Tukar Kulit Pasal Karet
Tuntutan itu terus bergema dalam "Aksi Solidaritas 1.000 Lilin" di Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu malam pekan lalu. Pengunjuk rasa meminta Pengadilan Tinggi DKI Jakarta segera membebaskan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Aksi itu merupakan ungkapan solidaritas untuk Ahok, yang sehari sebelumnya divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Ahok menjadi korban terbaru Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu berisi ancaman lima tahun penjara bagi siapa pun yang dianggap memusuhi atau menodai agama tertentu. Berdasarkan catatan Amnesty International, selama 2005-2012, di Indonesia ada 106 orang yang masuk penjara karena dilaporkan menodai agama. Sedangkan selama 1965-1998, ketika kebebasan warga negara dibelenggu rezim Orde Baru, hanya sepuluh orang yang didakwa menodai agama.
Di masa Orde Baru, pasal penodaan agama antara lain menjerat Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Pada 1990, Arswendo divonis lima tahun penjara karena tabloid itu memuat hasil jejak pendapat tentang tokoh pilihan pembacanya. Hasil jajak pendapat itu menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan ke-11, di bawah Arswendo pada urutan ke-10.
Pasal penodaan agama masuk hukum positif Indonesia melalui Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. "PNPS dipicu oleh kekhawatiran akan munculnya aliran-aliran sesat," kata Harkristuti Harkrisnowo, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia. Bagian penjelasan penetapan ini menegaskan latar belakang kelahirannya, yakni merespons aliran kebatinan atau kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Penetapan presiden itu disahkan menjadi undang-undang pada 27 Januari 1965. Isi penetapan itu kemudian diselipkan dalam KUHP sebagai Pasal 156-a, di antara Pasal 156 dan 157.
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, dalam KUHP warisan Belanda sebelumnya tak ada pasal khusus penodaan agama. "Jika terjadi kasus penodaan agama, tersangka umumnya dijerat pasal kejahatan terhadap ketertiban umum." Anggara menyebut pasal penodaan agama sebagai aturan karet yang penafsirannya bisa mulur-mengkeret. "Pasal itu dikenal sebagai haatzaai artikelen."
Sejumlah tokoh, termasuk presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, menguji PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ke Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2009. Mereka berdalil, penetapan tersebut tak sesuai dengan tuntutan zaman karena dilahirkan di masa darurat. Penerapannya pun selalu mengancam kebebasan individu. Namun Mahkamah Konstitusi menolak uji materi itu pada 12 April 2010, antara lain dengan alasan pasal penodaan masih dibutuhkan.
Alih-alih mendengar kritik dari berbagai pihak, pemerintah kembali memasukkan pasal penodaan agama ke Rancangan Undang-Undang KUHP. Dalam draf usul pemerintah yang masih dibahas Dewan Perwakilan Rakyat, rumusan pasal penodaan agama tak banyak yang berubah. "Hanya beda di kulit. Isinya sama saja," ujar Anggara.
Dalam RUU KUHP, pasal penodaan agama hanya bergeser tempat. Pasal itu tak lagi berada pada bab "Kejahatan terhadap Ketertiban Umum". Pasal itu menjadi bab tersendiri dengan judul "Tindak Pidana terhadap Agama". Dalam draf baru, istilah "permusuhan", "penyalahgunaan", atau "penodaan" terhadap agama diganti dengan istilah "penghinaan". Ancaman hukumannya turun menjadi dua tahun penjara.
Rumusan dan ancaman hukuman pasal penghinaan agama dalam RUU KUHP belum final. Menurut Harkristuti, Panitia Kerja DPR masih berfokus menyelesaikan pasal kejahatan khusus, seperti korupsi, narkotik, dan terorisme. Ihwal kemungkinan pencabutan pasal tersebut, kata dia, bergantung pada pembahasan dan kesepakatan di DPR. "Saya kira pemerintah tak akan menutup mata," ujar Harkristuti, yang juga anggota tim asistensi KUHP yang mewakili pemerintah.
Anggota Panitia Kerja RUU KUHP, Masinton Pasaribu, mengatakan DPR masih mendalami substansi pasal penghinaan agama. Menurut dia, pasal tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi sosial politik saat ini. "Supaya tidak mudah menjadi alat kriminalisasi," ujar politikus PDI Perjuangan itu.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 15 Mei 2017
Ahok menjadi korban terbaru Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu berisi ancaman lima tahun penjara bagi siapa pun yang dianggap memusuhi atau menodai agama tertentu. Berdasarkan catatan Amnesty International, selama 2005-2012, di Indonesia ada 106 orang yang masuk penjara karena dilaporkan menodai agama. Sedangkan selama 1965-1998, ketika kebebasan warga negara dibelenggu rezim Orde Baru, hanya sepuluh orang yang didakwa menodai agama.
Di masa Orde Baru, pasal penodaan agama antara lain menjerat Arswendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Pada 1990, Arswendo divonis lima tahun penjara karena tabloid itu memuat hasil jejak pendapat tentang tokoh pilihan pembacanya. Hasil jajak pendapat itu menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan ke-11, di bawah Arswendo pada urutan ke-10.
Pasal penodaan agama masuk hukum positif Indonesia melalui Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. "PNPS dipicu oleh kekhawatiran akan munculnya aliran-aliran sesat," kata Harkristuti Harkrisnowo, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia. Bagian penjelasan penetapan ini menegaskan latar belakang kelahirannya, yakni merespons aliran kebatinan atau kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Penetapan presiden itu disahkan menjadi undang-undang pada 27 Januari 1965. Isi penetapan itu kemudian diselipkan dalam KUHP sebagai Pasal 156-a, di antara Pasal 156 dan 157.
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, dalam KUHP warisan Belanda sebelumnya tak ada pasal khusus penodaan agama. "Jika terjadi kasus penodaan agama, tersangka umumnya dijerat pasal kejahatan terhadap ketertiban umum." Anggara menyebut pasal penodaan agama sebagai aturan karet yang penafsirannya bisa mulur-mengkeret. "Pasal itu dikenal sebagai haatzaai artikelen."
Sejumlah tokoh, termasuk presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, menguji PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ke Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2009. Mereka berdalil, penetapan tersebut tak sesuai dengan tuntutan zaman karena dilahirkan di masa darurat. Penerapannya pun selalu mengancam kebebasan individu. Namun Mahkamah Konstitusi menolak uji materi itu pada 12 April 2010, antara lain dengan alasan pasal penodaan masih dibutuhkan.
Alih-alih mendengar kritik dari berbagai pihak, pemerintah kembali memasukkan pasal penodaan agama ke Rancangan Undang-Undang KUHP. Dalam draf usul pemerintah yang masih dibahas Dewan Perwakilan Rakyat, rumusan pasal penodaan agama tak banyak yang berubah. "Hanya beda di kulit. Isinya sama saja," ujar Anggara.
Dalam RUU KUHP, pasal penodaan agama hanya bergeser tempat. Pasal itu tak lagi berada pada bab "Kejahatan terhadap Ketertiban Umum". Pasal itu menjadi bab tersendiri dengan judul "Tindak Pidana terhadap Agama". Dalam draf baru, istilah "permusuhan", "penyalahgunaan", atau "penodaan" terhadap agama diganti dengan istilah "penghinaan". Ancaman hukumannya turun menjadi dua tahun penjara.
Rumusan dan ancaman hukuman pasal penghinaan agama dalam RUU KUHP belum final. Menurut Harkristuti, Panitia Kerja DPR masih berfokus menyelesaikan pasal kejahatan khusus, seperti korupsi, narkotik, dan terorisme. Ihwal kemungkinan pencabutan pasal tersebut, kata dia, bergantung pada pembahasan dan kesepakatan di DPR. "Saya kira pemerintah tak akan menutup mata," ujar Harkristuti, yang juga anggota tim asistensi KUHP yang mewakili pemerintah.
Anggota Panitia Kerja RUU KUHP, Masinton Pasaribu, mengatakan DPR masih mendalami substansi pasal penghinaan agama. Menurut dia, pasal tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi sosial politik saat ini. "Supaya tidak mudah menjadi alat kriminalisasi," ujar politikus PDI Perjuangan itu.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 15 Mei 2017
Comments