Tersandera di Tepi Rokan
HARI semakin gelap ketika gerombolan itu membesar melebihi seratusan orang. Terjebak di tengah kerumunan, tujuh anggota tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak bisa melihat dengan jelas siapa yang mencegat mereka. Tapi mereka masih mendengar jelas teriakan massa yang bergema di tepi Sungai Rokan, Kecamatan Bonai Darussalam, Rokan Hulu, Riau, selepas senja itu.
"Bunuh saja. Bakar!" seorang lelaki berteriak. "Buang saja ke sungai!" yang lain menimpali. Beberapa lelaki mengguncang mobil dinas tim Kementerian. Alarm mobil pun meraung-raung. "Ini saatnya kita bunuh!" seorang pemuda seperti memberi komando.
"Kami hanya bisa menahan diri," kata ketua tim Kementerian, Edo, ketika menceritakan kejadian Jumat malam dua pekan lalu itu di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Drama penyanderaan di sekitar area perkebunan PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) itu berlangsung tak kurang dari delapan jam. Tim Kementerian Lingkungan baru bebas dari kepungan setelah rombongan polisi dan tentara menjemput mereka. Petugas memang pulang ke Jakarta dengan selamat. Tapi sebagian besar bukti pembakaran hutan yang mereka kumpulkan dihilangkan secara paksa oleh penyandera.
Tim dari Jakarta ini turun ke Rokan Hulu atas perintah langsung Menteri Siti Nurbaya. Sebelumnya, Menteri mendapat arahan dari Presiden Joko Widodo. Panggilan dari Istana Negara masuk ketika Siti Nurbaya berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu tiga pekan lalu. Kala itu Jokowi menanyakan penyebab munculnya asap di wilayah Riau. "Kok, masih ada asap? Ada pembakaran besar-besaran lagi? Bagaimana penegakan hukumnya?" ujar Siti mengutip pertanyaan Presiden.
Setiba di Jakarta, Siti meminta penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan mengecek titik panas (hotspot) di wilayah Riau. Hasil pencitraan satelit pada 22-29 Agustus 2016 menangkap lebih dari 660 lebih hotspot. Sebagian berada di area perkebunan PT Andika. Kala itu asap dari Riau sudah menyebar sampai Singapura.
Tim Kementerian yang pertama kali berangkat tiba di Rokan Hulu pada Senin dua pekan lalu. Tim menempuh perjalanan darat selama enam jam dari Kota Pekanbaru. Mereka menjangkau area yang terbakar melalui Desa Bonai, setelah lebih dulu melintasi Sungai Rokan. Untuk menyeberang, mereka naik jembatan ponton. Namun, hari itu, tim Kementerian tak bisa masuk ke lokasi kebakaran karena asap terlalu pekat. Mereka balik kanan ke Pekanbaru.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Rasio Rido Sani tiba di Pekanbaru pada hari yang sama. Rido dan rombongan berangkat ke lokasi kebakaran keesokan harinya. Di tengah jalan, rombongan Kementerian berpapasan dengan orang yang baru keluar dari lahan yang terbakar. Ketika ditanya, orang itu mengaku sebagai petani yang bekerja untuk PT Andika.
Di lokasi kebakaran, menurut Rido, yang terlihat hanya hamparan lahan yang berubah menjadi arang. Kementerian Lingkungan memperkirakan luas lahan yang terbakar sekitar 2.600 hektare. "Ada indikasi perambahan lahan juga," kata Rido. Sore harinya, tim Kementerian kembali ke Pekanbaru untuk menyusun rencana penyelidikan. Untuk dokumentasi, selain membawa kamera digital, tim Kementerian menyiapkan drone perekam video. Adapun Rido kembali ke Jakarta hari itu juga.
Tim Kementerian berangkat lagi lokasi kebakaran tiga hari kemudian. Rombongan kecil, terdiri atas lima polisi kehutanan dan dua penyidik, berangkat dengan dua mobil dobel kabin. Tim mengumpulkan bukti pembakaran lahan dan mengambil foto lokasi dengan kamera. Mereka juga menerbangkan drone untuk membuat video kebakaran. "Sebelum pulang, kami memasang tanda peringatan bahwa kawasan itu dalam penyelidikan," ujar ketua tim Kementerian, Edo.
Menjelang pukul 16.00, tim Kementerian hendak kembali ke Pekanbaru. Namun perjalanan pulang tak semulus ketika mereka berangkat. Tim tak bisa menyeberang karena ponton yang mereka lewati sebelumnya sudah bergeser ke tengah sungai. Tiba-tiba sekitar 60 pemuda mengerubungi mobil tim Kementerian dan meminta rombongan petugas turun. Drama penyanderaan pun dimulai.
Rombongan pemuda yang mengaku sebagai anggota kelompok tani itu "menginterogasi" petugas Kementerian dengan berbagai pertanyaan. Di antara mereka ada yang meminta tim menunjukkan surat tugas. Pemuda lain nyerocos tentang pemerintah yang tak kunjung mengeluarkan izin pengelolaan lahan untuk petani. Mereka juga meminta petugas menghapus foto dan mencabut plang tanda peringatan di lahan yang terbakar.
Di tengah ketegangan, ninik mamak atau tokoh adat datang menengahi. Negosiasi sekitar dua jam menyepakati bahwa plang pengumuman akan dicabut oleh "petani". Demi keselamatan, tim Kementerian pun merelakan foto mereka dihapus. Tapi mereka sempat menyelamatkan rekaman video drone. Dalam video berdurasi 5 menit 27 detik itu terlihat lahan yang terbakar luasnya sejauh mata memandang. Di sejumlah tempat, asap masih mengepul. Video itu juga menunjukkan tumpukan kayu di sisi lahan tanaman sawit.
Sekitar pukul 18.00, tim Kementerian sempat bersalaman dengan nini mamak dan berpamitan untuk pulang. Eh, massa malah mengajukan syarat tambahan: tim Kementerian hanya boleh pulang bila Menteri Siti Nurbaya datang. Situasi pun memanas lagi. Massa mulai meneriakkan berbagai ancaman.
Merasa tak ada jalan keluar, anggota tim Kementerian sempat menyusun siasat untuk meninggalkan lokasi itu dengan berlari ke arah hilir, untuk mencari celah sungai sempit dan menyeberang ke Desa Bonai. Namun rencana itu urung dilakukan karena rombongan Kepala Kepolisian Resor Rokan Hulu datang bersama tentara.
Setelah kembali bernegosiasi, sekitar pukul 02.30, tim Kementerian diperbolehkan pergi. Namun dua kendaraan mereka ditahan massa. Anggota tim Kementerian lantas naik truk polisi dan menginap di kantor Kepolisian Sektor Bonai Darussalam.
Warga yang terlibat dalam insiden di tepi Sungai Rokan itu menampik tudingan bahwa mereka telah menyandera. "Itu terlalu ekstrem istilahnya," kata Kepala Badan Pemberdayaan Desa Bonai, Jefriman, ketika ditemui di Pekanbaru, Rabu pekan lalu. Jefriman beralasan, massa menghadang tim Kementerian karena mereka masuk tanpa izin dan menyegel lahan. Jefriman juga membantah anggapan bahwa massa mengintimidasi petugas. "Mereka sendiri yang menawarkan foto dan rekaman itu dihapus," katanya.
Kementerian Lingkungan mengaitkan "kelompok tani" yang menyandera petugas dengan PT Andika. Menurut Rasio Rido Sani, tim Kementerian datang ke Rokan Hulu untuk memeriksa kebakaran di lahan yang digarap petani dengan bantuan PT Andika. "Ini sangat erat kaitannya dengan PT ASPL," ujar Rido, Kamis pekan lalu.
Direktur Penindakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup M. Yunus menyatakan hal senada. Menurut dia, penyanderaan itu untuk menghilangkan bukti pembakaran lahan dan perambahan hutan.
Jefriman membenarkan bahwa kelompok tani bekerja sama dengan PT Andika lewat pola bapak angkat atau Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Pembukaan lahan seluas 5.000 hektare di Desa Bonai berlangsung sejak 2006. Dua tahun kemudian, lahan seluas 2.000 hektare mulai ditanami kelapa sawit. Masalahnya, menurut Jefriman, anggota kelompok tani tak terima dituduh sebagai pelaku kejahatan pembakaran hutan. Kebakaran, kata dia, terjadi akibat cuaca panas dan angin kencang. "Api menjalar ke perkebunan warga," ujar Jefriman.
Meski sudah menggarap lahan, Jefriman mengakui bahwa petani belum memiliki izin. "Boleh saya bilang, izinnya hanya dari Allah SWT." Petani, kata Jefriman, sudah bertahun-tahun meminta izin, tapi belum dikabulkan.
Juru bicara PT Andika, Novalina Sirait, juga membenarkan bahwa lahan yang terbakar merupakan milik kelompok tani binaan PT Andika. Namun dia membantah anggapan bahwa perusahaan mengerahkan massa untuk menyandera petugas. "Tidak benar itu," ujar Novalina.
Kepolisian Daerah Riau juga tak mau menyebut insiden di Rokan Hulu sebagai penyanderaan. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo, masyarakat hanya ingin mengklarifikasi dan menyampaikan keberatan atas penyegelan lahan. "Bukan penyanderaan, mereka minta perhatian," kata Guntur.
Menteri Siti Nurbaya menjamin insiden penyanderaan tak akan menyurutkan langkah aparat. Ia menyebut kasus di Rokan Hulu sebagai modus perusahaan dalam memperluas area perkebunan dengan tameng kelompok tani. Di samping akan membawa kasus pembakaran dan perambahan hutan ke ranah pidana, menurut Siti, "Kami juga mengkaji kemungkinan gugatan perdata."
Abdul Manan | Arkhelaus W. (Jakarta), Ryan Nofitra (Pekanbaru)
Dimuat di Majalah Tempo edisi 12 September 2016
"Bunuh saja. Bakar!" seorang lelaki berteriak. "Buang saja ke sungai!" yang lain menimpali. Beberapa lelaki mengguncang mobil dinas tim Kementerian. Alarm mobil pun meraung-raung. "Ini saatnya kita bunuh!" seorang pemuda seperti memberi komando.
"Kami hanya bisa menahan diri," kata ketua tim Kementerian, Edo, ketika menceritakan kejadian Jumat malam dua pekan lalu itu di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Drama penyanderaan di sekitar area perkebunan PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) itu berlangsung tak kurang dari delapan jam. Tim Kementerian Lingkungan baru bebas dari kepungan setelah rombongan polisi dan tentara menjemput mereka. Petugas memang pulang ke Jakarta dengan selamat. Tapi sebagian besar bukti pembakaran hutan yang mereka kumpulkan dihilangkan secara paksa oleh penyandera.
Tim dari Jakarta ini turun ke Rokan Hulu atas perintah langsung Menteri Siti Nurbaya. Sebelumnya, Menteri mendapat arahan dari Presiden Joko Widodo. Panggilan dari Istana Negara masuk ketika Siti Nurbaya berada di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu tiga pekan lalu. Kala itu Jokowi menanyakan penyebab munculnya asap di wilayah Riau. "Kok, masih ada asap? Ada pembakaran besar-besaran lagi? Bagaimana penegakan hukumnya?" ujar Siti mengutip pertanyaan Presiden.
Setiba di Jakarta, Siti meminta penyidik pegawai negeri sipil Kementerian Lingkungan mengecek titik panas (hotspot) di wilayah Riau. Hasil pencitraan satelit pada 22-29 Agustus 2016 menangkap lebih dari 660 lebih hotspot. Sebagian berada di area perkebunan PT Andika. Kala itu asap dari Riau sudah menyebar sampai Singapura.
Tim Kementerian yang pertama kali berangkat tiba di Rokan Hulu pada Senin dua pekan lalu. Tim menempuh perjalanan darat selama enam jam dari Kota Pekanbaru. Mereka menjangkau area yang terbakar melalui Desa Bonai, setelah lebih dulu melintasi Sungai Rokan. Untuk menyeberang, mereka naik jembatan ponton. Namun, hari itu, tim Kementerian tak bisa masuk ke lokasi kebakaran karena asap terlalu pekat. Mereka balik kanan ke Pekanbaru.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Rasio Rido Sani tiba di Pekanbaru pada hari yang sama. Rido dan rombongan berangkat ke lokasi kebakaran keesokan harinya. Di tengah jalan, rombongan Kementerian berpapasan dengan orang yang baru keluar dari lahan yang terbakar. Ketika ditanya, orang itu mengaku sebagai petani yang bekerja untuk PT Andika.
Di lokasi kebakaran, menurut Rido, yang terlihat hanya hamparan lahan yang berubah menjadi arang. Kementerian Lingkungan memperkirakan luas lahan yang terbakar sekitar 2.600 hektare. "Ada indikasi perambahan lahan juga," kata Rido. Sore harinya, tim Kementerian kembali ke Pekanbaru untuk menyusun rencana penyelidikan. Untuk dokumentasi, selain membawa kamera digital, tim Kementerian menyiapkan drone perekam video. Adapun Rido kembali ke Jakarta hari itu juga.
Tim Kementerian berangkat lagi lokasi kebakaran tiga hari kemudian. Rombongan kecil, terdiri atas lima polisi kehutanan dan dua penyidik, berangkat dengan dua mobil dobel kabin. Tim mengumpulkan bukti pembakaran lahan dan mengambil foto lokasi dengan kamera. Mereka juga menerbangkan drone untuk membuat video kebakaran. "Sebelum pulang, kami memasang tanda peringatan bahwa kawasan itu dalam penyelidikan," ujar ketua tim Kementerian, Edo.
Menjelang pukul 16.00, tim Kementerian hendak kembali ke Pekanbaru. Namun perjalanan pulang tak semulus ketika mereka berangkat. Tim tak bisa menyeberang karena ponton yang mereka lewati sebelumnya sudah bergeser ke tengah sungai. Tiba-tiba sekitar 60 pemuda mengerubungi mobil tim Kementerian dan meminta rombongan petugas turun. Drama penyanderaan pun dimulai.
Rombongan pemuda yang mengaku sebagai anggota kelompok tani itu "menginterogasi" petugas Kementerian dengan berbagai pertanyaan. Di antara mereka ada yang meminta tim menunjukkan surat tugas. Pemuda lain nyerocos tentang pemerintah yang tak kunjung mengeluarkan izin pengelolaan lahan untuk petani. Mereka juga meminta petugas menghapus foto dan mencabut plang tanda peringatan di lahan yang terbakar.
Di tengah ketegangan, ninik mamak atau tokoh adat datang menengahi. Negosiasi sekitar dua jam menyepakati bahwa plang pengumuman akan dicabut oleh "petani". Demi keselamatan, tim Kementerian pun merelakan foto mereka dihapus. Tapi mereka sempat menyelamatkan rekaman video drone. Dalam video berdurasi 5 menit 27 detik itu terlihat lahan yang terbakar luasnya sejauh mata memandang. Di sejumlah tempat, asap masih mengepul. Video itu juga menunjukkan tumpukan kayu di sisi lahan tanaman sawit.
Sekitar pukul 18.00, tim Kementerian sempat bersalaman dengan nini mamak dan berpamitan untuk pulang. Eh, massa malah mengajukan syarat tambahan: tim Kementerian hanya boleh pulang bila Menteri Siti Nurbaya datang. Situasi pun memanas lagi. Massa mulai meneriakkan berbagai ancaman.
Merasa tak ada jalan keluar, anggota tim Kementerian sempat menyusun siasat untuk meninggalkan lokasi itu dengan berlari ke arah hilir, untuk mencari celah sungai sempit dan menyeberang ke Desa Bonai. Namun rencana itu urung dilakukan karena rombongan Kepala Kepolisian Resor Rokan Hulu datang bersama tentara.
Setelah kembali bernegosiasi, sekitar pukul 02.30, tim Kementerian diperbolehkan pergi. Namun dua kendaraan mereka ditahan massa. Anggota tim Kementerian lantas naik truk polisi dan menginap di kantor Kepolisian Sektor Bonai Darussalam.
Warga yang terlibat dalam insiden di tepi Sungai Rokan itu menampik tudingan bahwa mereka telah menyandera. "Itu terlalu ekstrem istilahnya," kata Kepala Badan Pemberdayaan Desa Bonai, Jefriman, ketika ditemui di Pekanbaru, Rabu pekan lalu. Jefriman beralasan, massa menghadang tim Kementerian karena mereka masuk tanpa izin dan menyegel lahan. Jefriman juga membantah anggapan bahwa massa mengintimidasi petugas. "Mereka sendiri yang menawarkan foto dan rekaman itu dihapus," katanya.
Kementerian Lingkungan mengaitkan "kelompok tani" yang menyandera petugas dengan PT Andika. Menurut Rasio Rido Sani, tim Kementerian datang ke Rokan Hulu untuk memeriksa kebakaran di lahan yang digarap petani dengan bantuan PT Andika. "Ini sangat erat kaitannya dengan PT ASPL," ujar Rido, Kamis pekan lalu.
Direktur Penindakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup M. Yunus menyatakan hal senada. Menurut dia, penyanderaan itu untuk menghilangkan bukti pembakaran lahan dan perambahan hutan.
Jefriman membenarkan bahwa kelompok tani bekerja sama dengan PT Andika lewat pola bapak angkat atau Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Pembukaan lahan seluas 5.000 hektare di Desa Bonai berlangsung sejak 2006. Dua tahun kemudian, lahan seluas 2.000 hektare mulai ditanami kelapa sawit. Masalahnya, menurut Jefriman, anggota kelompok tani tak terima dituduh sebagai pelaku kejahatan pembakaran hutan. Kebakaran, kata dia, terjadi akibat cuaca panas dan angin kencang. "Api menjalar ke perkebunan warga," ujar Jefriman.
Meski sudah menggarap lahan, Jefriman mengakui bahwa petani belum memiliki izin. "Boleh saya bilang, izinnya hanya dari Allah SWT." Petani, kata Jefriman, sudah bertahun-tahun meminta izin, tapi belum dikabulkan.
Juru bicara PT Andika, Novalina Sirait, juga membenarkan bahwa lahan yang terbakar merupakan milik kelompok tani binaan PT Andika. Namun dia membantah anggapan bahwa perusahaan mengerahkan massa untuk menyandera petugas. "Tidak benar itu," ujar Novalina.
Kepolisian Daerah Riau juga tak mau menyebut insiden di Rokan Hulu sebagai penyanderaan. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo, masyarakat hanya ingin mengklarifikasi dan menyampaikan keberatan atas penyegelan lahan. "Bukan penyanderaan, mereka minta perhatian," kata Guntur.
Menteri Siti Nurbaya menjamin insiden penyanderaan tak akan menyurutkan langkah aparat. Ia menyebut kasus di Rokan Hulu sebagai modus perusahaan dalam memperluas area perkebunan dengan tameng kelompok tani. Di samping akan membawa kasus pembakaran dan perambahan hutan ke ranah pidana, menurut Siti, "Kami juga mengkaji kemungkinan gugatan perdata."
Abdul Manan | Arkhelaus W. (Jakarta), Ryan Nofitra (Pekanbaru)
Dimuat di Majalah Tempo edisi 12 September 2016
Comments