Akankah Al-Ikhwan Kembali Menjadi Organisasi Underground?
Kairo – Al-Ikhwan al-Muslimun Mesir saat ini mungkin menghadapi krisis paling serius dalam 85 tahun sejarahnya. Presiden Muhammad Mursi, anggota kelompok ini, digulingkan oleh militer 3 Juli 2013 lalu. Massa Al-Ikhwan menggelar protes yang ditanggapi dengan kekerasan oleh militer Mesir yang berujung pada tewasnya sekitar 700 orang dan penangkapan pemimpin senior organisasi Islam tertua di Mesir ini.
Akankah Al-Ikhwan, yang mendasarkan ideologinya pada ajaran Alquran, kembali sebagai gerakan bawah tanah (underground) seperti saat menghadapi masa-masa sulitnya di masa lalu?
Didirikan oleh Hassan al-Banna tahun 1928, Al-Ikhwan -media asing menyebutnya Muslim Brotherhood- telah mempengaruhi gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia dengan model aktivisme politik yang dikombinasikan dengan kegiatan amal Islam.
Gerakan ini awalnya ditujukan hanya untuk menyebarkan moral Islam dan perbuatan baik, tetapi kemudian terlibat dalam politik, khususnya berjuang untuk menyingkirkan tentara penjajahan Inggris dari Mesir dan membersihkan semua pengaruh Barat di negara itu.
Sementara Al-Ikhwan mengatakan mereka mendukung prinsip-prinsip demokrasi, salah satu tokohnya menyatakan bahwa tujuan gerakan ini adalah untuk menciptakan sebuah negara yang diperintah dengan hukum Islam, atau Syariah. Slogan yang paling terkenal, dan digunakan di seluruh dunia, adalah: “Islam adalah solusi.”
Setelah Banna meluncurkan Al-Ikhwan tahun 1928, cabang organisasi ini didirikan di seluruh negeri -masing-masing mengelola masjid, sekolah dan klub olahraga – dan keanggotaannya juga tumbuh dengan cepat. Pada akhir 1940-an, kelompok ini diperkirakan memiliki 500.000 anggota di Mesir, dan ide-idenya yang telah menyebar di seluruh dunia Arab.
Pada saat yang sama, Banna menciptakan sayap paramiliter, yang diberi nama Aparatur Khusus, bergabung dalam gerakan melawan pemerintahan kolonial Inggris dan terlibat dalam kampanye pemboman dan pembunuhan.
Pemerintah Mesir membubarkan kelompok ini pada akhir 1948 karena menyerang kepentingan Inggris dan Yahudi. Segera setelah itu, kelompok itu dituduh membunuh Perdana Menteri Mahmoud al-Nuqrashi.
Banna mengecam pembunuhan itu, namun ia kemudian ditembak mati oleh penembak tak dikenal –yang diyakini adalah anggota pasukan keamanan.
Pada tahun 1952, pemerintahan kolonial Inggris berakhir setelah kudeta militer yang dipimpin oleh sekelompok perwira muda yang menamakan diri mereka sebagai Perwira Pembebasan.
Al-Ikhwan berperan memberi dukungan –Anwar al-Sadat, yang menjadi presiden pada tahun 1970, dulunya adalah salah satu perwira penghubung Perwira Pembebasan dengan Al-Ikhwan– dan awalnya bekerjasama dengan pemerintah baru. Namun hubungan keduanya segera memburuk.
Setelah usaha yang gagal untuk membunuh Presiden Gamal Abdul Nasser pada tahun 1954, Al-Ikhwan dikecam, dilarang, dan ribuan anggotanya dikirim ke penjara dan disiksa. Kelompok ini bertahan, tapi bergerak di bawah tanah.
Bentrokan dengan pemerintah mendorong pergeseran penting dalam ideologi Al-Ikhwan, yang buktinya terlihat dalam karya tulis salah salah satu anggota terkemuka Al-Ikhwan, Sayyid Qutb.
Karya Quthb menganjurkan penggunaan jihad (perlawanan) melawan masyarakat jahiliyah. Tulisan-tulisannya –terutama karya tahun 1964 berjudul Milestones– menginspirasi banyak pendiri kelompok Islam radikal, termasuk Jihad Islam dan Al-Qaidah.
Pada tahun 1965, pemerintah kembali menindak keras Al-Ikhwan. Tahun berikutnya, Sayyid Qutb dieksekusi mati sehingga mengubah dia menjadi seorang martir bagi banyak orang di seluruh wilayah itu.
Selama tahun 1980-an, Al-Ikhwan berusaha untuk bergabung kembali dengan arus utama politik. Pemimpin pengganti Al-Ikhwan berturut-turut membentuk aliansi dengan partai Wafd tahun 1984, dan dengan Partai Buruh Sosialis dan Partai Sosialis Liberal tahun 1987, dan menjadi kekuatan oposisi utama di Mesir. Pada tahun 2000, Al-Ikhwan memenangkan 17 kursi di majelis rendah parlemen, Majelis Rakyat.
Lima tahun kemudian, kelompok ini meraih hasil dalam pemilu yang terbaik sampai saat itu, dan setelah berkoalisi dengan dengan calon independen memenangkan 20 persen kursi.
Hasil ini mengejutkan Presiden Husni Mubarak. Pemerintah kemudian melancarkan tindakan keras terhadap Al-Ikhwan, menahan ratusan anggotanya, dan melembagakan sejumlah reformasi hukum untuk melawan kebangkitan organisasi gerakan ini.
Konstitusi Mesir ditulis ulang untuk menetapkan bahwa “kegiatan politik atau partai politik tidak boleh didasarkan pada latar belakang agama”; calon independen dilarang mencalonkan diri sebagai presiden, dan undang-undang anti-terorisme memberi kekuasaan pasukan keamanan untuk menahan tersangka dan pertemuan publik juga dibatasi.
Pada awal 2011, demonstrasi anti-pemerintah melanda Mesir. Aksi ini tampaknya didorong oleh protes jalanan di Tunisia yang berujung pada kaburnya Presiden Tunisia Ben Ali. Meskipun banyak anggota Ikhwan bergabung dengan aksi protes di seluruh Mesir itu, mereka tetap bersikap low profile. Slogan tradisional kelompok ini juga tidak terlihat di lapangan Tahrir Square di Kairo, yang saat itu menjadi pusat protes terhadap Mubarak.
Saat aksi protes membesar dan pemerintah mulai menawarkan konsesi, termasuk janji bahwa Mubarak tidak akan mencalonkan diri lagi pada pemilihan umum September 2011, kekuatan oposisi terbesar Mesir mengambil peran lebih tegas. Mubarak akhirnya jatuh.
Dalam pemilihan parlemen pertama setelah tergulingnya Mubarak pada Februari 2011, Al-Ikhwan yang baru saja membentuk Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) memenangkan hampir separuh kursi di Majelis Rakyat. Partai ultrakonservatif, Nour, menduduki posisi kedua, yang berarti bahwa kelompok Islamis menguasai 70 persen kursi di majelis rendah. Hasil yang sama juga terlihat dari hasil pemilihan untuk majelis tinggi, Dewan Syura.
Hal ini memungkinkan Ikhwan dan sekutu mereka untuk mengontrol pemilihan calon majelis konstituante yang sebanyak 100 anggota, yang bertugas menyusun Konstitusi baru Mesir. Soal ini memicu kritik keras dari kaum liberal, sekuler, Kristen Koptik, orang-orang muda dan perempuan, yang mengeluh bahwa panel tidak mencerminkan keragaman masyarakat Mesir.
Kekhawatiran bahwa Al-Ikhwan mungkin akan berusaha untuk memonopoli kekuasaan meningkat ketika mereka mengumumkan bahwa mereka akan mengajukan calon dalam pemilihan presiden, meskipun sebelumnya berjanji tidak akan melakukannya.
Pada 2012, Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan, Muhammad Mursi, menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Dia memenangkan 51 persen suara melawan pensiunan komandan angkatan udara, Ahmed Shafiq.
Mursi berusaha untuk meyakinkan penentang Al-Ikhwan dengan menekankan bahwa sebagai presiden ia ingin membangun sebuah “negara demokrasi, sipil, dan modern” yang menjamin kebebasan beragama dan hak untuk protes damai.
Namun, penentangan publik cukup signifikan terhadap Mursi dan Al-Ikhwan mulai terbangun pada November 2012.
Berharap untuk memastikan bahwa Majelis Konstituante bisa menyelesaikan penyusunan konstitusi baru, presiden mengeluarkan deklarasi sementara yang memberinya kewenangan lebih besar. Dia setuju untuk membatasi lingkup deklarasi setelah ada protes oposisi. Tetapi kemarahan oposisi berlanjut ketika Majelis Konstituante menyetujui Konstitusi yang dibuat terburu-buru –meskipun boikot oleh kelompok liberal, sekuler dan Gereja Koptik. Mereka menilai Konstitusi baru itu gagal melindungi kebebasan berekspresi dan beragama.
Saat penentangan oposisi memuncak, Presiden Mursi mengeluarkan dekrit yang memberi kekuasaan kepada Angkatan Bersenjata Mesir untuk melindungi lembaga-lembaga negara dan tempat-tempat pemungutan suara sampai referendum rancangan Konstitusi diselenggarakan bulan Desember 2012. Pengkritiknya menyebut itu sebagai keadaan darurat militer.
Tentara kembali ke barak setelah Konstitusi itu disetujui melalui referendum. Tetapi, dalam minggu itu militer Mesir dipaksa untuk disebar ke kota-kota sepanjang Terusan Suez untuk menghentikan bentrokan mematikan antara penentang dan pendukung Mursi dan Al-Ikhwan. Pada akhir Januari 2013, militer memperingatkan bahwa krisis politik mungkin “menyebabkan keruntuhan negara”.
Pada akhir April, aktivis oposisi membentuk gerakan protes Tamarod (Pemberontakan). Hal ini difokuskan pada pengumpulan tanda tangan untuk petisi, yang mengeluhkan kegagalan Mursi untuk memulihkan keamanan dan memperbaiki ekonomi, dan menuduhnya menempatkan kepentingan Al-Ikhwan di atas kepentingan negara secara keseluruhan.
Tamarod juga menggelar protes massa terorganisir untuk menandai ulang tahun pertama Mursi sebagai presiden. Pada tanggal 30 Juni 2013, jutaan orang turun ke jalan untuk menuntut pengunduran dirinya.
Meningkatnya kerusuhan dan korban tewas membuat militer memperingatkan Mursi pada 1 Juli 2013 bahwa mereka akan campur tangan dan memaksakan “peta jalan”-nya jika ia tidak bisa memenuhi tuntutan masyarakat dalam waktu 48 jam dan mengakhiri krisis politik tersebut.
Pada 3 Juli 2013, militer mengerahkan pasukan dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan utama. Setelah itu, Kepala Angkatan Bersenjata Mesir yang juga Menteri Pertahanan Jenderal Al-Sisi menyatakan bahwa Konstitusi baru telah ditangguhkan dan kekuasaan Mursi dinyatakan sudah berakhir.
Al-Ikhwan menyebut peristiwa itu sebagai “kudeta militer” terhadap presiden yang terpilih secara demokratis. Mereka bersumpah akan menolak untuk berurusan dengan para pemimpin sementara Mesir, yang dipimpin Adli Mansour.
Pendukung Al-Ikhwan lantas mendirikan kamp protes di Lapangan An-Nahda dan dekat masjid Rabaa al-Adawiya di Kairo. Mereka juga menolak untuk membubarkan diri meskipun ada seruan berulang-ulang dari pemerintah sementara. Mereka berjanji tak akan bubar sampai Mursi dipulihkan ke posisinya.
Tawaran dialog pemerintah sementara Mesir ditolak dan Al-Ikhwan tetap pada tuntutannya. Setelah berminggu-minggu mengalami kebuntuan, ada harapan bahwa protes itu tetap tetap berlangsung damai. Namun, pada 14 Agustus 2013, pasukan keamanan menyerbu dua kamp itu yang menyebabkan setidaknya 525 pendukung Mursi tewas.
Insiden berdarah itu berlanjut beberapa hari kemudian, yang menyebabkan jumlah korban terus bertambah. Pemerintah Mesir lantas juga memburu pemimpin Al-Ikhwan karena dituding menghasut massa untuk melakukan kekerasan. Pemimpin tertinggi Al-Ikhwan Muhammad Badie ditangkap pada 20 Agustus 2013, yang kemudian diikuti oleh tokoh senior lainnya.
Perdana Menteri Mesir Hazem el-Beblaw mengatakan, pemerintah sedang mengkaji pelarangan terhadap Al-Ikhwan. Langkah ini akan menjadi alasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Al-Ikhwan, dan kemungkinan akan membuatnya kembali sebagai gerakan bawah tanah.
BBC | Times.co.uk | Abdul Manan
TEMPO.CO | KAMIS, 22 AGUSTUS 2013 | 22:09 WIB
Akankah Al-Ikhwan, yang mendasarkan ideologinya pada ajaran Alquran, kembali sebagai gerakan bawah tanah (underground) seperti saat menghadapi masa-masa sulitnya di masa lalu?
Didirikan oleh Hassan al-Banna tahun 1928, Al-Ikhwan -media asing menyebutnya Muslim Brotherhood- telah mempengaruhi gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia dengan model aktivisme politik yang dikombinasikan dengan kegiatan amal Islam.
Gerakan ini awalnya ditujukan hanya untuk menyebarkan moral Islam dan perbuatan baik, tetapi kemudian terlibat dalam politik, khususnya berjuang untuk menyingkirkan tentara penjajahan Inggris dari Mesir dan membersihkan semua pengaruh Barat di negara itu.
Sementara Al-Ikhwan mengatakan mereka mendukung prinsip-prinsip demokrasi, salah satu tokohnya menyatakan bahwa tujuan gerakan ini adalah untuk menciptakan sebuah negara yang diperintah dengan hukum Islam, atau Syariah. Slogan yang paling terkenal, dan digunakan di seluruh dunia, adalah: “Islam adalah solusi.”
Setelah Banna meluncurkan Al-Ikhwan tahun 1928, cabang organisasi ini didirikan di seluruh negeri -masing-masing mengelola masjid, sekolah dan klub olahraga – dan keanggotaannya juga tumbuh dengan cepat. Pada akhir 1940-an, kelompok ini diperkirakan memiliki 500.000 anggota di Mesir, dan ide-idenya yang telah menyebar di seluruh dunia Arab.
Pada saat yang sama, Banna menciptakan sayap paramiliter, yang diberi nama Aparatur Khusus, bergabung dalam gerakan melawan pemerintahan kolonial Inggris dan terlibat dalam kampanye pemboman dan pembunuhan.
Pemerintah Mesir membubarkan kelompok ini pada akhir 1948 karena menyerang kepentingan Inggris dan Yahudi. Segera setelah itu, kelompok itu dituduh membunuh Perdana Menteri Mahmoud al-Nuqrashi.
Banna mengecam pembunuhan itu, namun ia kemudian ditembak mati oleh penembak tak dikenal –yang diyakini adalah anggota pasukan keamanan.
Pada tahun 1952, pemerintahan kolonial Inggris berakhir setelah kudeta militer yang dipimpin oleh sekelompok perwira muda yang menamakan diri mereka sebagai Perwira Pembebasan.
Al-Ikhwan berperan memberi dukungan –Anwar al-Sadat, yang menjadi presiden pada tahun 1970, dulunya adalah salah satu perwira penghubung Perwira Pembebasan dengan Al-Ikhwan– dan awalnya bekerjasama dengan pemerintah baru. Namun hubungan keduanya segera memburuk.
Setelah usaha yang gagal untuk membunuh Presiden Gamal Abdul Nasser pada tahun 1954, Al-Ikhwan dikecam, dilarang, dan ribuan anggotanya dikirim ke penjara dan disiksa. Kelompok ini bertahan, tapi bergerak di bawah tanah.
Bentrokan dengan pemerintah mendorong pergeseran penting dalam ideologi Al-Ikhwan, yang buktinya terlihat dalam karya tulis salah salah satu anggota terkemuka Al-Ikhwan, Sayyid Qutb.
Karya Quthb menganjurkan penggunaan jihad (perlawanan) melawan masyarakat jahiliyah. Tulisan-tulisannya –terutama karya tahun 1964 berjudul Milestones– menginspirasi banyak pendiri kelompok Islam radikal, termasuk Jihad Islam dan Al-Qaidah.
Pada tahun 1965, pemerintah kembali menindak keras Al-Ikhwan. Tahun berikutnya, Sayyid Qutb dieksekusi mati sehingga mengubah dia menjadi seorang martir bagi banyak orang di seluruh wilayah itu.
Selama tahun 1980-an, Al-Ikhwan berusaha untuk bergabung kembali dengan arus utama politik. Pemimpin pengganti Al-Ikhwan berturut-turut membentuk aliansi dengan partai Wafd tahun 1984, dan dengan Partai Buruh Sosialis dan Partai Sosialis Liberal tahun 1987, dan menjadi kekuatan oposisi utama di Mesir. Pada tahun 2000, Al-Ikhwan memenangkan 17 kursi di majelis rendah parlemen, Majelis Rakyat.
Lima tahun kemudian, kelompok ini meraih hasil dalam pemilu yang terbaik sampai saat itu, dan setelah berkoalisi dengan dengan calon independen memenangkan 20 persen kursi.
Hasil ini mengejutkan Presiden Husni Mubarak. Pemerintah kemudian melancarkan tindakan keras terhadap Al-Ikhwan, menahan ratusan anggotanya, dan melembagakan sejumlah reformasi hukum untuk melawan kebangkitan organisasi gerakan ini.
Konstitusi Mesir ditulis ulang untuk menetapkan bahwa “kegiatan politik atau partai politik tidak boleh didasarkan pada latar belakang agama”; calon independen dilarang mencalonkan diri sebagai presiden, dan undang-undang anti-terorisme memberi kekuasaan pasukan keamanan untuk menahan tersangka dan pertemuan publik juga dibatasi.
Pada awal 2011, demonstrasi anti-pemerintah melanda Mesir. Aksi ini tampaknya didorong oleh protes jalanan di Tunisia yang berujung pada kaburnya Presiden Tunisia Ben Ali. Meskipun banyak anggota Ikhwan bergabung dengan aksi protes di seluruh Mesir itu, mereka tetap bersikap low profile. Slogan tradisional kelompok ini juga tidak terlihat di lapangan Tahrir Square di Kairo, yang saat itu menjadi pusat protes terhadap Mubarak.
Saat aksi protes membesar dan pemerintah mulai menawarkan konsesi, termasuk janji bahwa Mubarak tidak akan mencalonkan diri lagi pada pemilihan umum September 2011, kekuatan oposisi terbesar Mesir mengambil peran lebih tegas. Mubarak akhirnya jatuh.
Dalam pemilihan parlemen pertama setelah tergulingnya Mubarak pada Februari 2011, Al-Ikhwan yang baru saja membentuk Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) memenangkan hampir separuh kursi di Majelis Rakyat. Partai ultrakonservatif, Nour, menduduki posisi kedua, yang berarti bahwa kelompok Islamis menguasai 70 persen kursi di majelis rendah. Hasil yang sama juga terlihat dari hasil pemilihan untuk majelis tinggi, Dewan Syura.
Hal ini memungkinkan Ikhwan dan sekutu mereka untuk mengontrol pemilihan calon majelis konstituante yang sebanyak 100 anggota, yang bertugas menyusun Konstitusi baru Mesir. Soal ini memicu kritik keras dari kaum liberal, sekuler, Kristen Koptik, orang-orang muda dan perempuan, yang mengeluh bahwa panel tidak mencerminkan keragaman masyarakat Mesir.
Kekhawatiran bahwa Al-Ikhwan mungkin akan berusaha untuk memonopoli kekuasaan meningkat ketika mereka mengumumkan bahwa mereka akan mengajukan calon dalam pemilihan presiden, meskipun sebelumnya berjanji tidak akan melakukannya.
Pada 2012, Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan, Muhammad Mursi, menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis. Dia memenangkan 51 persen suara melawan pensiunan komandan angkatan udara, Ahmed Shafiq.
Mursi berusaha untuk meyakinkan penentang Al-Ikhwan dengan menekankan bahwa sebagai presiden ia ingin membangun sebuah “negara demokrasi, sipil, dan modern” yang menjamin kebebasan beragama dan hak untuk protes damai.
Namun, penentangan publik cukup signifikan terhadap Mursi dan Al-Ikhwan mulai terbangun pada November 2012.
Berharap untuk memastikan bahwa Majelis Konstituante bisa menyelesaikan penyusunan konstitusi baru, presiden mengeluarkan deklarasi sementara yang memberinya kewenangan lebih besar. Dia setuju untuk membatasi lingkup deklarasi setelah ada protes oposisi. Tetapi kemarahan oposisi berlanjut ketika Majelis Konstituante menyetujui Konstitusi yang dibuat terburu-buru –meskipun boikot oleh kelompok liberal, sekuler dan Gereja Koptik. Mereka menilai Konstitusi baru itu gagal melindungi kebebasan berekspresi dan beragama.
Saat penentangan oposisi memuncak, Presiden Mursi mengeluarkan dekrit yang memberi kekuasaan kepada Angkatan Bersenjata Mesir untuk melindungi lembaga-lembaga negara dan tempat-tempat pemungutan suara sampai referendum rancangan Konstitusi diselenggarakan bulan Desember 2012. Pengkritiknya menyebut itu sebagai keadaan darurat militer.
Tentara kembali ke barak setelah Konstitusi itu disetujui melalui referendum. Tetapi, dalam minggu itu militer Mesir dipaksa untuk disebar ke kota-kota sepanjang Terusan Suez untuk menghentikan bentrokan mematikan antara penentang dan pendukung Mursi dan Al-Ikhwan. Pada akhir Januari 2013, militer memperingatkan bahwa krisis politik mungkin “menyebabkan keruntuhan negara”.
Pada akhir April, aktivis oposisi membentuk gerakan protes Tamarod (Pemberontakan). Hal ini difokuskan pada pengumpulan tanda tangan untuk petisi, yang mengeluhkan kegagalan Mursi untuk memulihkan keamanan dan memperbaiki ekonomi, dan menuduhnya menempatkan kepentingan Al-Ikhwan di atas kepentingan negara secara keseluruhan.
Tamarod juga menggelar protes massa terorganisir untuk menandai ulang tahun pertama Mursi sebagai presiden. Pada tanggal 30 Juni 2013, jutaan orang turun ke jalan untuk menuntut pengunduran dirinya.
Meningkatnya kerusuhan dan korban tewas membuat militer memperingatkan Mursi pada 1 Juli 2013 bahwa mereka akan campur tangan dan memaksakan “peta jalan”-nya jika ia tidak bisa memenuhi tuntutan masyarakat dalam waktu 48 jam dan mengakhiri krisis politik tersebut.
Pada 3 Juli 2013, militer mengerahkan pasukan dan kendaraan lapis baja di jalan-jalan utama. Setelah itu, Kepala Angkatan Bersenjata Mesir yang juga Menteri Pertahanan Jenderal Al-Sisi menyatakan bahwa Konstitusi baru telah ditangguhkan dan kekuasaan Mursi dinyatakan sudah berakhir.
Al-Ikhwan menyebut peristiwa itu sebagai “kudeta militer” terhadap presiden yang terpilih secara demokratis. Mereka bersumpah akan menolak untuk berurusan dengan para pemimpin sementara Mesir, yang dipimpin Adli Mansour.
Pendukung Al-Ikhwan lantas mendirikan kamp protes di Lapangan An-Nahda dan dekat masjid Rabaa al-Adawiya di Kairo. Mereka juga menolak untuk membubarkan diri meskipun ada seruan berulang-ulang dari pemerintah sementara. Mereka berjanji tak akan bubar sampai Mursi dipulihkan ke posisinya.
Tawaran dialog pemerintah sementara Mesir ditolak dan Al-Ikhwan tetap pada tuntutannya. Setelah berminggu-minggu mengalami kebuntuan, ada harapan bahwa protes itu tetap tetap berlangsung damai. Namun, pada 14 Agustus 2013, pasukan keamanan menyerbu dua kamp itu yang menyebabkan setidaknya 525 pendukung Mursi tewas.
Insiden berdarah itu berlanjut beberapa hari kemudian, yang menyebabkan jumlah korban terus bertambah. Pemerintah Mesir lantas juga memburu pemimpin Al-Ikhwan karena dituding menghasut massa untuk melakukan kekerasan. Pemimpin tertinggi Al-Ikhwan Muhammad Badie ditangkap pada 20 Agustus 2013, yang kemudian diikuti oleh tokoh senior lainnya.
Perdana Menteri Mesir Hazem el-Beblaw mengatakan, pemerintah sedang mengkaji pelarangan terhadap Al-Ikhwan. Langkah ini akan menjadi alasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Al-Ikhwan, dan kemungkinan akan membuatnya kembali sebagai gerakan bawah tanah.
BBC | Times.co.uk | Abdul Manan
TEMPO.CO | KAMIS, 22 AGUSTUS 2013 | 22:09 WIB
Comments