Bersilang Lembaga di Perkara Susila

HOTMAN Sitorus bersiap menjalani masa sidang yang panjang ketika mewakili pemerintah dalam pengujian tiga pasal kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Mahkamah Konstitusi. Umumnya satu perkara judicial review bisa kelar dalam empat-lima kali sidang. Tapi tidak dengan permohonan uji materi yang satu ini.


"Ini sidang terpanjang. Tujuh pihak terlibat, masing-masing bisa mengajukan sembilan saksi ahli," kata Kepala Subdirektorat Litigasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini, Kamis pekan lalu.

Semula hanya ada 12 individu yang mengajukan pengujian atas Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP. Salah seorang di antaranya Euis Sunarti, guru besar dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Ketika sidang bergulir, tujuh lembaga mengajukan diri menjadi "pihak" dalam perkara ini. Inilah untuk pertama kalinya permohonan uji materi mengundang begitu banyak lembaga untuk memasuki arena "pertarungan" hukum itu.

Mereka yang belakangan turut menjadi "pihak" adalah Persatuan Islam Istri (Persistri), Yayasan Peduli Sahabat, Majelis Ulama Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi Nasional Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Permohonan uji materi ini bermula dari kegusaran Euis dan koleganya dari Penggiat Keluarga (Giga) Indonesia atas maraknya perceraian. Euis, misalnya, merujuk pada data Badan Peradilan Agama yang menyebutkan dalam sehari rata-rata terjadi 950-1.000 perceraian. Euis dan kawan-kawan juga mengaku risau terhadap seringnya pemberitaan kasus pemerkosaan di media. Belakangan, ia pun tak setuju dengan upaya kelompok tertentu mempromosikan hak kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). "Permohonan ini diajukan karena akumulasi sejumlah persoalan itu," ujar Euis.

Pada bagian awal permohonannya, Euis dkk meminta pengubahan Pasal 284 KUHP. Intinya, pasal ini menyatakan bahwa lelaki atau perempuan yang "terikat perkawinan" terancam dipidana paling lama sembilan bulan penjara bila terlibat perzinaan atau mukah. Dalam permohonannya, Euis dkk meminta agar frasa "terikat perkawinan" dihapus. Bila perubahan itu disetujui, siapa pun yang sukarela melakukan hubungan intim di luar nikah bisa dipidanakan.

Euis dkk lalu meminta perubahan Pasal 285 KUHP yang memuat ancaman penjara maksimal 12 tahun bagi laki-laki yang memerkosa "seorang wanita". Pemohon uji materi meminta agar frasa "seorang wanita" dihapus dengan alasan pemerkosaan bisa juga menimpa laki-laki.

Pada bagian lain, Euis dan rekan-rekan juga meminta perubahan Pasal 292 KUHP. Pasal ini menyatakan pencabulan terhadap orang berjenis kelamin sama yang "diduga belum dewasa" diancam lima tahun penjara. Pemohon meminta frasa "diduga belum dewasa" dihapus. Dengan begitu, pasangan lesbian dan gay yang sudah dewasa pun bisa dipidanakan.

Sidang perdana uji materi ini berlangsung pada 7 Juni lalu. Seperti perkara lain, berkas permohonan uji materi ini diunggah ke situs resmi Mahkamah Konstitusi. Karena itulah kalangan pegiat organisasi kemasyarakatan sipil segera mengetahui adanya gugatan tersebut. "Wah, bahaya ini," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo, menceritakan reaksi dia ketika pertama kali membaca permohonan uji materi ini.

Meski hanya menghapus frasa, menurut Supriyadi, bila dikabulkan, uji materi ini akan berdampak besar. Pencabutan frasa "terikat perkawinan", misalnya, akan berdampak pada meluasnya pemidanaan. "Itu mengancam privasi warga negara yang dilindungi konstitusi, termasuk kehidupan seksualnya," ujarnya.

Supriyadi dan kawan-kawan awalnya melihat dulu "arah angin" sebelum mendaftar sebagai "pihak" dalam persidangan (amicus curiae). Menurut Supriyadi, ICJR bergegas maju setelah melihat situasi sidang 19 Juli lalu. Kala itu hakim Konstitusi menanyai wakil pemerintah apakah akan mengajukan saksi ahli untuk menangkis pemohon uji materi. Ternyata Direktur Litigasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yunan Hilmy, menjawab, "Tidak."

Bagi Supriyadi dkk, respons pemerintah itu cukup mengagetkan. Pemerintah biasanya berusaha mempertahankan undang-undang yang berlaku. Kali ini pemerintah malah seperti tak ingin membela diri. "Perkembangan itulah yang menyebabkan kami maju sebagai pihak," kata Supriyadi.

Hotman Sitorus punya dalih soal ini. Menurut dia, pemerintah menganggap tak perlu mengajukan saksi ahli karena yakin pasal-pasal yang digugat tak bertentangan dengan konstitusi. Dengan begitu, permohonan Euis dan kawan-kawan kecil kemungkinan dikabulkan.

Setelah ICJR turun gelanggang, sejumlah lembaga lain mengikuti jejaknya, meski dengan sikap berbeda. Persistri, Yayasan Peduli Sahabat, dan MUI mengajukan diri sebagai pendukung permohonan Euis. "Pasal-pasal itu tak sesuai dengan norma agama," kata Ketua Bidang Jamiyah Persistri Titin Suprihatin. "Perzinaan menimbulkan kemudaratan karena bisa menimbulkan kejahatan lain, seperti aborsi dan pembunuhan," ucap anggota Komisi Fatwa MUI, Mursyidah Thahir, dalam sidang 22 September lalu.

Adapun organisasi yang bersikap sama dengan ICJR adalah Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan YLBHI. Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherawati menyebutkan permohonan uji materi itu kurang berpihak kepada perempuan korban kekerasan. Jika dikabulkan, uji materi ini juga membahayakan pasangan yang pernikahannya tak dicatat negara, misalnya karena alasan adat atau faktor lain.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari punya alasan lain. Dalam kasus pemerkosaan, korban perempuan biasanya sulit membuktikan bahwa dia diperkosa. "Perempuan yang sejatinya korban bisa kena pasal perzinaan," kata Dian.

Perwakilan YLBHI, sementara itu, mengungkap berbagai kemuskilan bila perluasan perbuatan pidana itu dikabulkan. "Ini akan menambah beban pemerintah untuk menghukum orang," ujar Direktur Advokasi YLBHI Bahrain. Padahal, dari sisi korban, ganti rugi dan pemulihan dari trauma lebih penting daripada hukuman buat pelaku.

Pengacara Komnas Perempuan, Asfinawati, berharap hakim konstitusi akan proporsional dalam membuat putusan. Yang merisaukan Asfinawati, ketika bertanya kepada saksi, sejumlah hakim kerap menggunakan ukuran moral dan ajaran agama. "Kewajiban hakim konstitusi itu menguji permohonan dengan konstitusi, bukan dengan ajaran moral atau agama," kata Asfinawati.

Abdul Manan

Dimuat di Majalah Tempo edisi 14-20 November 2016

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO