Intelijen di Pusaran Politik Washington
Intel Wars: The Secret History of The Fight Against Terror
Penulis : Matthew M. Aid
Penerbit : Bloomsbury Press, New York
Terbit : 2013
Tebal : 261 halaman
Laporan intelijen Amerika Serikat di Afganistan yang ditujukan pada pemerintah Washington itu sejatinya penting. Isinya: negara yang mereka duduki mulai 7 Oktober 2001 itu bakal sulit ditaklukkan. Tapi "peringatan dini" dari dinas rahasia Amerika, Central Intelligence Agency (CIA), itu sama sekali tak digubris pemerintah George W. Bush.
Saat itu, Amerika sedang bersiap menginvasi Irak. Abang Sam juga sudah setahun berada di Afganistan. Negeri itu diserang karena dianggap melindungi Al-Qaidah, organisasi yang dituding sebagai pelaku serangan 11 September 2001 ke New York yang menewaskan sekitar 3.000 orang. Sedangkan Irak diincar karena diduga memiliki senjata pemusnah massal.
Ketika emosi menyerbu Irak tengah menggebu itulah datang catatan CIA pada September 2002. Mereka memaparkan data bahwa setelah penguasa Afganistan, Taliban, jatuh, konflik bersenjata antaretnis justru meningkat. Kejahatan teroganisasi dan penyelundup narkotik, yang menghilang semasa Taliban berkuasa, juga telah kembali. Gerilyawan Taliban pun masih berkuasa di selatan, menyerang pos militer Amerika di tempat terpencil dan membunuh pejabat pemerintah dan polisi.
Peringatan itu justru dijawab Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld dengan bantahan. Ia meminta Kepala Komando Pusat Amerika Jenderal Tommy Franks membuat bantahan yang menyebut, "Perkiraan CIA melebih-lebihkan ancaman dan mengecilkan perkembangan positif di Afganistan."
Sejak peristiwa itu, kata Matthew M. Aid dalam buku Intel Wars (2013), hingga enam tahun berikutnya, tak satu pun pejabat di Washington memberi perhatian serius terhadap analisis CIA. Apalagi kemudian Gedung Putih menyalahkan CIA soal Irak ketika dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal di negeri Saddam Husein itu tak terbukti.
Di buku ini, Matthew yang kini menjadi pengawas National Security Agency mengulas soal intelijen Amerika pasca 11 September. Kongres dan pemerintah AS membentuk Komisi 9/11 untuk menyelidiki tragedi terbesar dalam sejarah Amerika modern itu, dan hasil penyelidikannya rampung Juli 2004. Salah satu rekomendasinya adalah dibentuknya dua lembaga baru, yaitu Office of the Director of National Intelligence (ODNI) dan Departement of Homeland Security. Dengan penambahan ini, anggota komunitas intelijen menjadi 17 lembaga.
Selain jumlah lembaga, pegawai dan pekerjanya juga melonjak drastis. Sampai 2009, komunitas ini memiliki 208 ribu tenaga sipil dan militer, termasuk 30 ribu kontraktor yang bertugas di hampir 170 negara di seluruh dunia dengan anggaran lebih dari US$ 75 miliar (sekitar Rp 700 triliun) per tahun. Agen CIA juga bertambah dari 17 ribu menjadi 25 ribu pada 2009. Senjata tanpa awak (drone) Amerika juga bertambah, dari hanya 167 pada 2002, menjadi 6.000 pada 2009.
Dengan perlindungan besar-besaran ini, apakah Amerika bisa mencegah malapetaka serupa 9/11? Kata Matthew, belum. Washington dan Pentagon --sebutan untuk Kementerian Pertahanan Amerika-ternyata tak selalu mendengarkan intelijen. Dari pengalaman kasus Afganistan, intel Amerika kerap berupaya keras agar analisisnya didengar, terutama jika temuannya berbeda dengan "harapan" Washington.
Homeland Security, yang dimaksudkan untuk melindungi daratan Amerika dari terorisme, ternyata juga kurang bergigi. Badan ini dibentuk Kongres, tapi ia juga yang membatasi kewenangannya dengan menetapkan Biro Penyelidik Federal AS (FBI) untuk tetap di luar kontrol Homeland Security. FBI merupakan komuniitas intelijen dengan pegawai terbanyak: 33.925 orang, termasuk 13.492 agen khusus yang melakukan investigasi.
Pada 2003, Amerika membentuk Terrorist Threat Integration Center (TTIC), yang kemudian menjadi National Counter-Terrorisme Center (NCTC) pada 2005. Setiap hari ada 8.000-10.000 laporan intelijen, yang dibaca dan dianalisis NCTC, termasuk sekitar 10 ribu nama orang yang harus diuji silang melalui pusat data NCTC, Terrorist Identitites Datamart Environment. Hingga Januari 2009, jumlah itu membengkak menjadi 564 ribu nama orang, 5 persen di antaranya warga AS, yang diduga teroris atau terkait dengannya.
Kata Matthew, Amerika memang berhasil membunuh pemimpin Al-Qaidah, Usamah bin Ladin, pada 2 Mei 2011 setelah memburunya selama satu dekade. Tapi, Amerika tak selalu berhasil. Ia menyebut kegagalan Amerika mendeteksi dini rencana pengeboman Faisal Shahzad, pria asal Pakistan yang tinggal di Connecticut, di Time Square, New York, 1 Mei 2010. Untunglah bom itu gagal meledak.
Satu lagi Amerika juga gagal mendeteksi teror dalam bom maraton Boston, yang dilakukan dua imigran Chechnya yang telah menjadi warga Amerika, April lalu. (Abdul Manan)
Comments