Tak Cukup Hanya Bermodal Populer
Aktris yang juga calon legislator Partai Golongan Karya, Nurul Arifin, pernah menjadi korban sistem nomor urut. Meski mendapat suara terbanyak di daerah pemilihan Purwakarta dan Karawang, Jawa Barat, dalam Pemilu 2004, ia tak mendapat kursi karena berada di nomor urut tiga. Mendengar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pemilihan anggota legislatif 2009 berdasarkan suara terbanyak, ia berujar, "Ini tantangan." Berita itu menggembirakan, tapi juga tak mudah. Nurul menyadari persaingan akan lebih ketat dan terbuka dengan sistem baru itu.
Mahkamah Konstitusi, dalam sidang 23 Desember 2008, menyatakan bahwa penentuan calon anggota legislatif terpilih bukan didasarkan pada nomor urut, melainkan suara terbanyak. Menjawab judicial review yang diajukan Muhammad Sholeh, calon anggota DPRD Jawa Timur dari PDI Perjuangan, Mahkamah menyatakan Pasal 214 Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD itu inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat. Pasal itu memuat ketentuan bahwa calon terpilih adalah mereka yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil.
Implikasi putusan ini jelas: tak peduli seorang calon berada di urutan berapa, punya rekam jejak dan loyalitas panjang terhadap partai ataukah sekadar kader instan, asalkan mendapat suara terbanyak ia punya tiket untuk menjadi wakil rakyat. Ini berarti untuk pertama kalinya nasib seorang calon wakil rakyat di negeri ini tak lagi ditentukan oleh partai melalui nomor urut. Nurul Arifin menyebut ini "angin segar". Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsudin Haris, menyebut hal semacam ini sebagai cara efektif untuk memaksa calon memberikan loyalitas lebih besar kepada pemilih, bukan hanya kepada partai politik seperti di masa lalu.
Sejumlah partai yang sudah menetapkan "suara terbanyak" sebagai mekanisme internalnya, seperti Partai Amanat nasional, Partai Golkar, dan Partai Demokrat, gembira. Putusan ini menjadi dasar lebih sahih bagi partai-partai ini untuk menerapkan aturan tersebut. Sistem suara terbanyak, kata Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, merupakan cerminan demokrasi sesungguhnya. Ia membandingkan dengan kepala daerah pascareformasi, yang langsung dipilih oleh rakyat. "Masa pemilu nasional masih memilih partai tanpa tahun siapa calon wakil rakyatnya," kata Soetrisno.
Tapi tak semua gembira atas putusan ini. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Pembela Demokrasi Pancasila menolak putusan ini karena membuat program penambahan jumlah legislator perempuan di Senayan jadi terancam. Anggota Gerakan Perempuan, Masruchah, mengatakan putusan itu juga mengabaikan semangat pasal dalam undang-undang pemilihan umum yang ingin menerapkan affirmative action soal kuota perempuan, yang diikuti dengan memasukkan nama satu dari tiga calon perempuan (zipper system). "Ini penggembosan namanya," kata dia. PDI Perjuangan, yang awalnya menggunakan sistem nomor urut, juga mengaku kecewa. Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Agnita Singedikane Irsal mengatakan sistem baru ini membuat "partai hanya menjadi perahu saja".
Sistem nomor urut yang dipakai selama ini dikritik tidak fair. Ada orang yang menjadi pengumpul suara, tapi mereka tak menikmati hasilnya karena berada di nomor buntut. Namun, sistem suara terbanyak juga bukannya tanpa cacat. Syamsudin Haris mengatakan, sistem ini akan menaikkan derajat persaingan antarcalon, meski dari satu partai. Yang tak kalah penting, popularitas calon akhirnya jadi faktor yang mesti diperhitungkan. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari, ini tak terelakkan.
"Kalau tidak dikenal, tidak mungkin dipilih," kata dia.
Popularitas, kata Qodari, bukan semata milik artis. Ada juga tokoh agama, tokoh etnis, dan calon yang berkali-kali maju. Hanya, kata Qodari, artis lebih populer karena paling sering tampil di depan publik lewat layar kaca.
Selama ini popularitas seorang calon dianggap oleh partai hal penting untuk mendulang suara. Dalam Pemilu 2009, Partai Amanat Nasional memasang pelawak Eko Patrio, Mandra, dan artis Wulan Guritno sebagai calon. "PAN memang memasukkan artis untuk mendongkrak suara. Tapi calon legislator itu dibekali pengetahuan politik melalui training," kata Soetrisno Bachir. Bahkan Partai Golkar menyediakan 10 persen dari daftar calonnya untuk para selebritas.
Ketua DPP Partai Golkar Syamsul Mu'arif tidak sepenuhnya percaya popularitas tokoh menjadi penentu kemenangan. Dia mencontohkan pasangan calon gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman dan presenter kondang Helmy Yahya. Pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan kawan-kawan ini kalah oleh Alex Noerdin dan Eddy Yusuf, yang didukung oleh Partai Golkar dan kawan-kawan. "Popularitas tidak bisa dijadikan patokan karena rakyat punya 'perasaan politik'," tuturnya. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung punya pandangan sama soal popularitas artis atau tokoh. "Kalau di perkotaan, mungkin terjadi, tapi di desa tidak," katanya.
Menurut Syamsudin Haris, kemenangan artis dalam pemilihan kepala daerah tak bisa jadi rujukan bahwa popularitas adalah garansi kemenangan. Pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah adalah dua hal berbeda. Menurut dia, salah satu faktor pendukung kemenangan Dede Yusuf, yang berpasangan dengan Ahmad Heryawan, dalam pemilihan kepala daerah Jawa Barat adalah karena wajahnya terpampang dalam surat suara. "Dalam pemilihan calon anggota legislatif, itu kan tidak ada," kata Syamsudin Haris. Apalagi, kata Qodari, sebagian artis dikenal dengan nama beken. Padahal, dalam surat suara, yang dicantumkan adalah nama asli di kartu tanda penduduk.
Syamsudin menambahkan, selain soal sengitnya persaingan antarcalon, kendala teknis lain bisa membuat faktor popularitas jadi kurang penting. Antara lain, surat suara dengan 38 partai nasional dan 6 partai lokal bisa membuat pemilih bingung, apalagi tak ada foto, dan sewaktu di bilik suara tak bisa berlama-lama. Situasi semacam ini bisa membuat pemilih asal contreng. "Faktor ini juga menjadikan popularitas bukan jaminan," katanya, sembari menambahkan bahwa ia tak sepenuhnya yakin sistem ini memberi jaminan lahirnya wakil rakyat yang lebih baik di parlemen. Bagi Syamsudin, semua ini harus dilihat sebagai "salah satu konsekuensi dari sistem yang baru”.
Qodari setuju bahwa popularitas saja tak cukup untuk bisa memenangi hati pemilih. Setelah mengenal calon, kata Qodari, faktor yang akan diperhitungkan kemudian oleh pemilih adalah kemampuan, kompetensi dan integritasnya.
| Abdul Manan | Eko Ari Wibowo | Kurniasih Budi | Arif Arianto
Koran Tempo, 6 Januari 2009
Mahkamah Konstitusi, dalam sidang 23 Desember 2008, menyatakan bahwa penentuan calon anggota legislatif terpilih bukan didasarkan pada nomor urut, melainkan suara terbanyak. Menjawab judicial review yang diajukan Muhammad Sholeh, calon anggota DPRD Jawa Timur dari PDI Perjuangan, Mahkamah menyatakan Pasal 214 Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD itu inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat. Pasal itu memuat ketentuan bahwa calon terpilih adalah mereka yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil.
Implikasi putusan ini jelas: tak peduli seorang calon berada di urutan berapa, punya rekam jejak dan loyalitas panjang terhadap partai ataukah sekadar kader instan, asalkan mendapat suara terbanyak ia punya tiket untuk menjadi wakil rakyat. Ini berarti untuk pertama kalinya nasib seorang calon wakil rakyat di negeri ini tak lagi ditentukan oleh partai melalui nomor urut. Nurul Arifin menyebut ini "angin segar". Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsudin Haris, menyebut hal semacam ini sebagai cara efektif untuk memaksa calon memberikan loyalitas lebih besar kepada pemilih, bukan hanya kepada partai politik seperti di masa lalu.
Sejumlah partai yang sudah menetapkan "suara terbanyak" sebagai mekanisme internalnya, seperti Partai Amanat nasional, Partai Golkar, dan Partai Demokrat, gembira. Putusan ini menjadi dasar lebih sahih bagi partai-partai ini untuk menerapkan aturan tersebut. Sistem suara terbanyak, kata Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir, merupakan cerminan demokrasi sesungguhnya. Ia membandingkan dengan kepala daerah pascareformasi, yang langsung dipilih oleh rakyat. "Masa pemilu nasional masih memilih partai tanpa tahun siapa calon wakil rakyatnya," kata Soetrisno.
Tapi tak semua gembira atas putusan ini. Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Pembela Demokrasi Pancasila menolak putusan ini karena membuat program penambahan jumlah legislator perempuan di Senayan jadi terancam. Anggota Gerakan Perempuan, Masruchah, mengatakan putusan itu juga mengabaikan semangat pasal dalam undang-undang pemilihan umum yang ingin menerapkan affirmative action soal kuota perempuan, yang diikuti dengan memasukkan nama satu dari tiga calon perempuan (zipper system). "Ini penggembosan namanya," kata dia. PDI Perjuangan, yang awalnya menggunakan sistem nomor urut, juga mengaku kecewa. Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Agnita Singedikane Irsal mengatakan sistem baru ini membuat "partai hanya menjadi perahu saja".
Sistem nomor urut yang dipakai selama ini dikritik tidak fair. Ada orang yang menjadi pengumpul suara, tapi mereka tak menikmati hasilnya karena berada di nomor buntut. Namun, sistem suara terbanyak juga bukannya tanpa cacat. Syamsudin Haris mengatakan, sistem ini akan menaikkan derajat persaingan antarcalon, meski dari satu partai. Yang tak kalah penting, popularitas calon akhirnya jadi faktor yang mesti diperhitungkan. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari, ini tak terelakkan.
"Kalau tidak dikenal, tidak mungkin dipilih," kata dia.
Popularitas, kata Qodari, bukan semata milik artis. Ada juga tokoh agama, tokoh etnis, dan calon yang berkali-kali maju. Hanya, kata Qodari, artis lebih populer karena paling sering tampil di depan publik lewat layar kaca.
Selama ini popularitas seorang calon dianggap oleh partai hal penting untuk mendulang suara. Dalam Pemilu 2009, Partai Amanat Nasional memasang pelawak Eko Patrio, Mandra, dan artis Wulan Guritno sebagai calon. "PAN memang memasukkan artis untuk mendongkrak suara. Tapi calon legislator itu dibekali pengetahuan politik melalui training," kata Soetrisno Bachir. Bahkan Partai Golkar menyediakan 10 persen dari daftar calonnya untuk para selebritas.
Ketua DPP Partai Golkar Syamsul Mu'arif tidak sepenuhnya percaya popularitas tokoh menjadi penentu kemenangan. Dia mencontohkan pasangan calon gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman dan presenter kondang Helmy Yahya. Pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan kawan-kawan ini kalah oleh Alex Noerdin dan Eddy Yusuf, yang didukung oleh Partai Golkar dan kawan-kawan. "Popularitas tidak bisa dijadikan patokan karena rakyat punya 'perasaan politik'," tuturnya. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung punya pandangan sama soal popularitas artis atau tokoh. "Kalau di perkotaan, mungkin terjadi, tapi di desa tidak," katanya.
Menurut Syamsudin Haris, kemenangan artis dalam pemilihan kepala daerah tak bisa jadi rujukan bahwa popularitas adalah garansi kemenangan. Pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah adalah dua hal berbeda. Menurut dia, salah satu faktor pendukung kemenangan Dede Yusuf, yang berpasangan dengan Ahmad Heryawan, dalam pemilihan kepala daerah Jawa Barat adalah karena wajahnya terpampang dalam surat suara. "Dalam pemilihan calon anggota legislatif, itu kan tidak ada," kata Syamsudin Haris. Apalagi, kata Qodari, sebagian artis dikenal dengan nama beken. Padahal, dalam surat suara, yang dicantumkan adalah nama asli di kartu tanda penduduk.
Syamsudin menambahkan, selain soal sengitnya persaingan antarcalon, kendala teknis lain bisa membuat faktor popularitas jadi kurang penting. Antara lain, surat suara dengan 38 partai nasional dan 6 partai lokal bisa membuat pemilih bingung, apalagi tak ada foto, dan sewaktu di bilik suara tak bisa berlama-lama. Situasi semacam ini bisa membuat pemilih asal contreng. "Faktor ini juga menjadikan popularitas bukan jaminan," katanya, sembari menambahkan bahwa ia tak sepenuhnya yakin sistem ini memberi jaminan lahirnya wakil rakyat yang lebih baik di parlemen. Bagi Syamsudin, semua ini harus dilihat sebagai "salah satu konsekuensi dari sistem yang baru”.
Qodari setuju bahwa popularitas saja tak cukup untuk bisa memenangi hati pemilih. Setelah mengenal calon, kata Qodari, faktor yang akan diperhitungkan kemudian oleh pemilih adalah kemampuan, kompetensi dan integritasnya.
| Abdul Manan | Eko Ari Wibowo | Kurniasih Budi | Arif Arianto
Koran Tempo, 6 Januari 2009
Comments