Buntut Liar Rapat Papua
RENCANA pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu melalui rekonsiliasi segera mendapat tantangan. Begitu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengutarakan rencana itu, Senin malam pekan lalu, keluarga korban dan pegiat hak asasi kontan bereaksi.
"Tak ada cara untuk membuat jera pelaku selain lewat hukum," kata Maria Catarina Sumarsih di sela-sela penyampaian laporan ke Ombudsman Republik Indonesia, Kamis pekan lalu. Sumarsih, 64 tahun, adalah ibu kandung Bernardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam tragedi Semanggi I pada 1998.
Sumarsih mengadukan Wiranto dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ke Ombudsman bersama Jaringan Solidaritas Keluarga Korban Pelanggaran HAM untuk Keadilan, Setara Institute, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Keluarga korban dan pegiat hak asasi menilai pemerintah dan Komnas HAM mengabaikan kewajibannya karena bersepakat menempuh rekonsiliasi, bukan jalur hukum. "Rekonsiliasi sebagai penyelesaian kasus bisa semakin melemahkan supremasi hukum," ujar Koordinator Kontras Harris Azhar.
Komnas HAM mengakui telah menyodorkan usul draf rekonsiliasi kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. "Tapi tak ada kesepakatan bahwa jalur nonyudisial menjadi satu-satunya jalan penyelesaian," kata Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat.
Adapun Wiranto, Panglima Tentara Nasional Indonesia di masa peralihan dari era Orde Baru ke era Reformasi, menanggapi dengan santai pengaduan Sumarsih dan kawan-kawan. "Mau dilaporkan ke mana saja silakan," ujar Wiranto seraya menambahkan bahwa rencana pemerintah sudah tepat.
PERTEMUAN Senin pekan lalu itu bermula dari surat Komnas Hak Asasi Manusia kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dua pekan sebelumnya. Komnas HAM mempertanyakan badan baru yang digagas Wiranto, Dewan Kerukunan Nasional. Surat itu berbalas undangan rapat terbatas dari Kementerian. Agendanya: penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi.
Di samping Wiranto beserta deputi dan tim ahlinya, hadir dalam pertemuan tersebut wakil dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta utusan Markas Besar TNI. Adapun komisioner Komnas HAM yang hadir adalah Imdadun, Roichatul Aswidah, Nur Kholis, Nurkhoiron, dan Siti Noor Laila.
Wiranto membuka rapat dengan menjelaskan rencana penanganan 12 kasus dugaan pelanggaran hak asasi di Papua dan Papua Barat. Menurut Wiranto, ada tujuh kasus yang tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat-empat kasus di antaranya malah tidak bermasalah secara hukum. Dua kasus masih dalam kajian Kejaksaan Agung. Adapun tiga kasus lainnya, yang diduga termasuk kategori pelanggaran HAM berat, ditangani Komnas HAM. Ketiganya adalah kasus Wasior (2001), Wamena (2002), dan Paniai (2014).
Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, menurut Imdadun, sepakat meneruskan kasus Wamena dan Wasior ke jalur hukum. Kesepakatan itu tercapai dalam pertemuan Komnas HAM dengan Jaksa Agung M. Prasetyo pada pertengahan Desember 2016. "Jaksa Agung merekomendasikan berkas kasus Wamena dan Wasior dibuat terpisah," kata Roichatul.
Rapat di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan semula tak menyinggung kasus dugaan pelanggaran hak asasi di luar Papua. Kesimpulan rapat lantas dituangkan dalam naskah siaran pers dua halaman berjudul "Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2016". "Saya ikut mengoreksi draf siaran pers itu," ujar Imdadun.
Selesai membahas kasus Papua, Komnas HAM baru menyinggung enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Keenam kasus itu adalah Peristiwa Trisakti, Semanggi I, (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998); Peristiwa Talangsari, Lampung (1989); Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); serta Peristiwa 1965-1966.
Pengusutan enam kasus ini berkali-kali menemui jalan buntu. Terakhir, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung melakukan gelar perkara pada awal 2016. Tapi kali ini pun kedua lembaga itu tak mencapai titik temu. Komnas menganggap ada perbedaan pandangan hukum di antara kedua lembaga. Adapun Kejaksaan Agung punya alasan lain. "Syarat formil dan materiilnya belum dipenuhi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum, Jumat pekan lalu.
Karena upaya penyelesaian hukum terus membentur tembok, Komnas HAM mengusulkan rancangan penyelesaian alternatif. "Konsepnya seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," ucap Imdadun. Masalahnya, payung hukum usulan Komnas HAM telah lama rontok. Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.
Penyelesaian lewat jalur rekonsiliasi bukan sepenuhnya inisiatif baru. Jaksa Agung Prasetyo pernah menyampaikan rancangan rekonsiliasi dalam rapat koordinasi terbatas tingkat menteri pada 2 Juli 2015. Namun konsep rekonsiliasi versi Jaksa Agung tak didahului tahapan "pengungkapan kebenaran" dan penuntutan atas pelaku pelanggaran HAM berat.
Jaksa Agung waktu itu mengusulkan empat tahap rekonsiliasi. Pertama, pemerintah atau negara mengakui telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Kedua, negara meminta maaf kepada korban atau keluarganya. Ketiga, negara menjamin peristiwa serupa tak akan terulang. Terakhir, negara memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban atau keluarganya.
Kini Komnas HAM mengusulkan konsep rekonsiliasi yang agak berbeda. Menurut Imdadun, rekonsiliasi harus difasilitasi sebuah komite atau badan independen agar hasilnya bisa diterima semua pihak. "Badan itu juga mesti memiliki kewenangan yang cukup kuat sehingga bisa melakukan pemanggilan atau pemeriksaan," katanya.
Tahapan rekonsiliasi versi Komnas HAM adalah sebagai berikut. Pertama, pengungkapan peristiwa yang diikuti oleh saling memaafkan antara pelaku dan korban. Kedua, presiden atas nama negara menyampaikan pernyataan penyesalan atas apa yang terjadi di masa lalu. Ketiga, perubahan kebijakan agar kasus serupa tak terulang. Keempat, rehabilitasi terhadap korban, melalui pemulihan nama baik, pengembalian hak korban, atau pemberian kompensasi. "Kompensasi menyesuaikan dengan kemampuan negara," tutur Imdadun.
Komnas HAM menganggap konsep rekonsiliasi yang mereka usung tergolong moderat dan mengakomodasi semua kepentingan. Bila mengadopsi konsep rekonsiliasi Afrika Selatan, Imdadun mencontohkan, dalam tahap pengungkapan peristiwa, pelaku bisa diproses secara hukum. "Dalam usulan kami, tidak ada langkah itu," ujarnya.
Komisioner Roichatul Aswidah menambahkan, Komnas HAM telah menampung masukan dan keberatan banyak pihak. Tahap "pengungkapan peristiwa", misalnya, awalnya diberi nama "pengungkapan kebenaran". "Istilahnya diubah agar tak ada yang mengklaim benar atau salah," kata Roichatul. Sebelumnya juga ada tahapan "permintaan maaf" oleh presiden. "Rumusannya diubah menjadi ’pernyataan penyesalan’."
Komnas HAM menyampaikan draf rekonsiliasi kepada Wiranto pada rapat Senin pekan lalu. Namun draf tersebut tak sempat dibahas. Dalam pertemuan selama dua jam itu, Wiranto berfokus membahas Dewan Kerukunan Nasional. Komnas, menurut Roichatul, memberi masukan bahwa Dewan Kerukunan Nasional bisa tumpang-tindih dengan badan lain yang dimandatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Sesuai dengan kesepakatan, pertemuan diakhiri dengan jumpa pers. Semula Wiranto membacakan siaran pers khusus soal Papua. Di luar skenario, ia berbicara tentang pelanggaran HAM berat masa lalu setelah mendapat pertanyaan wartawan. "Kami ingin menyelesaikan masalah tanpa masalah, baru melalui penyelesaian nonyudisial," kata Wiranto.
Pernyataan Wiranto itulah yang memicu protes keluarga korban dan organisasi hak asasi. Karena hadir dalam jumpa pers, Komnas HAM turut kena getahnya dan dianggap menyepakati jalan nonyudisial untuk kasus pelanggaran HAM berat. Roichatul menampik adanya kesepakatan seperti itu. "Bagi kami, rekonsiliasi juga tak lantas membuat proses hukum berhenti," ujarnya.
ABDUL MANAN, YOHANES PASKALIS
Tulisan dimuat di Majalah Tempo edisi 6 Februari 2017. File bisa dibaca di sini.
"Tak ada cara untuk membuat jera pelaku selain lewat hukum," kata Maria Catarina Sumarsih di sela-sela penyampaian laporan ke Ombudsman Republik Indonesia, Kamis pekan lalu. Sumarsih, 64 tahun, adalah ibu kandung Bernardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam tragedi Semanggi I pada 1998.
Sumarsih mengadukan Wiranto dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ke Ombudsman bersama Jaringan Solidaritas Keluarga Korban Pelanggaran HAM untuk Keadilan, Setara Institute, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Keluarga korban dan pegiat hak asasi menilai pemerintah dan Komnas HAM mengabaikan kewajibannya karena bersepakat menempuh rekonsiliasi, bukan jalur hukum. "Rekonsiliasi sebagai penyelesaian kasus bisa semakin melemahkan supremasi hukum," ujar Koordinator Kontras Harris Azhar.
Komnas HAM mengakui telah menyodorkan usul draf rekonsiliasi kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. "Tapi tak ada kesepakatan bahwa jalur nonyudisial menjadi satu-satunya jalan penyelesaian," kata Ketua Komnas HAM M. Imdadun Rahmat.
Adapun Wiranto, Panglima Tentara Nasional Indonesia di masa peralihan dari era Orde Baru ke era Reformasi, menanggapi dengan santai pengaduan Sumarsih dan kawan-kawan. "Mau dilaporkan ke mana saja silakan," ujar Wiranto seraya menambahkan bahwa rencana pemerintah sudah tepat.
PERTEMUAN Senin pekan lalu itu bermula dari surat Komnas Hak Asasi Manusia kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dua pekan sebelumnya. Komnas HAM mempertanyakan badan baru yang digagas Wiranto, Dewan Kerukunan Nasional. Surat itu berbalas undangan rapat terbatas dari Kementerian. Agendanya: penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi.
Di samping Wiranto beserta deputi dan tim ahlinya, hadir dalam pertemuan tersebut wakil dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta utusan Markas Besar TNI. Adapun komisioner Komnas HAM yang hadir adalah Imdadun, Roichatul Aswidah, Nur Kholis, Nurkhoiron, dan Siti Noor Laila.
Wiranto membuka rapat dengan menjelaskan rencana penanganan 12 kasus dugaan pelanggaran hak asasi di Papua dan Papua Barat. Menurut Wiranto, ada tujuh kasus yang tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat-empat kasus di antaranya malah tidak bermasalah secara hukum. Dua kasus masih dalam kajian Kejaksaan Agung. Adapun tiga kasus lainnya, yang diduga termasuk kategori pelanggaran HAM berat, ditangani Komnas HAM. Ketiganya adalah kasus Wasior (2001), Wamena (2002), dan Paniai (2014).
Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, menurut Imdadun, sepakat meneruskan kasus Wamena dan Wasior ke jalur hukum. Kesepakatan itu tercapai dalam pertemuan Komnas HAM dengan Jaksa Agung M. Prasetyo pada pertengahan Desember 2016. "Jaksa Agung merekomendasikan berkas kasus Wamena dan Wasior dibuat terpisah," kata Roichatul.
Rapat di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan semula tak menyinggung kasus dugaan pelanggaran hak asasi di luar Papua. Kesimpulan rapat lantas dituangkan dalam naskah siaran pers dua halaman berjudul "Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2016". "Saya ikut mengoreksi draf siaran pers itu," ujar Imdadun.
Selesai membahas kasus Papua, Komnas HAM baru menyinggung enam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Keenam kasus itu adalah Peristiwa Trisakti, Semanggi I, (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998); Peristiwa Talangsari, Lampung (1989); Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); serta Peristiwa 1965-1966.
Pengusutan enam kasus ini berkali-kali menemui jalan buntu. Terakhir, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung melakukan gelar perkara pada awal 2016. Tapi kali ini pun kedua lembaga itu tak mencapai titik temu. Komnas menganggap ada perbedaan pandangan hukum di antara kedua lembaga. Adapun Kejaksaan Agung punya alasan lain. "Syarat formil dan materiilnya belum dipenuhi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum, Jumat pekan lalu.
Karena upaya penyelesaian hukum terus membentur tembok, Komnas HAM mengusulkan rancangan penyelesaian alternatif. "Konsepnya seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," ucap Imdadun. Masalahnya, payung hukum usulan Komnas HAM telah lama rontok. Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.
Penyelesaian lewat jalur rekonsiliasi bukan sepenuhnya inisiatif baru. Jaksa Agung Prasetyo pernah menyampaikan rancangan rekonsiliasi dalam rapat koordinasi terbatas tingkat menteri pada 2 Juli 2015. Namun konsep rekonsiliasi versi Jaksa Agung tak didahului tahapan "pengungkapan kebenaran" dan penuntutan atas pelaku pelanggaran HAM berat.
Jaksa Agung waktu itu mengusulkan empat tahap rekonsiliasi. Pertama, pemerintah atau negara mengakui telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Kedua, negara meminta maaf kepada korban atau keluarganya. Ketiga, negara menjamin peristiwa serupa tak akan terulang. Terakhir, negara memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban atau keluarganya.
Kini Komnas HAM mengusulkan konsep rekonsiliasi yang agak berbeda. Menurut Imdadun, rekonsiliasi harus difasilitasi sebuah komite atau badan independen agar hasilnya bisa diterima semua pihak. "Badan itu juga mesti memiliki kewenangan yang cukup kuat sehingga bisa melakukan pemanggilan atau pemeriksaan," katanya.
Tahapan rekonsiliasi versi Komnas HAM adalah sebagai berikut. Pertama, pengungkapan peristiwa yang diikuti oleh saling memaafkan antara pelaku dan korban. Kedua, presiden atas nama negara menyampaikan pernyataan penyesalan atas apa yang terjadi di masa lalu. Ketiga, perubahan kebijakan agar kasus serupa tak terulang. Keempat, rehabilitasi terhadap korban, melalui pemulihan nama baik, pengembalian hak korban, atau pemberian kompensasi. "Kompensasi menyesuaikan dengan kemampuan negara," tutur Imdadun.
Komnas HAM menganggap konsep rekonsiliasi yang mereka usung tergolong moderat dan mengakomodasi semua kepentingan. Bila mengadopsi konsep rekonsiliasi Afrika Selatan, Imdadun mencontohkan, dalam tahap pengungkapan peristiwa, pelaku bisa diproses secara hukum. "Dalam usulan kami, tidak ada langkah itu," ujarnya.
Komisioner Roichatul Aswidah menambahkan, Komnas HAM telah menampung masukan dan keberatan banyak pihak. Tahap "pengungkapan peristiwa", misalnya, awalnya diberi nama "pengungkapan kebenaran". "Istilahnya diubah agar tak ada yang mengklaim benar atau salah," kata Roichatul. Sebelumnya juga ada tahapan "permintaan maaf" oleh presiden. "Rumusannya diubah menjadi ’pernyataan penyesalan’."
Komnas HAM menyampaikan draf rekonsiliasi kepada Wiranto pada rapat Senin pekan lalu. Namun draf tersebut tak sempat dibahas. Dalam pertemuan selama dua jam itu, Wiranto berfokus membahas Dewan Kerukunan Nasional. Komnas, menurut Roichatul, memberi masukan bahwa Dewan Kerukunan Nasional bisa tumpang-tindih dengan badan lain yang dimandatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Sesuai dengan kesepakatan, pertemuan diakhiri dengan jumpa pers. Semula Wiranto membacakan siaran pers khusus soal Papua. Di luar skenario, ia berbicara tentang pelanggaran HAM berat masa lalu setelah mendapat pertanyaan wartawan. "Kami ingin menyelesaikan masalah tanpa masalah, baru melalui penyelesaian nonyudisial," kata Wiranto.
Pernyataan Wiranto itulah yang memicu protes keluarga korban dan organisasi hak asasi. Karena hadir dalam jumpa pers, Komnas HAM turut kena getahnya dan dianggap menyepakati jalan nonyudisial untuk kasus pelanggaran HAM berat. Roichatul menampik adanya kesepakatan seperti itu. "Bagi kami, rekonsiliasi juga tak lantas membuat proses hukum berhenti," ujarnya.
ABDUL MANAN, YOHANES PASKALIS
Tulisan dimuat di Majalah Tempo edisi 6 Februari 2017. File bisa dibaca di sini.
Comments