Akibat Tergiur Rayuan Opa
Trauma menjadi penghuni penjara Arthur Gorrie, Brisbane, Australia, masih membekas di benak Faisal Arsyad. Enam tahun lalu, remaja 22 tahun itu mendekam selama enam bulan di penjara dewasa untuk para pelaku kriminal di negara tersebut. "Kami dituntut menyelundupkan orang," kata Faisal, Rabu pekan lalu.
Penjara umum itu berbeda jauh dengan di Indonesia. Kendati untuk para pelaku kriminal, sel penjara yang rata-rata berukuran 2,5 meter itu terbilang nyaman. Menurut Faisal, di setiap sel ada televisi, tempat tidur, kamar mandi dengan pancuran, dan penyejuk udara. Di penjara Arthur Gorrie, satu tahanan menempati satu sel.
Meskipun ruangan penjaranya cukup nyaman, Faisal selalu dirundung ketakutan. Ia beberapa kali melihat ada keributan sesama narapidana di sana. Pernah ia menyaksikan ada tahanan asal Indonesia yang dipukuli narapidana lokal. "Begitu mendengar keributan, saya lihat orang Indonesia itu sudah babak-belur," ujarnya.
Faisal menghuni sel yang berdekatan dengan ruang tahanan warga Australia yang dipenjara karena membunuh tiga anggota keluarganya. Setiap hari dia diliputi ketakutan dan kadang tak bisa tidur karena waswas terhadap narapidana itu.
Sulung dari lima bersaudara asal Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu menjadi penghuni penjara Arthur Gorrie setelah tertangkap masuk ke Australia secara ilegal pada Mei 2011. Faisal ketika itu menjadi anak buah kapal yang membawa 132 orang Timur Tengah yang hendak mencari suaka ke Australia. Pria kelahiran Kupang itu menjadi anak buah kapal bersama dua remaja asal Kupang lainnya. Keduanya adalah Sem Pamise, kelahiran 19 Januari 1995, dan Joni Manu, kelahiran 5 Maret 1994. Sedangkan kapten kapal itu adalah Rashid, 50 tahun.
Rupanya, bukan hanya Faisal dan dua temannya yang pernah ditahan di penjara dewasa Australia. Sepanjang 2009-2013, ada 112 anak Indonesia bernasib serupa. Tuduhannya sama dengan Faisal, yakni anak buah kapal yang dituduh menyelundupkan pencari suaka ke Australia. Pada November 2016, mereka menggugat perdata pemerintah Australia sebesar Rp 1,089 triliun atas perlakuan buruk selama di penjara negara itu. Sidang ketiga kasus itu dijadwalkan pada Selasa pekan ini.
Pada sidang pertama kasus tersebut berlangsung, 23 Februari 2017, wakil Australia tidak datang. Sidang berikutnya, 30 Mei 2017, datang surat berkop Makarim & Taira. Isi surat itu menyatakan Australia tak bisa diadili di pengadilan perdata di Indonesia.
Seorang pegawai di firma hukum itu saat ditemui pada Kamis pekan lalu tak bersedia mengkonfirmasi surat tersebut. Pengacara senior Makarim & Taira, Nono Anwar Makarim, saat ditanyai soal ini mengatakan, "Saya dalam dua tahun belakangan ini tidak memegang perkara. Karena itu, saya tidak tahu siapa yang melaksanakan kasus dan apakah benar M&T (Makarim & Taira) adalah pengacaranya."
Menurut pengacara 115 penggugat, Elizabeth Hiarkiej, sebagian besar kliennya dari Nusa Tenggara Timur. Mereka mengaku dirayu dengan uang dan tipu daya lain agar membantu menyelundupkan pencari suaka dari Timur Tengah ke Australia. "Sebagian besar anak-anak itu memang dari keluarga kurang mampu," ucap perempuan yang akrab disapa Lisa itu, Selasa pekan lalu.
Faisal, contohnya. Tinggal bersama empat saudaranya di rumah sederhana di Kota Kupang, ia sudah dipaksa bekerja saat masih remaja karena kedua orang tuanya terbilang tak mampu. Ayahnya kuli bangunan, ibunya penjual kue. Faisal menamatkan sekolah dasarnya, tapi ia hanya bertahan enam bulan di bangku sekolah menengah pertama. "Orang tua tak punya biaya," katanya.
Saat anak sebayanya bersekolah, Faisal bekerja sebagai nelayan. Ketika sedang tidak melaut pada Februari 2011 itu, ia didekati pria yang mengaku bernama Opa. Seminggu kemudian, saat mulai akrab, Opa menawari Faisal pekerjaan. "Pekerjaannya tidak berat, tidak berisiko, dan uangnya banyak," ujarnya.
Kepada Faisal, Opa mengaku memiliki usaha mengantar turis jalan-jalan dari Jawa ke perairan Rote. Karena tawaran gajinya menggiurkan, Rp 15 juta sebulan, Faisal menerima tawaran tersebut. Bersama Sem dan Joni, ia lantas terbang ke Surabaya.
Pada 12 Maret 2011, mereka bertiga dan kapten kapal Rashid membawa kapal menuju sebuah pantai di Surabaya. Di sana sudah menunggu 132 turis asal Afganistan, Iran, dan Irak. Menjelang sore, mereka tiba di perairan Rote, NTT. Di sana mereka sudah ditunggu kapal lain. Dua pemandunya turun. Kepada Rashid, pemandu itu mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan ke Ashmore Reef, Australia. Tiba di kawasan itu 30 menit lebih cepat dari perkiraan, Faisal mulai merasa ada yang janggal dengan pelayarannya. "Ada pesawat tempur terbang rendah," kata pria yang kini menjadi petugas keamanan perumahan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu.
Di perairan Australia, petugas imigrasi negara itu mencegat mereka. Karena semua awak dan penumpang kapal tak bisa menunjukkan identitas, petugas imigrasi membawa mereka ke kapal besar yang buang sauh tak jauh dari lokasi penghadangan. Di dalam kapal itu ternyata ada banyak orang Timur Tengah dan sekitar 40 orang Indonesia. "Sebagian besar orang Indonesia itu anak-anak. Biasanya hanya kapten yang orang dewasa," ujar Faisal.
Faisal dan dua temannya kemudian diterbangkan ke Darwin. Di kota itu mereka didata ulang. Ketiganya dimasukkan ke kelompok anak-anak. Pada akhir April 2011, mereka dibawa ke pengadilan setempat. Karena mereka mengaku di bawah 18 tahun, hakim meminta ketiganya diperiksa dengan sinar-X untuk dipastikan umurnya.
Sesuai dengan perintah pengadilan, Faisal dan dua temannya diperiksa dengan sinar-X, awal Mei 2011. Hasilnya mengejutkan Faisal. "Umur saya dikatakan 19 tahun, padahal masih 16 tahun," ucapnya. Sedangkan Sem diidentifikasi berumur 18 tahun dan Joni 17 tahun. Dengan hasil ini, Faisal dan Sem dinyatakan dewasa, Joni masih anak-anak. Awal Juni, Faisal dan Sem dikirim ke penjara Arthur Gorrie, Brisbane, sedangkan Joni dipulangkan ke Kupang.
Atas bantuan petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Australia, Faisal mendapatkan bantuan pengacara bernama David. Saat Faisal dipenjara di sana, David datang ke Kupang untuk mendapatkan akta kelahiran. Akta itulah yang menyatakan Faisal berumur 17 tahun, bukan 19 tahun seperti hasil sinar-X. Bukti itu membuat Faisal lolos dari ancaman hukuman tiga tahun penjara. Sejak November 2011, Faisal dipindahkan ke hotel. Pada awal Desember, ia dipulangkan ke Kupang.
Pemerintah Australia belum memberi tanggapan soal ini. Pejabat Public Affair Kedutaan Besar Australia di Jakarta, yang dihubungi melalui telepon, e-mail, dan media sosial, hingga Jumat pekan lalu belum memberi balasan. seperti dilansir Newscom.au pada Juni lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia berkomentar singkat soal ini. "Australia telah memberi tahu pengadilan (Indonesia), sebagai negara berdaulat, lembaganya tidak tunduk pada yurisdiksi pengadilan (Indonesia)," katanya.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 18 September 2017
Penjara umum itu berbeda jauh dengan di Indonesia. Kendati untuk para pelaku kriminal, sel penjara yang rata-rata berukuran 2,5 meter itu terbilang nyaman. Menurut Faisal, di setiap sel ada televisi, tempat tidur, kamar mandi dengan pancuran, dan penyejuk udara. Di penjara Arthur Gorrie, satu tahanan menempati satu sel.
Meskipun ruangan penjaranya cukup nyaman, Faisal selalu dirundung ketakutan. Ia beberapa kali melihat ada keributan sesama narapidana di sana. Pernah ia menyaksikan ada tahanan asal Indonesia yang dipukuli narapidana lokal. "Begitu mendengar keributan, saya lihat orang Indonesia itu sudah babak-belur," ujarnya.
Faisal menghuni sel yang berdekatan dengan ruang tahanan warga Australia yang dipenjara karena membunuh tiga anggota keluarganya. Setiap hari dia diliputi ketakutan dan kadang tak bisa tidur karena waswas terhadap narapidana itu.
Sulung dari lima bersaudara asal Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu menjadi penghuni penjara Arthur Gorrie setelah tertangkap masuk ke Australia secara ilegal pada Mei 2011. Faisal ketika itu menjadi anak buah kapal yang membawa 132 orang Timur Tengah yang hendak mencari suaka ke Australia. Pria kelahiran Kupang itu menjadi anak buah kapal bersama dua remaja asal Kupang lainnya. Keduanya adalah Sem Pamise, kelahiran 19 Januari 1995, dan Joni Manu, kelahiran 5 Maret 1994. Sedangkan kapten kapal itu adalah Rashid, 50 tahun.
Rupanya, bukan hanya Faisal dan dua temannya yang pernah ditahan di penjara dewasa Australia. Sepanjang 2009-2013, ada 112 anak Indonesia bernasib serupa. Tuduhannya sama dengan Faisal, yakni anak buah kapal yang dituduh menyelundupkan pencari suaka ke Australia. Pada November 2016, mereka menggugat perdata pemerintah Australia sebesar Rp 1,089 triliun atas perlakuan buruk selama di penjara negara itu. Sidang ketiga kasus itu dijadwalkan pada Selasa pekan ini.
Pada sidang pertama kasus tersebut berlangsung, 23 Februari 2017, wakil Australia tidak datang. Sidang berikutnya, 30 Mei 2017, datang surat berkop Makarim & Taira. Isi surat itu menyatakan Australia tak bisa diadili di pengadilan perdata di Indonesia.
Seorang pegawai di firma hukum itu saat ditemui pada Kamis pekan lalu tak bersedia mengkonfirmasi surat tersebut. Pengacara senior Makarim & Taira, Nono Anwar Makarim, saat ditanyai soal ini mengatakan, "Saya dalam dua tahun belakangan ini tidak memegang perkara. Karena itu, saya tidak tahu siapa yang melaksanakan kasus dan apakah benar M&T (Makarim & Taira) adalah pengacaranya."
Menurut pengacara 115 penggugat, Elizabeth Hiarkiej, sebagian besar kliennya dari Nusa Tenggara Timur. Mereka mengaku dirayu dengan uang dan tipu daya lain agar membantu menyelundupkan pencari suaka dari Timur Tengah ke Australia. "Sebagian besar anak-anak itu memang dari keluarga kurang mampu," ucap perempuan yang akrab disapa Lisa itu, Selasa pekan lalu.
Faisal, contohnya. Tinggal bersama empat saudaranya di rumah sederhana di Kota Kupang, ia sudah dipaksa bekerja saat masih remaja karena kedua orang tuanya terbilang tak mampu. Ayahnya kuli bangunan, ibunya penjual kue. Faisal menamatkan sekolah dasarnya, tapi ia hanya bertahan enam bulan di bangku sekolah menengah pertama. "Orang tua tak punya biaya," katanya.
Saat anak sebayanya bersekolah, Faisal bekerja sebagai nelayan. Ketika sedang tidak melaut pada Februari 2011 itu, ia didekati pria yang mengaku bernama Opa. Seminggu kemudian, saat mulai akrab, Opa menawari Faisal pekerjaan. "Pekerjaannya tidak berat, tidak berisiko, dan uangnya banyak," ujarnya.
Kepada Faisal, Opa mengaku memiliki usaha mengantar turis jalan-jalan dari Jawa ke perairan Rote. Karena tawaran gajinya menggiurkan, Rp 15 juta sebulan, Faisal menerima tawaran tersebut. Bersama Sem dan Joni, ia lantas terbang ke Surabaya.
Pada 12 Maret 2011, mereka bertiga dan kapten kapal Rashid membawa kapal menuju sebuah pantai di Surabaya. Di sana sudah menunggu 132 turis asal Afganistan, Iran, dan Irak. Menjelang sore, mereka tiba di perairan Rote, NTT. Di sana mereka sudah ditunggu kapal lain. Dua pemandunya turun. Kepada Rashid, pemandu itu mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan ke Ashmore Reef, Australia. Tiba di kawasan itu 30 menit lebih cepat dari perkiraan, Faisal mulai merasa ada yang janggal dengan pelayarannya. "Ada pesawat tempur terbang rendah," kata pria yang kini menjadi petugas keamanan perumahan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu.
Di perairan Australia, petugas imigrasi negara itu mencegat mereka. Karena semua awak dan penumpang kapal tak bisa menunjukkan identitas, petugas imigrasi membawa mereka ke kapal besar yang buang sauh tak jauh dari lokasi penghadangan. Di dalam kapal itu ternyata ada banyak orang Timur Tengah dan sekitar 40 orang Indonesia. "Sebagian besar orang Indonesia itu anak-anak. Biasanya hanya kapten yang orang dewasa," ujar Faisal.
Faisal dan dua temannya kemudian diterbangkan ke Darwin. Di kota itu mereka didata ulang. Ketiganya dimasukkan ke kelompok anak-anak. Pada akhir April 2011, mereka dibawa ke pengadilan setempat. Karena mereka mengaku di bawah 18 tahun, hakim meminta ketiganya diperiksa dengan sinar-X untuk dipastikan umurnya.
Sesuai dengan perintah pengadilan, Faisal dan dua temannya diperiksa dengan sinar-X, awal Mei 2011. Hasilnya mengejutkan Faisal. "Umur saya dikatakan 19 tahun, padahal masih 16 tahun," ucapnya. Sedangkan Sem diidentifikasi berumur 18 tahun dan Joni 17 tahun. Dengan hasil ini, Faisal dan Sem dinyatakan dewasa, Joni masih anak-anak. Awal Juni, Faisal dan Sem dikirim ke penjara Arthur Gorrie, Brisbane, sedangkan Joni dipulangkan ke Kupang.
Atas bantuan petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Australia, Faisal mendapatkan bantuan pengacara bernama David. Saat Faisal dipenjara di sana, David datang ke Kupang untuk mendapatkan akta kelahiran. Akta itulah yang menyatakan Faisal berumur 17 tahun, bukan 19 tahun seperti hasil sinar-X. Bukti itu membuat Faisal lolos dari ancaman hukuman tiga tahun penjara. Sejak November 2011, Faisal dipindahkan ke hotel. Pada awal Desember, ia dipulangkan ke Kupang.
Pemerintah Australia belum memberi tanggapan soal ini. Pejabat Public Affair Kedutaan Besar Australia di Jakarta, yang dihubungi melalui telepon, e-mail, dan media sosial, hingga Jumat pekan lalu belum memberi balasan. seperti dilansir Newscom.au pada Juni lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia berkomentar singkat soal ini. "Australia telah memberi tahu pengadilan (Indonesia), sebagai negara berdaulat, lembaganya tidak tunduk pada yurisdiksi pengadilan (Indonesia)," katanya.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 18 September 2017
Comments