Ini Soal Kendaraan Menuju 2009
Tak ada interupsi, apalagi voting, dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa pekan lalu. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menjadi undang-undang, yang semula diprediksi bakal alot dan berakhir voting, berjalan tanpa "insiden". Satu-satunya hal yang membuat pengesahan itu tak bisa disebut diterima secara bulat adalah adanya nota keberatan dari tiga fraksi, yaitu Fraksi Keadilan Sejahtera, Fraksi Amanat Nasional, dan Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Mulusnya pengesahan dalam sidang 29 Oktober 2008 itu memang sudah bisa diduga. Partai-partai sudah memberi persetujuan--yang tidak bulat--sehari sebelumnya dalam forum lobi di Hotel Santika, Jakarta. Pertemuan yang berakhir menjelang tengah malam itu akhirnya menyepakati dua masalah krusial dari undang-undang ini, yaitu soal larangan presiden merangkap jabatan ketua umum partai politik dan syarat minimal partai untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Dua soal ini pula yang membuat rencana pengesahannya diundur dua kali.
Dari sekitar 250 pasal, dua soal ini memang mengganjal pembahasan rancangan ini sejak akhir Agustus lalu. Sadar bahwa pasal krusial ini bakal alot, saat itu Panitia Khusus meminta ada forum lobi pada 10 Oktober lalu. Saat itu, Golkar dan PDI Perjuangan mengajukan tawaran tinggi. Golkar mengajukan syarat minimal partai yang bisa mengajukan calon presiden adalah yang punya 30 persen kursi, PDIP 15 sampai 30 persen. Dalam Pemilu 2004, PDIP mendapatkan 18 kursi DPR, Golkar 22 persen. Keduanya juga kompak menolak larangan rangkap jabatan. Delapan partai lain, yang dalam Pemilu 2004 mendapatkan kursi di bawah 20 persen, menawar lebih rendah. Mereka juga kompak menolak rangkap jabatan.
Anggota tim lobi dari Fraksi Keadilan Sejahtera, Agus Purnomo, mengatakan, forum lobi itu gagal mengambil keputusan karena peserta lobi bukan penentu kebijakan di partai. Malah Ketua Fraksi Golkar dan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa tak hadir. Kata sepakat belum didapat, tapi partai dan pemerintah tak ingin dua soal ini diselesaikan dengan voting. Akhirnya, disepakati untuk menggelar lobi tingkat petinggi partai pada 15 Oktober.
Dalam lobi lanjutan ini Golkar melunak. Yang semula mengusulkan 30 persen, kini turun menjadi 25 persen. PDIP meminta 26 persen. Empat fraksi yang sebelumnya mengusulkan 15 persen, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Damai Sejahtera, Fraksi Partai Bintang Reformasi, akhirnya bersedia menaikkan usulannya menjadi 20 persen. Hanya Partai Amanat Nasional tetap bertahan dengan 15 persen. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mengatakan, partainya tak akan menaikkan syarat dukungan lagi karena telah berkompromi dari usulan 2,5 persen kursi menjadi 15 persen. Ada perubahan, tapi jalan menuju kesepakatan masih panjang.
Gagalnya forum lobi juga membatalkan rencana pengesahan yang dijadwalkan 22 Oktober menjadi 28 Oktober--meski akhirnya juga diundur keesokan harinya. Semua fraksi sepakat bahwa penundaan pengesahan ini bertujuan agar fraksi-fraksi bisa melakukan lobi lagi. "Ini upaya terakhir untuk tidak voting," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Zulkifli Hassan. Lobi dilakukan pada 28 Oktober. Golkar dan PDIP menurunkan usulannya dari 25 menjadi 20 persen, sedangkan partai-partai lain menaikkan 5 persen sehingga menjadi 20. Satu-satunya yang tetap pada sikapnya adalah PAN, yang bertahan dengan usulan 15 persen suara. Mengenai larangan rangkap jabatan, tak tercapai kompromi. Lima partai akhirnya mengikuti sikap PDIP dan Golkar. PKB, PAN, dan PKS pun bersikap sama, meski dengan berat hati. Inilah yang menjadi nota keberatan ketiganya yang disampaikan dalam sidang paripurna.
Sumber di Golkar mengatakan, semua partai ingin menjadi "kendaraan" bagi calon yang akan maju dalam pemilihan. Kendaraan itu, kalau dipakai seorang calon, tentu saja ada “biaya sewanya”. Tarifnya, tentu saja berbeda kalau kendaraan itu milik sendiri dibanding milik bersama. Golkar, kata sumber itu, berkompromi karena takut dianggap keras kepala dan ingin menang sendiri. "Lagi pula, kalau divoting, bisa kalah," kata sumber tersebut. Dia menilai penolakan partai-partai lain soal "pasal rangkap jabatan" semata-mata sebagai alat tawar-menawar agar Golkar tak terus-menerus pasang syarat tinggi.
Syarat 20 persen kursi ini memang membuat gusar partai-partai kecil, apalagi partai baru, terutama yang sudah sejak jauh-jauh hari mengelus calon. Partai Gerakan Indonesia Raya, yang mengelus Prabowo Subianto sebagai calon presiden, menuding syarat itu sebagai cara partai besar menjegal partai kecil. "Ini mengkhianati demokrasi karena mengurangi kesempatan tokoh-tokoh masyarakat yang ada untuk tampil," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya Fadli Zon.
Golkar menampik bahwa syarat itu merupakan upaya untuk memangkas jumlah calon. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Rully Chairul Azwar, syarat ini untuk memaksa partai berkoalisi karena tak mudah untuk bisa mendapatkan 20 persen kursi. Yang jauh lebih penting, kata Rully, "Presiden harus didukung oleh koalisi yang kuat agar pemerintahan berjalan efektif."
Gerindra dan partai-partai kecil pantas gusar. Menurut taksiran pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, dengan syarat dukungan minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara, hanya wajah-wajah lama seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri yang berpotensi besar untuk bisa maju dalam pemilihan presiden.
Ketua Partai Gokar Jusuf Kalla memperkirakan kandidat yang maju ada kemungkinan dua sampai empat pasang. "Yang pasti tidak lima," kata Kalla. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qadari punya taksiran sama. "Hitung-hitungan matematikanya bisa empat pasang calon, tapi hitung-hitungan politis paling banyak tiga pasang," kata Qadari.
Abdul Manan, Dwi Riyanto Agustiar, Kurniasih Budi
Koran Tempo, 3 November 2008
Yang Beda dari Aturan Baru
Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang baru disahkan DPR pada 28 Oktober lalu punya sejumlah perbedaan dengan aturan yang lama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Inilah lima di antaranya:
1. Syarat Dukungan Minimal
>> Aturan lama: pasangan calon hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional.
>> Aturan baru: pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional.
2. Koalisi Partai
>> Aturan lama: partai politik dapat melakukan kesepakatan dengan partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan pasangan calon
>> Aturan baru: kesepakatan (penggabungan/koalisi) dinyatakan secara tertulis dengan materi cukup yang ditandatangani partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon.
3. Debat Calon Presiden
>> Aturan lama: debat publik atau debat terbuka sesama calon.
>> Aturan baru: debat pasangan calon dilaksanakan lima kali.
4. Batas Sumbangan Kampanye
>> Aturan lama: sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp 100 juta dan dari badan hukum atau swasta tidak boleh melebihi Rp 750 juta.
>> Aturan baru: dana kampanye yang berasal dari perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 1 miliar dan dari kelompok atau perusahaan tidak boleh lebih dari Rp 5 miliar.
5. Jumlah Kertas Suara Cadangan
>> Aturan lama: jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih ditambah 2,5 persen dari jumlah pemilih.
>> Aturan baru: jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2 persen dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan.
6. Jumlah Pemilih Maksimal
>> Aturan lama: jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 orang.
>> Aturan baru: jumlah pemilih di setiap TPS paling banyak 800 orang.
Naskah: Dwi Riyanto Agustiar
Mulusnya pengesahan dalam sidang 29 Oktober 2008 itu memang sudah bisa diduga. Partai-partai sudah memberi persetujuan--yang tidak bulat--sehari sebelumnya dalam forum lobi di Hotel Santika, Jakarta. Pertemuan yang berakhir menjelang tengah malam itu akhirnya menyepakati dua masalah krusial dari undang-undang ini, yaitu soal larangan presiden merangkap jabatan ketua umum partai politik dan syarat minimal partai untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden. Dua soal ini pula yang membuat rencana pengesahannya diundur dua kali.
Dari sekitar 250 pasal, dua soal ini memang mengganjal pembahasan rancangan ini sejak akhir Agustus lalu. Sadar bahwa pasal krusial ini bakal alot, saat itu Panitia Khusus meminta ada forum lobi pada 10 Oktober lalu. Saat itu, Golkar dan PDI Perjuangan mengajukan tawaran tinggi. Golkar mengajukan syarat minimal partai yang bisa mengajukan calon presiden adalah yang punya 30 persen kursi, PDIP 15 sampai 30 persen. Dalam Pemilu 2004, PDIP mendapatkan 18 kursi DPR, Golkar 22 persen. Keduanya juga kompak menolak larangan rangkap jabatan. Delapan partai lain, yang dalam Pemilu 2004 mendapatkan kursi di bawah 20 persen, menawar lebih rendah. Mereka juga kompak menolak rangkap jabatan.
Anggota tim lobi dari Fraksi Keadilan Sejahtera, Agus Purnomo, mengatakan, forum lobi itu gagal mengambil keputusan karena peserta lobi bukan penentu kebijakan di partai. Malah Ketua Fraksi Golkar dan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa tak hadir. Kata sepakat belum didapat, tapi partai dan pemerintah tak ingin dua soal ini diselesaikan dengan voting. Akhirnya, disepakati untuk menggelar lobi tingkat petinggi partai pada 15 Oktober.
Dalam lobi lanjutan ini Golkar melunak. Yang semula mengusulkan 30 persen, kini turun menjadi 25 persen. PDIP meminta 26 persen. Empat fraksi yang sebelumnya mengusulkan 15 persen, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Damai Sejahtera, Fraksi Partai Bintang Reformasi, akhirnya bersedia menaikkan usulannya menjadi 20 persen. Hanya Partai Amanat Nasional tetap bertahan dengan 15 persen. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mengatakan, partainya tak akan menaikkan syarat dukungan lagi karena telah berkompromi dari usulan 2,5 persen kursi menjadi 15 persen. Ada perubahan, tapi jalan menuju kesepakatan masih panjang.
Gagalnya forum lobi juga membatalkan rencana pengesahan yang dijadwalkan 22 Oktober menjadi 28 Oktober--meski akhirnya juga diundur keesokan harinya. Semua fraksi sepakat bahwa penundaan pengesahan ini bertujuan agar fraksi-fraksi bisa melakukan lobi lagi. "Ini upaya terakhir untuk tidak voting," kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Zulkifli Hassan. Lobi dilakukan pada 28 Oktober. Golkar dan PDIP menurunkan usulannya dari 25 menjadi 20 persen, sedangkan partai-partai lain menaikkan 5 persen sehingga menjadi 20. Satu-satunya yang tetap pada sikapnya adalah PAN, yang bertahan dengan usulan 15 persen suara. Mengenai larangan rangkap jabatan, tak tercapai kompromi. Lima partai akhirnya mengikuti sikap PDIP dan Golkar. PKB, PAN, dan PKS pun bersikap sama, meski dengan berat hati. Inilah yang menjadi nota keberatan ketiganya yang disampaikan dalam sidang paripurna.
Sumber di Golkar mengatakan, semua partai ingin menjadi "kendaraan" bagi calon yang akan maju dalam pemilihan. Kendaraan itu, kalau dipakai seorang calon, tentu saja ada “biaya sewanya”. Tarifnya, tentu saja berbeda kalau kendaraan itu milik sendiri dibanding milik bersama. Golkar, kata sumber itu, berkompromi karena takut dianggap keras kepala dan ingin menang sendiri. "Lagi pula, kalau divoting, bisa kalah," kata sumber tersebut. Dia menilai penolakan partai-partai lain soal "pasal rangkap jabatan" semata-mata sebagai alat tawar-menawar agar Golkar tak terus-menerus pasang syarat tinggi.
Syarat 20 persen kursi ini memang membuat gusar partai-partai kecil, apalagi partai baru, terutama yang sudah sejak jauh-jauh hari mengelus calon. Partai Gerakan Indonesia Raya, yang mengelus Prabowo Subianto sebagai calon presiden, menuding syarat itu sebagai cara partai besar menjegal partai kecil. "Ini mengkhianati demokrasi karena mengurangi kesempatan tokoh-tokoh masyarakat yang ada untuk tampil," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya Fadli Zon.
Golkar menampik bahwa syarat itu merupakan upaya untuk memangkas jumlah calon. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Rully Chairul Azwar, syarat ini untuk memaksa partai berkoalisi karena tak mudah untuk bisa mendapatkan 20 persen kursi. Yang jauh lebih penting, kata Rully, "Presiden harus didukung oleh koalisi yang kuat agar pemerintahan berjalan efektif."
Gerindra dan partai-partai kecil pantas gusar. Menurut taksiran pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, dengan syarat dukungan minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara, hanya wajah-wajah lama seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri yang berpotensi besar untuk bisa maju dalam pemilihan presiden.
Ketua Partai Gokar Jusuf Kalla memperkirakan kandidat yang maju ada kemungkinan dua sampai empat pasang. "Yang pasti tidak lima," kata Kalla. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qadari punya taksiran sama. "Hitung-hitungan matematikanya bisa empat pasang calon, tapi hitung-hitungan politis paling banyak tiga pasang," kata Qadari.
Abdul Manan, Dwi Riyanto Agustiar, Kurniasih Budi
Koran Tempo, 3 November 2008
Yang Beda dari Aturan Baru
Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang baru disahkan DPR pada 28 Oktober lalu punya sejumlah perbedaan dengan aturan yang lama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Inilah lima di antaranya:
1. Syarat Dukungan Minimal
>> Aturan lama: pasangan calon hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional.
>> Aturan baru: pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional.
2. Koalisi Partai
>> Aturan lama: partai politik dapat melakukan kesepakatan dengan partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan pasangan calon
>> Aturan baru: kesepakatan (penggabungan/koalisi) dinyatakan secara tertulis dengan materi cukup yang ditandatangani partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon.
3. Debat Calon Presiden
>> Aturan lama: debat publik atau debat terbuka sesama calon.
>> Aturan baru: debat pasangan calon dilaksanakan lima kali.
4. Batas Sumbangan Kampanye
>> Aturan lama: sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp 100 juta dan dari badan hukum atau swasta tidak boleh melebihi Rp 750 juta.
>> Aturan baru: dana kampanye yang berasal dari perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 1 miliar dan dari kelompok atau perusahaan tidak boleh lebih dari Rp 5 miliar.
5. Jumlah Kertas Suara Cadangan
>> Aturan lama: jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih ditambah 2,5 persen dari jumlah pemilih.
>> Aturan baru: jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap ditambah dengan 2 persen dari jumlah pemilih tetap sebagai cadangan.
6. Jumlah Pemilih Maksimal
>> Aturan lama: jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 orang.
>> Aturan baru: jumlah pemilih di setiap TPS paling banyak 800 orang.
Naskah: Dwi Riyanto Agustiar
Comments