Tipuan Komplotan Pencatut Presiden

KABA Souleymane baru bangun tidur ketika polisi mengetuk pintu kamarnya di Apartemen Aston, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Selasa dua pekan lalu. Pria 46 tahun ini berusaha menjelaskan bahwa dia tak terlibat kejahatan. Namun upaya itu gagal menghalangi polisi untuk menangkapnya. "Saya hanya menerima surat itu dari orang Malaysia," kata pria kelahiran Guinea itu ketika ditemui di ruang pemeriksaan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Kamis pekan lalu.


Sehari setelah menangkap Kaba, polisi menggelandang dua temannya: Daniel Douglas Divine, 31 tahun, warga negara Liberia; dan Ria Situmorang, 26 tahun, warga Indonesia. Keduanya ditangkap di Apartemen Green Lake Sunter Tower, Jakarta Utara. "Mereka diduga membuat surat palsu mengatasnamakan Istana Kepresidenan dan Presiden Joko Widodo," kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono.

Kasus pencatutan nama Jokowi terungkap pada 11 Juli lalu. Saat itu seorang pejabat di PT Pembangunan Perumahan menelepon Direktur Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat. Sang penelepon melaporkan adanya surat yang mencatut nama Presiden. Surat dikirim melalui jasa pengiriman JNE ke petinggi badan usaha milik negara itu.

Kepada Wahyu, sang penelepon mengaku curiga terhadap surat yang ditulis dalam bahasa Inggris tersebut. Surat satu halaman itu diawali ungkapan bahwa Presiden memberikan apresiasi terhadap komitmen dan kerja keras pejabat BUMN. Surat itu juga menyebutkan Presiden memperhatikan kepemimpinan si pejabat BUMN.

Selain itu, surat tersebut menyinggung pemilihan umum yang kian dekat. "Presiden" mengharapkan dukungan dan loyalitas sang pejabat BUMN. "Presiden" pun meminta komunikasi itu dirahasiakan. Akhir kata, "Presiden" meminta konfirmasi bahwa surat telah diterima ke alamat jokowiriana@gmail.com. Di samping email, surat itu menyertakan nomor telepon yang bisa dihubungi melalui WhatsApp.

Berbekal pengaduan pejabat BUMN dan bukti surat itu, polisi membentuk tim penyelidikan. Dalam waktu sepuluh hari, polisi telah mengendus pelakunya. Pela­cakan digital mengantarkan polisi pada pintu apartemen tempat tinggal Kaba. Pengakuan Kaba kemudian berujung pada penangkapan Douglas dan Ria keesokan harinya.

Dari dokumen pengirimannya, polisi mengetahui bahwa surat itu dikirim melalui JNE Tugu Tani, yang beralamat di Jalan Menteng Raya Nomor 24C, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Pengirimnya mengaku bernama Neni Oktaviani, dengan alamat Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur. "Setelah dicek ke pegawai JNE, perempuan bernama Neni itu tak lain adalah Ria," kata Wah­yu. Kepada polisi, Ria mengaku mengirim 51 surat. Sebanyak 31 surat ditujukan ke pejabat BUMN. Selebihnya dikirim ke petinggi perusahaan swasta.

Pegawai JNE Tugu Tani, Lia, membenarkan ada perempuan bernama Neni Oktaviani yang mengirim puluhan surat pada 1 Juli lalu. Surat dikirim sekitar pukul 19.30 dengan paket pengiriman reguler. Biayanya Rp 9.000 per surat. Waktu itu Lia sedang bersiapsiap pulang sehingga dia hanya melihat sekilas wajah perempuan tersebut. "Saya baru tahu belakangan bahwa Neni itu bukan nama sebenarnya," ujar Lia.

Surat yang dikirim Kaba dan komplotannya tidak terangterangan meminta uang seperti penipuan pada umumnya. "Pelaku hanya memancing supaya korban mengirim email," kata Wahyu. Begitu target membalas surat ke email, saat itu pula komplotan penipu akan memasukkan aplikasi virus.

Jaringan penipu menggunakan metode phishing, yaitu memancing orang untuk mengirim email ke alamat email penipu. Pelaku bisa juga meminta korban mengklik alamat tautan tertentu. Begitu target menjawab dengan mengirim email, pada saat itulah pelaku akan meretas dan mengontrol email korban. Selanjutnya, pelaku akan mengambil data di dalam email korbannya. Dalam istilah kejahatan di dunia maya, cara ini dikenal sebagai business email compromise (BEC).

Setelah mengendalikan email korban, menurut Wahyu, pelaku bisa memanfaatkan daftar kontak email tersebut. Pelaku juga bisa mengirim surat berisi permintaan uang kepada kontakkontak yang tertera di email korban. Cara lain, pelaku hanya memonitor komunikasi melalui email itu. Pada saat perusahaan melakukan transaksi keuangan, pelaku bisa mensabotasenya. "Dalihnya, sistem di perusahaan bermasalah sehingga pengiriman uang dialihkan ke nomor rekening lain," kata Wahyu.

Pelacakan digital tak hanya mengarahkan polisi kepada Kaba. Menurut Wahyu, itu juga yang menuntun polisi mengendus adanya jaringan BEC di Malaysia. Dari keterangan tersangka, polisi menyimpulkan bahwa Kaba merupakan otak dari kasus ini. Sedangkan orang Malaysia lainnya berfungsi sebagai pendukung. "Skemanya, kalau ada uang yang diterima, akan ditransfer ke sebuah rekening yang kendalikan oleh seseorang dari Malaysia," kata Wahyu.

Kaba membantah menjadi otak kejahatan ini. Dia mengaku datang ke Indonesia untuk menjenguk istri dan anaknya di Surabaya. Kaba juga mengaku menerima surat dari seseorang bernama Osa di Malaysia. "Saya menerima surat itu dari Osa, bukan saya yang membuatnya," kata Kaba, Kamis pekan lalu. Kaba pernah menghapusnya, tapi Osa mengirim file surat itu lagi. "Tolong cari kurir lokal," ujar Osa, seperti ditirukan Kaba. Akhirnya Kaba mengontak orang yang baru dikenalnya, Douglas.

Kepada Tempo, Kaba mengaku mengenal Osa kurang dari setahun lalu saat bertemu di Malaysia. "Osa itu warga Liberia yang tinggal di Malaysia," kata Kaba. Osa tinggal di wilayah Damansara, Kuala Lumpur, dan memiliki saudara yang bekerja di perusahaan minyak Malaysia.

Menurut Wahyu, awalnya Kaba menggunakan alasan menjenguk anak dan mantan istrinya. Penyidik lantas menggali detail soal keluarga itu. Ternyata Kaba tak bisa menjawabnya. "Akhirnya dia mengaku datang ke Indonesia atas undangan Douglas untuk melancarkan kejahatan ini," ucap Wahyu. Polisi juga punya keyakinan bahwa Kaba adalah bagian dari jaringan ini. Sebab, salinan surat yang mengatasnamakan Presiden ada di laptop miliknya.

Polisi menilai modus kejahatan ini sangat berbahaya karena besarnya kerugian yang bisa ditimbulkannya. Wahyu mengutip peringatan yang dikeluarkan Biro Penyelidik Federal (FBI) soal penipuan model ini. Menurut FBI, sejak Oktober 2013 sampai Februari 2016, ada 17.642 lembaga di Amerika Serikat dan 79 negara yang sudah menjadi korban. Kerugiannya ditaksir lebih dari US$ 2,3 miliar atau sekitar Rp 29,9 triliun.

Hingga pekan lalu, polisi masih mengembangkan penyelidikan kasus ini. Dari 51 pihak yang dikirimi surat, belum ada laporan bahwa mereka menjadi korban penipuan jaringan Kaba. Berdasarkan hasil pela­cakan sementara polisi, jaringan yang dikendalikan dari Malaysia ini tak hanya beroperasi di Indonesia. Jaringan ini diidentifikasi berada di Filipina dan Thailand juga. "Ini kejahatan lintas negara," kata Wahyu, yang sejak Rabu pekan lalu menjabat Wakil Direktur Tindak Pidana Cyber Kepolisian RI.

Abdul Manan, Maya Ayu Putri

Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 31 Juli 2017

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO