Misteri Berkas 320 Halaman
HARIS Azhar tak terkejut lagi mendengar reaksi Sekretariat Negara atas putusan Komisi Informasi Publik tentang laporan tim pencari fakta kasus meninggalnya Munir (TPF Munir). Sekretariat Negara menyatakan tak bisa membuka laporan tim pencari fakta ke publik karena tak menyimpan arsip dokumen tersebut.
"Kementerian Sekneg tidak mungkin mengumumkan laporan TPF yang tidak dikuasainya," kata Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretaris Negara, Masrokhan, Selasa pekan lalu. "Reaksi seperti itu sudah bisa diduga," kata Haris, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat pekan lalu.
Munir Said Thalib meninggal karena diracun arsenik dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda pada 7 September 2006. Komisi Informasi, Senin pekan lalu, menyatakan hasil penyelidikan tim pencari fakta atas kematian pegiat hak asasi manusia wajib diumumkan ke publik.
Kontras "menggugat" Sekretariat Negara ke Komisi Informasi karena melihat proses hukum kasus pembunuhan Munir tak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Dalam kasus ini, dua orang telah diadili. Mereka adalah bekas pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto dan bekas Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono.
Pollycarpus divonis bersalah sejak pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Tapi hukuman untuk Pollycarpus pernah terjun bebas dari 14 tahun menjadi dua tahun penjara. Majelis hakim peninjauan kembali, pada 25 Januari 2008, menaikkan lagi hukuman untuk Pollycarpus menjadi 20 tahun penjara. Setelah berkali-kali mendapat remisi, Pollycarpus akhirnya bebas pada November 2014.
Adapun Muchdi divonis bebas murni oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menilai jaksa tak bisa membuktikan dakwaan bahwa mantan Komandan Jenderal Kopassus ini memerintahkan pembunuhan serta punya motif untuk melenyapkan Munir. Upaya jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung kandas pada 15 Juni 2009. "Putusan itu tak menjawab pertanyaan siapa otak di balik pembunuhan Munir," kata Haris.
****
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta kasus meninggalnya Munir dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004. Di samping mengatur wewenang TPF Munir, keputusan Presiden tanggal 22 Desember 2004 itu juga memuat rencana pemerintah mengumumkan hasil kerja tim tersebut kepada publik di kemudian hari.
Setelah enam bulan bekerja siang dan malam, TPF Munir mengebut laporan pada akhir masa kerjanya. Menurut mantan anggota TPF Munir, Hendardi, laporan dirumuskan dalam sejumlah pertemuan di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, serta di tiga sekretariat tim pencari fakta: kantor Kementerian Luar Negeri, Badan Reserse Kriminal Polri, dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
Sehari setelah masa kerjanya berakhir, pada 24 Juni 2004, perwakilan TPF Munir menemui Presiden Yudhoyono di Istana Negara. Mereka adalah Brigadir Jenderal Marsudi Hanafi (ketua), Asmara Nababan, Usman Hamid, Rachlan Nashidik, Hendardi, dan Kemala Tjandrakirana (anggota).
Dalam pertemuan itu, menurut Hendardi, Presiden Yudhoyono didampingi sejumlah pejabat setingkat menteri, antara lain Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S., Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin, dan Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar. Juru bicara Presiden, Andi Malarangeng, juga hadir.
Ketua TPF Munir, Marsudi Hanafi, menyampaikan pokok-pokok temuan dan rekomendasi tim dalam pertemuan itu. Setelah itu, Marsudi secara resmi menyerahkan laporan setebal 55 halaman plus lampiran 265 halaman. "Laporan itu dibuat rangkap tujuh," kata Hendardi. Salah satu rekomendasi TPF Munir adalah perlunya dibentuk tim pencari fakta baru dengan kewenangan yang lebih besar. "Itu rekomendasi terpenting laporan TPF," kata dia.
Seusai pertemuan itu, Presiden Yudhoyono mempersilakan TPF Munir, yang diwakili Marsudi dan Asmara Nababan, memberikan konferensi pers bersama Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.
Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengaku tak ingat detail pertemuan di Istana Negara sebelas tahun lalu itu. Yang jelas, Abdul Rahman pernah mendapatkan salinan laporan final tim pencari fakta. "Saya sempat mempelajari laporan itu," ujarnya pada Jumat pekan lalu. Namun Abdul Rahman mengaku tak begitu ingat apa saja isi laporan tersebut. "Saya harus cari dan baca lagi dokumen itu," tuturnya.
Setelah menyerahkan laporan resmi ke Presiden Yudhoyono, menurut Usman Hamid, TPF tak tahu siapa saja yang menyimpan berkas itu. Setahu Usman, dari pemberitaan yang dia baca, laporan itu diserahkan ke sejumlah lembaga, antara lain Markas Besar Kepolisian RI. Kepolisian kemudian mengusut kematian Munir, yang berujung pada pengadilan terhadap Pollycarpus dan Muchdi.
Sampai pengadilan terhadap Pollycarpus dan Muchdi berakhir, otak di balik kematian Munir tak kunjung terungkap. Tak mau kasus ini hilang begitu saja dari ingatan orang, Kontras meminta pemerintah Joko Widodo segera mengumumkan secara resmi temuan TPF Munir kepada masyarakat. Dasar tuntutan Kontras adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini mewajibkan lembaga publik menyediakan informasi yang diminta masyarakat.
Pada 18 Februari 2016, Kontras melayangkan surat ke Kementerian Sekretariat Negara. Surat itu mendapat balasan pada 1 Maret 2016. Surat jawaban yang diteken Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretaris Negara Masrokhan itu menyatakan, Sekretariat Negara tak bisa memenuhi permintaan Kontras karena tak memiliki dan menguasai informasi yang diminta.
Jawaban seperti itu tak memuaskan Kontras. Karena itu Kontras mengirimkan surat keberatan ke Sekretariat Negara keesokan harinya. Dengan nada serupa, Sekretariat Negara kembali menjawab surat Kontras pada 14 April 2016. Surat balasan kali ini diteken Deputi Hubungan Kelembagaan Sekretaris Negara Dadan Wildandi. Surat terakhir menegaskan bahwa Sekretariat Negara tak mengetahui di mana berkas itu berada serta badan publik apa yang menguasainya.
Membentur tembok, pada 28 April 2016, Kontras membawa kasus ini ke Komisi Informasi Publik. Kontras memohon Komisi Informasi menyatakan laporan TPF Munir sebagai informasi publik yang bisa diakses masyarakat.
Dalam keterangan tertulis di sidang Komisi Informasi, mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengaku pernah melihat bundel map yang diserahkan TPF Munir kepada Presiden. Namun Sudi mengaku tidak menerima salinan dokumen itu. Bahkan, menurut Sudi, tak ada satu pun naskah dari TPF Munir yang masuk ke Sekretaris Kabinet.
Senin pekan lalu, majelis komisioner yang terdiri atas Evy Trisulo, Yhannu Setyawan, dan Dyah Aryani membuat putusan. Komisi Informasi menyatakan apa yang dimohon Kontras termasuk informasi yang wajib diumumkan. Namun, untuk kesekian kalinya, Sekretariat Negara menyatakan tidak memiliki arsip laporan TPF Munir.
Haris Azhar menyebut alasan Sekretariat Negara itu mengada-ada. "Itu ngeles saja. Tak mau bertanggung jawab," kata Haris. Ia mengutip Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2005 tentang Sekretariat Negara. Pasal itu menyatakan bahwa tugas utama kementerian ini adalah memberikan dukungan teknis dan administrasi terhadap presiden dan wakil presiden.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Alexander Lay mengatakan Sekretariat Negara tak pernah menerima laporan akhir TPF Munir. Hal itu telah dibuktikan dalam sidang dengan menunjukkan daftar surat yang masuk ke Sekretaris Negara selama periode itu. Menurut Alexander, salah satu tugas Sekretariat Negara memang mengarsipkan surat atau laporan presiden. Tapi tak semua laporan untuk presiden masuk lewat Sekretariat Negara. Nah, laporan TPF Munir termasuk laporan untuk presiden yang tidak masuk melalui Sekretariat Negara.
Senada dengan Alexander, mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan TPF Munir tak menyerahkan dokumen melalui Sekretariat Negara. Karena itu laporan TPF tidak teregister dalam surat-surat yang masuk ke Sekretariat Negara. Yusril juga tak setuju bila laporan TPF Munir dinyatakan hilang. Ia menyarankan soal ini ditanyakan langsung kepada Yudhoyono.
Tempo berusaha menghubungi Yudhoyono, yang kini Ketua Umum Partai Demokrat, melalui sejumlah pengurus partai berlambang Mercy itu. Namun, hingga Jumat pekan lalu, Yudhoyono belum memberi penjelasan tentang misteri laporan setebal 320 halaman itu.
Abdul Manan, Rezki Alvionitasari, Dewi Suci Rahayu, Agoeng Wijaya
Dimuat di Majalah Tempo edisi 17-23 Oktober 2016
"Kementerian Sekneg tidak mungkin mengumumkan laporan TPF yang tidak dikuasainya," kata Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretaris Negara, Masrokhan, Selasa pekan lalu. "Reaksi seperti itu sudah bisa diduga," kata Haris, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat pekan lalu.
Munir Said Thalib meninggal karena diracun arsenik dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda pada 7 September 2006. Komisi Informasi, Senin pekan lalu, menyatakan hasil penyelidikan tim pencari fakta atas kematian pegiat hak asasi manusia wajib diumumkan ke publik.
Kontras "menggugat" Sekretariat Negara ke Komisi Informasi karena melihat proses hukum kasus pembunuhan Munir tak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Dalam kasus ini, dua orang telah diadili. Mereka adalah bekas pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto dan bekas Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono.
Pollycarpus divonis bersalah sejak pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Tapi hukuman untuk Pollycarpus pernah terjun bebas dari 14 tahun menjadi dua tahun penjara. Majelis hakim peninjauan kembali, pada 25 Januari 2008, menaikkan lagi hukuman untuk Pollycarpus menjadi 20 tahun penjara. Setelah berkali-kali mendapat remisi, Pollycarpus akhirnya bebas pada November 2014.
Adapun Muchdi divonis bebas murni oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim menilai jaksa tak bisa membuktikan dakwaan bahwa mantan Komandan Jenderal Kopassus ini memerintahkan pembunuhan serta punya motif untuk melenyapkan Munir. Upaya jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung kandas pada 15 Juni 2009. "Putusan itu tak menjawab pertanyaan siapa otak di balik pembunuhan Munir," kata Haris.
****
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim pencari fakta kasus meninggalnya Munir dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004. Di samping mengatur wewenang TPF Munir, keputusan Presiden tanggal 22 Desember 2004 itu juga memuat rencana pemerintah mengumumkan hasil kerja tim tersebut kepada publik di kemudian hari.
Setelah enam bulan bekerja siang dan malam, TPF Munir mengebut laporan pada akhir masa kerjanya. Menurut mantan anggota TPF Munir, Hendardi, laporan dirumuskan dalam sejumlah pertemuan di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, serta di tiga sekretariat tim pencari fakta: kantor Kementerian Luar Negeri, Badan Reserse Kriminal Polri, dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
Sehari setelah masa kerjanya berakhir, pada 24 Juni 2004, perwakilan TPF Munir menemui Presiden Yudhoyono di Istana Negara. Mereka adalah Brigadir Jenderal Marsudi Hanafi (ketua), Asmara Nababan, Usman Hamid, Rachlan Nashidik, Hendardi, dan Kemala Tjandrakirana (anggota).
Dalam pertemuan itu, menurut Hendardi, Presiden Yudhoyono didampingi sejumlah pejabat setingkat menteri, antara lain Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S., Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin, dan Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar. Juru bicara Presiden, Andi Malarangeng, juga hadir.
Ketua TPF Munir, Marsudi Hanafi, menyampaikan pokok-pokok temuan dan rekomendasi tim dalam pertemuan itu. Setelah itu, Marsudi secara resmi menyerahkan laporan setebal 55 halaman plus lampiran 265 halaman. "Laporan itu dibuat rangkap tujuh," kata Hendardi. Salah satu rekomendasi TPF Munir adalah perlunya dibentuk tim pencari fakta baru dengan kewenangan yang lebih besar. "Itu rekomendasi terpenting laporan TPF," kata dia.
Seusai pertemuan itu, Presiden Yudhoyono mempersilakan TPF Munir, yang diwakili Marsudi dan Asmara Nababan, memberikan konferensi pers bersama Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.
Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengaku tak ingat detail pertemuan di Istana Negara sebelas tahun lalu itu. Yang jelas, Abdul Rahman pernah mendapatkan salinan laporan final tim pencari fakta. "Saya sempat mempelajari laporan itu," ujarnya pada Jumat pekan lalu. Namun Abdul Rahman mengaku tak begitu ingat apa saja isi laporan tersebut. "Saya harus cari dan baca lagi dokumen itu," tuturnya.
Setelah menyerahkan laporan resmi ke Presiden Yudhoyono, menurut Usman Hamid, TPF tak tahu siapa saja yang menyimpan berkas itu. Setahu Usman, dari pemberitaan yang dia baca, laporan itu diserahkan ke sejumlah lembaga, antara lain Markas Besar Kepolisian RI. Kepolisian kemudian mengusut kematian Munir, yang berujung pada pengadilan terhadap Pollycarpus dan Muchdi.
Sampai pengadilan terhadap Pollycarpus dan Muchdi berakhir, otak di balik kematian Munir tak kunjung terungkap. Tak mau kasus ini hilang begitu saja dari ingatan orang, Kontras meminta pemerintah Joko Widodo segera mengumumkan secara resmi temuan TPF Munir kepada masyarakat. Dasar tuntutan Kontras adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini mewajibkan lembaga publik menyediakan informasi yang diminta masyarakat.
Pada 18 Februari 2016, Kontras melayangkan surat ke Kementerian Sekretariat Negara. Surat itu mendapat balasan pada 1 Maret 2016. Surat jawaban yang diteken Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretaris Negara Masrokhan itu menyatakan, Sekretariat Negara tak bisa memenuhi permintaan Kontras karena tak memiliki dan menguasai informasi yang diminta.
Jawaban seperti itu tak memuaskan Kontras. Karena itu Kontras mengirimkan surat keberatan ke Sekretariat Negara keesokan harinya. Dengan nada serupa, Sekretariat Negara kembali menjawab surat Kontras pada 14 April 2016. Surat balasan kali ini diteken Deputi Hubungan Kelembagaan Sekretaris Negara Dadan Wildandi. Surat terakhir menegaskan bahwa Sekretariat Negara tak mengetahui di mana berkas itu berada serta badan publik apa yang menguasainya.
Membentur tembok, pada 28 April 2016, Kontras membawa kasus ini ke Komisi Informasi Publik. Kontras memohon Komisi Informasi menyatakan laporan TPF Munir sebagai informasi publik yang bisa diakses masyarakat.
Dalam keterangan tertulis di sidang Komisi Informasi, mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengaku pernah melihat bundel map yang diserahkan TPF Munir kepada Presiden. Namun Sudi mengaku tidak menerima salinan dokumen itu. Bahkan, menurut Sudi, tak ada satu pun naskah dari TPF Munir yang masuk ke Sekretaris Kabinet.
Senin pekan lalu, majelis komisioner yang terdiri atas Evy Trisulo, Yhannu Setyawan, dan Dyah Aryani membuat putusan. Komisi Informasi menyatakan apa yang dimohon Kontras termasuk informasi yang wajib diumumkan. Namun, untuk kesekian kalinya, Sekretariat Negara menyatakan tidak memiliki arsip laporan TPF Munir.
Haris Azhar menyebut alasan Sekretariat Negara itu mengada-ada. "Itu ngeles saja. Tak mau bertanggung jawab," kata Haris. Ia mengutip Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2005 tentang Sekretariat Negara. Pasal itu menyatakan bahwa tugas utama kementerian ini adalah memberikan dukungan teknis dan administrasi terhadap presiden dan wakil presiden.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Alexander Lay mengatakan Sekretariat Negara tak pernah menerima laporan akhir TPF Munir. Hal itu telah dibuktikan dalam sidang dengan menunjukkan daftar surat yang masuk ke Sekretaris Negara selama periode itu. Menurut Alexander, salah satu tugas Sekretariat Negara memang mengarsipkan surat atau laporan presiden. Tapi tak semua laporan untuk presiden masuk lewat Sekretariat Negara. Nah, laporan TPF Munir termasuk laporan untuk presiden yang tidak masuk melalui Sekretariat Negara.
Senada dengan Alexander, mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan TPF Munir tak menyerahkan dokumen melalui Sekretariat Negara. Karena itu laporan TPF tidak teregister dalam surat-surat yang masuk ke Sekretariat Negara. Yusril juga tak setuju bila laporan TPF Munir dinyatakan hilang. Ia menyarankan soal ini ditanyakan langsung kepada Yudhoyono.
Tempo berusaha menghubungi Yudhoyono, yang kini Ketua Umum Partai Demokrat, melalui sejumlah pengurus partai berlambang Mercy itu. Namun, hingga Jumat pekan lalu, Yudhoyono belum memberi penjelasan tentang misteri laporan setebal 320 halaman itu.
Abdul Manan, Rezki Alvionitasari, Dewi Suci Rahayu, Agoeng Wijaya
Dimuat di Majalah Tempo edisi 17-23 Oktober 2016
Comments