Melacak Akar Terorisme di Indonesia
Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah
Penulis: Solahudin
Penerbit: University of New South Wales, Australia
Cetakan: Juli 2013
Halaman: 236
Aksi pengeboman di tempat hiburan Paddy Pub dan Sari Club, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, tak hanya membuat 202 nyawa melayang, 240 orang luka-luka dan pariwisata Bali terpukul hebat. Serangan itu juga menjadi alarm nyaring bagi aparat keamanan Indonesia tentang bahaya yang ditimbulkan oleh kelompok radikal Islam yang kini tak lagi bersifat laten.
Serangan bom bunuh diri yang dilakukan Jemaah Islamiyah itu terjadi setahun dari peristiwa 9/11 --sebutan untuk serangan Al-Qaidah pada 11 September 2001 ke daratan Amerika Serikat yang menewaskan sekitar 3.000 orang. Solahuddin, dalam buku The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah, menunjukkan bahwa serangan itu memiliki keterkaitan meski dilakukan oleh dua organisasi berbeda.
Buku yang ditulis oleh peneliti International Crisis Group (ICG) ini adalah satu dari sekian buku tentang kelompok radikal di Indonesia. Antara lain: In The Shadow of Sword (2004) oleh Sally Neighbour; Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI, oleh Nasir Abbas (2008); dan Ali Imron Sang Pengebom, oleh Ali Imron (2007).
Dari sisi tema, yang dekat dengan karya Solahudin ini adalah buku The Second Front: Inside Asia's Most Dangerous Terrorist Network, yang ditulis Ken Konboy, diterbitkan Equinox tahun 2006. Pendekatan Solahudin, seperti juga Conboy, memiliki kedekatan dalam cara dengan Lawrence Wright saat menulis peristiwa 11 September dalam buku The Looming Tower: Al-Qaeda and The Road to 9/11, yang diterbitkan Alfred A. Knopf dan memenangkan Pulitzer Prize tahun 2007. Wright menarik akar peristiwa itu ke perjalanan Sayyid Qutb ke Amerika Serikat tahun 1948.
Kedatangan Qutb untuk menempuh pendidikan di sana pasca perang dunia II itu membentuk sikapnya yang anti-Amerika. Ia akhirnya mati dieksekusi pemerintah Mesir, tapi seruan jihadnya menggema luas. Ayman al-Zawahiri adalah salah satu yang membalas panggilan itu. Zawahiri adalah generasi pertama al-Qaidah dan kini menjadi orang nomor 1 setelah Usamah bin Ladin tewas tahun 2011.
Meski sama-sama menarik benang sejarah ke pendirian Darul Islam oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo tahun 1948, keduanya memiliki sejumlah perbedaan. Conboy memberi penekanan pada sejarah aksi Darul Islam hingga Jemaah Islamiyah serta perburuan aparat keamanan untuk menangkapnya. Sedangkan Solahudin banyak mengungkap transformasi ideologi dan organisasi Darul Islam dan Jemaah Islamiyah --dan tentu saja juga petualangan anggotanya.
Kartosuwiryo, kata Solahudin, mulai menjadi pendukung berdirinya negara Islam pada akhir 1920 ketika bergabung dengan Partai Syarikat Islam, dan menjadi sekjen tahun 1927. Tujuan partai ini memang untuk menegakkan syariat Islam. Perselisihannya dengan petinggi partai membuatnya terusir. Ia pun mendirikan Suffah Institut.
Institut ditutup masa Jepang, namun ia diberi kesempatan membentuk milisi, yang mulanya dimaksudkan Jepang untuk membantunya melawan sekutu. Saat Belanda dan Inggris datang usai kekalahan Jepang, Indonesia menyambutnya dengan seruan jihad. Saat itu Kartosuwiryo menganggap jihad memiliki arti lebih luas dari perang.
Sikapnya berubah setelah Perjanjian Renvile tahun 1948 karena menilai pemerintah dikuasai kelompok sosialis dan komunis. Itulah yang membuatnya memproklamirkan diri sebagai imam negara baru, Darul Islam, Mei 1948, yang kemudian diikuti dengan deklarasi Negara Islam Indonesia tahun berikutnya.
Penangkapan yang dilakukan tentara Indonesia terhadap tokoh Darul Islam membuat organisasi ini sulit bergerak yang kemudian berujung pada penangkapannya. Kartosuwiryo kemudian divonis bersalah oleh pengadilan militer dan dieksekusi pada 5 Spetember 1962. Kematiannya tak mengakhiri gerakan Darul Islam dan aspirasi untuk mendirikan negara Islam.
Perubahan penting dari Darul Islam terjadi tahun 1992. Pergantian imam dan ketidakcocokan di antara petingginya membuat salah satu tokoh seniornya, Abdullah Sungkar, keluar dan mendirikan Jemaah Islamiyah.
Perkembangan politik di Indonesia dalam kurun waktu 1980-an hingga 1990-an ikut mempengaruhi gerakan ini, tapi tidak dalam tujuan awalnya untuk mendirikan negara Islam dan menjadikan pemerintah sebagai musuh utamanya. Pergeseran penting bagi Jemaah Islamiyah terjadi pasca 23 Februari 1998 saat Usamah bin Ladin mengeluarkan fatwa bahwa kewajiban tiap muslim untuk membunuh orang Amerika dan sekutunya di mana pun mereka berada.
Suara Jemaah Islamiyah pecah menanggapi seruan itu. Mantiqi II, yang wilayahnya meliputi Indonesia, memilih tak mengikuti seruan itu. Tapi Mantiqi II, yang wilayah operasinya di Malaysia dan Singapura, yang justru menjawabnya dan Bom Bali tahun 2002 adalah buktinya.
Abdul Manan
Koran Tempo, Minggu 22 Desember 2013
Penulis: Solahudin
Penerbit: University of New South Wales, Australia
Cetakan: Juli 2013
Halaman: 236
Aksi pengeboman di tempat hiburan Paddy Pub dan Sari Club, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, tak hanya membuat 202 nyawa melayang, 240 orang luka-luka dan pariwisata Bali terpukul hebat. Serangan itu juga menjadi alarm nyaring bagi aparat keamanan Indonesia tentang bahaya yang ditimbulkan oleh kelompok radikal Islam yang kini tak lagi bersifat laten.
Serangan bom bunuh diri yang dilakukan Jemaah Islamiyah itu terjadi setahun dari peristiwa 9/11 --sebutan untuk serangan Al-Qaidah pada 11 September 2001 ke daratan Amerika Serikat yang menewaskan sekitar 3.000 orang. Solahuddin, dalam buku The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah, menunjukkan bahwa serangan itu memiliki keterkaitan meski dilakukan oleh dua organisasi berbeda.
Buku yang ditulis oleh peneliti International Crisis Group (ICG) ini adalah satu dari sekian buku tentang kelompok radikal di Indonesia. Antara lain: In The Shadow of Sword (2004) oleh Sally Neighbour; Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI, oleh Nasir Abbas (2008); dan Ali Imron Sang Pengebom, oleh Ali Imron (2007).
Dari sisi tema, yang dekat dengan karya Solahudin ini adalah buku The Second Front: Inside Asia's Most Dangerous Terrorist Network, yang ditulis Ken Konboy, diterbitkan Equinox tahun 2006. Pendekatan Solahudin, seperti juga Conboy, memiliki kedekatan dalam cara dengan Lawrence Wright saat menulis peristiwa 11 September dalam buku The Looming Tower: Al-Qaeda and The Road to 9/11, yang diterbitkan Alfred A. Knopf dan memenangkan Pulitzer Prize tahun 2007. Wright menarik akar peristiwa itu ke perjalanan Sayyid Qutb ke Amerika Serikat tahun 1948.
Kedatangan Qutb untuk menempuh pendidikan di sana pasca perang dunia II itu membentuk sikapnya yang anti-Amerika. Ia akhirnya mati dieksekusi pemerintah Mesir, tapi seruan jihadnya menggema luas. Ayman al-Zawahiri adalah salah satu yang membalas panggilan itu. Zawahiri adalah generasi pertama al-Qaidah dan kini menjadi orang nomor 1 setelah Usamah bin Ladin tewas tahun 2011.
Meski sama-sama menarik benang sejarah ke pendirian Darul Islam oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo tahun 1948, keduanya memiliki sejumlah perbedaan. Conboy memberi penekanan pada sejarah aksi Darul Islam hingga Jemaah Islamiyah serta perburuan aparat keamanan untuk menangkapnya. Sedangkan Solahudin banyak mengungkap transformasi ideologi dan organisasi Darul Islam dan Jemaah Islamiyah --dan tentu saja juga petualangan anggotanya.
Kartosuwiryo, kata Solahudin, mulai menjadi pendukung berdirinya negara Islam pada akhir 1920 ketika bergabung dengan Partai Syarikat Islam, dan menjadi sekjen tahun 1927. Tujuan partai ini memang untuk menegakkan syariat Islam. Perselisihannya dengan petinggi partai membuatnya terusir. Ia pun mendirikan Suffah Institut.
Institut ditutup masa Jepang, namun ia diberi kesempatan membentuk milisi, yang mulanya dimaksudkan Jepang untuk membantunya melawan sekutu. Saat Belanda dan Inggris datang usai kekalahan Jepang, Indonesia menyambutnya dengan seruan jihad. Saat itu Kartosuwiryo menganggap jihad memiliki arti lebih luas dari perang.
Sikapnya berubah setelah Perjanjian Renvile tahun 1948 karena menilai pemerintah dikuasai kelompok sosialis dan komunis. Itulah yang membuatnya memproklamirkan diri sebagai imam negara baru, Darul Islam, Mei 1948, yang kemudian diikuti dengan deklarasi Negara Islam Indonesia tahun berikutnya.
Penangkapan yang dilakukan tentara Indonesia terhadap tokoh Darul Islam membuat organisasi ini sulit bergerak yang kemudian berujung pada penangkapannya. Kartosuwiryo kemudian divonis bersalah oleh pengadilan militer dan dieksekusi pada 5 Spetember 1962. Kematiannya tak mengakhiri gerakan Darul Islam dan aspirasi untuk mendirikan negara Islam.
Perubahan penting dari Darul Islam terjadi tahun 1992. Pergantian imam dan ketidakcocokan di antara petingginya membuat salah satu tokoh seniornya, Abdullah Sungkar, keluar dan mendirikan Jemaah Islamiyah.
Perkembangan politik di Indonesia dalam kurun waktu 1980-an hingga 1990-an ikut mempengaruhi gerakan ini, tapi tidak dalam tujuan awalnya untuk mendirikan negara Islam dan menjadikan pemerintah sebagai musuh utamanya. Pergeseran penting bagi Jemaah Islamiyah terjadi pasca 23 Februari 1998 saat Usamah bin Ladin mengeluarkan fatwa bahwa kewajiban tiap muslim untuk membunuh orang Amerika dan sekutunya di mana pun mereka berada.
Suara Jemaah Islamiyah pecah menanggapi seruan itu. Mantiqi II, yang wilayahnya meliputi Indonesia, memilih tak mengikuti seruan itu. Tapi Mantiqi II, yang wilayah operasinya di Malaysia dan Singapura, yang justru menjawabnya dan Bom Bali tahun 2002 adalah buktinya.
Abdul Manan
Koran Tempo, Minggu 22 Desember 2013
Comments