Pasal Karet Penangkal Teror

BULAN ini Muhammad Syafi'i punya kesibukan baru. Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Terorisme itu rajin menghadiri berbagai diskusi dan seminar. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Gerindra ini setidaknya telah menghadiri dua diskusi dan dua seminar yang membahas isu terorisme. Pekan ini, Panitia Khusus DPR pun menjadwalkan seminar dua hari untuk menjaring masukan ahli. "Kami mencari bahan untuk memulai pembahasan bersama pemerintah," kata Syafi'i, Kamis pekan lalu.


Dewan Perwakilan Rakyat setuju membahas revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pemerintah menyampaikan draf revisi dalam rapat dengan DPR pada 27 April lalu. Kala itu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan alasan revisi Undang-Undang Terorisme. Antara lain karena banyaknya orang Indonesia yang bergabung dengan jaringan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi.

Siklus kelahiran undang-undang antiterorisme seperti berulang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terbit enam hari setelah pengeboman di Paddy's Pub dan Sari Club, Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002. Perpu itu kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pada 4 April 2003. Kini pemerintah mengajukan revisi atas undang-undang itu tak lama setelah pengeboman di sekitar pusat belanja Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016.

Menurut Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra, revisi Undang-Undang Terorisme sebenarnya sudah lama dipersiapkan. Namun pembahasan drafnya digenjot setelah teror di Jalan Thamrin. Kejadian di berbagai negara dan banyaknya orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS, menurut dia, juga jadi alasan percepatan revisi. "Ini perlu ada tindakan ekstra," ujar Dhahana, Selasa pekan lalu.

Dukungan untuk merevisi Undang-Undang Terorisme datang dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menyebutkan undang-undang antiteroris yang ada sudah melewati masanya. "Ibarat pakaian anak SMP mau dipakai untuk kuliah, ya, tak cocok," kata Irfan, Rabu pekan lalu.

Pemerintah menyodorkan sejumlah hal baru dalam revisi ini. Sementara undang-undang lama hanya bisa menjerat individu, misalnya, rancangan baru bisa menjerat korporasi. Organisasi seperti ISIS, menurut Dhahana, termasuk kategori korporasi.

Delik pidana terorisme juga diperluas. Orang yang memperdagangkan senjata, mengikuti pelatihan paramiliter, atau bergabung dengan ISIS pun bisa dijerat hukum. Pemerintah juga mengusulkan hukuman pencabutan paspor dan kewarganegaraan bagi orang Indonesia yang terlibat aktivitas terorisme di luar negeri.

Draf revisi usulan pemerintah ini mendapat sorotan dari kalangan pegiat hak asasi manusia. Yang mereka persoalkan antara lain perpanjangan masa penangkapan dan penahanan. Masa penangkapan diperpanjang dari 7 hari menjadi 30 hari. Sebagai perbandingan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menetapkan masa penangkapan maksimal 7 x 24 jam. Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya mengizinkan aparat menangkap orang untuk waktu paling lama 1 x 24 jam.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Widodo Eddyono, di masa penangkapan tujuh hari, polisi biasanya tak memberi tahu keluarga orang yang mereka tangkap. Selama masa penangkapan, terduga teroris juga tak didampingi pengacara. "Kami menyebutnya pasal Guantanamo," kata Supriyadi. Ia merujuk pada penjara militer Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba. Selain karena pengamanannya yang superketat, penjara itu terkenal karena reputasi buruk dalam menggunakan berbagai metode penyiksaan ketika petugasnya menginterogasi tahanan terorisme.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan Haris Azhar juga menganggap perpanjangan masa penangkapan menyalahi "konsep penangkapan". Menurut dia, masa penangkapan itu hanya "transisi" yang seharusnya berlangsung singkat. Di masa penangkapan, polisi harus secepatnya mencari bukti apakah seseorang melakukan atau merencanakan tindak pidana. Jika ada bukti, segera ditingkatkan ke penyidikan. "Kalau tidak ada, ya, harus dibebaskan," ucap Haris.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga memperingatkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan selama periode penangkapan yang diperpanjang. Komisioner Komnas HAM Manager Nasution mengatakan, dengan masa penangkapan tujuh hari saja, jumlah orang yang tewas di tangan Detasemen Khusus 88 Antiteror tak kurang dari 100 orang. Padahal mereka belum tentu bersalah. "Apalagi kalau sampai 30 hari," ujar Manager Nasution, Kamis pekan lalu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Agus Riyanto menepis kecurigaan para aktivis. Menurut dia, masa penangkapan tujuh hari sering tidak cukup untuk menentukan terduga terorisme bisa diproses hukum atau dilepaskan. Apalagi penangkapan tak selalu berlangsung di tengah kota dengan akses yang serba gampang. Agus mencontohkan penangkapan di tengah hutan Poso, Sulawesi Tengah. "Perjalanan ke pusat kota memakan waktu tiga hari. Artinya kami hanya punya sisa waktu empat hari." Menurut Agus, polisi pun tak mau terduga teroris mati selama masa penangkapan. "Itu merugikan kami karena informasi jaringannya tak bisa diungkap," katanya.

Perpanjangan masa penangkapan dan penahanan, menurut Muhammad Syafi'i, termasuk yang mendapat catatan dari Panitia Khusus DPR. Apalagi pemerintah mengajukan revisi di tengah iklim yang kurang berpihak. Ide revisi ini memang muncul sejak peristiwa bom Thamrin. Namun pembahasannya dimulai tak lama setelah kematian Siyono di tangan Densus 88. "Kasus Siyono mengingatkan orang akan terduga teroris yang sebelumnya mati ditembak," ujar Syafi'i.

Anggota Densus 88 menangkap Siyono pada 9 Maret lalu. Polisi menuduh dia sebagai kepala gudang senjata jaringan teroris Jamaah Islamiyah. Empat hari kemudian, Siyono "pulang" ke keluarga di Klaten, Jawa Tengah, tanpa nyawa. Menurut polisi, Siyono mencoba kabur dalam perjalanan menuju penyimpanan senjata di sekitar Candi Prambanan. Kala itu kepala Siyono terbentur benda tumpul ketika berkelahi dengan aparat pengawal. Namun hasil autopsi menunjukkan hal berbeda. Kematian Siyono diduga akibat patahan tulang iga yang menusuk saraf jantung. Memang di kepala Siyono ada luka lebam, tapi otaknya masih putih tanpa bekas perdarahan. Di tangan Siyono tak ada pula bekas luka yang menunjukkan ia pernah melawan aparat.

Di samping perpanjangan masa penangkapan, menurut Syafi'i, catatan anggota Panitia Khusus DPR berkaitan dengan kriminalisasi atas ucapan yang dianggap polisi mempromosikan terorisme, tak adanya jaminan HAM bagi terduga teroris, dan tak adanya kompensasi untuk korban salah tangkap.

Sejumlah anggota Panitia Khusus juga mempersoalkan "stempel" teroris yang hanya dipakai untuk pelaku kekerasan dari kalangan Islam. Keberatan soal stigmatisasi itu, menurut Syafi'i, antara lain disampaikan anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Gerindra. Mereka mempertanyakan mengapa kekerasan oleh kelompok bersenjata di Papua, yang menewaskan aparat dan warga sipil, tak digolongkan sebagai aksi terorisme. "Kami ingin definisi standar karena di RUU itu tak memadai," ucap Syafi'i.

Pemerintah tak menampik adanya potensi penyalahgunaan wewenang selama masa penangkapan yang diperpanjang. "Itu yang akan coba kami sempurnakan dalam undang-undang ini," kata Dhahana Putra. Menurut dia, pemerintah pun terbuka dengan berbagai masukan dan keberatan DPR. "Rancangan ini sangat fleksibel untuk dibahas. Kami siap memberi argumentasi dan mencari titik temu," ujar Dhahana.

Abdul Manan, Linda Trianita

Dimuat di Majalah Tempo edisi 23 Mei 2016

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO