Tuduhan Maut Kenalan Baru

SAUT Edward Rajagukguk mencoba keluar dari dilema dalam membela terpidana mati Zulfiqar Ali. "Kami menyiapkan surat untuk Jaksa Agung agar meninjau kembali kasus ini," kata Saut, Selasa pekan lalu.


Sebelumnya, Saut dan keluarga Zulfiqar terus bergulat dalam perdebatan apakah perlu memohon grasi (ampunan) kepada presiden atau tidak. Bila mengajukan permohonan grasi, Zulfiqar artinya mengaku bersalah. Padahal, menurut Saut, warga negara Pakistan itu tak merasa terlibat sindikat narkotik internasional seperti dituduhkan penegak hukum Indonesia.

Sebaliknya, bila tak mengajukan permohonan grasi, Zulfiqar sama dengan menghitung hari menunggu eksekusi mati. Tentu saja, baik Zulfiqar maupun keluarganya tak mau menerima hukuman paling berat tersebut.

Zulfiqar terjerat kasus narkotik setelah kenalan dia, Gurdip Singh alias Vishal, ditangkap membawa 300 gram heroin di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Agustus 2004. Kepada polisi, warga negara India ini semula menyebutkan barang itu milik Zulfiqar. Pengadilan Negeri Tangerang, Pengadilan Tinggi Banten, sampai Mahkamah Agung memvonis Gurdip dan Zulfiqar dengan hukuman mati. Kendati belakangan Gurdip mencabut tuduhan atas Zulfiqar, putusan hakim tak berubah.

Zulfiqar lahir di Kota Lahore, Pakistan, pada 1 Januari 1964. Ia mulai bekerja sebagai manajer pemasaran sebuah perusahaan ekspor-impor di Indonesia pada 2001. Zulfiqar berkenalan dengan Siti Rohani, perempuan asal Bogor, Jawa Barat, yang kemudian menjadi istrinya. Kala itu, Siti bekerja sebagai kasir di sebuah warung telekomunikasi di Jakarta Timur. "Pacaran setahun, setelah itu menikah," ujar Siti, Selasa pekan lalu. Mereka menikah pada 18 Oktober 2001.

Tak lama setelah pernikahan itu, pasangan ini boyongan ke Bubumuhala, Kota Lahore. Di sana Zulfiqar mengelola usaha keluarga menjual aneka bahan kebutuhan sehari-hari. Tiga tahun tinggal di Lahore, Siti tak kerasan. Pasangan ini pulang kembali ke Bogor. "Saya ingin dekat keluarga," kata Siti. Dari pernikahan dengan Siti, Zulfiqar punya tiga anak. Dari pernikahan sebelumnya, Zulfiqar juga punya tiga anak.

Setelah kembali ke Indonesia, Zulfiqar menjadi pedagang garmen di Pasar Tanah Abang. Nah, lewat seorang temannya sesama pedagang tekstil, Zulfiqar berkenalan dengan Gurdip.

Zulfiqar kini diterungku di Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Nusakambangan. Dari balik jeruji, ia menjawab pertanyaan Tempo melalui pengacaranya, Saut Edward.

Zulfiqar mengatakan ia baru dua bulan mengenal Gurdip ketika lelaki itu ditangkap. Sebelumnya, Gurdip baru keluar dari rumah tahanan Direktorat Jenderal Imigrasi karena masalah izin tinggal di Indonesia. "Saya membantu karena kasihan. Saya tak tahu rekam jejak dia," ucap Zulfiqar seperti dikutip Saut.

Siti mengingat dengan jelas ketika Gurdip pertama kali bertamu ke rumahnya di Tegallega, Bogor Tengah. Waktu itu, 2 Juli 2004, Siti baru melahirkan anak perempuan keduanya, Muqadar. "Orangnya aneh. Dia terlihat suka mojok, diam sendiri," kata Siti. Setelah kunjungan pertama, Gurdip beberapa kali bertamu lagi.

Malapetaka datang ketika Gurdip ditangkap petugas Bandara Soekarno-Hatta pada 29 Agustus 2004. Kala itu, sekitar pukul 13.00, Gurdip akan terbang ke Surabaya sebelum menuju Malang, Jawa Timur, dengan pesawat Star Air. Petugas menemukan tiga kantong berisi 300 gram heroin menyelip di kaus kaki Gurdip.

Ketika ditangkap, Gurdip menelepon Zulfiqar. Ia mengaku berurusan dengan polisi karena berkelahi dengan orang Indonesia. Namun Gurdip tak sempat memberi tahu di mana dia berada karena teleponnya keburu ditutup. Zulfiqar lalu menelepon balik Gurdip. Yang menjawab malah polisi. Tapi si polisi tak menjelaskan apa yang terjadi dengan Gurdip. Setelah itu, nomor Gurdip tak bisa dihubungi lagi.

Zulfiqar mencari tahu nasib teman barunya itu ke sejumlah kantor polisi, tapi tak membuahkan hasil. Hari itu Zulfiqar pulang ke rumah. Menurut Siti, malam itu suaminya bercerita bahwa Gurdip bermasalah dengan aparat tapi tak diketahui ada di mana. "Dia tenang saja, tidak seperti orang bersalah," ujar Siti menceritakan sikap Zulfiqar waktu itu.

Beberapa hari kemudian, polisi datang menggeledah rumah Zulfiqar. Waktu itu Zulfiqar tak ada di rumah. "Tak ada pula narkoba yang ditemukan," kata Saut Edward. Siti pun mengira masalah suaminya sudah selesai.

Tiga bulan kemudian, polisi datang lagi mengetuk pintu rumah Siti. Hari itu, 21 November 2004, Zulfiqar kedatangan temannya yang hendak meminjam uang, Taslim Raza Khan. Begitu pintu terbuka, petugas berpakaian sipil itu bertanya, "Mana Ali?" Tiga polisi bersenjata pistol menerobos ke dalam rumah. Tiga lainnya berjaga di depan. Ketika Siti dan Zulfiqar bertanya-tanya, polisi itu hanya mengatakan, "Ikut saja." Taslim, yang sedang bertamu, turut "diangkut". Ia dilepas setahun kemudian tanpa didakwa.

Setelah ditangkap di rumahnya, Zulfiqar dibawa ke sebuah tempat di dekat Bandara Soekarno-Hatta. Beberapa hari kemudian, ia baru dibawa ke kantor Kepolisian Daerah Metro Jaya. Belakangan, polisi juga menangkap Gina Pratidina, teman perempuan Zulfiqar, di rumah kontrakan di Kuningan, Jakarta Selatan. Namun, menurut Saut, di rumah itu pun polisi tak menemukan bukti keterlibatan Gina dalam jaringan narkotik.

Kepada polisi, Gurdip semula mengatakan bahwa heroin itu milik Zulfiqar. Menurut dia, Zulfiqar juga yang menyuruhnya ke Surabaya, lalu menuju Malang, untuk menjual barang haram itu kepada Toni. Belakangan, Gurdip mencabut semua tuduhan itu.

Zulfiqar mengaku disiksa dan diancam akan ditembak ketika berkukuh mengatakan heroin 300 gram itu bukan milik dia. Zulfiqar juga bercerita ada polisi yang meminta uang sekitar Rp 200 juta. Permintaan itu tak dipenuhi. "Saya tak merasa memiliki barang itu, kenapa saya harus mengakuinya?" ucap Zulfiqar seperti dikutip Saut. Di bawah ancaman dan tak tahan atas siksaan, menurut Saut, Zulfiqar akhirnya mengaku sebagai pemilik heroin.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Awi Setyono mengatakan akan memverifikasi cerita Zulfiqar. "Kasus ini sudah lama," kata Awi, Jumat pekan lalu. "Tapi kenapa baru sekarang diungkapkan?" Menurut dia, keterangan Zulfiqar harus dibuktikan. Ia juga  berjanji, jika memang ada kesalahan prosedur, Polda tidak segan mengambil langkah tegas kepada penyidik kasus ini saat itu.

Di persidangan, yang dimulai pada 20 Januari 2005, jaksa mendakwa Zulfiqar terlibat jaringan peredaran narkotik. Menurut jaksa, Gurdip mendapatkan heroin 250 gram dari Rafiz Sondri di Hotel Mercury, Jakarta. Barang itu dibeli seharga Rp 140 ribu dan akan dijual Rp 200 ribu per gram.

Surat dakwaan juga menyebutkan, pada 28 Agustus 2004, sekitar pukul 21.30, Zulfikar bersama Gurdip dan Gina mencampur 250 gram heroin dengan 50 gram Panadol di Villa Tugu, Cisarua, Bogor. Keesokan harinya, Zulfiqar dan Gina pergi ke Jakarta untuk membelikan Gurdip tiket pesawat Star Air tujuan Surabaya. Zulfiqar menyerahkan tiket kepada Gurdip di terminal bus Damri, Bogor.

Jaksa lebih dulu menuntut Gurdip dihukum penjara seumur hidup. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang malah memvonis dia dengan hukuman mati pada 7 Februari 2005. Upaya Gurdip mengajukan permohonan banding sampai peninjauan kembali tak membuahkan hasil. "Dia mengajukan grasi pada 27 Juli lalu," kata pengacara Gurdip, Afdal Muhammad, Kamis pekan lalu.

Adapun Zulfiqar membantah semua dakwaan jaksa. Di samping mengungkap penyiksaan atas dirinya, Zulfiqar mempersoalkan pelanggaran atas hak dia sebagai tersangka. Antara lain, Zulfiqar tak didampingi pengacara dan penerjemah selama pemeriksaan di kepolisian.

Zulfiqar juga punya alibi untuk menangkis dakwaan jaksa. Pada hari ketika dia disebut membeli heroin dari Rafiz Sondri, Zulfiqar mengaku sedang berobat di Rumah Sakit Jakarta karena keluhan cepat capek, sesak napas, dan sakit di bagian tulang belakang. "Ada keterangan medisnya," ucap Zulfiqar. Dia juga membantah pergi ke Villa Tugu di Cisarua karena malam itu justru sedang beristirahat di rumahnya.

Adapun soal tiket pesawat Star Air, Zulfiqar mengakui membelinya atas permintaan Gurdip. Pada Ahad pagi itu, Gurdip menelepon Zulfiqar yang sedang bersama Gina di Pasar Tanah Abang untuk berbelanja tekstil. "Saya membelikan tiket itu. Dia berjanji mengganti uangnya," kata Zulfiqar.

Menjelang pembacaan tuntutan, Zulfiqar memberi tahu istrinya, Siti Rohani, soal jaksa yang meminta uang Rp 400 juta. Iming-imingnya, tuntutan jaksa bisa turun dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. "Bapak tak mau karena merasa tak bersalah," ujar Siti. Kala itu, Zulfiqar mengatakan, "Kalau punya uang sebanyak itu, lebih baik untuk istri dan anak saya."

Kepala Seksi Pidana Umum kejaksaan Negeri Kota Tangerang Andri Winarofa menolak mengomentari pengakuan Zulfiqar soal dugaan pemerasan itu. "Kasus Zulfikar sudah inkrah. Kami tak bisa menyampaikan keterangan soal itu," kata Andri, Rabu pekan lalu. Ia menambahkan, jaksa yang namanya disebut Zulfiqar sudah meninggal karena sakit enam tahun lalu.

Pada 26 Mei 2005, jaksa menuntut Zulfiqar dengan pidana seumur hidup. Sedangkan Gina dituntut penjara 20 tahun. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memvonis Zulfiqar dengan hukuman mati pada 14 Juni 2005. Adapun putusan terhadap Gina sama dengan tuntutan jaksa. Di tingkat banding dan kasasi, hakim menguatkan vonis mati atas Zulfiqar.

Ketika Zulfiqar mengajukan permohonan kasasi, Gurdip menarik keterangan dia dalam berita acara pemeriksaan. Gurdip mencabut keterangan itu secara tertulis pada 10 Oktober 2007. Isinya antara lain menyatakan Zulfiqar dan Gina tak terlibat kasus heroin. Ia mengaku menyebut kedua nama itu karena penyidik meminta dia menyebut nama orang lain agar hukumannya bisa diturunkan. Adapun heroin, menurut Gurdip, berasal dari Hilary, pria berkebangsaan Nigeria. "Surat itu diabaikan hakim karena tak ada tanggalnya," ucap Zulfiqar.

Pengacara Gurdip, Afdal Muhammad, mengaku tak tahu kliennya mencabut kesaksian di pengadilan. "Saya berfokus membela dia agar divonis lebih ringan," kata Afdal.

Setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Zulfiqar, pada 5 Juli 2010, Duta Besar Pakistan untuk Indonesia menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar. Kepada Patrialis, sang Duta Besar mengadukan kasus hukum yang menimpa Zulfiqar. "Kami membentuk tim untuk meneliti kasus ini," ujar Patrialis, yang kini menjabat hakim Mahkamah Konstitusi, Rabu pekan lalu. Tim itu dipimpin Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Hafid Abbas.

Hafid dan timnya berangkat ke Lahore setelah meminta keterangan sejumlah orang, termasuk Zulfiqar dan keluarga. Di sana mereka menelusuri rekam jejak Zulfiqar. "Dia tak punya track record dengan narkoba," kata Hafid, Rabu pekan lalu. Setelah mendengar laporan dari Hafid, Patrialis mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di samping menyinggung dugaan pelanggaran hak asasi selama penyidikan dan penuntutan, Patrialis mengusulkan agar Presiden Yudhoyono memberikan grasi kepada Zulfiqar.

Zulfiqar mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, tapi ditolak pada 5 Mei 2014. Nama dia pun masuk daftar 14 orang yang akan dieksekusi mati pada 29 Juli lalu.

Sehari sebelum jadwal eksekusi, presiden ketiga Indonesia, Baharuddin Jusuf Habibie, tergerak membela Zulfiqar. Ia mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Habibie menyebut laporan sejumlah advokat dan lembaga swadaya masyarakat yang menilai Zulfiqar tidak bersalah. Karena itu, Habibie meminta Presiden mempertimbangkan lagi keputusan mengeksekusi mati Zulfiqar.

Sore hari menjelang malam eksekusi, Siti juga menjenguk suaminya. Kala itu, Zulfiqar hanya menitipkan anaknya. "Didik agamanya dengan baik," ucap Zulfiqar seperti ditirukan Siti. Sang istri mendengar kabar suaminya batal dieksekusi keesokan harinya sekitar pukul 13.30. "Suami Ibu selamat," demikian bunyi pesan pendek yang diterima Siti dari seorang jaksa.

Untuk sementara, Zulfiqar lolos dari eksekusi mati. Pemerintah Pakistan pun masih berusaha membebaskan dia. Seorang pejabat diplomatik Pakistan menuturkan, setelah menyampaikan permintaan secara lisan, pejabat tinggi pemerintah Pakistan akan menyampaikan permintaan tertulis kepada pemerintah Indonesia.

Duta Besar Pakistan Mohammad Aqil Nadeem tak membenarkan atau membantah cerita itu. Ia hanya mengatakan pemerintah Pakistan berharap pemerintah Indonesia bisa memeriksa kembali kasus Zulfiqar. Sang Duta Besar juga menyinggung temuan tim Kementerian Hukum dan HAM pada 2010. "Kami sangat percaya pemerintah Indonesia akan menyikapi dengan baik permintaan kami," katanya.

Abdul Manan | Egi Adyatma (Jakarta), Joniansyah (Tengerang)

Dimuat di Majalah Tempo edisi 19 September 2016

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO