Suap Jaksa di Awal Perkara
SUASANA santai di The View Resto and Café di Pantai Panjang, Bengkulu, berubah menjadi riuh pada Jumat dinihari dua pekan lalu. Tim Komisi Pemberantasan Korupsi menerobos masuk untuk menangkap Parlin Purba, Kepala Seksi Intel III Kejaksaan Tinggi Bengkulu, yang berada di kafe itu.
Dinihari itu, Parlin tengah menghadiri pesta perpisahan Kepala Kejaksaan Tinggi Sendjun Manullang, yang akan pensiun keesokan harinya. Beberapa menit kemudian, tim KPK menggiring Parlin keluar dari kafe itu. Sang jaksa lalu digelandang ke kantor Kepolisian Daerah Bengkulu.
Tim KPK menangkap Parlin tak lama setelah dia menerima uang Rp 10 juta dari Amin Anwari, pejabat pembuat komitmen proyek irigasi di Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWWS) VII Bengkulu. Malam itu, Amin datang ke tempat pesta ditemani Murni Suhardi, Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo.
Komisi antikorupsi telah menetapkan Parlin sebagai tersangka penerima suap. Adapun Amin dan Murni menjadi tersangka pemberi suap. Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. "Keterlibatan jaksa lain masih diselidiki," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers soal penangkapan itu.
l l l
BALAI Wilayah Sungai Sumatera VII Bengkulu pada 2015-2016 melaksanakan sejumlah proyek bernilai Rp 90 miliar. Salah satunya proyek Jaringan Irigasi Air Manjunto Mukomuko, sekitar 240 kilometer ke arah utara dari Kota Bengkulu. Kontraktor proyek itu adalah PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo. Begitu kelar, proyek irigasi tersebut menjadi sasaran pengusutan Kejaksaan Tinggi Bengkulu.
Sampai dua pekan lalu, status kasus jaringan irigasi itu baru pada tahap pengumpulan bahan dan keterangan. Tahap pra-penyelidikan ini dilakukan seksi intelijen Kejaksaan Tinggi Bengkulu, yang dipimpin Parlin Purba. Bila ada bukti permulaan dugaan korupsi, pengusutan biasanya naik ke tahap penyelidikan dan ditangani bidang pidana khusus kejaksaan.
Di tengah pengumpulan bahan keterangan itulah radar KPK menangkap komunikasi Parlin dengan Amin Anwari. Dalam percakapan itu, Parlin meminta uang Rp 20 juta. "Kalau tak bisa, setengahnya bolehlah," ujar seorang penegak hukum menirukan permintaan Parlin.
Komunikasi Parlin dan Amin itulah yang menuntun tim KPK datang ke The View Resto and Café. Sekalian menghadiri pesta perpisahan, Parlin mengajak Amin dan Murni Suhardi bertemu di kafe di pinggir pantai Bengkulu itu.
Di kafe itu, Parlin duduk satu meja dengan Amin dan Murni, dekat pintu keluar kafe. Berdasarkan pengintaian tim KPK, uang Rp 10 juta dari Amin berpindah ke tangan Parlin sekitar pukul 20.00. Parlin memasukkan uang pecahan Rp 100 ribu dalam amplop cokelat itu ke saku kanan celananya.
Menjelang tengah malam, tim KPK memulai aksinya. Anggota tim mendekati meja Parlin layaknya tamu undangan biasa. Tanpa menyela pesta, anggota tim KPK itu menunjukkan identitas dan surat perintah penangkapan. Setengah berbisik, anggota tim KPK meminta Parlin menyerah dan meninggalkan ruang pesta dengan tenang.
Bukannya mengikuti permintaan tim KPK, Parlin malah pindah ke bagian dalam kafe. Ia memilih meja yang berdekatan dengan Sendjun Manullang. Kali ini tim KPK baru merangsek masuk, sehingga memancing sedikit kegaduhan. Rekan-rekan Parlin sempat mempertanyakan identitas dan surat tugas tim KPK. Tapi, begitu tahu bahwa tim itu benar dari KPK, mereka memilih tak campur tangan. Saat itulah Parlin digelandang ke luar kafe.
Sendjun membenarkan penangkapan Parlin berlangsung di depan dia dan disaksikan puluhan tamu lainnya. Namun ia mengaku tak tahu pasti perkara apa yang ditangani Parlin sehingga dijemput KPK. "Bisa jadi itu urusan pribadi," kata Sendjun. Ia pun tak mempersoalkan penangkapan Parlin. "Silakan KPK bekerja."
Ketika tim KPK berfokus menangkap Parlin, Amin dan Murni menyelinap keluar. Mereka bergegas menuju tempat parkir, lalu meninggalkan kafe dengan Mitsubishi Pajero. Namun pelarian mereka tak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, tim KPK berhasil menyusul keduanya dalam perjalanan menuju Tanah Datar, Kota Bengkulu. Jarak kafe ke Tanah Datar sekitar 4 kilometer.
Seperti Parlin, dinihari itu Amin dan Murni dibawa ke Polda Bengkulu di Jalan Adam Malik, Kilometer 9. Ketika satu tim KPK membawa Parlin dan kawan-kawan ke Polda Bengkulu, tim lain mendatangi dan menyegel ruangan Kepala Seksi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu di Jalan S. Parman. Dinihari itu, ruangan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan turut disegel.
Sekitar pukul 07.00, Parlin dkk diterbangkan ke Jakarta. Selanjutnya, mereka ditahan di tempat berbeda. Parlin ditahan di Rumah Tahanan Cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur, Jakarta. Amin ditahan di ruang tahanan Kepolisian Resor Jakarta Timur. Adapun Murni dijebloskan ke ruang tahanan Polres Jakarta Pusat.
Dari pemeriksaan ketiga tersangka, penyidik KPK mengetahui bahwa penyerahan uang Rp 10 juta malam itu bukan yang pertama. Sebelumnya, Parlin menerima uang Rp 150 juta. Menurut seorang penegak hukum, semua uang diterima Parlin dari pejabat di Balai Sungai Wilayah Sumatera. "Tapi uangnya dari para kontraktor," ucap sumber ini.
Penangkapan Parlin sempat memicu reaksi dari sebagian korps adhyaksa. Di media sosial, misalnya, dua orang berbaju seragam jaksa memasang foto sambil memegang poster dengan tulisan "#OTTRecehan".
Menanggapi reaksi itu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan lembaganya tak melihat sebuah kasus hanya dari uang yang disita sewaktu penangkapan. Dari bukti yang sedikit, kata dia, bisa saja ada ratusan miliar rupiah yang bisa diselamatkan. "Jadi lihat gambaran besar kasusnya," ujar Laode.
Dalam kasus Parlin dkk, di samping bukti Rp 10 juta dan pengakuan uang suap Rp 150 juta, KPK mendapatkan celah informasi lain. Di sela-sela bongkahan dokumen hasil penggeledahan, penyidik menemukan catatan bahwa Balai Sungai Wilayah Sumatera mengalokasikan dana sekitar dua persen dari total nilai proyek. "Katanya itu untuk anggaran pengamanan aparat penegak hukum," ucap penegak hukum lainnya. Kini penyidik KPK masih menelisik apakah "anggaran pengamanan" itu cair atau belum.
Pimpinan Balai Wilayah Sungai Sumatera VII belum ada yang bisa dimintai konfirmasi. Kepala BWSS VII Abustian tak ada di tempat ketika Tempo menyambangi kantornya, Senin pekan lalu. "Kepala Balai sedang di Jakarta. Yang lain tak bisa kerja karena ruangannya disegel," kata seorang anggota staf BWSS VII yang tak mau disebut namanya.
Adapun Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan tak akan membela anak buahnya yang terbukti menerima suap. "Kami tak akan menghalangi, menutupi, atau membela," ujar Prasetyo, Senin pekan lalu. Dia menambahkan, di bawah naungan korps adhyaksa ada sekitar 10 ribu jaksa. Kalau ada satu-dua orang yang melanggar, kata dia, "Itu ulah oknum. Jangan digeneralisasi."
Abdul Manan, Maya Ayu Pratiwi (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 19 Juni 2017
Dinihari itu, Parlin tengah menghadiri pesta perpisahan Kepala Kejaksaan Tinggi Sendjun Manullang, yang akan pensiun keesokan harinya. Beberapa menit kemudian, tim KPK menggiring Parlin keluar dari kafe itu. Sang jaksa lalu digelandang ke kantor Kepolisian Daerah Bengkulu.
Tim KPK menangkap Parlin tak lama setelah dia menerima uang Rp 10 juta dari Amin Anwari, pejabat pembuat komitmen proyek irigasi di Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWWS) VII Bengkulu. Malam itu, Amin datang ke tempat pesta ditemani Murni Suhardi, Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo.
Komisi antikorupsi telah menetapkan Parlin sebagai tersangka penerima suap. Adapun Amin dan Murni menjadi tersangka pemberi suap. Ketiganya dijerat dengan Pasal 12 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. "Keterlibatan jaksa lain masih diselidiki," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers soal penangkapan itu.
l l l
BALAI Wilayah Sungai Sumatera VII Bengkulu pada 2015-2016 melaksanakan sejumlah proyek bernilai Rp 90 miliar. Salah satunya proyek Jaringan Irigasi Air Manjunto Mukomuko, sekitar 240 kilometer ke arah utara dari Kota Bengkulu. Kontraktor proyek itu adalah PT Mukomuko Putra Selatan Manjudo. Begitu kelar, proyek irigasi tersebut menjadi sasaran pengusutan Kejaksaan Tinggi Bengkulu.
Sampai dua pekan lalu, status kasus jaringan irigasi itu baru pada tahap pengumpulan bahan dan keterangan. Tahap pra-penyelidikan ini dilakukan seksi intelijen Kejaksaan Tinggi Bengkulu, yang dipimpin Parlin Purba. Bila ada bukti permulaan dugaan korupsi, pengusutan biasanya naik ke tahap penyelidikan dan ditangani bidang pidana khusus kejaksaan.
Di tengah pengumpulan bahan keterangan itulah radar KPK menangkap komunikasi Parlin dengan Amin Anwari. Dalam percakapan itu, Parlin meminta uang Rp 20 juta. "Kalau tak bisa, setengahnya bolehlah," ujar seorang penegak hukum menirukan permintaan Parlin.
Komunikasi Parlin dan Amin itulah yang menuntun tim KPK datang ke The View Resto and Café. Sekalian menghadiri pesta perpisahan, Parlin mengajak Amin dan Murni Suhardi bertemu di kafe di pinggir pantai Bengkulu itu.
Di kafe itu, Parlin duduk satu meja dengan Amin dan Murni, dekat pintu keluar kafe. Berdasarkan pengintaian tim KPK, uang Rp 10 juta dari Amin berpindah ke tangan Parlin sekitar pukul 20.00. Parlin memasukkan uang pecahan Rp 100 ribu dalam amplop cokelat itu ke saku kanan celananya.
Menjelang tengah malam, tim KPK memulai aksinya. Anggota tim mendekati meja Parlin layaknya tamu undangan biasa. Tanpa menyela pesta, anggota tim KPK itu menunjukkan identitas dan surat perintah penangkapan. Setengah berbisik, anggota tim KPK meminta Parlin menyerah dan meninggalkan ruang pesta dengan tenang.
Bukannya mengikuti permintaan tim KPK, Parlin malah pindah ke bagian dalam kafe. Ia memilih meja yang berdekatan dengan Sendjun Manullang. Kali ini tim KPK baru merangsek masuk, sehingga memancing sedikit kegaduhan. Rekan-rekan Parlin sempat mempertanyakan identitas dan surat tugas tim KPK. Tapi, begitu tahu bahwa tim itu benar dari KPK, mereka memilih tak campur tangan. Saat itulah Parlin digelandang ke luar kafe.
Sendjun membenarkan penangkapan Parlin berlangsung di depan dia dan disaksikan puluhan tamu lainnya. Namun ia mengaku tak tahu pasti perkara apa yang ditangani Parlin sehingga dijemput KPK. "Bisa jadi itu urusan pribadi," kata Sendjun. Ia pun tak mempersoalkan penangkapan Parlin. "Silakan KPK bekerja."
Ketika tim KPK berfokus menangkap Parlin, Amin dan Murni menyelinap keluar. Mereka bergegas menuju tempat parkir, lalu meninggalkan kafe dengan Mitsubishi Pajero. Namun pelarian mereka tak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, tim KPK berhasil menyusul keduanya dalam perjalanan menuju Tanah Datar, Kota Bengkulu. Jarak kafe ke Tanah Datar sekitar 4 kilometer.
Seperti Parlin, dinihari itu Amin dan Murni dibawa ke Polda Bengkulu di Jalan Adam Malik, Kilometer 9. Ketika satu tim KPK membawa Parlin dan kawan-kawan ke Polda Bengkulu, tim lain mendatangi dan menyegel ruangan Kepala Seksi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu di Jalan S. Parman. Dinihari itu, ruangan Asisten Pidana Khusus Kejaksaan turut disegel.
Sekitar pukul 07.00, Parlin dkk diterbangkan ke Jakarta. Selanjutnya, mereka ditahan di tempat berbeda. Parlin ditahan di Rumah Tahanan Cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur, Jakarta. Amin ditahan di ruang tahanan Kepolisian Resor Jakarta Timur. Adapun Murni dijebloskan ke ruang tahanan Polres Jakarta Pusat.
Dari pemeriksaan ketiga tersangka, penyidik KPK mengetahui bahwa penyerahan uang Rp 10 juta malam itu bukan yang pertama. Sebelumnya, Parlin menerima uang Rp 150 juta. Menurut seorang penegak hukum, semua uang diterima Parlin dari pejabat di Balai Sungai Wilayah Sumatera. "Tapi uangnya dari para kontraktor," ucap sumber ini.
Penangkapan Parlin sempat memicu reaksi dari sebagian korps adhyaksa. Di media sosial, misalnya, dua orang berbaju seragam jaksa memasang foto sambil memegang poster dengan tulisan "#OTTRecehan".
Menanggapi reaksi itu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan lembaganya tak melihat sebuah kasus hanya dari uang yang disita sewaktu penangkapan. Dari bukti yang sedikit, kata dia, bisa saja ada ratusan miliar rupiah yang bisa diselamatkan. "Jadi lihat gambaran besar kasusnya," ujar Laode.
Dalam kasus Parlin dkk, di samping bukti Rp 10 juta dan pengakuan uang suap Rp 150 juta, KPK mendapatkan celah informasi lain. Di sela-sela bongkahan dokumen hasil penggeledahan, penyidik menemukan catatan bahwa Balai Sungai Wilayah Sumatera mengalokasikan dana sekitar dua persen dari total nilai proyek. "Katanya itu untuk anggaran pengamanan aparat penegak hukum," ucap penegak hukum lainnya. Kini penyidik KPK masih menelisik apakah "anggaran pengamanan" itu cair atau belum.
Pimpinan Balai Wilayah Sungai Sumatera VII belum ada yang bisa dimintai konfirmasi. Kepala BWSS VII Abustian tak ada di tempat ketika Tempo menyambangi kantornya, Senin pekan lalu. "Kepala Balai sedang di Jakarta. Yang lain tak bisa kerja karena ruangannya disegel," kata seorang anggota staf BWSS VII yang tak mau disebut namanya.
Adapun Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan tak akan membela anak buahnya yang terbukti menerima suap. "Kami tak akan menghalangi, menutupi, atau membela," ujar Prasetyo, Senin pekan lalu. Dia menambahkan, di bawah naungan korps adhyaksa ada sekitar 10 ribu jaksa. Kalau ada satu-dua orang yang melanggar, kata dia, "Itu ulah oknum. Jangan digeneralisasi."
Abdul Manan, Maya Ayu Pratiwi (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 19 Juni 2017
Comments