Suap Hakim Sebelum Promosi
JANNER Purba melangkah santai menuju tempat parkir di halaman kantor Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Senin pekan lalu. Jarum jam baru menunjuk pukul 15.00. Seperti hari-hari biasa, kantor di sudut kawasan perkantoran pemerintah Kepahiang di Jalan Aipda Mu'an itu mulai sepi.
Di area parkir, Janner, Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, bertemu dengan seorang lelaki yang belakangan dikenal bernama Febri. Tanpa banyak bicara, sang kurir menyerahkan bungkusan kepada sang hakim. Kala itu, baik Janner maupun Febri tak menyadari beberapa pasang mata mengawasi mereka dari arah kantin pengadilan dan kantor Kepolisian Resor Kepahiang. "Mereka tim KPK dari Jakarta," kata sumber Tempo yang mengetahui pengintaian Janner.
Hari itu Janner masuk kantor untuk persiapan terakhir sidang pembacaan putusan kasus korupsi Rumah Sakit Umum Daerah M. Yunus yang dijadwalkan esok harinya. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, Janner menjadi ketua majelis hakim perkara itu bersama Toton dan Siti Insyirah sebagai hakim anggota. Dua terdakwa kasus ini adalah Edi Santroni, mantan Wakil Direktur Utama RSUD M. Yunus, dan Syafri Syafii, mantan kepala bagian keuangan di rumah sakit tersebut. Menurut perhitungan jaksa, kasus korupsi itu merugikan negara sekitar Rp 5,4 miliar.
Sehari sebelum pembacaan putusan, Syafri mengutus Febri menemui Janner. Setelah menerima titipan Syafri, Janner meluncur dengan mobilnya ke rumah dinas di Jalan Raya Kepahiang Nomor 8. Tak mau kehilangan sasaran, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pun menguntit Janner sampai rumah dinasnya.
Pada saat bersamaan, tim KPK lain di sekitar rumah dinas Janner juga bersiaga. Begitu mobil Janner masuk halaman rumah, sekitar pukul 15.30, tim KPK langsung menyergap sang hakim. Dari tangan Janner, penyidik menyita uang tunai Rp 150 juta.
Siang itu Janner rupanya sedang lengah. Padahal, menurut beberapa orang dekat dia, sebelumnya Janner selalu waspada. Suatu hari pada Januari lalu, misalnya, Janner mengatakan bahwa dia seperti menjadi sasaran pengintaian. Janner merasa dibuntuti ketika bolak-balik dari Pengadilan Tipikor Bengkulu ke Kepahiang, yang berjarak sekitar 58 kilometer. "Saya sering waswas karena seperti ada yang membuntuti," kata Janner, seperti ditirukan anggota staf Pengadilan Negeri Kepahiang.
Penangkapan Janner di rumah dinasnya berlangsung singkat tanpa perlawanan. Sejumlah sopir mobil travel yang biasa mangkal di warung sebelah rumah dinas itu mengatakan, sewaktu penangkapan, mereka hanya melihat beberapa mobil Innova terparkir di depan rumah Janner. "Beberapa orang keluar rumah kemudian masuk mobil dan pergi," kata seorang sopir sambil menunjuk ke arah jalan lintas Kepahiang-Rejang Lebong.
Menurut seorang penegak hukum, duit Rp 150 juta di tangan Janner merupakan bagian dari uang suap dalam kasus korupsi RSUD M. Yunus. Penyerahan uang pada siang itu merupakan yang kedua kalinya. Itu juga bukan pemberian terakhir. "Komitmen dalam kasus ini Rp 1 miliar, dengan janji semua terdakwa dibebaskan," kata si penegak hukum.
Penyerahan uang pertama, sebesar Rp 500 juta, berlangsung di Mega Mall Bengkulu pada 17 Mei lalu. Kala itu Janner mengambil uang suap sambil mengantar anaknya menonton film di Bioskop 21. Setelah anaknya masuk bioskop, Janner menuju ke area food court di lantai tiga mal. Di sana ia bertemu Febri. Janner sempat menyimpan uang tersebut di brankas di kantor Pengadilan Negeri Kepahiang. Belakangan, Janner mentransfer uang tersebut. Penyidik KPK masih meneliti siapa pemilik rekening penerima transfer itu.
Setelah menangkap Janner, tim KPK mencokok Febri di Jalan Kepahiang, tak jauh dari rumah Janner. Tim KPK lalu membawa Janner dan Febri ke kantor Pengadilan Negeri Kepahiang. Rombongan sampai di sana pukul 17.50. Waktu itu juru bicara Pengadilan Negeri Kepahiang, Yongki, masih berada di kantor. Petugas KPK pun meminta dia menjadi saksi penyegelan ruangan ketua pengadilan.
Sekitar pukul 18.00, tim KPK lainnya mencokok hakim ad hoc Toton, yang diduga turut menerima suap di kantor Pengadilan Tipikor Bengkulu. Penyidik juga menangkap panitera pengganti Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy karena diduga mengatur administrasi perkara di pengadilan itu. Adapun terdakwa Syarif dan Edi ditangkap di rumah masing-masing.
Malam itu tim KPK membawa delapan orang ke kantor Kepolisian Daerah Bengkulu. Istri Janner, EH, dan anaknya, CFB, termasuk yang dibawa ke kantor polisi. Istri dan anak Janner kemudian diizinkan pulang. Sedangkan Janner dan lima orang lainnya dibawa ke Jakarta dengan penerbangan Garuda Indonesia keesokan harinya.
Setibanya di Jakarta, Janner dkk diperiksa selama 12 jam. Rabu dinihari, pukul 03.15, pemeriksaan tahap pertama baru kelar. Komisi antikorupsi menetapkan lima orang sebagai tersangka. "Mereka ditahan selama 20 hari ke depan," kata pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak.
Komisi antirasuah menjerat Janner dan Toton dengan pasal pidana menerima suap. Keduanya bisa dipidana sampai 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. Adapun Edi dan Syafri, yang dijerat dengan pasal pidana memberi suap, terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta. Sedangkan Badaruddin alias Billy terancam dipenjara maksimal 5 tahun dan didenda Rp 250 juta.
Penangkapan Janner dkk tak hanya menunda sidang vonis kasus korupsi RSUD M. Yunus. Menurut juru bicara Pengadilan Tipikor Bengkulu, Jonner Manik, semua kasus yang ditangani Janner dan Toton akan ditunda hingga ada majelis hakim yang baru.
Di samping memegang kasus RSUD M. Yunus, Janner menangani kasus korupsi pembangunan jogging track, proyek Tortila Kabupaten Mukomuko, dan pembangunan jalan di Desa Nanti Agung, Kabupaten Seluma. Total, hingga Mei 2015, Janner menangani 21 perkara korupsi. Adapun Toton mengadili 65 perkara.
Wakil Ketua Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mengatakan pihaknya belum pernah menerima pengaduan tentang ulah hakim Toton. Sebelum menjadi hakim ad hoc pada 2011, Toton yang berlatar belakang pengacara pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluma periode 2004-2009. Rosmani, istri Toton, tak percaya suaminya terseret kasus suap. "Sebagai bentuk komitmennya sebagai hakim, dia tak pernah menerima tamu di rumah kecuali keluarga dekat," kata dia.
Adapun soal penangkapan Janner, Farid mengaku tak kaget lagi. Soalnya, Komisi Yudisial sudah berkali-kali menerima laporan miring seputar sepak terjang Janner. Dari enam pengaduan yang masuk, Komisi Yudisial pernah merekomendasikan Janner diberi sanksi ringan dalam dua kasus.
Janner menjadi hakim karier sejak 1996. Pria kelahiran Simalungun 55 tahun silam itu sudah malang-melintang di berbagai pengadilan. Antara lain, Janner pernah bertugas di Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Lampung Tengah; Pengadilan Negeri Banyumas, Jawa Tengah; dan Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Sumatera Utara. Pada 13 Maret 2015, Janner naik pangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang.
Sewaktu bertugas di Pengadilan Negeri Kisaran, misalnya, Janner masuk radar Komisi Yudisial. Namanya termasuk satu dari tiga hakim yang diadukan meminta uang ketika menangani sengketa hak pengasuhan anak. Namun kasus itu tak berlanjut karena file rekaman permintaan uang rusak. Janner juga mendapat sorotan ketika memvonis bebas bekas Bupati Seluma, Murman Effendi, pada 12 Agustus 2015. Dalam kasus korupsi yang diduga merugikan negara Rp 3 miliar itu, jaksa menuntut Murman tujuh tahun penjara.
Bila tidak dicokok KPK, Janner tak lama lagi bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang. Sejak 20 April lalu, ia sudah diberi tahu akan dipromosikan menjadi Ketua Pengadilan Negeri Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Dua pengadilan ini sama-sama tipe kelas 2. Tapi Pengadilan Negeri Kisaran lebih tua dan jumlah perkaranya lebih banyak.
Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi mengatakan belum menerima data rekam jejak Janner dari Badan Pengawas MA. Karena Janner ditangkap KPK, kata Suhadi, "Otomatis promosinya dibatalkan."
Abdul Manan, Linda Trianita, Maya Ayu (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Dimuat di Majalah Tempo edisi 30 Mei 2016
Di area parkir, Janner, Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, bertemu dengan seorang lelaki yang belakangan dikenal bernama Febri. Tanpa banyak bicara, sang kurir menyerahkan bungkusan kepada sang hakim. Kala itu, baik Janner maupun Febri tak menyadari beberapa pasang mata mengawasi mereka dari arah kantin pengadilan dan kantor Kepolisian Resor Kepahiang. "Mereka tim KPK dari Jakarta," kata sumber Tempo yang mengetahui pengintaian Janner.
Hari itu Janner masuk kantor untuk persiapan terakhir sidang pembacaan putusan kasus korupsi Rumah Sakit Umum Daerah M. Yunus yang dijadwalkan esok harinya. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, Janner menjadi ketua majelis hakim perkara itu bersama Toton dan Siti Insyirah sebagai hakim anggota. Dua terdakwa kasus ini adalah Edi Santroni, mantan Wakil Direktur Utama RSUD M. Yunus, dan Syafri Syafii, mantan kepala bagian keuangan di rumah sakit tersebut. Menurut perhitungan jaksa, kasus korupsi itu merugikan negara sekitar Rp 5,4 miliar.
Sehari sebelum pembacaan putusan, Syafri mengutus Febri menemui Janner. Setelah menerima titipan Syafri, Janner meluncur dengan mobilnya ke rumah dinas di Jalan Raya Kepahiang Nomor 8. Tak mau kehilangan sasaran, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pun menguntit Janner sampai rumah dinasnya.
Pada saat bersamaan, tim KPK lain di sekitar rumah dinas Janner juga bersiaga. Begitu mobil Janner masuk halaman rumah, sekitar pukul 15.30, tim KPK langsung menyergap sang hakim. Dari tangan Janner, penyidik menyita uang tunai Rp 150 juta.
Siang itu Janner rupanya sedang lengah. Padahal, menurut beberapa orang dekat dia, sebelumnya Janner selalu waspada. Suatu hari pada Januari lalu, misalnya, Janner mengatakan bahwa dia seperti menjadi sasaran pengintaian. Janner merasa dibuntuti ketika bolak-balik dari Pengadilan Tipikor Bengkulu ke Kepahiang, yang berjarak sekitar 58 kilometer. "Saya sering waswas karena seperti ada yang membuntuti," kata Janner, seperti ditirukan anggota staf Pengadilan Negeri Kepahiang.
Penangkapan Janner di rumah dinasnya berlangsung singkat tanpa perlawanan. Sejumlah sopir mobil travel yang biasa mangkal di warung sebelah rumah dinas itu mengatakan, sewaktu penangkapan, mereka hanya melihat beberapa mobil Innova terparkir di depan rumah Janner. "Beberapa orang keluar rumah kemudian masuk mobil dan pergi," kata seorang sopir sambil menunjuk ke arah jalan lintas Kepahiang-Rejang Lebong.
Menurut seorang penegak hukum, duit Rp 150 juta di tangan Janner merupakan bagian dari uang suap dalam kasus korupsi RSUD M. Yunus. Penyerahan uang pada siang itu merupakan yang kedua kalinya. Itu juga bukan pemberian terakhir. "Komitmen dalam kasus ini Rp 1 miliar, dengan janji semua terdakwa dibebaskan," kata si penegak hukum.
Penyerahan uang pertama, sebesar Rp 500 juta, berlangsung di Mega Mall Bengkulu pada 17 Mei lalu. Kala itu Janner mengambil uang suap sambil mengantar anaknya menonton film di Bioskop 21. Setelah anaknya masuk bioskop, Janner menuju ke area food court di lantai tiga mal. Di sana ia bertemu Febri. Janner sempat menyimpan uang tersebut di brankas di kantor Pengadilan Negeri Kepahiang. Belakangan, Janner mentransfer uang tersebut. Penyidik KPK masih meneliti siapa pemilik rekening penerima transfer itu.
Setelah menangkap Janner, tim KPK mencokok Febri di Jalan Kepahiang, tak jauh dari rumah Janner. Tim KPK lalu membawa Janner dan Febri ke kantor Pengadilan Negeri Kepahiang. Rombongan sampai di sana pukul 17.50. Waktu itu juru bicara Pengadilan Negeri Kepahiang, Yongki, masih berada di kantor. Petugas KPK pun meminta dia menjadi saksi penyegelan ruangan ketua pengadilan.
Sekitar pukul 18.00, tim KPK lainnya mencokok hakim ad hoc Toton, yang diduga turut menerima suap di kantor Pengadilan Tipikor Bengkulu. Penyidik juga menangkap panitera pengganti Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy karena diduga mengatur administrasi perkara di pengadilan itu. Adapun terdakwa Syarif dan Edi ditangkap di rumah masing-masing.
Malam itu tim KPK membawa delapan orang ke kantor Kepolisian Daerah Bengkulu. Istri Janner, EH, dan anaknya, CFB, termasuk yang dibawa ke kantor polisi. Istri dan anak Janner kemudian diizinkan pulang. Sedangkan Janner dan lima orang lainnya dibawa ke Jakarta dengan penerbangan Garuda Indonesia keesokan harinya.
Setibanya di Jakarta, Janner dkk diperiksa selama 12 jam. Rabu dinihari, pukul 03.15, pemeriksaan tahap pertama baru kelar. Komisi antikorupsi menetapkan lima orang sebagai tersangka. "Mereka ditahan selama 20 hari ke depan," kata pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak.
Komisi antirasuah menjerat Janner dan Toton dengan pasal pidana menerima suap. Keduanya bisa dipidana sampai 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar. Adapun Edi dan Syafri, yang dijerat dengan pasal pidana memberi suap, terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta. Sedangkan Badaruddin alias Billy terancam dipenjara maksimal 5 tahun dan didenda Rp 250 juta.
Penangkapan Janner dkk tak hanya menunda sidang vonis kasus korupsi RSUD M. Yunus. Menurut juru bicara Pengadilan Tipikor Bengkulu, Jonner Manik, semua kasus yang ditangani Janner dan Toton akan ditunda hingga ada majelis hakim yang baru.
Di samping memegang kasus RSUD M. Yunus, Janner menangani kasus korupsi pembangunan jogging track, proyek Tortila Kabupaten Mukomuko, dan pembangunan jalan di Desa Nanti Agung, Kabupaten Seluma. Total, hingga Mei 2015, Janner menangani 21 perkara korupsi. Adapun Toton mengadili 65 perkara.
Wakil Ketua Komisi Yudisial, Farid Wajdi, mengatakan pihaknya belum pernah menerima pengaduan tentang ulah hakim Toton. Sebelum menjadi hakim ad hoc pada 2011, Toton yang berlatar belakang pengacara pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluma periode 2004-2009. Rosmani, istri Toton, tak percaya suaminya terseret kasus suap. "Sebagai bentuk komitmennya sebagai hakim, dia tak pernah menerima tamu di rumah kecuali keluarga dekat," kata dia.
Adapun soal penangkapan Janner, Farid mengaku tak kaget lagi. Soalnya, Komisi Yudisial sudah berkali-kali menerima laporan miring seputar sepak terjang Janner. Dari enam pengaduan yang masuk, Komisi Yudisial pernah merekomendasikan Janner diberi sanksi ringan dalam dua kasus.
Janner menjadi hakim karier sejak 1996. Pria kelahiran Simalungun 55 tahun silam itu sudah malang-melintang di berbagai pengadilan. Antara lain, Janner pernah bertugas di Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Lampung Tengah; Pengadilan Negeri Banyumas, Jawa Tengah; dan Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Sumatera Utara. Pada 13 Maret 2015, Janner naik pangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang.
Sewaktu bertugas di Pengadilan Negeri Kisaran, misalnya, Janner masuk radar Komisi Yudisial. Namanya termasuk satu dari tiga hakim yang diadukan meminta uang ketika menangani sengketa hak pengasuhan anak. Namun kasus itu tak berlanjut karena file rekaman permintaan uang rusak. Janner juga mendapat sorotan ketika memvonis bebas bekas Bupati Seluma, Murman Effendi, pada 12 Agustus 2015. Dalam kasus korupsi yang diduga merugikan negara Rp 3 miliar itu, jaksa menuntut Murman tujuh tahun penjara.
Bila tidak dicokok KPK, Janner tak lama lagi bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang. Sejak 20 April lalu, ia sudah diberi tahu akan dipromosikan menjadi Ketua Pengadilan Negeri Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Dua pengadilan ini sama-sama tipe kelas 2. Tapi Pengadilan Negeri Kisaran lebih tua dan jumlah perkaranya lebih banyak.
Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi mengatakan belum menerima data rekam jejak Janner dari Badan Pengawas MA. Karena Janner ditangkap KPK, kata Suhadi, "Otomatis promosinya dibatalkan."
Abdul Manan, Linda Trianita, Maya Ayu (Jakarta), Phesi Ester Julikawati (Bengkulu)
Dimuat di Majalah Tempo edisi 30 Mei 2016
Comments