Penghapus Peta Laju Tembakau
AZAS Tigor Nainggolan mengetahui kabar baik itu tak langsung dari Mahkamah Agung. Seorang anggota staf kantor Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), yang rutin memantau situs MA, memberi tahu pengacara publik ini. "Kasus uji materi kita menang," kata Tigor menirukan anggota staf yang kegirangan, Selasa pekan lalu.
Sekelompok pegiat pengendalian bahaya tembakau di Indonesia mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung pada April lalu. Mereka menggugat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau 2015-2020. Tigor adalah salah satu dari 15 kuasa hukum dalam permohonan uji materi ini.
Dalam aturan yang diteken Menteri Perindustrian Saleh Husin pada 10 Agustus 2015, produksi rokok Indonesia diproyeksikan naik rata-rata 5-7 persen dalam lima tahun. Pada 2020, produksi rokok diproyeksikan menjadi 524,2 miliar batang, melonjak dari produksi 2015 yang hanya 398,6 miliar batang.
Peraturan menteri itu mengejutkan kalangan aktivis yang peduli isu pengendalian tembakau. Koordinator Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok, Kartono Mohamad, yang pertama berbagi informasi soal peraturan menteri itu. "Sangat mengejutkan. Tak ada negara di dunia yang ingin meningkatkan produksi rokok melalui peraturan perundangan," ujar Widyastuti Soerojo, wakil Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, yang mendapat kabar dari Kartono.
Menanggapi kebijakan tersebut, kalangan pegiat pengendalian tembakau segera merapatkan barisan. "Akhir November 2015, kami menggelar rapat," kata Hery Chariansyah, Direktur Rumah Kajian Advokasi Kerakyatan Indonesia yang juga sekretaris Koalisi Rakyat Bersatu, Kamis pekan lalu.
Selama empat jam, peserta rapat berbagi pendapat. Mereka umumnya khawatir target menaikkan produksi rokok pada akhirnya akan membahayakan anak-anak. "Anak-anak dan perokok pemula selalu menjadi sasaran empuk," ujar Hery. Ia mengutip data perokok usia 10-14 tahun yang meningkat 68,5 persen selama 2001-2013. Adapun perokok usia 15-19 tahun meningkat sekitar 37,3 persen. Berangkat dari kekhawatiran bersama, peserta rapat sepakat untuk mengirimkan teguran (somasi) kepada Menteri Perindustrian.
Somasi pertama mereka kirimkan pada 4 Januari 2016. Somasi mempertanyakan proyeksi produksi rokok yang diperkirakan berdampak pada naiknya jumlah perokok dan pencantuman kretek sebagai warisan budaya bangsa. Koalisi pun meminta Menteri mencabut peraturan tersebut.
Setelah tenggat dua pekan terlewati, Koalisi mengirimkan somasi kedua pada 19 Januari lalu. Berbeda dengan somasi pertama, kali ini Kementerian Perindustrian sigap menanggapi. Kementerian mengundang perwakilan Koalisi pada 18 Februari lalu. Yang memenuhi undangan antara lain Kartono dan Hery. "Wakil dari Kementerian berjanji menyampaikan aspirasi itu kepada Menteri," kata Hery.
Janji tinggal janji. Lewat tiga pekan, Koalisi tak melihat sinyal positif dari Kementerian. Karena itu, pada 16 Maret lalu, mereka mengirimkan somasi ketiga, yang tak pernah mendapat balasan. "Koalisi memutuskan menempuh jalur hukum," ucap Hery.
Koalisi kemudian meminta pandangan pengacara publik yang tergabung dalam Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (Sapta). Pengacara yang dimintai pandangan antara lain Azas Tigor, Tubagus H. Karbiyanto, Julius Ibrani, dan Todung Mulya Lubis. "Akhirnya diputuskan judicial review ke Mahkamah Agung," ujar Tigor.
Dalam uji materi ini, pemohon berdalil bahwa peraturan menteri yang hendak menaikkan produksi rokok bertentangan dengan hak untuk hidup sehat yang dilindungi Undang- Undang Kesehatan, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Perlindungan Anak serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Peraturan menteri itu, menurut pemohon, juga tak sejalan dengan kebijakan pemerintah lainnya yang berusaha mengendalikan tembakau, misalnya Undang-Undang tentang Cukai. "Cukai itu pajak dosa, dikenai pada barang yang perlu dikendalikan," kata Tigor. "Kalau tak dikendalikan, akan punya dampak negatif, seperti alkohol."
Sejak menyerahkan berkas permohonan uji materi, Koalisi dan tim pengacara tak pernah mendengar kabar apa pun dari Mahkamah Agung. "Sidangnya tertutup," ujar Tigor. Tim pengacara baru tahu nasib permohonan mereka dari situs Mahkamah Agung pada akhir November lalu. Padahal putusan sudah diketuk pada 5 Oktober lalu.
Dalam putusannya, hakim agung H. Yulis, Irfan Fachruddin, dan Is Sudaryono membenarkan argumen pemohon yang menyatakan peraturan menteri bertentangan dengan sejumlah undang-undang dan konvensi internasional.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan undang-undang memberi perlindungan terhadap hak untuk sehat. Undang-Undang Cukai, misalnya, menetapkan cukai tertinggi untuk tembakau: 275 persen dari harga jual pabrik atau 57 persen dari harga jual eceran. Itu untuk membatasi peredaran produk yang berdampak negatif bagi kesehatan. Karena itu, kata majelis hakim agung, "Peraturan menteri itu tidak sah, tidak berlaku umum, dan memerintahkan menteri untuk mencabutnya."
Direktur Jenderal Agro Industri Kementerian Perindustrian Panggah Sutrisno menyatakan pasrah atas putusan Mahkamah Agung. "Kami sementara ini menerima," ujarnya Kamis pekan lalu. Sutrisno menyebutkan peraturan menteri itu sudah mempertimbangkan sejumlah aspek, termasuk lapangan kerja, industri tembakau, dan kesehatan. "Itu juga instrumen pengendalian tembakau."
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan pemerintah tak punya pilihan selain harus mematuhi putusan judicial review itu. "Kalau mau melakukan pengendalian, gunakan instrumen lain," kata Suhadi, Kamis pekan lalu.
Bagi pemohon uji materi, putusan Mahkamah Agung jelas menggembirakan. Menurut Widyastuti Soerojo, putusan itu memberi bukti hukum bahwa kebijakan menteri melanggar hak atas kesehatan yang dilindungi undang-undang. Meski begitu, putusan Mahkamah Agung belum sepenuhnya membuat mereka tenang. Sebab, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah kini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan.
Secara substansi, Koalisi menilai RUU Pertembakauan sebagai langkah mundur. Rancangan undang-undang itu antara lain akan melonggarkan lagi aturan penjualan rokok, yang telah diperketat Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan zat adiktif tembakau bagi kesehatan.
Widyastuti dan kawan-kawan pun berharap putusan judicial review Mahkamah Agung akan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan DPR. "Kalau perlu, pembahasan RUU Pertembakauan tak usah diteruskan," ujar Widyastuti.
Ketua Panitia Kerja DPR untuk RUU Pertembakauan, Firman Subagyo, mengatakan putusan Mahkamah Agung tak akan mempengaruhi langkah DPR. "Ini undang-undang. Berbeda," kata Firman. "Kami setuju soal kesehatan diperhatikan, tapi jangan mematikan sektor lain." Politikus Golkar ini menyitir pentingnya isu lapangan kerja dan cukai sebesar Rp 154 triliun yang disumbangkan industri tembakau.
Abdul Manan
Dimuat di Majalah Tempo edisi 26 Desember 2016 - 1 Januari 2017
Tabel Proyeksi Produksi Rokok 2015-2020, klik link https://datawrapper.dwcdn.net/9sx72/1/
Sekelompok pegiat pengendalian bahaya tembakau di Indonesia mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung pada April lalu. Mereka menggugat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau 2015-2020. Tigor adalah salah satu dari 15 kuasa hukum dalam permohonan uji materi ini.
Dalam aturan yang diteken Menteri Perindustrian Saleh Husin pada 10 Agustus 2015, produksi rokok Indonesia diproyeksikan naik rata-rata 5-7 persen dalam lima tahun. Pada 2020, produksi rokok diproyeksikan menjadi 524,2 miliar batang, melonjak dari produksi 2015 yang hanya 398,6 miliar batang.
Peraturan menteri itu mengejutkan kalangan aktivis yang peduli isu pengendalian tembakau. Koordinator Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok, Kartono Mohamad, yang pertama berbagi informasi soal peraturan menteri itu. "Sangat mengejutkan. Tak ada negara di dunia yang ingin meningkatkan produksi rokok melalui peraturan perundangan," ujar Widyastuti Soerojo, wakil Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, yang mendapat kabar dari Kartono.
Menanggapi kebijakan tersebut, kalangan pegiat pengendalian tembakau segera merapatkan barisan. "Akhir November 2015, kami menggelar rapat," kata Hery Chariansyah, Direktur Rumah Kajian Advokasi Kerakyatan Indonesia yang juga sekretaris Koalisi Rakyat Bersatu, Kamis pekan lalu.
Selama empat jam, peserta rapat berbagi pendapat. Mereka umumnya khawatir target menaikkan produksi rokok pada akhirnya akan membahayakan anak-anak. "Anak-anak dan perokok pemula selalu menjadi sasaran empuk," ujar Hery. Ia mengutip data perokok usia 10-14 tahun yang meningkat 68,5 persen selama 2001-2013. Adapun perokok usia 15-19 tahun meningkat sekitar 37,3 persen. Berangkat dari kekhawatiran bersama, peserta rapat sepakat untuk mengirimkan teguran (somasi) kepada Menteri Perindustrian.
Somasi pertama mereka kirimkan pada 4 Januari 2016. Somasi mempertanyakan proyeksi produksi rokok yang diperkirakan berdampak pada naiknya jumlah perokok dan pencantuman kretek sebagai warisan budaya bangsa. Koalisi pun meminta Menteri mencabut peraturan tersebut.
Setelah tenggat dua pekan terlewati, Koalisi mengirimkan somasi kedua pada 19 Januari lalu. Berbeda dengan somasi pertama, kali ini Kementerian Perindustrian sigap menanggapi. Kementerian mengundang perwakilan Koalisi pada 18 Februari lalu. Yang memenuhi undangan antara lain Kartono dan Hery. "Wakil dari Kementerian berjanji menyampaikan aspirasi itu kepada Menteri," kata Hery.
Janji tinggal janji. Lewat tiga pekan, Koalisi tak melihat sinyal positif dari Kementerian. Karena itu, pada 16 Maret lalu, mereka mengirimkan somasi ketiga, yang tak pernah mendapat balasan. "Koalisi memutuskan menempuh jalur hukum," ucap Hery.
Koalisi kemudian meminta pandangan pengacara publik yang tergabung dalam Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (Sapta). Pengacara yang dimintai pandangan antara lain Azas Tigor, Tubagus H. Karbiyanto, Julius Ibrani, dan Todung Mulya Lubis. "Akhirnya diputuskan judicial review ke Mahkamah Agung," ujar Tigor.
Dalam uji materi ini, pemohon berdalil bahwa peraturan menteri yang hendak menaikkan produksi rokok bertentangan dengan hak untuk hidup sehat yang dilindungi Undang- Undang Kesehatan, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Perlindungan Anak serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Peraturan menteri itu, menurut pemohon, juga tak sejalan dengan kebijakan pemerintah lainnya yang berusaha mengendalikan tembakau, misalnya Undang-Undang tentang Cukai. "Cukai itu pajak dosa, dikenai pada barang yang perlu dikendalikan," kata Tigor. "Kalau tak dikendalikan, akan punya dampak negatif, seperti alkohol."
Sejak menyerahkan berkas permohonan uji materi, Koalisi dan tim pengacara tak pernah mendengar kabar apa pun dari Mahkamah Agung. "Sidangnya tertutup," ujar Tigor. Tim pengacara baru tahu nasib permohonan mereka dari situs Mahkamah Agung pada akhir November lalu. Padahal putusan sudah diketuk pada 5 Oktober lalu.
Dalam putusannya, hakim agung H. Yulis, Irfan Fachruddin, dan Is Sudaryono membenarkan argumen pemohon yang menyatakan peraturan menteri bertentangan dengan sejumlah undang-undang dan konvensi internasional.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan undang-undang memberi perlindungan terhadap hak untuk sehat. Undang-Undang Cukai, misalnya, menetapkan cukai tertinggi untuk tembakau: 275 persen dari harga jual pabrik atau 57 persen dari harga jual eceran. Itu untuk membatasi peredaran produk yang berdampak negatif bagi kesehatan. Karena itu, kata majelis hakim agung, "Peraturan menteri itu tidak sah, tidak berlaku umum, dan memerintahkan menteri untuk mencabutnya."
Direktur Jenderal Agro Industri Kementerian Perindustrian Panggah Sutrisno menyatakan pasrah atas putusan Mahkamah Agung. "Kami sementara ini menerima," ujarnya Kamis pekan lalu. Sutrisno menyebutkan peraturan menteri itu sudah mempertimbangkan sejumlah aspek, termasuk lapangan kerja, industri tembakau, dan kesehatan. "Itu juga instrumen pengendalian tembakau."
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan pemerintah tak punya pilihan selain harus mematuhi putusan judicial review itu. "Kalau mau melakukan pengendalian, gunakan instrumen lain," kata Suhadi, Kamis pekan lalu.
Bagi pemohon uji materi, putusan Mahkamah Agung jelas menggembirakan. Menurut Widyastuti Soerojo, putusan itu memberi bukti hukum bahwa kebijakan menteri melanggar hak atas kesehatan yang dilindungi undang-undang. Meski begitu, putusan Mahkamah Agung belum sepenuhnya membuat mereka tenang. Sebab, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah kini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan.
Secara substansi, Koalisi menilai RUU Pertembakauan sebagai langkah mundur. Rancangan undang-undang itu antara lain akan melonggarkan lagi aturan penjualan rokok, yang telah diperketat Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan zat adiktif tembakau bagi kesehatan.
Widyastuti dan kawan-kawan pun berharap putusan judicial review Mahkamah Agung akan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan DPR. "Kalau perlu, pembahasan RUU Pertembakauan tak usah diteruskan," ujar Widyastuti.
Ketua Panitia Kerja DPR untuk RUU Pertembakauan, Firman Subagyo, mengatakan putusan Mahkamah Agung tak akan mempengaruhi langkah DPR. "Ini undang-undang. Berbeda," kata Firman. "Kami setuju soal kesehatan diperhatikan, tapi jangan mematikan sektor lain." Politikus Golkar ini menyitir pentingnya isu lapangan kerja dan cukai sebesar Rp 154 triliun yang disumbangkan industri tembakau.
Abdul Manan
Dimuat di Majalah Tempo edisi 26 Desember 2016 - 1 Januari 2017
Tabel Proyeksi Produksi Rokok 2015-2020, klik link https://datawrapper.dwcdn.net/9sx72/1/
Comments