Irak Tutup Penjara 'Tempat Penyiksaan' Abu Ghraib
Baghdad - Irak telah menutup penjara Abu Ghraib, yang terkenal sebagai tempat penyiksaan di masa rezim Saddam Hussein berkuasa dan semasa pasukan Amerika Serikat menginvasi negara ini. Kementerian Kehakiman Irak mengumumkan penutupan ini dalam sebuah pernyataan, Selasa 15 April 2014.
Irak menderita lonjakan kekerasan yang telah merenggut lebih dari 2.550 jiwa tahun ini, dan wilayah barat Baghdad di mana penjara itu berada, sangat tidak aman. Sebanyak 2.400 narapidana, yang ditangkap atau dihukum karena pelanggaran yang berkaitan dengan terorisme, telah dipindahkan ke fasilitas lain di Irak tengah dan utara.
"Kementerian Kehakiman mengumumkan penutupan penuh pusat penjara Baghdad, yang sebelumnya bernama Abu Ghraib, dan memindahkan narapidana bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan dan Kehakiman," katanya dalam sebuah pernyataan.
Menteri kehakiman Hassan al-Shammari mengatakan, pemerintah mengambil keputusan ini sebagai langkah pencegahan karena Abu Ghraib berada "di daerah panas".
Penjara ini terletak di antara Baghdad dan Fallujah, yang telah dikuasai oleh pasukan anti-pemerintah sejak awal Januari 2014.
Namun hal itu tidak segera jelas apakah penutupan itu bersifat sementara atau final.
Penjara ini berfungsi menjadi pusat penyiksaan terkenal di bawah Saddam Hussein, dengan perkiraan ada 4.000 tahanan mati di sana.
Abu Ghraib kembali menjadi buah bibir saat Amerika Serikat menginvasi Irak tahun 2003 dan menjatuhkan Saddam. Saat itu, muncul foto tahanan Irak yang diperlukan dengan hina oleh penjaga AS, dan itu memicu kemarahan di seluruh dunia.
Pada bulan Juli tahun 2013, kelompok militan menyerang penjara Abu Ghraib dan satu lagi di Taji, utara Baghdad.
Para pejabat mengatakan ratusan tahanan melarikan diri dan lebih dari 50 tahanan dan anggota pasukan keamanan tewas dalam serangan itu. Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL) mengklaim berada di balik serangan itu.
Irak dilanda gelombang kekerasan selama satu tahun ini, yang terutama didorong oleh kemarahan luas di kalangan minoritas Arab Sunni, yang mengatakan bahwa mereka dianiaya oleh pemerintah dan pasukan keamanan dari pemerintah yang didominasi Syiah, di bawah Perdana Menteri Nouri al-Maliki.
GUARDIAN | ABDUL MANAN
TEMPO.CO | SELASA, 15 APRIL 2014 | 21:35 WIB
Irak menderita lonjakan kekerasan yang telah merenggut lebih dari 2.550 jiwa tahun ini, dan wilayah barat Baghdad di mana penjara itu berada, sangat tidak aman. Sebanyak 2.400 narapidana, yang ditangkap atau dihukum karena pelanggaran yang berkaitan dengan terorisme, telah dipindahkan ke fasilitas lain di Irak tengah dan utara.
"Kementerian Kehakiman mengumumkan penutupan penuh pusat penjara Baghdad, yang sebelumnya bernama Abu Ghraib, dan memindahkan narapidana bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan dan Kehakiman," katanya dalam sebuah pernyataan.
Menteri kehakiman Hassan al-Shammari mengatakan, pemerintah mengambil keputusan ini sebagai langkah pencegahan karena Abu Ghraib berada "di daerah panas".
Penjara ini terletak di antara Baghdad dan Fallujah, yang telah dikuasai oleh pasukan anti-pemerintah sejak awal Januari 2014.
Namun hal itu tidak segera jelas apakah penutupan itu bersifat sementara atau final.
Penjara ini berfungsi menjadi pusat penyiksaan terkenal di bawah Saddam Hussein, dengan perkiraan ada 4.000 tahanan mati di sana.
Abu Ghraib kembali menjadi buah bibir saat Amerika Serikat menginvasi Irak tahun 2003 dan menjatuhkan Saddam. Saat itu, muncul foto tahanan Irak yang diperlukan dengan hina oleh penjaga AS, dan itu memicu kemarahan di seluruh dunia.
Pada bulan Juli tahun 2013, kelompok militan menyerang penjara Abu Ghraib dan satu lagi di Taji, utara Baghdad.
Para pejabat mengatakan ratusan tahanan melarikan diri dan lebih dari 50 tahanan dan anggota pasukan keamanan tewas dalam serangan itu. Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL) mengklaim berada di balik serangan itu.
Irak dilanda gelombang kekerasan selama satu tahun ini, yang terutama didorong oleh kemarahan luas di kalangan minoritas Arab Sunni, yang mengatakan bahwa mereka dianiaya oleh pemerintah dan pasukan keamanan dari pemerintah yang didominasi Syiah, di bawah Perdana Menteri Nouri al-Maliki.
GUARDIAN | ABDUL MANAN
TEMPO.CO | SELASA, 15 APRIL 2014 | 21:35 WIB
Comments