Siang Durjana di Kasie Kasubun
KEGIATAN di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong, Bengkulu, Sabtu awal April lalu berjalan seperti akhir pekan biasa. Siswa datang ke sekolah pukul 07.15, lalu pulang pukul 12.00. Yang agak beda, di sekolah hari itu ada acara memasak pempek bersama. Yeye--bukan nama sebenarnya--diminta bantuan oleh gurunya membeli udang kecil segar di warung dekat sekolah. "Dia malah beli ebi, udang kering," kata Maria, guru di sekolah itu, Rabu pekan lalu.
Maria tak menyangka itu terakhir kalinya dia bertemu dengan Yeye. Tiga hari kemudian, jasad Yeye ditemukan membusuk di jurang antara Dusun 4 dan Dusun 5. Yeye meninggal dengan cara tak biasa. Perbuatan durjana 14 lelaki, 4 orang di antaranya masih anak-anak, telah merenggut nyawa gadis itu.
Sewaktu bubar sekolah, Maria menuturkan, seorang guru menawari Yeye tumpangan naik sepeda motor. Namun Yeye menolak tawaran itu karena Rima, sahabat dia, lebih dulu menawarkan hal yang sama. Ternyata Rima batal mengantar siswa kelas VII itu karena motornya tiba-tiba mogok. "Saya masih merasa bersalah," ujar Rima, Rabu pekan lalu.
Di sekolah, Yeye dikenal rajin dan sering menolong teman. "Prestasinya pun bagus," kata Maria. Pada semester I di sekolah menengah pertama, Yeye menempati peringkat ketiga. Selama di sekolah dasar, Yeye lebih sering menempati ranking pertama.
Siang itu, tepatnya 2 April lalu, Yeye akhirnya pulang sendiri berjalan kaki. Ia menyusuri jalan sepanjang dua kilometer, yang diapit perkebunan sawit di sisi kiri dan tepi jurang di sisi kanannya. Yeye meninggalkan sekolah sekitar pukul 12.30. Dia tak pernah sampai ke rumahnya di Dusun 5, Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding.
Desa Kasie Kasubun berjarak 46 kilometer dari Kota Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Dari Curup ke Kota Bengkulu jaraknya 85 kilometer. Di Rejang Lebong, sampai 2014, Kecamatan Padang Ulak Tanding tercatat sebagai wilayah dengan jumlah keluarga miskin terbanyak. Di sana tinggal 618 keluarga yang dikategorikan sangat miskin--dari total 3.592 keluarga miskin di kabupaten itu. Di tengah-tengah desa miskin, Desa Kasie Kasubun tergolong desa termiskin.
Sehari-hari Yeye tinggal di rumah kayu dua tingkat, seluas 30 meter persegi, bersama saudara kembar laki-lakinya, Yayan. Adapun kedua orang tuanya, Yakin dan Nuryana, lebih banyak tinggal di kebun kopi di Desa Bukit Batu, sekitar dua jam jalan kaki dari rumahnya. Sesekali Yakin menitipkan Yeye dan Yayan kepada kakek dan sepupunya yang tinggal tak jauh dari rumah mereka.
Bagi Yayan, Yeye ibarat pengganti ibunya yang jarang di rumah. Yeye biasa memasak dan mencuci perabotan rumah. Yeye juga yang membantu Yayan mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Meski saudara kembar, Yayan baru duduk di kelas V sekolah dasar.
Kebiasaan lain Yeye setelah bersih-bersih di rumah adalah mengaji bersama temannya di musala depan rumah. Wiwid, tetangga rumah, menyebut Yeye anak yang menyenangkan. Bila tak ada pekerjaan di rumah, Yeye tak keluyuran bersama teman-teman seusianya. Ia lebih suka mengajak main anak tetangga di bawah usianya. "Dia sering main bola dengan anak saya," kata bidan desa ini. Jika ada tetangga punya hajatan, Yeye pun sering membantu, menggantikan ibunya yang tak ada di rumah.
Pada hari nahas itu, ketika siang menjelang sore, Yayan yang menunggu Yeye di rumah mulai cemas. Ia bertanya kepada sejumlah orang, tapi tak ada yang tahu di mana Yeye berada. Hujan deras yang turun sejak sore hingga malam membuat Yayan menghentikan pencarian kembarannya. Keesokan harinya, sewaktu pulang ke rumah, ayah dan ibu Yeye terkaget-kaget ketika mengetahui Yeye semalam tak pulang.
Yakin dan Nuryana pun meminta bantuan tetangga mencari anaknya. Seharian mencari Yeye tanpa hasil, keluarga menggelar doa bersama dan meminta bantuan paranormal. Baru pada hari ketiga, 4 April lalu, pencarian membuahkan hasil. Seorang penduduk desa mencium bau busuk dari arah tebing, sekitar 500 meter dari rumah keluarga Yeye. Sumber bau itu tak lain jasad Yeye.
Di dasar tebing, tubuh mungil Yeye mulai membusuk dengan luka di beberapa bagian organnya. Leher Yeye diikat ke lutut sebelah kiri. Sedangkan kedua tangannya diikat ke lutut kanan, menggunakan sobekan celana olahraga. Mayat Yeye hanya tertutup kaus dalam.
Setelah mendapat laporan, polisi baru mendatangi tempat penemuan mayat Yeye. Kepala Kepolisian Sektor Padang Ulak Tanding Inspektur Satu Eka Candra menuturkan, polisi segera membawa jenazah korban ke puskesmas. Setelah memeriksa jasad Yeye bersama petugas medis, polisi memastikan anak itu menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan.
Polisi kembali ke lokasi penemuan mayat keesokan harinya. Pada pemeriksaan lokasi kedua kalinya itu, polisi menyimpulkan bahwa jenazah berasal dari tempat lain. Polisi juga memastikan pelaku tak sendirian.
Berangkat dari kesimpulan awal, polisi melacak pelaku dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi sebelumnya. Termasuk dalam catatan polisi adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan remaja berinisial De, 18 tahun. Warga Dusun 4 itu pernah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang murid sekolah dasar. Kasusnya tak sampai ke meja hukum karena diselesaikan secara kekeluargaan.
Polisi lantas memanggil De pada 8 April lalu. Setelah diperiksa beberapa jam, De akhirnya buka mulut. Dia pun langsung ditahan. "Pengakuan De menjadi petunjuk untuk penangkapan sebelas tersangka lain," ujar Eka. Kesebelas tersangka itu dicokok satu per satu dari rumah mereka pada 9 April lalu. Mereka adalah Da, 17 tahun, Fs (18), Su (18), Al (17), So (16), dan Ek (16). Pelaku yang langsung diumumkan nama lengkapnya adalah Tomi Wijaya alias Tobi (19), Suket (19), Bobi (20), Faisal alias Pis (19), dan Zainal (23). Hingga akhir pekan lalu, polisi masih memburu dua pelaku: FR (19) dan JP (17).
Seorang pelaku, Su, adalah kakak kelas Yeye. Yang membuat Eka geleng-geleng, beberapa pelaku pura-pura ikut mencari korban bersama tetangga lainnya.
Kepada polisi, para pelaku mengaku meminum 4 liter tuak, seharga Rp 5.000 per liter, sebelum berbuat keji terhadap Yeye. Mereka meminum tuak di kebun sebelum pindah ke pinggir jalan. Sekitar pukul 13.00, mereka melihat korban lewat mengenakan pakaian Pramuka serta membawa taplak meja dan bendera Merah Putih. "Ada cewek, Ce," kata De kepada teman-temannya, seperti ditirukan Kepala Unit Reserse Kriminal Brigadir Kepala Sutriono. "Ce" adalah sapaan seperti "Bro".
De yang paling dulu mencegat Yeye dan menarik tangannya. Dia membekap mulut korban agar tak berteriak. De lalu menyeret Yeye ke tepi jurang, sekitar 20 meter dari tepi jalan. Lalu terjadilah perbuatan durjana itu. Gerombolan ini memukul bagian belakang tubuh Yeye hingga ia pingsan. Setelah bergiliran memerkosa Yeye, komplotan ini melempar jasad korban yang tak berdaya ke jurang sedalam 50 meter.
Pekan lalu, tujuh pelaku diadili di Pengadilan Negeri Curup. Lima lainnya masih menunggu giliran. Jaksa menuntut mereka dihukum 10 tahun penjara menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pengacara para terdakwa, Gunawan, mengatakan kliennya menyesali perbuatan mereka dan berharap mendapat pengurangan hukuman. "Mereka berharap masih dapat melanjutkan sekolah," ucap Gunawan.
Ditemui di rumahnya pada Rabu pekan lalu, Nuryana menyatakan tak puas atas tuntutan jaksa. Ia mengisahkan betapa lamanya mereka menunggu kelahiran Yeye dan saudara kembarnya. Enam tahun setelah menikah, mereka tak kunjung punya momongan. "Dia anak yang kami minta dan kami nazarkan. Sekarang diperlakukan seperti itu," kata Nuryana sembari menahan tangis dan memeluk potret putrinya. "Seharusnya mereka dihukum mati atau dipenjara seumur hidup."
ABDUL MANAN, PHESI ESTER JULIKAWATI
Dimuat di Majalah Tempo edisi 9 Mei 2016
Maria tak menyangka itu terakhir kalinya dia bertemu dengan Yeye. Tiga hari kemudian, jasad Yeye ditemukan membusuk di jurang antara Dusun 4 dan Dusun 5. Yeye meninggal dengan cara tak biasa. Perbuatan durjana 14 lelaki, 4 orang di antaranya masih anak-anak, telah merenggut nyawa gadis itu.
Sewaktu bubar sekolah, Maria menuturkan, seorang guru menawari Yeye tumpangan naik sepeda motor. Namun Yeye menolak tawaran itu karena Rima, sahabat dia, lebih dulu menawarkan hal yang sama. Ternyata Rima batal mengantar siswa kelas VII itu karena motornya tiba-tiba mogok. "Saya masih merasa bersalah," ujar Rima, Rabu pekan lalu.
Di sekolah, Yeye dikenal rajin dan sering menolong teman. "Prestasinya pun bagus," kata Maria. Pada semester I di sekolah menengah pertama, Yeye menempati peringkat ketiga. Selama di sekolah dasar, Yeye lebih sering menempati ranking pertama.
Siang itu, tepatnya 2 April lalu, Yeye akhirnya pulang sendiri berjalan kaki. Ia menyusuri jalan sepanjang dua kilometer, yang diapit perkebunan sawit di sisi kiri dan tepi jurang di sisi kanannya. Yeye meninggalkan sekolah sekitar pukul 12.30. Dia tak pernah sampai ke rumahnya di Dusun 5, Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding.
Desa Kasie Kasubun berjarak 46 kilometer dari Kota Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Dari Curup ke Kota Bengkulu jaraknya 85 kilometer. Di Rejang Lebong, sampai 2014, Kecamatan Padang Ulak Tanding tercatat sebagai wilayah dengan jumlah keluarga miskin terbanyak. Di sana tinggal 618 keluarga yang dikategorikan sangat miskin--dari total 3.592 keluarga miskin di kabupaten itu. Di tengah-tengah desa miskin, Desa Kasie Kasubun tergolong desa termiskin.
Sehari-hari Yeye tinggal di rumah kayu dua tingkat, seluas 30 meter persegi, bersama saudara kembar laki-lakinya, Yayan. Adapun kedua orang tuanya, Yakin dan Nuryana, lebih banyak tinggal di kebun kopi di Desa Bukit Batu, sekitar dua jam jalan kaki dari rumahnya. Sesekali Yakin menitipkan Yeye dan Yayan kepada kakek dan sepupunya yang tinggal tak jauh dari rumah mereka.
Bagi Yayan, Yeye ibarat pengganti ibunya yang jarang di rumah. Yeye biasa memasak dan mencuci perabotan rumah. Yeye juga yang membantu Yayan mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Meski saudara kembar, Yayan baru duduk di kelas V sekolah dasar.
Kebiasaan lain Yeye setelah bersih-bersih di rumah adalah mengaji bersama temannya di musala depan rumah. Wiwid, tetangga rumah, menyebut Yeye anak yang menyenangkan. Bila tak ada pekerjaan di rumah, Yeye tak keluyuran bersama teman-teman seusianya. Ia lebih suka mengajak main anak tetangga di bawah usianya. "Dia sering main bola dengan anak saya," kata bidan desa ini. Jika ada tetangga punya hajatan, Yeye pun sering membantu, menggantikan ibunya yang tak ada di rumah.
Pada hari nahas itu, ketika siang menjelang sore, Yayan yang menunggu Yeye di rumah mulai cemas. Ia bertanya kepada sejumlah orang, tapi tak ada yang tahu di mana Yeye berada. Hujan deras yang turun sejak sore hingga malam membuat Yayan menghentikan pencarian kembarannya. Keesokan harinya, sewaktu pulang ke rumah, ayah dan ibu Yeye terkaget-kaget ketika mengetahui Yeye semalam tak pulang.
Yakin dan Nuryana pun meminta bantuan tetangga mencari anaknya. Seharian mencari Yeye tanpa hasil, keluarga menggelar doa bersama dan meminta bantuan paranormal. Baru pada hari ketiga, 4 April lalu, pencarian membuahkan hasil. Seorang penduduk desa mencium bau busuk dari arah tebing, sekitar 500 meter dari rumah keluarga Yeye. Sumber bau itu tak lain jasad Yeye.
Di dasar tebing, tubuh mungil Yeye mulai membusuk dengan luka di beberapa bagian organnya. Leher Yeye diikat ke lutut sebelah kiri. Sedangkan kedua tangannya diikat ke lutut kanan, menggunakan sobekan celana olahraga. Mayat Yeye hanya tertutup kaus dalam.
Setelah mendapat laporan, polisi baru mendatangi tempat penemuan mayat Yeye. Kepala Kepolisian Sektor Padang Ulak Tanding Inspektur Satu Eka Candra menuturkan, polisi segera membawa jenazah korban ke puskesmas. Setelah memeriksa jasad Yeye bersama petugas medis, polisi memastikan anak itu menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan.
Polisi kembali ke lokasi penemuan mayat keesokan harinya. Pada pemeriksaan lokasi kedua kalinya itu, polisi menyimpulkan bahwa jenazah berasal dari tempat lain. Polisi juga memastikan pelaku tak sendirian.
Berangkat dari kesimpulan awal, polisi melacak pelaku dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi sebelumnya. Termasuk dalam catatan polisi adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan remaja berinisial De, 18 tahun. Warga Dusun 4 itu pernah melakukan kekerasan seksual terhadap seorang murid sekolah dasar. Kasusnya tak sampai ke meja hukum karena diselesaikan secara kekeluargaan.
Polisi lantas memanggil De pada 8 April lalu. Setelah diperiksa beberapa jam, De akhirnya buka mulut. Dia pun langsung ditahan. "Pengakuan De menjadi petunjuk untuk penangkapan sebelas tersangka lain," ujar Eka. Kesebelas tersangka itu dicokok satu per satu dari rumah mereka pada 9 April lalu. Mereka adalah Da, 17 tahun, Fs (18), Su (18), Al (17), So (16), dan Ek (16). Pelaku yang langsung diumumkan nama lengkapnya adalah Tomi Wijaya alias Tobi (19), Suket (19), Bobi (20), Faisal alias Pis (19), dan Zainal (23). Hingga akhir pekan lalu, polisi masih memburu dua pelaku: FR (19) dan JP (17).
Seorang pelaku, Su, adalah kakak kelas Yeye. Yang membuat Eka geleng-geleng, beberapa pelaku pura-pura ikut mencari korban bersama tetangga lainnya.
Kepada polisi, para pelaku mengaku meminum 4 liter tuak, seharga Rp 5.000 per liter, sebelum berbuat keji terhadap Yeye. Mereka meminum tuak di kebun sebelum pindah ke pinggir jalan. Sekitar pukul 13.00, mereka melihat korban lewat mengenakan pakaian Pramuka serta membawa taplak meja dan bendera Merah Putih. "Ada cewek, Ce," kata De kepada teman-temannya, seperti ditirukan Kepala Unit Reserse Kriminal Brigadir Kepala Sutriono. "Ce" adalah sapaan seperti "Bro".
De yang paling dulu mencegat Yeye dan menarik tangannya. Dia membekap mulut korban agar tak berteriak. De lalu menyeret Yeye ke tepi jurang, sekitar 20 meter dari tepi jalan. Lalu terjadilah perbuatan durjana itu. Gerombolan ini memukul bagian belakang tubuh Yeye hingga ia pingsan. Setelah bergiliran memerkosa Yeye, komplotan ini melempar jasad korban yang tak berdaya ke jurang sedalam 50 meter.
Pekan lalu, tujuh pelaku diadili di Pengadilan Negeri Curup. Lima lainnya masih menunggu giliran. Jaksa menuntut mereka dihukum 10 tahun penjara menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pengacara para terdakwa, Gunawan, mengatakan kliennya menyesali perbuatan mereka dan berharap mendapat pengurangan hukuman. "Mereka berharap masih dapat melanjutkan sekolah," ucap Gunawan.
Ditemui di rumahnya pada Rabu pekan lalu, Nuryana menyatakan tak puas atas tuntutan jaksa. Ia mengisahkan betapa lamanya mereka menunggu kelahiran Yeye dan saudara kembarnya. Enam tahun setelah menikah, mereka tak kunjung punya momongan. "Dia anak yang kami minta dan kami nazarkan. Sekarang diperlakukan seperti itu," kata Nuryana sembari menahan tangis dan memeluk potret putrinya. "Seharusnya mereka dihukum mati atau dipenjara seumur hidup."
ABDUL MANAN, PHESI ESTER JULIKAWATI
Dimuat di Majalah Tempo edisi 9 Mei 2016
Comments