Buntut Panjang Pertanyaan Donatur
PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk tak menyia-nyiakan waktu tenggang 14 hari untuk menanggapi putusan Komisi Informasi Pusat. Memakai jasa firma hukum Ihza & Ihza, pemilik jaringan retail Alfamart dan Alfamidi ini mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa pekan lalu. "Klien kami bukan badan publik," kata Adria Indra Cahyadi, pengacara dari Ihza & Ihza, Kamis pekan lalu.
Dalam sidang pada 19 Desember 2016, Komisi Informasi menyatakan PT Alfaria sebagai badan publik karena menggalang donasi dari pelanggan Alfamart. Karena itu, Komisi meminta perusahaan membuka semua laporan pengumpulan dana tersebut. Putusan Komisi ini mengabulkan permohonan Mustolih Siradj, warga Depok yang pernah menyumbang lewat gerai Alfamart.
Sehari-hari Mustolih mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang. Ini bukan pertama kalinya pria 36 tahun itu memperkarakan hal serupa. Pada 2014, Mustolih memperkarakan sebuah lembaga pendidikan yang menggalang zakat dan sumbangan. Perkara itu selesai melalui mediasi di Komisi Informasi pada 2015.
Mustolih punya ide mempersoalkan Alfamart setelah beberapa kali berbelanja di gerai itu. Seusai belanja, ia kerap ditanya kasir apakah uang kembaliannya di bawah Rp 500 akan didonasikan. Mustolih bersedia menyumbangkan uang recehan itu. Tapi, dalam satu kesempatan, ia bertanya ke mana uang itu akan disalurkan. Mustolih tak puas terhadap jawaban "tidak tahu" seorang kasir. Karena itu, pada 26 Oktober 2015, Mustolih mengirim surat kepada PT Alfaria.
Melampirkan bukti donasinya, Mustolih meminta sebelas jenis informasi kepada PT Alfaria, antara lain informasi tentang legalitas izin pengumpulan dana, laporan pengumpulan dan penggunaan donasi, serta jumlah dan nama penerima manfaat donasi. PT Alfaria menjawab surat itu pada 4 November 2015. Intinya, perusahaan itu menyatakan tak bisa memenuhi permohonan Mustolih. Alasannya, laporan donasi sudah disampaikan secara terbuka melalui website Alfaria dan dimuat di sejumlah media online. "Dari sebelas informasi yang diminta, tak satu pun yang diberikan," ujar Mustolih.
Tak puas atas jawaban Alfaria, Mustolih mengulangi permintaannya melalui surat pada 30 November 2015. Kali ini, surat Mustolih tak mendapat balasan. Karena itu, pada 2 Maret 2016, Mustolih mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat.
Sidang kasus ini mulai berlangsung pada Oktober 2016. Tiga komisioner Komisi Informasi yang memeriksa permohonan Mustolih adalah Dyah Aryani, Yhannu Setyawan, dan Evy Trisusilo.
Dalam permohonannya, Mustolih menyatakan Alfaria merupakan badan publik karena sebagian dananya berasal dari sumbangan masyarakat. Karena itu, menurut dia, Alfaria seharusnya mempertanggungjawabkan segala aspek tentang pengumpulan dan penyaluran donasi kepada publik.
Sebaliknya, dalam sidang di Komisi Informasi, perwakilan PT Alfaria menolak perusahaannya dikategorikan sebagai badan publik. Alasannya, kegiatan usaha perseroan sama sekali tidak didanai anggaran negara atau sumbangan masyarakat. Uang hasil donasi pun tak masuk neraca keuangan perusahaan karena semuanya dikelola yayasan penyalur. Adapun pertanyaan detail soal donasi, menurut PT Alfaria, bisa diajukan ke yayasan yang menyalurkan dana.
Mustolih juga tahu bahwa Alfaria telah mengumumkan hasil donasinya melalui situs resminya. Pada 2015, misalnya, Alfamart mengumpulkan donasi Rp 33 miliar. Dana disalurkan ke delapan yayasan, antara lain untuk pembangunan sekolah dan jembatan. Menurut Mustolih, laporan secara garis besar itu tak memadai. Ia menginginkan laporan yang lebih detail. Mustolih juga menilai aneh jika informasi detail itu harus ditanyakan ke yayasan. "Saya menyumbang di Alfamart. Masak, minta laporannya ke lembaga lain?" katanya.
Dalam putusannya, Komisi Informasi menyatakan PT Alfaria memenuhi syarat sebagai badan publik. Karena itu, Komisi meminta Alfamart memberikan sebelas jenis informasi yang dimohonkan Mustolih. "Sepanjang melakukan kegiatan donasi harus dinyatakan sebagai badan publik," ujar Dyah, Rabu dua pekan lalu. Ia mengutip Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tentang kriteria badan publik, yaitu badan yang sebagian dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau masyarakat.
Menurut Dyah, majelis komisioner juga mempertimbangkan PT Alfaria sebagai perseroan yang berhak menjaga kerahasiaan informasi, terutama yang berkaitan dengan persaingan usaha. Karena itu, Komisi Informasi tak meminta Alfaria membuka seluruh informasinya. "Yang dinyatakan terbuka hanya sebelas informasi yang berkaitan dengan donasi," ujar Dyah menjawab kekhawatiran PT Alfaria bahwa permintaan Mustolih bisa membuka rahasia perusahaan.
Putusan Komisi Informasi tidak bulat. Komisioner Evy Trisusilo menyatakan pendapat berbeda. Menurut dia, PT Alfaria tak bisa digolongkan sebagai badan publik karena sumber dananya dari pemegang saham dan penanam modal. Sedangkan dana sumbangan tidak masuk neraca keuangan perusahaan.
Menerima putusan Komisi Informasi pada 23 Desember 2016, PT Alfaria langsung menyatakan keberatan. Sekretaris Perusahaan PT Alfaria, Nur Rahman, mengatakan perusahaannya telah menyampaikan semua laporan keuangan kepada pemegang saham dan Otoritas Jasa Keuangan. "Sebagai perusahaan terbuka, kami telah memenuhi kewajiban," kata Nur Rahman. Adapun laporan penggalangan dana, menurut Nur Rahman, sudah perusahaan sampaikan ke Kementerian Sosial.
Kuasa hukum PT Alfaria, Adria Indra Cahyadi, juga menegaskan bahwa PT Alfaria bukan badan publik. Dana masyarakat yang dikumpulkan di gerai Alfamart, menurut dia, sama sekali tak bercampur dengan uang perusahaan. PT Alfaria juga tak pernah memakai biaya operasional--10 persen dari dana hasil donasi--yang diizinkan Kementerian Sosial. "Dana operasional itu digunakan oleh yayasan," ujar Adria.
Kementerian Sosial membenarkan, Alfamart dan lembaga penyalur dana sudah menyampaikan laporan penerimaan serta penyaluran dana hasil donasi. "Alfamart hanya sebagai penghimpun dana," kata Serimika Br. Karo, Kepala Subdirektorat Perizinan dan Pengumpulan Kementerian Sosial, Kamis pekan lalu. Bila ada penyumbang yang meminta informasi seperti Mustolih, menurut Serimika, Alfamart bisa mengarahkannya ke Kementerian Sosial sebagai regulator dan pemberi izin.
Putusan sengketa informasi ini rupanya membuat gelisah pengurus yayasan penerima uang hasil donasi. Salah satunya Yayasan Anak Kanker Indonesia. "Bagaimana jika nanti tak ada gerai retail yang mau jadi tempat donasi?" kata pendiri Yayasan, Ira Soelistyo. "Siapa yang akan membantu organisasi kami?"
Ira menerangkan, Yayasan Anak Kanker Indonesia mendapat sumbangan Rp 1,5 miliar dari hasil donasi Alfamart periode 16 Januari-15 Februari 2014. Yayasan kemudian menerima sumbangan Rp 2,3 miliar dari hasil donasi periode 1-31 Januari 2015. Yayasan telah memakai dana tersebut antara lain untuk membangun rumah singgah di Makassar, Pekanbaru, Malang, dan Semarang. Sebagian uang lainnya dipakai untuk membantu pengobatan dan pembiayaan sekolah anak penderita kanker. "Donasi itu sangat membantu," ucap Ira.
Mustolih menepis kekhawatiran Ira. Ia mengaku tidak anti-penggalangan dana publik. "Saya sangat mendukung," ujar Mustolih. "Yang saya persoalkan adalah legalitas penggalangan dan transparansi pengelolaannya." Mustolih pun menyebut langkahnya sebagai upaya agar uang hasil donasi tepat sasaran dan penggalang dana tetap dipercaya masyarakat.
Abdul Manan
Dimuat di Majalah Tempo edisi 16-22 Januari 2017
Dalam sidang pada 19 Desember 2016, Komisi Informasi menyatakan PT Alfaria sebagai badan publik karena menggalang donasi dari pelanggan Alfamart. Karena itu, Komisi meminta perusahaan membuka semua laporan pengumpulan dana tersebut. Putusan Komisi ini mengabulkan permohonan Mustolih Siradj, warga Depok yang pernah menyumbang lewat gerai Alfamart.
Sehari-hari Mustolih mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang. Ini bukan pertama kalinya pria 36 tahun itu memperkarakan hal serupa. Pada 2014, Mustolih memperkarakan sebuah lembaga pendidikan yang menggalang zakat dan sumbangan. Perkara itu selesai melalui mediasi di Komisi Informasi pada 2015.
Mustolih punya ide mempersoalkan Alfamart setelah beberapa kali berbelanja di gerai itu. Seusai belanja, ia kerap ditanya kasir apakah uang kembaliannya di bawah Rp 500 akan didonasikan. Mustolih bersedia menyumbangkan uang recehan itu. Tapi, dalam satu kesempatan, ia bertanya ke mana uang itu akan disalurkan. Mustolih tak puas terhadap jawaban "tidak tahu" seorang kasir. Karena itu, pada 26 Oktober 2015, Mustolih mengirim surat kepada PT Alfaria.
Melampirkan bukti donasinya, Mustolih meminta sebelas jenis informasi kepada PT Alfaria, antara lain informasi tentang legalitas izin pengumpulan dana, laporan pengumpulan dan penggunaan donasi, serta jumlah dan nama penerima manfaat donasi. PT Alfaria menjawab surat itu pada 4 November 2015. Intinya, perusahaan itu menyatakan tak bisa memenuhi permohonan Mustolih. Alasannya, laporan donasi sudah disampaikan secara terbuka melalui website Alfaria dan dimuat di sejumlah media online. "Dari sebelas informasi yang diminta, tak satu pun yang diberikan," ujar Mustolih.
Tak puas atas jawaban Alfaria, Mustolih mengulangi permintaannya melalui surat pada 30 November 2015. Kali ini, surat Mustolih tak mendapat balasan. Karena itu, pada 2 Maret 2016, Mustolih mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat.
Sidang kasus ini mulai berlangsung pada Oktober 2016. Tiga komisioner Komisi Informasi yang memeriksa permohonan Mustolih adalah Dyah Aryani, Yhannu Setyawan, dan Evy Trisusilo.
Dalam permohonannya, Mustolih menyatakan Alfaria merupakan badan publik karena sebagian dananya berasal dari sumbangan masyarakat. Karena itu, menurut dia, Alfaria seharusnya mempertanggungjawabkan segala aspek tentang pengumpulan dan penyaluran donasi kepada publik.
Sebaliknya, dalam sidang di Komisi Informasi, perwakilan PT Alfaria menolak perusahaannya dikategorikan sebagai badan publik. Alasannya, kegiatan usaha perseroan sama sekali tidak didanai anggaran negara atau sumbangan masyarakat. Uang hasil donasi pun tak masuk neraca keuangan perusahaan karena semuanya dikelola yayasan penyalur. Adapun pertanyaan detail soal donasi, menurut PT Alfaria, bisa diajukan ke yayasan yang menyalurkan dana.
Mustolih juga tahu bahwa Alfaria telah mengumumkan hasil donasinya melalui situs resminya. Pada 2015, misalnya, Alfamart mengumpulkan donasi Rp 33 miliar. Dana disalurkan ke delapan yayasan, antara lain untuk pembangunan sekolah dan jembatan. Menurut Mustolih, laporan secara garis besar itu tak memadai. Ia menginginkan laporan yang lebih detail. Mustolih juga menilai aneh jika informasi detail itu harus ditanyakan ke yayasan. "Saya menyumbang di Alfamart. Masak, minta laporannya ke lembaga lain?" katanya.
Dalam putusannya, Komisi Informasi menyatakan PT Alfaria memenuhi syarat sebagai badan publik. Karena itu, Komisi meminta Alfamart memberikan sebelas jenis informasi yang dimohonkan Mustolih. "Sepanjang melakukan kegiatan donasi harus dinyatakan sebagai badan publik," ujar Dyah, Rabu dua pekan lalu. Ia mengutip Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik tentang kriteria badan publik, yaitu badan yang sebagian dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau masyarakat.
Menurut Dyah, majelis komisioner juga mempertimbangkan PT Alfaria sebagai perseroan yang berhak menjaga kerahasiaan informasi, terutama yang berkaitan dengan persaingan usaha. Karena itu, Komisi Informasi tak meminta Alfaria membuka seluruh informasinya. "Yang dinyatakan terbuka hanya sebelas informasi yang berkaitan dengan donasi," ujar Dyah menjawab kekhawatiran PT Alfaria bahwa permintaan Mustolih bisa membuka rahasia perusahaan.
Putusan Komisi Informasi tidak bulat. Komisioner Evy Trisusilo menyatakan pendapat berbeda. Menurut dia, PT Alfaria tak bisa digolongkan sebagai badan publik karena sumber dananya dari pemegang saham dan penanam modal. Sedangkan dana sumbangan tidak masuk neraca keuangan perusahaan.
Menerima putusan Komisi Informasi pada 23 Desember 2016, PT Alfaria langsung menyatakan keberatan. Sekretaris Perusahaan PT Alfaria, Nur Rahman, mengatakan perusahaannya telah menyampaikan semua laporan keuangan kepada pemegang saham dan Otoritas Jasa Keuangan. "Sebagai perusahaan terbuka, kami telah memenuhi kewajiban," kata Nur Rahman. Adapun laporan penggalangan dana, menurut Nur Rahman, sudah perusahaan sampaikan ke Kementerian Sosial.
Kuasa hukum PT Alfaria, Adria Indra Cahyadi, juga menegaskan bahwa PT Alfaria bukan badan publik. Dana masyarakat yang dikumpulkan di gerai Alfamart, menurut dia, sama sekali tak bercampur dengan uang perusahaan. PT Alfaria juga tak pernah memakai biaya operasional--10 persen dari dana hasil donasi--yang diizinkan Kementerian Sosial. "Dana operasional itu digunakan oleh yayasan," ujar Adria.
Kementerian Sosial membenarkan, Alfamart dan lembaga penyalur dana sudah menyampaikan laporan penerimaan serta penyaluran dana hasil donasi. "Alfamart hanya sebagai penghimpun dana," kata Serimika Br. Karo, Kepala Subdirektorat Perizinan dan Pengumpulan Kementerian Sosial, Kamis pekan lalu. Bila ada penyumbang yang meminta informasi seperti Mustolih, menurut Serimika, Alfamart bisa mengarahkannya ke Kementerian Sosial sebagai regulator dan pemberi izin.
Putusan sengketa informasi ini rupanya membuat gelisah pengurus yayasan penerima uang hasil donasi. Salah satunya Yayasan Anak Kanker Indonesia. "Bagaimana jika nanti tak ada gerai retail yang mau jadi tempat donasi?" kata pendiri Yayasan, Ira Soelistyo. "Siapa yang akan membantu organisasi kami?"
Ira menerangkan, Yayasan Anak Kanker Indonesia mendapat sumbangan Rp 1,5 miliar dari hasil donasi Alfamart periode 16 Januari-15 Februari 2014. Yayasan kemudian menerima sumbangan Rp 2,3 miliar dari hasil donasi periode 1-31 Januari 2015. Yayasan telah memakai dana tersebut antara lain untuk membangun rumah singgah di Makassar, Pekanbaru, Malang, dan Semarang. Sebagian uang lainnya dipakai untuk membantu pengobatan dan pembiayaan sekolah anak penderita kanker. "Donasi itu sangat membantu," ucap Ira.
Mustolih menepis kekhawatiran Ira. Ia mengaku tidak anti-penggalangan dana publik. "Saya sangat mendukung," ujar Mustolih. "Yang saya persoalkan adalah legalitas penggalangan dan transparansi pengelolaannya." Mustolih pun menyebut langkahnya sebagai upaya agar uang hasil donasi tepat sasaran dan penggalang dana tetap dipercaya masyarakat.
Abdul Manan
Dimuat di Majalah Tempo edisi 16-22 Januari 2017
Comments