Siasat Taat Mengeruk Mahar

PADEPOKAN seluas enam hektare itu kini tak seramai hari-hari sebelumnya. Sampai bulan lalu, saban hari biasanya ada tiga ribuan orang menginap di padepokan di Dusun Sumber Cengkelek, Gading, Probolinggo, Jawa Timur itu. Kamis pekan lalu, yang bertahan di padepokan hanya sekitar 200 orang.

Pemilik padepokan, Dimas Kanjeng Taat Pribadi, kini mendekam di ruang tahanan Polda Jawa Timur. Ia menjadi tersangka pembunuhan dua bekas pengikutnya, Abdul Ghani dan Ismail Hidayah. Polisi juga menetapkan Dimas sebagai tersangka penipuan.


Sebagian aset padepokan juga telah dipasangi garis polisi. Aset yang disegel meliputi rumah, gedung asrama putra, fitness center, dan enam mobil. "Kami masih melacak aset milik Dimas Kanjeng lainnya," kata Ajun Komisaris Besar Cecep Ibraham dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur.

Ismail dan Ghani adalah pengikut Taat generasi pertama. Menurut istri Ghani, Erwin Hariyati, suaminya semula percaya bahwa Taat bisa menggandakan uang. Ghani pernah bercerita bahwa Taat memegang kunci bank gaib. Taat mewarisi ilmu itu dari sejumlah guru spiritual.

Dalam struktur organisasi padepokan, awalnya Taat menjadi ketua pembina yayasan. Anggota pengawas ada tiga. Ismail Hidayah menjabat ketua badan pengawas. Adapun Abdul Ghani anggota pengawas. Anggota pengawas lainnya Marwah Daud Ibrahim, doktor lulusan Amerika Serikat yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Sejak 2011 kepengurusan yayasan berubah. Marwah menjadi Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng. "Beliau bisa memindahkan barang dari dimensi satu (gaib) ke dimensi nyata," kata Marwah saat ditanya soal Taat pada Sabtu dua pekan lalu.

Lewat video yang beredar di media sosial, di depan pengikutnya, Taat menunjukkan "kemampuan" mengeluarkan uang dari balik bajunya. Pada 2006, Taat pernah mengundang sejumlah wartawan ke rumahnya. "Sebelum dia beraksi, kami dijamu," kata seorang wartawan media cetak di Probolinggo, Kamis pekan lalu. Setelah beraksi, Dimas berpesan, "Jangan lupa ya, masukkan koran."

****

TAAT Pribadi lahir di Gading, Probolinggo, 46 tahun lalu. Dia anak kelima dari enam bersaudara. Dua saudaranya menjadi polisi dan dosen. "Bapaknya dulu polisi. Jabatan terakhirnya kepala kepolisian sektor," kata Kepala Desa Wangkal, Syamsuri.

Semasa kecil, Taat dikenal pendiam dan pemalu. "Tapi dia paling ganteng sehingga digandrungi banyak cewek," kata Sumali, kakak kelas Taat di SMP Negeri 1 Gading. Di sekolah, prestasi Taat pun tak menonjol. Lulus SMA Taman Siswa Probolinggo, Taat kuliah di Universitas Islam Malang. "Tapi tak lulus karena keburu menikah," kata Sumali.

Setelah menikah, Taat pernah bekerja di PLTU Paiton, Probolinggo. "Ada yang bilang jadi satpam," kata Syamsuri. Taat punya tiga istri. Istri pertama tinggal di Padepokan. Istri kedua dan ketiganya tinggal di Kebonagung, Kraksaan, Probolinggo.

Pada 2006, Taat bersama dua temannya, Abdul Ghani dan Ismail Hidayah, mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat. "LSM-nya apa, saya kurang tahu," kata Hariyati, istri Ghani. Lembaga itu merupakan cikal bakal padepokan yang berdiri kemudian.

Dari waktu ke waktu, pengikut Taat semakin banyak. Sebutan Dimas Kanjeng di depan namanya berasal dari teman-temannya. Menurut cerita Ghani kepada istrinya, di sejumlah daerah, Taat menugasi orang kepercayaan dia untuk mencari dan meyakinkan calon pengikut.

Berdasarkan penelusuran Tempo, di Samarinda ditemukan perwakilan Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng. Yayasan menempel di Majelis Ta'lim Daarul Ukhuwah di Jalan Ir Sutami, Gang Pusaka, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda. Kepala Polresta Samarinda Komisaris Besar M. Setyobudi D. mengunjungi padepokan itu pada Kamis pekan lalu. Sumaryono, pengurus yayasan, tidak ada di tempat. "Kami akan minta keterangannya nanti," kata Setyobudi.

Anak buah Taat juga sempat membuka "praktek" di sebuah rumah di Pering, Gianyar, Bali.  "Setiap kali saya tagih biaya sewa, selalu dibilang uangnya sedang diusahakan," kata Made Dharma, warga yang menyewakan rumah. Darma meminta perempuan penyewa itu pergi.

Orang kepercayaan Dimas Kanjeng membujuk calon pengikut menyetor "uang mahar". Nilanya dari ratusan ribu sampai miliaran rupiah. Iming-imingnya, uang mahar akan bertambah berlipat-lipat dalam hitungan bulan. Untuk meyakinkan orang, pengikut Taat memperlihatkan foto "junjungannya" bersama sejumlah tokoh nasional, seperti Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Sebagian foto diduga hasil rekayasa.

Seorang korban bernama Hadi, asal Lampung, mengaku menyetor mahar Rp 5 juta. Ia dijanjikan akan menerima sepuluh kali lipatnya dalam lima tahun. "Tahun ini seharusnya sudah cair," kata pria ini, yang sudah lima bulan tinggal di padepokan menunggu pencairan. Korban lain, Lukman, warga Gorontalo, mengaku sudah empat bulan tinggal di padepokan. "Saya menyerahkan mahar tiga tahun lalu," katanya. Ia enggan menyebut nilai maharnya.

Selain mengumpulkan mahar, Taat juga menjual "barang mewah" kepada pengikutnya. Ia, misalnya, menjual jam tangan Rolex kepada "santri" dari kalangan pejabat atau pesohor dengan harga Rp 15-25 juta. "Setelah saya cek, jam tangan itu imitasi," kata orang dekat Ghani.

Majelis Ulama Indonesia Probolinggo menerima laporan penipuan dengan modus berbeda. Korban diberi selembar plastik mirip kartu ATM. "Korban menyebutnya kartu ATM pencairan," kata Sekretaris MUI Probolinggo Yasin pada Jumat dua pekan lalu.

Kartu cokelat tua itu bergambar Taat Pribadi bersama seorang ulama asal Timur Tengah. Selain kartu ATM palsu, korban menyerahkan kotak kayu seukuran dua kali tempat tisu ke sekretariat MUI Probolinggo. Menurut korban, Dimas menjanjikan kotak itu akan mengeluarkan uang secara gaib.

Kotak tersebut dibuat sendiri oleh korban. Padepokan hanya menentukan ukurannya. Dari Taat, korban juga menerima "jimat" yang harus diletakkan di dalam kotak. Jimat terbungkus plastik berisi dua lembar kertas bertulisan huruf Arab, minyak wangi, dan uang asli Rp 10 ribu. "Itu katanya pemancing uang gaib," ujar Yasin.

Korban jaringan Taat Pribadi tak hanya orang biasa yang ingin kaya mendadak. Taat punya beberapa klien "kelas kakap". Salah satunya Najmiah, perempuan pengusaha tanah asal Sulawesi Selatan. Najmiah dikabarkan menyetorkan dana lebih dari Rp 200 miliar untuk digandakan. Pada 30 September lalu, anak bungsu Najmiah, Muhammad Najmul, melapor ke Polda Jawa Timur.

Ketika melapor, Najmul membawa koper berisi emas batangan palsu dan mata uang asing palsu. Menurut Najmul, Taat menjanjikan emas dan uang palsu itu akan berubah menjadi asli beberapa bulan setelah ibunya menyetor uang mahar. Janji Taat tak terbukti sampai Najmiah meninggal lima bulan lalu.

Najmul mendatangi kantor polisi bersama Akbar Faisal, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan. Politikus partai NasDem ini menuturkan, Najmiah berkenalan dengan Taat melalui seorang wartawan televisi. "Najmiah dijanjikan mendapat pengembalian 1,8 triliun," kata Faisal, Rabu pekan lalu.

Polda Jawa Timur juga menerima laporan serupa dari Prayitno Supriadi, warga Jember; Rahmad Suko Ariwibowo, Bondowonso; dan keluarga Kasianto, Surabaya. Prayitno mengaku menyetor Rp 900 juta, Rahmad Rp 1,5 miliar, dan Kasianto Rp 300 juta.

Kasianto meninggal pada Maret 2015. Sama seperti Najmiah, ketika meninggal, kuku jari kaki dan tangannya menghitam. Keluarga menuturkan, Kasianto dan Najmiah pernah mendapat cairan kiriman Taat. Mereka menduga, kuku Najmiah dan Kasianto menghitam gara-gara cairan tersebut.

Bersama beberapa anggota Komisi III Bidang Hukum DPR, pada 1 Oktober lalu, Akbar Faisal menemui Taat di Polda Jawa Timur. Kepada Faisal, Taat mengklaim punya 25 ribu pengikut. Sekitar 2.000 di antaranya berasal dari Sulawesi Selatan.

Belum bisa dipastikan berapa sebenarnya jumlah uang yang dikumpulkan Taat. Kepada Faisal dkk, Taat menyebutkan uang sekitar Rp 500 miliar dipegang lelaki bernama Dodi, yang tinggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Uang lainnya berada di tangan lelaki yang dipanggil Abah Dofir, di Tomang, Jakarta. Ketika ditanya apakah uang itu bisa dibelanjakan, Taat menjawab, "Insya Allah."

****

DARI ribuan pengikut Taat Pribadi, hanya segelintir orang yang berasal dari desa sekitar padepokan. Menurut Kepala Desa Wangkal, Syamsuri, sejak padepokan berdiri pada 2006, tak lebih dari 15 warga sekitar yang bergabung. "Sepuluh orang di antaranya masih keluarga Taat," kata Syamsuri.

Warga sekitar padepokan yang semula dekat dengan Taat pun belakangan mulai menjauh. Termasuk Abdul Ghani dan Ismail Hidayah. Istri Gani, Hariyati, menuturkan hubungan suaminya dengan Taat mulai renggang ketika semakin banyak pengikut Taat yang menagih janji pencairan uang. "Sampai bertahun-tahun uang tak kunjung cair," kata Haryati. Akhirnya, pada 2014, Ghani memutuskan keluar dari padepokan. Tapi dia bertekad membongkar kedok Taat.

Kepada seorang sahabatnya, Ghani juga bercerita, klaim Taat soal kekayaan padepokan tak sesuai dengan kenyataan. Taat pernah mengatakan padepokan punya rekening dengan saldo Rp 400 miliar di sebuah bank pemerintah. Diam-diam, Ghani mengecek saldo di rekening itu. "Ternyata isinya hanya Rp 5 juta," kata lelaki yang tak mau disebut namanya ini. Taat pun pernah menyebut bahwa padepokan punya rekening di bank asing berisi Rp 700 miliar. Entah bagaimana caranya, akhirnya Ghani tahu bahwa saldo di rekening itu cuma Rp 1 juta.

Menurut Haryati, Ghani melaporkan dugaan penipuan oleh Taat ke Markas Besar Kepolisian RI pada Maret 2016. Sejak itu Ghani mengungsikan Haryati ke rumah orang tuanya di Banyuwangi. "Karena ada ancaman," kata Haryati. Adapun Ghani masih mengurusi toko emas, perak, dan batu mulia di Kraksaan, Probolinggo.

Polisi memanggil Ghani sebagai saksi pada 12 April 2016. Namun Ghani mangkir dari pemeriksaan. Pada hari itu Gani rupanya mendapat telepon dari padepokan. "Dia sempat bilang akan bertemu Dimas Kanjeng," kata kakak kandung Ghani, Aswati. Hari itu Ghani tak pulang ke rumah. Keesokan harinya, mayat Ghani ditemukan di Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Pengusutan kematian Ghani menuntun polisi pada penemuan mayat sebelumnya. Pada Februari 2015,  mayat tanpa identitas dengan wajah rusak ditemukan di Desa Tegalsono, Tegalsiwalan, Probolinggo. Mayat itu dimakamkan di belakang RSUD Waluyo Jati, Probolinggo. Berdasarkan pemeriksaan DNA, belakangan diketahui itu mayat Ismail Hidayah, kolega Ghani dan Taat.

Kepala Kepolisian Resor Probolinggo Ajun Komisaris Besar Arman Asmara Syarifuddin mengatakan Taat Pribadi diduga merupakan otak pembunuhan Ghani dan Ismail. "Keduanya dibunuh karena tahu banyak rahasia penipuan," kata Arman.

Pada 21 September 2016, Polda Jawa Timur memasukkan Taat Pribadi ke daftar pencarian orang. Keesokan harinya, polisi mengerahkan sekitar seribu personel untuk menangkap Taat. "Karena lokasinya sangat luas," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Argo Yuwono.

Pengacara Taat Pribadi, Neshawaty, meminta aparat dan masyarakat tak buru-buru menyimpulkan kliennya sebagai otak pembunuhan. Neshawaty pun akan mengajukan gugatan praperadilan. Menurut dia, penangkapan Taat hanya berdasarkan pengakuan enam orang yang diperiksa polisi. "Tak ada unsur paksaan, apalagi penipuan," kata Neshawaty, Kamis pekan lalu.

Abdul Manan (Jakarta), Nur Hadi, Ishomuddin (Probolinggo), Firman Hidayat (Samarinda), Rofiqi Hasan (Denpasar)

Dimuat di Majalah Tempo 10-16 Oktober 2016

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO