Bebas Pembakar di Pelalawan
FRANS Katihokang tak menyembunyikan kegembiraan setelah menjalani sidang sekitar lima jam di Pengadilan Negeri Pelalawan, Riau, Kamis malam dua pekan lalu. Manajer Operasional PT Langgam Inti Hibrindo itu menyalami pengacara dan pengunjung sidang, begitu hakim selesai membacakan putusan.
Majelis hakim yang diketuai I Dewa Gede Budhi Dharma Asmara menyatakan Frans, 48 tahun, tak terbukti bersalah dalam kasus kebakaran lahan pada 27-31 Juli 2015. Tapi putusan itu tak bulat. Hakim anggota Ayu Amelia menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion. "Terdakwa terbukti lalai," kata Ayu ketika mendapat giliran membacakan putusan.
Kasus yang menjerat Frans bermula dari kebakaran lahan seluas 533 hektare di area konsesi PT Langgam Inti Hibrindo. Anak perusahaan PT Provident Agro Tbk ini memiliki hak guna usaha atas lahan seluas 8.716 hektare di Pelalawan. Sebanyak 7.690 hektare berada di lima desa di Kecamatan Langgam dan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Sisanya, sekitar 1.026 hektare, berlokasi di Desa Pangkalan Gondai, Pelalawan. Lahan yang terbakar tahun lalu berada di Afdeling Gondai.
Tak lama setelah kebakaran itu, tim dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan turun ke lapangan. Mereka menemukan lahan yang terbakar seluruhnya berada di areal PT Langgam. Kepolisian Daerah Riau juga menurunkan tim bersama ahli kebakaran hutan dan lahan, Bambang Hero Saharjo, serta ahli kerusakan tanah dan lingkungan, Basuki Wasis, ke lokasi pada 11 Agustus 2015. Kedua ahli ini berasal dari satu almamater: Institut Pertanian Bogor.
Polisi menetapkan Frans sebagai tersangka pada Juli 2015 dan menahannya sejak 17 September 2015. Frans menjalani sidang perdana pada 2 Februari lalu. Jaksa mendakwa Frans secara berlapis. Pada dakwaan primer, misalnya, jaksa menjerat Frans dengan Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 116 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut jaksa, Frans sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Ancaman pidananya maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Dakwaan jaksa menyebut sejumlah indikasi bahwa kebakaran di lahan PT Langgam disengaja. Antara lain seluruh areal terbakar dengan sempurna. Abu dan arang pun menyebar pada lokasi yang relatif merata. Menurut jaksa, pola seperti itu tak mungkin ditemukan bila kebakaran terjadi secara kebetulan. Pergerakan titik api juga menunjukkan bahwa upaya pengendalian kebakaran boleh dibilang tak dilakukan. Upaya pengendalian, menurut jaksa, baru terjadi ketika api hampir "menuntaskan tugasnya".
Dakwaan jaksa juga menyebut ada tanaman sawit yang ikut terbakar. Namun sawit muda berumur 1-2 tahun itu dipenuhi tumbuhan bawah yang tak dikehendaki, bukan sawit yang sehat. Ada juga badan jalan yang tak terbakar, meski blok di kiri-kanannya menjadi arang. Sekali lagi, menurut jaksa, itu menunjukkan kebakaran memiliki pola, tidak seperti kebakaran biasa yang menjalar liar. Dengan menghitung kerugian akibat polusi, kerusakan ekologis, ekomonis, serta biaya pemulihan lingkungan, jaksa menghitung kerugian sekitar Rp 192 miliar.
Ketika menjadi saksi ahli di persidangan, Bambang Hero menegaskan dugaan pembakaran yang disengaja. Indikasinya, menurut dia, peralatan pemantau dan pengendali kebakaran tak memadai meski lahan itu-yang sebagian berupa gambut-diketahui rawan terbakar. Sewaktu Bambang meninjau lokasi kebakaran pada 14 Agustus 2015, di sana hanya terdapat satu menara pengawas api. "Untuk lahan seluas itu, seharusnya ada 5-10 menara," kata Bambang, Kamis pekan lalu.
Karena minimnya sarana pengawasan dan pengendalian kebakaran, menurut Bambang, Kementerian Lingkungan Hidup pernah membekukan izin PT Langgam pada 21 September 2015. Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Pengenaan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan, Rosa Vivien Ratnawati, membenarkan izin perusahaan ini pernah dibekukan. "Setelah mereka memenuhi permintaan kami, pembekuan itu dicabut pada 25 Januari 2016," kata Vivien, Kamis pekan lalu.
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Muhammad Yunus, menambahkan bahwa pencabutan pembekuan izin PT Langgam tak langsung memulihkan lingkungan yang telanjur rusak. Karena itu, "Sanksi administrasi tak melepas tanggung jawab pidana," kata dia.
Pengacara Frans, Hendry M. Hendrawan, membantah tuduhan jaksa dan saksi ahlinya. Menurut dia, sumber api berasal dari luar areal lahan PT Langgam. Perusahaan juga sudah punya sarana-prasarana penanggulangan kebakaran yang mencukupi. Ada menara pemantau, tim pemadam kebakaran, dan pompa yang tersedia sebelum kebakaran. "Untuk membeli pompa dan segala macam itu, klien kami mengeluarkan uang sekitar Rp 2 miliar," kata Hendry, Rabu pekan lalu. "Bagaimana bisa kami dituduh membakar lahan?"
Hendry memang membenarkan izin PT Langgam pernah dibekukan. Namun, menurut dia, perusahaan tak pernah diberi kepastian mengenai sarana apa saja yang harus mereka sediakan. Dalam persidangan, jaksa pun tak menguraikan sarana apa saja yang kurang.
Ihwal kerusakan tanah yang terbakar, Hendry malah mempertanyakan kompetensi laboratorium Fakultas Kehutanan IPB yang, menurut dia, belum mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Lingkungan. Soal sertifikasi ini, menurut Bambang Hero, laboratorium memang tak perlu sertifikasi terpisah karena secara kelembagaan Fakultas Kehutanan IPB telah mendapat akreditasi dari pemerintah.
Untuk memperkuat pembelaannya, kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi ahli lain, Basuki Sumawinata. Meski sama-sama dari IPB, saksi ahli terakhir menyebutkan tak adanya kerusakan tanah akibat kebakaran. Basuki Sumawinata punya kesimpulan begitu setelah menguji sampel tanah yang dia ambil pada 11 April 2016.
Menjelang akhir persidangan, jaksa pun melunak. Dalam sidang tuntutan pada 19 Mei lalu, jaksa tak lagi menjerat Frans dengan Pasal 98 Undang-Undang Lingkungan. Jaksa hanya menjerat Frans dengan Pasal 99 ayat (1) undang-undang yang sama. "Karena unsur kesengajaan tak terbukti, kami hanya menggunakan dakwaan subsider tentang kelalaian," kata jaksa Syafril, Rabu pekan lalu. Dengan pasal kelalaian ini, ancaman hukuman untuk terdakwa pun melorot jadi tiga tahun penjara dan denda Rp 3 miliar. Dalam surat tuntutan, jaksa hanya meminta hakim menghukum Frans dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Dalam sidang putusan, hakim membenarkan sebagian besar argumen kuasa hukum terdakwa. Hakim juga mempertimbangkan hasil pemeriksaan lapangan pada 26 April lalu. Lahan perusahaan dibatasi tanggul setinggi empat meter dan dikelilingi kanal dengan lebar 4-6 meter. Hakim juga menemukan fasilitas pengendali kebakaran seperti menara pengawas api, radio komunikasi, kendaraan patroli, dan kantor yang selalu ditunggu karyawan. "Terdakwa telah memerintahkan pemadaman, mengerahkan peralatan, dan memiliki prosedur baku penanggulangan kebakaran," kata ketua majelis hakim I Dewa Gede.
Hakim anggota Ayu Amelia tak sependapat dengan dua anggota majelis hakim lainnya. Ia merujuk pada analisis mengenai dampak lingkungan yang menyebutkan Afdeling Gondai merupakan kawasan rawan kebakaran. Karena itu perusahaan seharusnya menempatkan lebih banyak peralatan pencegah kebakaran di kawasan itu. Faktanya, menurut Ayu, peralatan itu justru berada di kantor PT Langgam di kawasan Kemang. Jaraknya 30-40 kilometer atau sekitar satu setengah jam perjalanan bermobil dari lokasi kebakaran Afdeling Gondai.
Ihwal perbedaan kesimpulan ahli tentang kerusakan lahan, menurut Ayu, itu bisa terjadi karena rentang waktu pengambilan sampel yang terlalu lama, antara 14 Agustus 2015 dan 11 April 2016. Dalam penelitian terakhir, ada kemungkinan tanah di lahan PT Langgam telah mengalami restorasi secara alami. Karena semua pertimbangan itu, Ayu berkukuh PT Langgam terbukti melanggar Pasal 99 Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Kalangan pegiat kelestarian lingkungan mengapresiasi keberanian hakim Ayu menyampaikan dissenting opinion. Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali, misalnya, mengatakan kewajiban utama perusahaan menurut undang-undang adalah menjaga area yang mereka kuasai. "Tak peduli siapa yang membakar, perusahaan harus bertanggung jawab atas lahan konsesinya," ujar Made.
Bagi Made dan kawan-kawan yang tergabung Riau Corruption Trial (RCT), sikap Ayu Amelia tak terlalu mengejutkan. Sebab, Ayu pernah menjadi anggota majelis hakim yang memvonis bersalah PT Adei Plantation pada 2014. Kala itu hakim Ayu dan kawan-kawan menghukum General Manager PT Adei, Danesuvaran, satu tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Sebagai korporasi, PT Adei didenda Rp 1,5 miliar serta harus mengganti biaya pemulihan lingkungan Rp 15,1 miliar. "Tadinya mengira PT Langgam juga akan divonis bersalah," kata Made.
Abdul Manan, Ryan Nofitra (Pekanbaru)
Dimuat di Majalah Tempo edisi 20 Juni 2016
Majelis hakim yang diketuai I Dewa Gede Budhi Dharma Asmara menyatakan Frans, 48 tahun, tak terbukti bersalah dalam kasus kebakaran lahan pada 27-31 Juli 2015. Tapi putusan itu tak bulat. Hakim anggota Ayu Amelia menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion. "Terdakwa terbukti lalai," kata Ayu ketika mendapat giliran membacakan putusan.
Kasus yang menjerat Frans bermula dari kebakaran lahan seluas 533 hektare di area konsesi PT Langgam Inti Hibrindo. Anak perusahaan PT Provident Agro Tbk ini memiliki hak guna usaha atas lahan seluas 8.716 hektare di Pelalawan. Sebanyak 7.690 hektare berada di lima desa di Kecamatan Langgam dan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Sisanya, sekitar 1.026 hektare, berlokasi di Desa Pangkalan Gondai, Pelalawan. Lahan yang terbakar tahun lalu berada di Afdeling Gondai.
Tak lama setelah kebakaran itu, tim dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan turun ke lapangan. Mereka menemukan lahan yang terbakar seluruhnya berada di areal PT Langgam. Kepolisian Daerah Riau juga menurunkan tim bersama ahli kebakaran hutan dan lahan, Bambang Hero Saharjo, serta ahli kerusakan tanah dan lingkungan, Basuki Wasis, ke lokasi pada 11 Agustus 2015. Kedua ahli ini berasal dari satu almamater: Institut Pertanian Bogor.
Polisi menetapkan Frans sebagai tersangka pada Juli 2015 dan menahannya sejak 17 September 2015. Frans menjalani sidang perdana pada 2 Februari lalu. Jaksa mendakwa Frans secara berlapis. Pada dakwaan primer, misalnya, jaksa menjerat Frans dengan Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 116 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut jaksa, Frans sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Ancaman pidananya maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
Dakwaan jaksa menyebut sejumlah indikasi bahwa kebakaran di lahan PT Langgam disengaja. Antara lain seluruh areal terbakar dengan sempurna. Abu dan arang pun menyebar pada lokasi yang relatif merata. Menurut jaksa, pola seperti itu tak mungkin ditemukan bila kebakaran terjadi secara kebetulan. Pergerakan titik api juga menunjukkan bahwa upaya pengendalian kebakaran boleh dibilang tak dilakukan. Upaya pengendalian, menurut jaksa, baru terjadi ketika api hampir "menuntaskan tugasnya".
Dakwaan jaksa juga menyebut ada tanaman sawit yang ikut terbakar. Namun sawit muda berumur 1-2 tahun itu dipenuhi tumbuhan bawah yang tak dikehendaki, bukan sawit yang sehat. Ada juga badan jalan yang tak terbakar, meski blok di kiri-kanannya menjadi arang. Sekali lagi, menurut jaksa, itu menunjukkan kebakaran memiliki pola, tidak seperti kebakaran biasa yang menjalar liar. Dengan menghitung kerugian akibat polusi, kerusakan ekologis, ekomonis, serta biaya pemulihan lingkungan, jaksa menghitung kerugian sekitar Rp 192 miliar.
Ketika menjadi saksi ahli di persidangan, Bambang Hero menegaskan dugaan pembakaran yang disengaja. Indikasinya, menurut dia, peralatan pemantau dan pengendali kebakaran tak memadai meski lahan itu-yang sebagian berupa gambut-diketahui rawan terbakar. Sewaktu Bambang meninjau lokasi kebakaran pada 14 Agustus 2015, di sana hanya terdapat satu menara pengawas api. "Untuk lahan seluas itu, seharusnya ada 5-10 menara," kata Bambang, Kamis pekan lalu.
Karena minimnya sarana pengawasan dan pengendalian kebakaran, menurut Bambang, Kementerian Lingkungan Hidup pernah membekukan izin PT Langgam pada 21 September 2015. Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Pengenaan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan, Rosa Vivien Ratnawati, membenarkan izin perusahaan ini pernah dibekukan. "Setelah mereka memenuhi permintaan kami, pembekuan itu dicabut pada 25 Januari 2016," kata Vivien, Kamis pekan lalu.
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Muhammad Yunus, menambahkan bahwa pencabutan pembekuan izin PT Langgam tak langsung memulihkan lingkungan yang telanjur rusak. Karena itu, "Sanksi administrasi tak melepas tanggung jawab pidana," kata dia.
Pengacara Frans, Hendry M. Hendrawan, membantah tuduhan jaksa dan saksi ahlinya. Menurut dia, sumber api berasal dari luar areal lahan PT Langgam. Perusahaan juga sudah punya sarana-prasarana penanggulangan kebakaran yang mencukupi. Ada menara pemantau, tim pemadam kebakaran, dan pompa yang tersedia sebelum kebakaran. "Untuk membeli pompa dan segala macam itu, klien kami mengeluarkan uang sekitar Rp 2 miliar," kata Hendry, Rabu pekan lalu. "Bagaimana bisa kami dituduh membakar lahan?"
Hendry memang membenarkan izin PT Langgam pernah dibekukan. Namun, menurut dia, perusahaan tak pernah diberi kepastian mengenai sarana apa saja yang harus mereka sediakan. Dalam persidangan, jaksa pun tak menguraikan sarana apa saja yang kurang.
Ihwal kerusakan tanah yang terbakar, Hendry malah mempertanyakan kompetensi laboratorium Fakultas Kehutanan IPB yang, menurut dia, belum mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Lingkungan. Soal sertifikasi ini, menurut Bambang Hero, laboratorium memang tak perlu sertifikasi terpisah karena secara kelembagaan Fakultas Kehutanan IPB telah mendapat akreditasi dari pemerintah.
Untuk memperkuat pembelaannya, kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi ahli lain, Basuki Sumawinata. Meski sama-sama dari IPB, saksi ahli terakhir menyebutkan tak adanya kerusakan tanah akibat kebakaran. Basuki Sumawinata punya kesimpulan begitu setelah menguji sampel tanah yang dia ambil pada 11 April 2016.
Menjelang akhir persidangan, jaksa pun melunak. Dalam sidang tuntutan pada 19 Mei lalu, jaksa tak lagi menjerat Frans dengan Pasal 98 Undang-Undang Lingkungan. Jaksa hanya menjerat Frans dengan Pasal 99 ayat (1) undang-undang yang sama. "Karena unsur kesengajaan tak terbukti, kami hanya menggunakan dakwaan subsider tentang kelalaian," kata jaksa Syafril, Rabu pekan lalu. Dengan pasal kelalaian ini, ancaman hukuman untuk terdakwa pun melorot jadi tiga tahun penjara dan denda Rp 3 miliar. Dalam surat tuntutan, jaksa hanya meminta hakim menghukum Frans dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Dalam sidang putusan, hakim membenarkan sebagian besar argumen kuasa hukum terdakwa. Hakim juga mempertimbangkan hasil pemeriksaan lapangan pada 26 April lalu. Lahan perusahaan dibatasi tanggul setinggi empat meter dan dikelilingi kanal dengan lebar 4-6 meter. Hakim juga menemukan fasilitas pengendali kebakaran seperti menara pengawas api, radio komunikasi, kendaraan patroli, dan kantor yang selalu ditunggu karyawan. "Terdakwa telah memerintahkan pemadaman, mengerahkan peralatan, dan memiliki prosedur baku penanggulangan kebakaran," kata ketua majelis hakim I Dewa Gede.
Hakim anggota Ayu Amelia tak sependapat dengan dua anggota majelis hakim lainnya. Ia merujuk pada analisis mengenai dampak lingkungan yang menyebutkan Afdeling Gondai merupakan kawasan rawan kebakaran. Karena itu perusahaan seharusnya menempatkan lebih banyak peralatan pencegah kebakaran di kawasan itu. Faktanya, menurut Ayu, peralatan itu justru berada di kantor PT Langgam di kawasan Kemang. Jaraknya 30-40 kilometer atau sekitar satu setengah jam perjalanan bermobil dari lokasi kebakaran Afdeling Gondai.
Ihwal perbedaan kesimpulan ahli tentang kerusakan lahan, menurut Ayu, itu bisa terjadi karena rentang waktu pengambilan sampel yang terlalu lama, antara 14 Agustus 2015 dan 11 April 2016. Dalam penelitian terakhir, ada kemungkinan tanah di lahan PT Langgam telah mengalami restorasi secara alami. Karena semua pertimbangan itu, Ayu berkukuh PT Langgam terbukti melanggar Pasal 99 Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Kalangan pegiat kelestarian lingkungan mengapresiasi keberanian hakim Ayu menyampaikan dissenting opinion. Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali, misalnya, mengatakan kewajiban utama perusahaan menurut undang-undang adalah menjaga area yang mereka kuasai. "Tak peduli siapa yang membakar, perusahaan harus bertanggung jawab atas lahan konsesinya," ujar Made.
Bagi Made dan kawan-kawan yang tergabung Riau Corruption Trial (RCT), sikap Ayu Amelia tak terlalu mengejutkan. Sebab, Ayu pernah menjadi anggota majelis hakim yang memvonis bersalah PT Adei Plantation pada 2014. Kala itu hakim Ayu dan kawan-kawan menghukum General Manager PT Adei, Danesuvaran, satu tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Sebagai korporasi, PT Adei didenda Rp 1,5 miliar serta harus mengganti biaya pemulihan lingkungan Rp 15,1 miliar. "Tadinya mengira PT Langgam juga akan divonis bersalah," kata Made.
Abdul Manan, Ryan Nofitra (Pekanbaru)
Dimuat di Majalah Tempo edisi 20 Juni 2016
Comments