Istanbul dan Kenangan 600 Tahun Lalu


Apa yang paling menarik dari Istanbul? Jika kita sedang menggenggam telpon seluler atau komputer personal (PC) yang terhubung dengan koneksi internet, coba buka mesin pencari Google dan masukkan kata "Istanbul" dalam kolom kotak pencarian. Dalam waktu kurang lebih sekitar 25 detik, setidaknya akan muncul 415.000.000 hasil pencarian yang mengandung kosa kata "Istanbul". Jumlah ini hampir separuh dari hasil pencarian di tempat yang sama dengan kata kunci Turkey (Turki).


Sebagian besar laman yang ditangkap Google Search bicara tentang tempat-tempat indah dan bersejarah yang layak di kunjungi di kota itu. Ini beberapa di antaranya: museum Aya Sofia, Blue Mosque (Masjid Biru), Istana Topkapi, Selat Bosporus, Menara Galata, dan Grand Bazaar. Semuanya merupakan obyek wisata yang sangat sayang dilewatkan jika kita menginjak bumi Istanbul.

Saya berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada Ahad malam di awal Juli, dengan penerbangan Malaysia Airline. Sebelum ke Istanbul, maskapai asal Malaysia ini singgah dulu di Bandara Internasional Kuala Lumpur selama lebih kurang dua jam, sebelum kembali melanjutkan penerbangan menuju Bandara Internasional At-Taturk, Istanbul, Turki. Buku Istanbul: Kota Kekaisaran- John Freely dan Istanbul: Kenangan Sebuah Kota-nya Orhan Pamuk menemani sekitar 6 jam perjalanan itu.

John Freely, pengajar di Universitas Bogazici di Istanbul, menulis dengan runut dan memberi detail melimpah soal sejarah Istanbul. Buku setebal 465 itu saya baca hampir mendekati bab akhir saat pesawat Malaysia Airline menyentuh landasan Bandara At-Taturk, Senin sekitar pukul 06.00 waktu setempat, atau sekitar pukul 12 waktu Jakarta. Ada selisih waktu sekitar 6 jam, di mana Jakarta menikmati hari lebih dulu dibanding Istanbul.

Saya terpikat Istanbul secara tak disengaja, sekitar 7 tahun lalu. Waktu itu saya melihat iklan Asosiasi Suratkabar Dunia (World Newspaper Association) yang akan menggelar konferensi di kota yang pernah menjadi ibukota kekaisaran Usmani ini-penulis barat mengenalnya dengan nama kekaisaran Ottoman. Sampul depan konferensi itu, yang saya temukan di internet, adalah foto sisi kota Istanbul di waktu malam: potretnya bernuasana biru pekat, dengan hiasan lampu-lampu dari rumah-rumah yang seperti bersusun di tepi Selat Bosporus. Kini saya akan menikmati keindahan itu, tak hanya melalui brosur.

* * *

Perjalanan ke Istanbul ini untuk mengikuti pertemuan Media Digital Mapping, yang diselenggarakan oleh Open Society Foundation, organisasi yang didirikan filantropis dunia, George Soros. Acaranya diikuti tim peneliti dan pemerhati media digital dari sekitar 60 negara, selama tiga hari penuh. Saya pun memilih untuk mencicipi keindahan kota ini, meski secuil, pada hari pertama saat tiba di Istanbul, karena konferensi baru dimulai keesokan harinya.

Tempat saya menginap, juga tempat konferensi yang saya ikuti, Point Hotel, berada di daratan Eropa atau berada di sisi barat Selat Bosphorus -di mana sisi Istanbul dan sebagian besar tanah Turki berada di sisi Timur selat atau di daratan Asia. Dengan waktu yang relatif tak banyak, saya memang tak punya kemewahan untuk pergi ke sejumlah tempat yang diinginkan. Berbekal informasi dari John Freely, saya akhirnya memilih untuk datang ke sini: Blue Mosque, lalu Aya Sofia. Tempat lainnya, kalau ada waktu saja.

Untuk ke dua tempat itu, saya memilih menggunakan trem, yang stasiun awalnya berada di sebuah daerah bernama Kabatas. Jalur trem saat ini merupakan warisan kekaisaran Usmani, yang pertama kali dibangun tahun 1869. Dengan jalur yang tak diganggu kendaraan lain, hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk tiba di stasiun trem yang kami tuju: Stasiun Sultan Ahmet.

Berdiri di stasiun pemberhentian itu, saya bisa melihat pucuk menara Blue Mosque yang menjulang dan museum Aya Sofia yang berada di sisi lainnya. Meski  keduanya merupakan penanda dari dua agama yang berbeda, jaraknya sangat berdekatan dan hanya dipisahkan jalan dan taman kota, yang tak lebih dari 200 meter. Jika kita mengunjungi Aya Sofia, kita hanya butuh puluhan langkah kaki saja untuk mencapai Blue Mosque. Begitu sebaliknya.

Senin pagi memang bukan waktu yang tepat untuk mengunjungi Aya Sofia. Berdasarkan jadwal, museum itu ditutup untuk umum di hari yang mengawali pekan. Saya akhirnya melihat dari luar dan mencoba mengamatinya arsitektur khas gereja abad pertengahan tersebut. Bangunannya kokoh, menjulang, dengan sejumlah kubah di bagian atas dan empat menara di empat penjurunya. Sebelum ditetapkan menjadi museum, Aya Sofia adalah katedral yang diubah menjadi masjid saat kota itu jautuh ke tangan sultan Usmani sekitar 600 tahun silam.

Untuk bisa mengerti asbabun nuzul transformasi gereja Aya Sofia menjadi masjid, kita memang harus menengok sejarah Istanbul, sekitar dua abad lalu.

* * *

Pada masa sebelum Masehi, kota itu bernama Byzantium dan berada di bawah kekuasaan Yunani. Baru pada tahun 73 Masehi ia berada di bawah kendali kekaisaran Romawi, dengan status kota merdeka. Kota itu akhirnya jatuh ke tangan kekaisaran kristen Romawi setelah dikepung selama lebih kurang tiga tahun. Pada masa itu, hingga bertahun-tahun kemudian, Byzantium merupakan kota dengan benteng pertahanan, baik di darat dan laut, yang sangat kuat. Kota itu lantas berubah menjadi Konstantinopel setelah kaisar Byzantium Romawi, Konstantin, memutuskan untuk memindahkan ibukota kekaisarannya dari Roma ke sana, tahun 324 Masehi. Meski nama resminya Nova Roma, tapi dalam bahasa sehari-hari lebih sering disebut Constantinopolis, kota Konstantin, atau dalam bahasa Inggris disebut Constantinople.

Penguasa Islam yang pertama kali menyerang Konstantinopel adalah khalifah di masa Muawiyah, tahun 668. Namun serangan itu tak membuahkan hasil karena gempuran dari darat itu tak mampu menerobos pertahanan yang mengelilingi kota: tembok Theodosius. Serangan berikutnya dilakukan tahun 674, dengan hasil yang sama. Sesudah serangan yang gagal itu, setiap tahun armada perang khalifah Islam memang masih berusaha menyerang kota itu sampai akhirnya berhenti berusaha tahun 678.

Pada masa Justinian, wilayah kekaisaran Byzantium membentang di wilayah Asia hingga Eropa dan Balkan. Sejumlah sumber menyebut, Aya Sofia dibangun pada masa ini, tahun 532 dan kelar tahun 537. Namun daerah kekuasaan itu perlahan-lahan lepas dari genggaman kekaisaran besar ini pada abad ke-12 karena konflik internal dan peperangan dengan penguasa di sekitarnya. Pada saat yang sama, pengaruh kesulatanan Turki Saljuk, Usmani, terus berkembang, dan secara perlahan mencaplok daerah-daerah yang sebelumnya di bawah Byzantium.

Di abad ke-14, daerah kekaisaran Byzantium malah sangat kecil, yaitu hanya menyisakan Konstantinopel. Kesultanan Usmani yang terus berkembang menyebabkan Kota Konstantinople berada dalam posisi aneh: ia memotong di tengah antara daerah Kesultanan Usmani yang berada di Asia dan Eropa. Penguasa Usmani, seperti kata Freely, menyebut Konstantinopel seperti duri di kerongkongan kekuasaan Islam. Itulah awal armada perang Usmani mulai mengincar kota itu.

Kekaisaran Usmani yang bertambah dengan pesat memang mengejutkan kekuatan Kristen di Eropa. Raja Sigismund dari Hongaria saat itu menyerukan perang salib melawan bangsa Turki. Pasukan Kristen berjumlah hampir 100.000 prajurit di kumpulkan di Buda pada juli 1396 dibawah pimpinan Sigismund, dengan rombongan antara lain dari Hongaria, Prancis, Jerman, Polandia, Italia, Spanyol, dan Inggris. Pasukan Kristen bergerak menyusuri lembah Danube menuju Nicopolis, dan mengepung benteng yang diduduki pasukan Turki. Beyazit, putra kaisar Usmani saat itu, Murat, segera tiba di sana dan mengalahkan pasukan kristen itu pada 25 September 1396.

Paska kemenangan itu, Beyazit memperbarui pengepungan terhadap Konstantinopel. Tahun 1397, ia membangun benteng di Anadoli Hisari, di sisi Asia dari Selat Bosporus. Dengan benteng itu, ia dalam posisi memotong persediaan gandum Konstantinopel dari laut Hitam. Manuel, kaisar Byzantium, yang baru dinobatkan sebagai kaisar di Aya Sofia pada 11 Februari 1392, memohon kepada pangeran Kristen di Eropa untuk mengirimkan bantuan ke kotanya yang mulai dikepung. Charles VI dari Prancis lantas mempersiapkan sebuah ekspedisi dibawah komando Marshal Boucicaut, yang pada musim panas 1399 membawa 1.200 tentara ke Konstantinopel. Setelah melihat keadaan, Marshal menyadari bahwa butuh armada lebih besar untuk menyelamatkan kota itu dari pasukan Turki.

Ia  pun meminta Manuel menemaninya ke Eropa agar dia bisa menyampaikan permintaan langsung ke pangeran Charles. Manuel saat itu melakukan tur ke sejumlah ibukota Eropa barat untuk meminta bantuan, meski akhirnya menyadari bahwa tak ada pertolongan nyata yang akan dikirimkan. Sebab, saat itu para pangeran kristen di Eropa sedang sibuk dengan masalahnya sendiri, yaitu mempersiapkan perang salib.

Pada tahun 1402, saat Beyazit memulai pengepungan terhadap Konstantinopel, ia juga harus menghadapi Pasukan Mongolia. Dalam peperangan melawan pasukan Mongolia itu, Turki kalah. Ini menyebabkan pengepungan terhadap kota itu mulai mengendur sehingga Konstantinopel menikmati "masa tenang" selama 4 tahun. Saat itu, juga ada perebutan kekuasaan di antara 4 anak Beyazit: Sulaiman, Musa, Isa dan Mehmet. Mehmet keluar sebagai pemenang, tahun 1413.

Saat Mehmet meninggal tahun 1421, putranya, Murat II, yang menggantikannya. Tahun berikutnya, Sultan yang baru berusia 17 tahun itu melakukan ekspedisi penyerangan ke Tesalonika dan Konstantinopel. Tapi, tembok Theodosius terlalu kuat sehingga dia menghentikan pengepungannya pada 6 September 1422.

Tesalonika baru bisa ditaklukkan pasukan Usmani delapan tahun kemudian. Jatuhnya daerah itu membuat John VIII, kaisar Byzantium yang menggantikan Manuel, kembali meminta bantuan Barat. Lalu keluarlah seruan Paus untuk perang Salib, yang akhirnya mendorong pembentukan sebuah pasukan di bawah pimpinan Ladislas III, Raja Polandia dan Hongaria, yang pasukannya dikomando oleh John Hunyadi.

Saat pasukan perang Salib ini berangkat Juni 1444, Murat dan pasukannya sedang berada di Asia Kecil. Dengan cepat dia menggerakkan pasukannya dan bertemu dengan pasukan Salib itu lima bulan kemudian di Varna, di pantai laut Hitam di Bulgaria. Pasukan Murat berhasil menghancurkan pasukan Salib itu, dan Hunyadi adalah salah satu yang berhasil selamat dan bisa melarikan diri.

Hunyadi kembali mengumpulkan pasukan dan mencoba bergabung dengan pimpinan pemberontak Albania, Skanderberg untuk melawan pasukan Turki. Pasukan Hunyadi dengan kolega Albania-nya bertemu pasukan Murat di Kosovo. Di tahun 1389, pasukan Turki sudah berhasil mengalahkan pasukan Kosovo. Dalam perang tahun 1448 itu, hasil akhirnya juga sama: Murat berhasil menumpas pasukan Kristen tersebut.

Murat II meninggal pada 3 Februari 1451. Kematiannya sempat dirahasiakan sembari menunggu Pangeran Mehmet menuju Edirne, ibukota kekaisaran Usmani. Mehmet baru tiba di ibukota pada 18 Februari 1451 dan lantas dinobatkan dengan nama Sultan Mehmet II. Tak lama setelah diangkat menjadi sultan, ia meneruskan upaya -kali ini lebih serius-para pendahulunya: menaklukkan Konstantinopel.

Langkah pertama yang dilakukan Mehmet II adalah memerintahkan pembangunan benteng Rumeli Hisari, di pantai Eropa dari Selat Bosporus. Lokasnya sebelah utara dari Konstantinopel, dan akan memotong Konstantinopel dari laut Hitam. Benteng itu selesai pembangunannya tahun 1452.

Melihat gelagat membahayakan itu, Konstantin, yang menggantikan John VIII, kembali meminta pertolongan dunia Barat, meski juga tak membuahkan hasil. Selama musim dingin, Konstantin makin gelisah menyambut serangan yang akan datang itu. Dia akhirnya menumpuk makanan dan persenjataan untuk perbekalan penduduk kota jika kembali terjadi pengepungan. Masyarakat juga digerakkan untuk memperbaiki pertahanan kota. Jumlah pemuda didata, dan didapatkan ada 7.000 orang. Jumlah pejuang yang sangat kecil itu tentu tak sebanding dengan pasukan Turki yang akan datang menyerang.

Pada musim semi tahun 1453, Mehmet II mengerahkan seluruh pasukannya menuju Konstantinopel. Pasukan pelopornya mendirikan perkemahan yang dekat tembok Theodosius, benteng yang melindungi kota, pada 2 April. Tiga hari berselang, Mehmet tiba dengan sisa pasukannya. Jumlah pasukan yang sekitar 80.000 itu bahkan bisa terlihat dari Gerbang St Romanus, yang letaknya di tengah-tengah Tembok Theodosius.

Untuk menaklukkan benteng yang kuat dan memiliki dua lapis tembok itu, Sultan Mehmet II juga mempersiapkan meriam raksasa. Yang paling utama bernama Urban, dan bisa menembakkan bola meriam batu seberat 500 kg sejauh 1,5 km. Bom pertama dari meriam Turki dilontarkan 6 April, yang menghantam tembok dengan hasil mematikan. Untuk mencegah pasukan Islam masuk, setiap malam penduduk Konstantinipel berusaha memperbaiki tembok yang rusak itu.

Pada saat yang hampir sama, armada Turki yang berusaha menembus rantai pertahanan laut Konstantinopel, melalui mulut Tanduk Emas, dipukul mundur. Pada 33 April, Mehmet II memerintahkan armadanya yang lebih besar berlayar melalui Pera ke dalam Tanduk Emas. Setelah melewati rantai besar pertahanan Konstantinopel, akhirnya pasukan Turki berhasil menguasai pelabuhan itu. Dengan jatuhnya pelabuhan itu ke tangan pasukan Turki, maka tak ada lagi bantuan dari laut yang bisa diberikan kepada Konstantinopel.

Pasukan Usmani meneruskan pengeboman hingga 27 Mei saat Mehmet mengirimkan pesan kepada Konstantin dan penghuni kota untuk menyerah tanpa syarat. Ia akan membiarkan Konstantin pergi tanpa dilukai dan mendirikan negara di tempat lain di bawah pengaawasan kekaisaran Usmani. Rakyat Konstantinopel juga akan diampuni jika menyerah. Mehmet II memerintahkan penyerangan habis-habisan setelah Konstantin menolak tawaran itu.

Konstantin menghabiskan hari-hari beirkutnya untuk membuat persiapan terakhir untuk menahan serangan itu. Dia juga memerintahkan semua pusaka suci yang tersimpan di banyak gereja dan katedral di kota itu untuk dikeluarkan dan dibawa mengikuti prosesi di belakang ikon Perawan Hodegetria dan Perawan Blachernissa, yang sekian abad sebelumnya diyakini melindungi kota ini dari musuh-musuhnya. Pada suatu malam, penduduk Kota yang sedang tak berjaga di Benteng Tehodosius berkumpul dan berdoa di Aya Sofia untuk keselamatan kota.

Pada saat yang sama, pasukan Turki bekerja sepanjang malam mengisi parit pertahanan di depan tembok Theodosius di sepanjang Mesoteichion, tempat serangan utama akan dilakukan. Sekitar pukul 2 pagi, 29 Mei 1345, Mehmet II memberi tanda untuk mulai menyerang. Serangan pertama dilakukan Basibozuk, pasukan kejutan yang bertugas menyerukan teriakan peperangan liar dengan suara drum dan bagpipe. Para pengawas di dalam menara Konstantinopel mendengar suara itu dan mulai membunyikan lonceng gereja di seluruh kota agar masyarakat waspada.

Bazibosuk menyeberangi parit dan mendirikan tangga tembok, beberapa darinya mendaki benteng, meski kemudian dijatuhkan oleh pasukan lawan. Setelah serangan sekitar dua jam tersebut, Bazibosuk ditarik mundur setelah berhasil membuat prajutit musuh kelelahan dengan serangan yang tiada habisnya itu.

Setelah itu, Mehmet II meluncurkan penyerangan gelombang kedua, oleh pasukan berjalan kaki Anatolia dibawah komando Ishak Pasha. Urban, meriam rakasa Turki, membantunya dengan menghantam tembok di sisi Mesoteichion dengan telak, mencipakan lubang yang membuat sekitar 300 tentara Turki bisa masuk. Tapi mereka dengan cepat dikepung dan dibantai pasukan musuh saat di dalam tembok. Ishak lantas menarik mundur pasukannya.

Sultan pun lantas mengeluarkan pasukan andalannya: Janisari. Serangan pasukan elite Usmani ini membawa mereka masuk ke benteng tembok dalam di mana mereka bertarung jarak dekat dengan pasukan musuh. Sekelompok Janisari berhasil mencapai pelabuhan bernama Kerkopotra, menguasai menara di samping gerbang dan dari sana mengibarkan bendera bintang dan bulan sabit Turki.

Sultan juga mengirimkan serangan lain ke tembok itu, yang dipimpin pasukan Janisari bertubuh rakasa bernama Hasan. Ia berhasil menembus tembok kota, meski akhirnya gugur. Saat pasukannya melihat tanda bendera Turki berkibar di menara, terdengar jeritan bahwa kota telah ditaklukkan. Saat pasukan Byzantium lengah, pasukan Turki lantas berhamburan melalui tembok itu. Kaisar Konstantin mencoba menahan arus itu. Ia terlihat terakhir kali di posisi komandonya di Murus Bacchatureus dalam keadaan hidup. Sebelum hari beranjak pagi, perlawanan terakhir musuh berhasil dipadamkan.

Banyak orang Italia yang masih hidup melarikan diri menaiki kapal-kapal Venesia, meninggalkan orang-orang Yunani menghadapi nasib mereka di tangan pasukan Turki. Menurut sejumlah catatan, sekitar 4.000 orang sipil terbunuh dalam penyerbuan ke kota itu, dengan kondisi kota yang sebagian besar dalam keadaan hancur. Berita kejatuhan kota kekaisaran kristen itu sampai ke Barat saat sebuah perahu Kreta, Yunani, berlabuh di Candia pada 9 Juni 1453. Perasaan sedih atas kejatuhan kota itu masih terdengar di lagu rakyat Yunani, yang itu salah satunya bisa dilihat dalam elegi seperti "Misa Terakhir di Aya Sofya", yang dikoleksi oleh C.A. Trypanis.

Sultan Mehmet II masuk kota Konstantinopel Selasa sore, 29 Mei 1453. Ia melewati gerbang Adrianapolis --yang sekarang dikenal sebagai Edirna Kapi. Dia baru berusia 21 tahun saat memimpin penaklukan itu. Mehmet II lantas dikenal oleh bangsa Turki dengan panggilan Fatih, Sang Penakluk. Hari saat Mehmet II masuk Adrianapolis, juga menandai berakhirnya sejarah Konstaninopel dan berganti menjadi Istanbul.

Setelah melewati gerbang, tempat yang dituju sang Fatih adalah Aya Sofya. Ia turun dari kuda dan berlutut di depan katedral yang dulunya menjadi tempat favorit penobatan kaisar Byzantium itu. Ia mengucurkan sejumput tanah ke atas serbannya. Fatih menatap gereja itu sebelum kemudian memerintahkan pasukannya agar mengalihkan fungsinya menjadi masjid. Namanyapun diganti menjadi Sofya Camii Kabir, Masjid Besar Aya Sofya.

Fatih memerintahkan agar dibangun sebuah menara di Aya Sofya, utuk digunakan muadzin memanggil masyarakat untuk solat. Beberapa konstruksi di dalamnya juga ditambah, termasuk sebuah panggung kecil mimbar dan mihrab, dan ceruk yang menunjukkan arah kiblat. Setelah semua kebutuhan dilengkapi, Fatih melaksanakan solat Jumat pertama di sana pada 1 Juni 1453.

Seperti kutukan dari sebuah kekuasaan, Usmani, seperti halnya kekaisaran Byzantium, penuh dengan persaingan dan dan intrik politik. Pergantian Sultan hampir selalu diwarnai konflik, karena pada akhirnya hanya satu yang keluar sebagai pemenang. Dinamika politik kesultanan ini pula yang ikut menyumbang kemerosotan kekaisaran besar ini sehingga daerah kekuasaannya pelan-pelan menyusut. Saat Murat II memimpin Usmani (1421-1451), daerah kekuasaannya hampir separuh berada di sisi Eropa, selebihnya di Asia. Saat Sultan Usmani terakhir berkuasa, Abdul Mecit II (1922-1924) daerahnya menyisakan meliputi Asia tengah dan "sejengkal" saja tanahnya yang di Eropa (yang kini menjadi bagian dari kota Istanbul itu).

* * *

Pada masa kekaisaran Usmani, Istanbul membangun banyak masjid. Hampir tiap sultan membangun rumah ibadah sebagai penanda kesultanannya. Fatih mendirikan masjid  pertama yang kemudian dikenal dengan nama Fatih Camii. Masjid itu dibangun arsitek kenaamaan, Sinan. Ini adalah masjid paling besar dan luas di masa Usmani. Masjid aslinya benar-benar hancur saat terjadi gempa bumi dahsyat pada 22 Mei 1776. Sultan Mustafa III (1757-74) yang memugarnya dan selesai tahun 1771. Tradisi membangun masjid ini diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya. Usmani memiliki 38 sultan, yang memerintah sejak 1282 sampai 1924.

Fatih Camii memang merupakan masjid terbesar yang dibangun semasa kesultanan, namun yang menjadi ikon penting Istanbul modern adalah Sultan Ahmet I Camii. Ia disebut sebagai masjid kesultanan yang paling indah, dengan bagian depan kubah dan kubah setengah lingkaran yang anggun serta enam menara ramping menjulang dari sudut bangunan dan halaman depannya.

Pintu masuknya ada tiga di masing-masing sisinya. Halaman belakang masjidnya bergaya klasik, dikelilingi deretan tiang bulat sebanyak 26 yang membentuk serambi. Di tengah-tengah halaman tampak sebuah sadirvan segi delapan,  yang kini memang hanya jadi hiasan semata dan jadi obyek menarik untuk berfoto-foto di dekatnya.

Bagian dalam masjid memiliki panjang 51 meter dan lebar 53 meter, dinaungi sebuah kubah dengan garis tengah sepanjang 23,5 meter, di ketinggian 43 meter di atas lantai. Kubah itu ditopang empat kubah kecil di di setiap sudutnya.  Penopang utama kubah besar itu adalah empat tiang raksasa, dengan garis tengah 5 meter.

Bagian dalam masjid itu dibasuh cahaya dari sekitar 250 jendelanya. Dahulunya dindingnya banyak diisi oleh kaca warna-warni Turki abad ke-17. Lukisan kaligrafi  di kubah bagian atas ditambahkan pada masa modern, dengan desain suram dan kasar. Bagian dalam masjid itu didominasi warna biru cerah, yang kemudian menjadikan masjid ini lebih dikenal dengan sebutan Blue Mosque.

Saat saya ke sana Juli lalu, Istanbul sedang musim panas. Pengunjung masjid Juli itu sebagian besar adalah orang Eropa. Beberapa di antaranya berpakaian agak terbuka, dan pengurus masjid menyediakan kain sarung bagi turis berbaju "kurang pantas" yang ingin masuk dan melihat ke dalam masjid itu. Juga ada plastik yang disediakan untuk menyimpan sepatu dan sandal para pengunjung.

Meski banyak memiliki masjid, namun nuansa di jalanan Istanbul lebih mirip kota Eropa daripada kota di negara Muslim Asia. Jumlah perempuan yang berpakaian ala Eropa lebih banyak dibanding yang memakai jilbab. Apalagi di musim panas, di mana banyak orang Eropa memanjakan kulitnya dengan sengatan matahari karena lama tak berjumpa selama musim dingin.

Meski pernah menjadi pusat kekuasaan kekaisaran Usmani, Istanbul tak lantas memiliki karakter kota Islam yang kental. Sebelum kekuasaan Usmani berakhir tahun 1920-an, para tentara nasionalis yang dipimpin Mustafa Kemal Attaturk memilih bentuk republik dan jalan sekuler bagi negara ini. Tonggak itu dipancangkan Mustafa setelah kekhalifahan Usmani ini merosot drastis karena konflik internal dan kekalahannya di sejumlah front pertempuran.

Kekalahan-kekalahan itu menyebabkan Usmani  berada di bawah pengawasan Komisi Tinggi Sekutu. Pada 19 Maret 1920, Kemal mengumumkan akan adanya parlemen sendiri di Ankara, yang diberi nama Majelis Nasional Agung. Majelis ini  akhirnya bertemu pertama kalinya pada 23 April 1920 dan menobatkan Kemal sebagai presiden Turki.

Pada 1 November, Majelis Nasional Agung mengeluarkan undang-undang yang memisahkan kesultanan dan kekhalifahan. Undang-undang itu mengakhiri hikayat kesultanan, dan khalifah hanya berfungsi dalam urusan keagamaan semata. Sehingga sultan Usmani saat itu, Abdul Mecit, hanya menjadi khalifah. Mecit kemudian tercatat sebagai khalifah terakhir dalam sejarah Usmani setelah Majelis Nasional Agung mengeluarkan undang-undga yang mengakhiri kekhalifahan pada 3 Maret 1924. Setahun sebelumnya, Ankara, bukan Istanbul, yang ditetapkan sebagai ibukota Turki.

Penghapusan kekhalifahan merupakan bagian dari sekularisasi Turki, dan pemindahan ibukota dari Istanbul ke Ankara juga merupakan simbol dari upaya pemutusan hubungan republik baru ini dengan masa lalunya. Pada 20 April 1924, Majelis Nasional Agung mengeluarkan undang-undang yang dikenal dengan anti teokratis, yang di dalamnya beiris penutupan Kementerian Syariat dan penutupan sekolah madrasah. Pemerintah juga melarang masyarakat mempraktikkan aliran derwish.

Setelah itu, Kemal terus melakukan reformas lebih luas yang, menurut Freely, didesain untuk untuk mengalihkan Turki dari cara-cara Islamnya dan lebih mendekati dunia Barat. Pada 25 November 1925, pemakaian fez dan pakaian tradisional lainnya dilarang: penggunaan kalender bulan Islam diganti dengan Gregorian (Desember 1925); Turki mengadopsi hukum perdata Swiss untuk menggantikan sistem Usmani (17 Februari 1926); menetapkan abjad Latin untuk menggantikan huruf Arab (9 Agustus 1928).

Di bawah bimbingan Kemal, Turki memilih berkiblat kepada Barat dan meneteapkan jalan berbeda dengan sebagian besar tetangganya di Asia. Tak mengherankan jika Orhan Pamuk, pemenang Nobel Sastra 2006, menyebut Turki modern sangat peduli, dan juga was-was, terhadap pandangan orang Barat. Ia menjadi masygul bahwa jalan sekuler Turki itu, dalam beberapa hal, tak membuatnya lebih baik dari sistem yang ditinggalkannya.

Orhan Pamuk antara lain memberi contoh soal perlindungan terhadap minoritas Yunani dan keragaman bahasa penduduk Turki. Kata Orhan, keragaman bahasa itu justru menghilang karena sentimen nasionalisme Turki. Jumlah orang Yunani yang meninggalkan negara itu justru terbanyak terjadi saat Turki menjadi sekuler dibandingkan semasa kesultanan Usmani.

Dalam soal pertahanan, Turki bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization-NATO) pada tahun 1952, bersama Amerika Serikat dan 26 negara Barat lainnya. Turki juga mengajukan aplikasi untuk menjadi anggota Uni Eropa sejak tahun 1987, meski hingga tahun 2011 masih masuk kategori "kandidat". Kata Uni Eropa, ada sejumlah hal yang belum mencapai titik temu antara Turki dan komunitas negara Eropa tersebut. * * *

Abdul Manan
Tulisan dimuat di Majalah Al Fikr, Edisi Oktober 2012

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO