mesir dan Yordania. Pemerintah juga ingin berinvestasi di sektor hiburan.
Perubahan tak kalah penting yang juga disampaikan Salman adalah keinginan untuk mengembalikan kerajaan di Teluk ini ke citra sebagai penganut "Islam moderat". Ia menyebut itu sebagai kunci untuk memodernisasi Kerajaan. Salah satu alasan yang mendorong perubahan ini, kata Salman, adalah 70 persen dari total populasi sekitar 300 juta berusia di bawah 30 tahun dan mereka menginginkan "kehidupan ketika agama kita berarti toleransi".
Salman menekankan bahwa Arab Saudi tidak seperti ini sebelum 1979. Dia menyebut peristiwa 20 November 1979, saat kelompok radikal Islam yang dipimpin pengkhotbah Juhaiman al-Otaybi menyerbu Masjid Al-Haram di Mekah. Pertempuran untuk membebaskan area yang dimuliakan umat Islam itu menyebabkan ratusan orang tewas. Setelah peristiwa itu, hiburan umum di Arab Saudi dilarang dan ulama punya kontrol lebih besar atas kehidupan publik.
Salman mengetahui bahwa salah satu potensi ancaman penentangan terhadap perubahan sosial di Saudi berasal dari kelompok konservatif, pihak yang dulu bersama-sama membangun negara ini. Pada April 2016, MBS mengambil kewenangan polisi agama untuk menangkap orang. Pada September lalu, Saudi menangkap lebih dari 20 ulama, juga intelektual, dengan tuduhan bekerja sama dengan pihak luar.
Kejutan lebih besar, dan itu dianggap sebagai campur tangan Salman, adalah pembentukan Komisi Antikorupsi, 4 November lalu. Komisi ini menangkap sejumlah tokoh, termasuk Pangeran Fahd bin Abdullah bin Mohammed, mantan Wakil Menteri Pertahanan; Pangeran Miteb bin Abdullah, mantan Kepala Garda Nasional; Pangeran Al-Walid bin Talal, pengusaha terkaya Timur Tengah 2017 versi Forbes; dan Bakr bin Ladin, Kepala Binladin Group.
Motif penangkapan ini dibaca beragam. Menurut BBC, korupsi merajalela di Arab Saudi. Suap telah lama menjadi bagian integral dalam berbisnis. Keluarga Kerajaan banyak mengumpulkan kekayaan dengan cara korup dan sebagian disimpan di rekening luar negeri. Dengan populasi pemuda yang tumbuh dengan cepat, Kerajaan perlu mendanai proyek yang akan memberi pekerjaan untuk orang muda ini. Pemerintah menaksir aset pribadi yang disimpan di luar negeri itu mencapai Rp 10.822 triliun.
Menurut Jane Kinninmont, Wakil Kepala Program Timur Tengah dan Afrika Utara Chatham House, media Saudi menggambarkan ini sebagai pertempuran yang sangat dibutuhkan dalam melawan korupsi. Tapi sebagian besar media Barat menganggapnya sebagai pembersihan politik. "Kemungkinan besar motifnya adalah dua-duanya," ucapnya.
Kinninmont mengatakan rakyat banyak yang frustrasi terhadap korupsi, patronase, dan nepotisme di Saudi. Dengan menunjukkan bahwa orang yang berkuasa dan kaya dapat dijerat hukum, Salman menunjukkan diri dapat menangani masalah yang menjadi perhatian publik dan menjadi populer. Pada saat yang sama, penangkapan tersebut juga menyingkirkan pesaing dan memperkuat kekuasaannya.
Abdul Manan (bbc, Independent, Al Bawaba, Aljazeera, National.ae)
Perang Saudi Melawan Korupsi
Dekrit Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud pada 4 November lalu berujung pada penangkapan sejumlah elite negara itu. Dianggap sebagai bagian dari perang melawan korupsi sekaligus memuluskan suksesi.
Januari 2015
Salman bin Abdulaziz al-Saud menjadi raja, menggantikan Abdullah bin Abdulaziz.
April 2015
Raja Salman menetapkan putranya, Pangeran Muhammad bin Salman, menjadi Deputi Putra Mahkota, Menteri Pertahanan, serta Presiden Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan.
21 Juni 2017
Raja Salman menetapkan Pangeran Salman menjadi putra mahkota, menggantikan Muhammad bin Nayef.
4 November 2017
Raja Salman mengeluarkan dekrit antikorupsi dan menetapkan Pangeran Salman menjadi ketua komitenya. Dekrit ini diikuti penangkapan 11 pangeran serta puluhan mantan menteri dan pengusaha.
Para Elite yang Ditangkap dengan Tuduhan Korupsi
» Pangeran Turki bin Nasser,
mantan Kepala Meteorologi dan Perlindungan Lingkungan
» Pangeran Fahd bin Abdullah bin Mohammed,
mantan Wakil Menteri Pertahanan
» Pangeran Al-Walid bin Talal, pengusaha
» Pangeran Miteb bin Abdullah,
mantan Kepala Garda Nasional
» Pangeran Turki bin Abdullah,
mantan Gubernur Provinsi Riyadh
» Khalid al-Tuwaijri,
mantan Kepala Pengadilan Kerajaan
» Mohammed al-Tubaishi,
mantan Kepala Protokol Pengadilan Kerajaan
» Amr al-Dabagh,
mantan Gubernur Otoritas Investasi
» Saud al-Duwaish,
mantan CEO Saudi Telecom
» Adel Fakeih,
mantan Menteri Ekonomi dan Perencanaan
» Ibrahim al-Assaf,
mantan Menteri Keuangan
» Abdullah al-Sultan,
Komandan Angkatan laut
» Khalid al-Mulhem,
mantan CEO Saudi Arabian Airlines
» Bakr bin Ladin, CEO Binladin Group
Abdul Manan | Bahan: Aljazeera, Bbc
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 12 November 2017
Penangkapan besar-besaran terhadap orang penting di negara Teluk itu terjadi tak lama setelah Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud mengeluarkan dekrit pembentukan Komite Antikorupsi pada pagi harinya. Esoknya, Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa "Komite Tertinggi Arab Saudi" akan mengusut kasus korupsi tingkat tinggi ini. Komite yang dipimpin Putra Mahkota Muhammad bin Salman tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan terhadap hukum negara ini dan memperbaiki iklim investasi.
Reaksi atas penangkapan ini beragam. Sejumlah media Barat menyebutnya sebagai manuver untuk menyingkirkan mereka yang selama ini berpotensi menghalangi Muhammad bin Salman-yang biasa disebut MBS, singkatan namanya-menjadi raja. Menurut Al Bawaba, rakyat Saudi menyebut penangkapan itu sebagai "Revolusi 4 November", tema yang kemudian menjadi topik tren di media sosial Twitter. Raja Salman dipuji karena "memerangi korupsi", meski tepuk tangan terbanyak dialamatkan kepada putranya, Muhammad bin Salman. Dalam wawancara di televisi pada awal 2017, Salman junior pernah mengatakan, "Tidak ada yang di atas hukum, entah itu pangeran entah menteri."
***
MUHAMMAD bin Salman lahir di Jeddah, 31 Agustus 1985. Ia putra tertua Raja Salman bin Abdulaziz dari istri ketiganya, Fahdah binti Falah bin Sultan. Salman muda menamatkan sekolahnya di Riyadh. Dia masuk daftar 10 siswa teratas dalam prestasi akademik, tulis Al-Arabiya. Sang Pangeran menyelesaikan gelar sarjana hukum dari King Saud University dan berada di peringkat kedua di kelasnya.
Salman menghabiskan beberapa tahun kariernya di sektor swasta sebelum terjun ke politik. Ia pernah menjadi konsultan untuk Komisi Ahli, badan yang berada di bawah Kabinet Saudi. Pada Desember 2009, pada usia 24 tahun, ia menjadi penasihat khusus untuk ayahnya, yang menjadi Gubernur Provinsi Riyadh. Pada periode itu, MBS berganti-ganti posisi, termasuk menjadi Sekretaris Umum Dewan Kompetitif Riyadh.
Pada 2013, Salman menjabat Kepala Pengadilan Kerajaan. Tahun berikutnya dia diangkat menjadi Menteri Negara. Setelah menjadi raja, Salman bin Abdulaziz menobatkan Salman sebagai Menteri Pertahanan dan Muhammad bin Nayef, paman Salman, sebagai Deputi Putra Mahkota.
Perubahan lebih penting bagi Salman terjadi pada April 2015. Raja Salman menunjuk Muhammad bin Nayef sebagai Putra Mahkota dan Salman Deputi Putra Mahkota. Nayef merangkap jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri dan Salman Menteri Pertahanan serta Presiden Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan.
Dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya News Channel, mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menggambarkan Salman sebagai "orang yang sangat berpengetahuan luas, sangat cerdas". Dia menambahkan bahwa Putra Mahkota itu memiliki sikap "bijak melampaui usianya". Menurut media online Dawn, banyaknya jabatan Salman membuat para diplomat menjulukinya sebagai "Mr. Everything".
Pada periode inilah Salman merancang rencana luas untuk membawa perubahan ekonomi dan sosial bagi Saudi, yang kemudian dikenal sebagai Visi 2030 Saudi. Ini adalah rencana ekonomi jangka panjang Kerajaan untuk menghilangkan ketergantungan pada minyak dan program reformasi terhadap birokrasi negara yang dianggap tidak efektif.
Agresif dalam ekonomi di dalam negeri, Salman juga lebih keras dalam politik luar negeri. Salah satu yang dilakukan MBS saat menjadi Menteri Pertahanan adalah meluncurkan kampanye militer di Yaman, Maret 2015, bersama negara-negara Arab lain. Serangan ini dilakukan setelah Abdrabbuh Mansur Hadi, Presiden Yaman yang didukung Saudi, dipaksa diasingkan oleh kelompok pemberontak Houthi, yang didukung Iran.
Salman juga dituding telah memelopori pemboikotan Qatar, bersama Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir, pada awal Juni 2017 karena dugaan mendukung terorisme dan ikut campur dalam urusan negara tetangganya. Qatar membantah tuduhan tersebut dan menolak mematuhi permintaan para tetangga Arab itu.
Penunjukan Salman menjadi Deputi Putra Mahkota pada 2015 memicu spekulasi soal siapa yang akan menjadi penerus Raja Salman. Dengan komposisi saat ini, maka penerusnya adalah Muhammad bin Nayef, bukan Salman. Raja Salman mengakhiri spekulasi ini pada 21 Juni lalu saat dia mencopot Nayef dari posisinya sebagai Putra Mahkota dan menggantinya dengan Salman. Nayef juga kehilangan posisinya sebagai Menteri Dalam Negeri.
Sejumlah analis menyebut langkah Raja Salman ini mengabaikan konsensus lama dalam pembagian kekuasaan di antara keluarga keturunan Ibnu Saud. Namun ada juga yang menyebut langkah ini untuk mengamankan rencana Saudi baru yang dicanangkan raja dan putranya itu.
Pangeran Salman banyak dipandang sebagai wajah Saudi modern. Tidak seperti generasi tua keluarga Kerajaan, dia banyak mendapat perhatian media dan fotonya terpampang di sejumlah papan reklame dan televisi. Setelah menjadi Putra Mahkota, Salman melancarkan sejumlah kebijakan baru. Pada Agustus, Saudi meluncurkan proyek pengembangan massal untuk mengubah 50 pulau dan sejumlah tempat di Laut Merah menjadi resor mewah, menghidupkan lagi bioskop yang sudah lama tutup, dan memperbolehkan konser musik. Terobosan lain yang diungkap September lalu, yang mendapat banyak pujian, adalah pencabutan larangan perempuan menyetir.
Visi Salman soal "Saudi baru" ini disampaikan secara resmi dalam konferensi ekonomi bertema "Davos in Desert" di Riyadh, akhir Oktober lalu. Pertemuan ekonomi internasional itu dihadiri 3.000 pengusaha dari berbagai penjuru dunia, termasuk Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde. Salman mengumumkan investasi sebesar US$ 500 miliar atau sekitar Rp 6.764 triliun untuk kota dan zona bisnis baru. Dijuluki Neom, kawasan seluas sekitar 26.500 kilometer persegi itu berada di pantai Laut Merah, barat laut Arab Saudi, dekat Mesir dan Yordania. Pemerintah juga ingin berinvestasi di sektor hiburan.
Perubahan tak kalah penting yang juga disampaikan Salman adalah keinginan untuk mengembalikan kerajaan di Teluk ini ke citra sebagai penganut "Islam moderat". Ia menyebut itu sebagai kunci untuk memodernisasi Kerajaan. Salah satu alasan yang mendorong perubahan ini, kata Salman, adalah 70 persen dari total populasi sekitar 300 juta berusia di bawah 30 tahun dan mereka menginginkan "kehidupan ketika agama kita berarti toleransi".
Salman menekankan bahwa Arab Saudi tidak seperti ini sebelum 1979. Dia menyebut peristiwa 20 November 1979, saat kelompok radikal Islam yang dipimpin pengkhotbah Juhaiman al-Otaybi menyerbu Masjid Al-Haram di Mekah. Pertempuran untuk membebaskan area yang dimuliakan umat Islam itu menyebabkan ratusan orang tewas. Setelah peristiwa itu, hiburan umum di Arab Saudi dilarang dan ulama punya kontrol lebih besar atas kehidupan publik.
Salman mengetahui bahwa salah satu potensi ancaman penentangan terhadap perubahan sosial di Saudi berasal dari kelompok konservatif, pihak yang dulu bersama-sama membangun negara ini. Pada April 2016, MBS mengambil kewenangan polisi agama untuk menangkap orang. Pada September lalu, Saudi menangkap lebih dari 20 ulama, juga intelektual, dengan tuduhan bekerja sama dengan pihak luar.
Kejutan lebih besar, dan itu dianggap sebagai campur tangan Salman, adalah pembentukan Komisi Antikorupsi, 4 November lalu. Komisi ini menangkap sejumlah tokoh, termasuk Pangeran Fahd bin Abdullah bin Mohammed, mantan Wakil Menteri Pertahanan; Pangeran Miteb bin Abdullah, mantan Kepala Garda Nasional; Pangeran Al-Walid bin Talal, pengusaha terkaya Timur Tengah 2017 versi Forbes; dan Bakr bin Ladin, Kepala Binladin Group.
Motif penangkapan ini dibaca beragam. Menurut BBC, korupsi merajalela di Arab Saudi. Suap telah lama menjadi bagian integral dalam berbisnis. Keluarga Kerajaan banyak mengumpulkan kekayaan dengan cara korup dan sebagian disimpan di rekening luar negeri. Dengan populasi pemuda yang tumbuh dengan cepat, Kerajaan perlu mendanai proyek yang akan memberi pekerjaan untuk orang muda ini. Pemerintah menaksir aset pribadi yang disimpan di luar negeri itu mencapai Rp 10.822 triliun.
Menurut Jane Kinninmont, Wakil Kepala Program Timur Tengah dan Afrika Utara Chatham House, media Saudi menggambarkan ini sebagai pertempuran yang sangat dibutuhkan dalam melawan korupsi. Tapi sebagian besar media Barat menganggapnya sebagai pembersihan politik. "Kemungkinan besar motifnya adalah dua-duanya," ucapnya.
Kinninmont mengatakan rakyat banyak yang frustrasi terhadap korupsi, patronase, dan nepotisme di Saudi. Dengan menunjukkan bahwa orang yang berkuasa dan kaya dapat dijerat hukum, Salman menunjukkan diri dapat menangani masalah yang menjadi perhatian publik dan menjadi populer. Pada saat yang sama, penangkapan tersebut juga menyingkirkan pesaing dan memperkuat kekuasaannya.
Abdul Manan (bbc, Independent, Al Bawaba, Aljazeera, National.ae)
Perang Saudi Melawan Korupsi
Dekrit Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud pada 4 November lalu berujung pada penangkapan sejumlah elite negara itu. Dianggap sebagai bagian dari perang melawan korupsi sekaligus memuluskan suksesi.
Januari 2015
Salman bin Abdulaziz al-Saud menjadi raja, menggantikan Abdullah bin Abdulaziz.
April 2015
Raja Salman menetapkan putranya, Pangeran Muhammad bin Salman, menjadi Deputi Putra Mahkota, Menteri Pertahanan, serta Presiden Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan.
21 Juni 2017
Raja Salman menetapkan Pangeran Salman menjadi putra mahkota, menggantikan Muhammad bin Nayef.
4 November 2017
Raja Salman mengeluarkan dekrit antikorupsi dan menetapkan Pangeran Salman menjadi ketua komitenya. Dekrit ini diikuti penangkapan 11 pangeran serta puluhan mantan menteri dan pengusaha.
Para Elite yang Ditangkap dengan Tuduhan Korupsi
» Pangeran Turki bin Nasser,
mantan Kepala Meteorologi dan Perlindungan Lingkungan
» Pangeran Fahd bin Abdullah bin Mohammed,
mantan Wakil Menteri Pertahanan
» Pangeran Al-Walid bin Talal, pengusaha
» Pangeran Miteb bin Abdullah,
mantan Kepala Garda Nasional
» Pangeran Turki bin Abdullah,
mantan Gubernur Provinsi Riyadh
» Khalid al-Tuwaijri,
mantan Kepala Pengadilan Kerajaan
» Mohammed al-Tubaishi,
mantan Kepala Protokol Pengadilan Kerajaan
» Amr al-Dabagh,
mantan Gubernur Otoritas Investasi
» Saud al-Duwaish,
mantan CEO Saudi Telecom
» Adel Fakeih,
mantan Menteri Ekonomi dan Perencanaan
» Ibrahim al-Assaf,
mantan Menteri Keuangan
» Abdullah al-Sultan,
Komandan Angkatan laut
» Khalid al-Mulhem,
mantan CEO Saudi Arabian Airlines
» Bakr bin Ladin, CEO Binladin Group
Abdul Manan | Bahan: Aljazeera, Bbc
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 12 November 2017
Comments