Untuk Rampingkan Parpol, Parliamentary Threshold Harus Naik

Jum'at, 31 Desember 2010 | 21:50 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Analis politik Karel H. Susetyo menyarankan agar angka parliamentary threshold (PT) dalam Pemilihan Umum 2014 naik, lebih besar dari pemilihan umum 2009 yang 2,5 persen. "Agar konsisten untuk menyederhanakan partai, sebaiknya PT harus naik terus setiap pemilihan umum," kata Direktur Eksekutif Yayasan Sketsa Nusantara ini saat dimintai komentar, Jumat (31/12/2010), soal debat tentang angka parlementary threshold ideal untuk pemilu mendatang.

Soal parlementary threshold ini menjadi perdebatan di kalangan politisi menjelang pembahasan Rancangan Undang Undang Pemilihan Umum. Partai-partai besar seperti Golkar menginginkan ada kenaikan sampai 5 persen, naik dua kali lipat dari PT pada Pemilu 2009. Sedangkan partai-partai kecil seperti Gerindra ingin angkanya tetap, yaitu 2,5 persen. 

Bagi Karel, jika menginginkan ada upada perampingan partai politik, maka pilihan yang paling masuk akal adalah dengan menaikkan angka PT. "Bahkan, misalnya, kalau bisa sampai 10 persen," kata dia. Tentu saja, kata Karel, itu harus dilakukan secara bertahap. Dengan angka PT yang tinggi, otomatis juga akan menjadi seleksi bagi partai-partai yang selama ini perolehan suaranya kecil.

Dia menampik argumentasi yang dikemukakan sejumlah politisi partai bahwa angka PT yang besar otomatis menghalangi hak warga negara untuk berpartai. "Ini politik. Kalau bikin partai dan kemudian ternyata tak laku dan pemilihnya sedikit, ya sudahlah. Jangan soal hak berpolitik dijadikan dalih," kata dia. Dia menolak dikotomi pengertian antara partai besar dan partai kecil. Faktanya, kata dia, partai besar adalah partai yang memang didukung oleh orang banyak. Begitu juga partai kecil.

Menurut Karel, ada sejumlah keuntungan dari jumlah partai yang tak terlalu banyak. Pertama, itu tak membingungkan pemilih saat pemilihan. Kedua, dan ini yang lebih penting, adalah membuat suasana politik tak terlalu gaduh. "Selama ini perbedaan antara partai bukan karena beda ideologi, tapi karena beda kepentingan," kata dia. Kegaduhan politik itu berdampak panjang. Antara lain, investor jadi takut karena menimbulkan ketidakstabilan politik.

Idealnya, kata Karel, partai politik di Indonesia cuma tiga partai saja, yang itu mewakili mainstream, yaitu kaum agamis, kelompok tengah dan nasionalis. "Itu mewakili tiga mainstream ideologi partai di Indonesia," kata eks analis politik di Charta Politika ini. Kalau pun saat ini ada banyak partai, kata dia, lebih karena ketidakpuasan kepada partai yang akhirnya membuat partai sempalan. Kalau saat ini ada keinginan agar PT tetap kecil, kata dia, itu argumentasi politisi partai agar bisa bertahan di parlemen semata.

Abdul Manan

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO