Pasal Karet Warisan Era Kolonial
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly punya optimisme tinggi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru. Di samping meyakini bahwa kitab hukum pidana baru akan lahir dalam periode pemerintahan Joko Widodo, Yasonna optimistis isi undang-undang itu akan lebih baik daripada produk hukum zaman kolonialisme Belanda. ¡±Masak, kita negara merdeka masih pakai KUHP Belanda. Ini kan memalukan,¡± kata Yasonna dalam wawancara dengan Tempo, Kamis pekan lalu.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Revisi KUHP yang dimulai pada 5 Juni 2015 telah mendekati babak akhir. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memasang target merampungkan pembahasannya tahun ini. Menurut anggota Panitia Kerja RUU KUHP DPR, Nasir Djamil, kemajuan pembahasan RUU KUHP sudah mencapai sekitar 90 persen. "Yang tersisa tinggal sejumlah pasal yang perlu pembahasan lebih lanjut," ujar Nasir.
Berbeda dengan optimisme Yasonna, rancangan akhir KUHP baru yang memiliki 786 pasal-lebih tebal ketimbang KUHP lama yang hanya 569 pasal-malah memantik kekhawatiran di kalangan pegiat kebebasan berekspresi yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP.
Anggota Aliansi, Supriyadi Widodo, menilai pembahasan RUU KUHP kali ini memang cukup cepat dibanding pembahasan pada beberapa periode DPR sebelumnya. Tapi dia tak sependapat jika isi RUU KUHP dikatakan lebih baik daripada KUHP lama. "Pengaruh KUHP Belanda justru masih kental," kata Supriyadi, yang juga Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Menurut Supriyadi, sejumlah pasal dalam rancangan baru itu justru berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Ancaman terutama datang dari sejumlah pasal seputar penghinaan, seperti penghinaan terhadap presiden-wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap pengadilan, serta penghinaan dan fitnah.
Dalam KUHP lama, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden pernah diatur dalam pasal 134, 136, dan 137. Pasal itu berisi ancaman pidana enam tahun penjara bagi siapa saja yang sengaja menghina presiden atau wakil presiden. Pasal itu tak lagi berlaku setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2007.
Pemerintah kembali memasukkan pasal "zombie" itu dalam revisi KUHP, yakni pada bab Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pemerintah punya alasan soal ini. "Agak aneh kalau presiden disamakan dengan rakyat biasa dalam soal menghadapi penghinaan," ucap anggota tim RUU KUHP dari pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo, Jumat pekan lalu.
Pasal penghinaan presiden telah dibahas tim pemerintah dan DPR dalam rapat pada 11 November 2016. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan termasuk yang lantang mendukung pasal itu. "Kita perlu menjaga kewibawaan kepala negara," kata politikus PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Namun ia memberi catatan, keinginan untuk melindungi presiden, "Jangan sampai mengekang kebebasan masyarakat."
Memang tak semua fraksi setuju dengan PDI Perjuangan. Fraksi Gerindra meminta pasal itu dihapus. Selain karena ada putusan Mahkamah Konstitusi, pasal seperti itu dianggap berpeluang menghambat kebebasan berekspresi. Selain dari Gerindra, kritik serupa datang dari Fraksi Keadilan Sejahtera, yang memperingatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dengan adanya pasal itu. Namun, menurut Harkristuti, pasal penghinaan terhadap presiden akhirnya disetujui juga. "Cuma ada perbaikan pasal," ujarnya. Nasir Djamil membenarkan pasal tersebut telah disepakati dengan perumusan ulang. "Kami akan membatasi supaya jangan jadi pasal karet," kata Nasir.
Supriyadi dan kawan-kawan menolak argumen pemerintah. "Selagi masih ada pasal penghinaan (umum), tak perlu ada pasal khusus penghinaan presiden," ujar Supriyadi seraya menyitir putusan Mahkamah Konstitusi, yang menegaskan prinsip persamaan di depan hukum.
Anggara Suwahju, pengurus ICJR lainnya, menilai pertimbangan politik sangat mempengaruhi sikap fraksi-fraksi di DPR. Dia mengutip pernyataan sejumlah politikus PDI Perjuangan yang meminta pasal itu dihapus dalam pembahasan RUU KUHP di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kini, ketika presiden berasal dari PDI Perjuangan, giliran "partai oposisi" yang menolak pasal tersebut. "Sikap partai dipengaruhi siapa yang jadi presidennya," kata Anggara.
Pasal lain yang dianggap Aliansi berpotensi membahayakan kebebasan berekspresi adalah pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah. Dalam rapat pada 17 November 2016, semua fraksi menyepakati pasal penghinaan terhadap pemerintah dengan catatan kecil saja. Menurut Nasir Djamil, pasal ini mirip dengan pasal penghinaan terhadap presiden. "Jangan sampai aparat leluasa menentukan sesuatu dikatakan menghina atau tidak menghina," tuturnya.
Pasal yang juga merisaukan aktivis kebebasan berekspresi adalah pasal tentang penghinaan terhadap proses peradilan. Pengertian contempt of court diperluas dari sekadar penghinaan di ruang sidang. Segala perbuatan yang bisa mengganggu proses peradilan, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar sidang, diancam hukuman maksimal lima tahun penjara.
Menurut Kepala Divisi Riset dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum Pers, pasal ini merupakan kemunduran dalam kebebasan berekspresi. "Pemberitaan tentang persidangan yang sedang berlangsung bisa dijerat dengan pasal ini bila dianggap mempengaruhi hakim," ucapnya.
Pasal-pasal di bab Tindak Pidana Penghinaan juga mendapat sorotan para aktivis kebebasan berekspresi. Bab ini meliputi pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, sampai penistaan terhadap orang yang sudah meninggal. Sampai akhir masa persidangan 16 Januari 2017, pasal-pasal ini belum sepenuhnya disepakati dan akan dibahas pada masa persidangan berikutnya.
Pegiat Aliansi Reformasi KUHP juga mempersoalkan pemberatan ancaman hukuman pasal-pasal penghinaan dalam RUU KUHP. Ancaman pidana fitnah, misalnya, naik dari empat tahun menjadi lima tahun penjara. "Pasal ini bisa dipakai sebagai alat yang sangat efektif untuk membungkam kritik dan mengekang kebebasan berekspresi," kata Supriyadi.
Menepis kekhawatiran para aktivis, Harkristuti mengatakan sejauh ini pemerintah dan DPR baru menyepakati "pemidanaan" dalam pasal-pasal penghinaan. Adapun ancaman hukumannya masih akan dirundingkan lagi. Harkristuti pun menegaskan KUHP baru ini tak punya semangat untuk menghukum orang yang mengkritik. "Bedakan antara menghina dan mengkritik," ujarnya.
Abdul Manan | Raymundus Rikang
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Revisi KUHP yang dimulai pada 5 Juni 2015 telah mendekati babak akhir. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memasang target merampungkan pembahasannya tahun ini. Menurut anggota Panitia Kerja RUU KUHP DPR, Nasir Djamil, kemajuan pembahasan RUU KUHP sudah mencapai sekitar 90 persen. "Yang tersisa tinggal sejumlah pasal yang perlu pembahasan lebih lanjut," ujar Nasir.
Berbeda dengan optimisme Yasonna, rancangan akhir KUHP baru yang memiliki 786 pasal-lebih tebal ketimbang KUHP lama yang hanya 569 pasal-malah memantik kekhawatiran di kalangan pegiat kebebasan berekspresi yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP.
Anggota Aliansi, Supriyadi Widodo, menilai pembahasan RUU KUHP kali ini memang cukup cepat dibanding pembahasan pada beberapa periode DPR sebelumnya. Tapi dia tak sependapat jika isi RUU KUHP dikatakan lebih baik daripada KUHP lama. "Pengaruh KUHP Belanda justru masih kental," kata Supriyadi, yang juga Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Menurut Supriyadi, sejumlah pasal dalam rancangan baru itu justru berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Ancaman terutama datang dari sejumlah pasal seputar penghinaan, seperti penghinaan terhadap presiden-wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah, penghinaan terhadap pengadilan, serta penghinaan dan fitnah.
Dalam KUHP lama, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden pernah diatur dalam pasal 134, 136, dan 137. Pasal itu berisi ancaman pidana enam tahun penjara bagi siapa saja yang sengaja menghina presiden atau wakil presiden. Pasal itu tak lagi berlaku setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 6 Desember 2007.
Pemerintah kembali memasukkan pasal "zombie" itu dalam revisi KUHP, yakni pada bab Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pemerintah punya alasan soal ini. "Agak aneh kalau presiden disamakan dengan rakyat biasa dalam soal menghadapi penghinaan," ucap anggota tim RUU KUHP dari pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo, Jumat pekan lalu.
Pasal penghinaan presiden telah dibahas tim pemerintah dan DPR dalam rapat pada 11 November 2016. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan termasuk yang lantang mendukung pasal itu. "Kita perlu menjaga kewibawaan kepala negara," kata politikus PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu. Namun ia memberi catatan, keinginan untuk melindungi presiden, "Jangan sampai mengekang kebebasan masyarakat."
Memang tak semua fraksi setuju dengan PDI Perjuangan. Fraksi Gerindra meminta pasal itu dihapus. Selain karena ada putusan Mahkamah Konstitusi, pasal seperti itu dianggap berpeluang menghambat kebebasan berekspresi. Selain dari Gerindra, kritik serupa datang dari Fraksi Keadilan Sejahtera, yang memperingatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dengan adanya pasal itu. Namun, menurut Harkristuti, pasal penghinaan terhadap presiden akhirnya disetujui juga. "Cuma ada perbaikan pasal," ujarnya. Nasir Djamil membenarkan pasal tersebut telah disepakati dengan perumusan ulang. "Kami akan membatasi supaya jangan jadi pasal karet," kata Nasir.
Supriyadi dan kawan-kawan menolak argumen pemerintah. "Selagi masih ada pasal penghinaan (umum), tak perlu ada pasal khusus penghinaan presiden," ujar Supriyadi seraya menyitir putusan Mahkamah Konstitusi, yang menegaskan prinsip persamaan di depan hukum.
Anggara Suwahju, pengurus ICJR lainnya, menilai pertimbangan politik sangat mempengaruhi sikap fraksi-fraksi di DPR. Dia mengutip pernyataan sejumlah politikus PDI Perjuangan yang meminta pasal itu dihapus dalam pembahasan RUU KUHP di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kini, ketika presiden berasal dari PDI Perjuangan, giliran "partai oposisi" yang menolak pasal tersebut. "Sikap partai dipengaruhi siapa yang jadi presidennya," kata Anggara.
Pasal lain yang dianggap Aliansi berpotensi membahayakan kebebasan berekspresi adalah pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah. Dalam rapat pada 17 November 2016, semua fraksi menyepakati pasal penghinaan terhadap pemerintah dengan catatan kecil saja. Menurut Nasir Djamil, pasal ini mirip dengan pasal penghinaan terhadap presiden. "Jangan sampai aparat leluasa menentukan sesuatu dikatakan menghina atau tidak menghina," tuturnya.
Pasal yang juga merisaukan aktivis kebebasan berekspresi adalah pasal tentang penghinaan terhadap proses peradilan. Pengertian contempt of court diperluas dari sekadar penghinaan di ruang sidang. Segala perbuatan yang bisa mengganggu proses peradilan, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar sidang, diancam hukuman maksimal lima tahun penjara.
Menurut Kepala Divisi Riset dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum Pers, pasal ini merupakan kemunduran dalam kebebasan berekspresi. "Pemberitaan tentang persidangan yang sedang berlangsung bisa dijerat dengan pasal ini bila dianggap mempengaruhi hakim," ucapnya.
Pasal-pasal di bab Tindak Pidana Penghinaan juga mendapat sorotan para aktivis kebebasan berekspresi. Bab ini meliputi pencemaran, fitnah, penghinaan ringan, sampai penistaan terhadap orang yang sudah meninggal. Sampai akhir masa persidangan 16 Januari 2017, pasal-pasal ini belum sepenuhnya disepakati dan akan dibahas pada masa persidangan berikutnya.
Pegiat Aliansi Reformasi KUHP juga mempersoalkan pemberatan ancaman hukuman pasal-pasal penghinaan dalam RUU KUHP. Ancaman pidana fitnah, misalnya, naik dari empat tahun menjadi lima tahun penjara. "Pasal ini bisa dipakai sebagai alat yang sangat efektif untuk membungkam kritik dan mengekang kebebasan berekspresi," kata Supriyadi.
Menepis kekhawatiran para aktivis, Harkristuti mengatakan sejauh ini pemerintah dan DPR baru menyepakati "pemidanaan" dalam pasal-pasal penghinaan. Adapun ancaman hukumannya masih akan dirundingkan lagi. Harkristuti pun menegaskan KUHP baru ini tak punya semangat untuk menghukum orang yang mengkritik. "Bedakan antara menghina dan mengkritik," ujarnya.
Abdul Manan | Raymundus Rikang
Majalah Tempo, Edisi 6 Maret 2017
Comments