Antiklimaks Makelar Senjata
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meralat tudingannya soal calo senjata di DPR. Kongkalikong bukan tak ada.
CERITA itu berakhir antiklimaks. Seusai pertemuan tiga jam dengan anggota Komisi Pertahanan DPR di gedung Departemen Pertahanan, Menteri Juwono Sudarsono membantah telah menuding anggota DPR menjadi calo pengadaan alat utama sistem persenjataan Indonesia. ”Yang benar, semua pihak harus mewaspadai kemungkinan terjadinya percaloan,” kata Juwono, didampingi Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga, kepada pers di Ruang Bhinneka Tunggal Ika, Departemen Pertahanan, Jakarta, Senin pekan lalu.
Sebelumnya, dalam acara halalbihalal di Jakarta, Rabu dua pekan lalu, Juwono bersuara lain. ”Saya tidak mau anggaran Departemen Pertahanan jadi obyek calo-calo, baik rekanan maupun calo yang adalah sebagian anggota DPR yang berkepentingan,” katanya.
Pernyataan ini membuat merah telinga anggota Komisi Pertahanan. Saat pernyataan ini dilansir media, sebagian besar anggota komisi itu sedang melakukan kunjungan kerja ke luar kota. ”Saya menerima puluhan SMS yang mempertanyakan apa saya menjadi calo,” kata Happy Bone Zulkarnaen, Koordinator Panitia Anggaran di Komisi I DPR. Ia lalu mengusulkan kepada pemimpin komisinya untuk meminta klarifikasi kepada Juwono.
Melalui pesan pendek, Theo Sambuaga mengirimkan undangan rapat khusus. Tak banyak yang datang dalam rapat Senin pekan lalu itu karena sebagian besar anggota DPR masih menjalani reses. Dalam rapat internal itu, anggota Komisi Pertahanan membahas tudingan percaloan itu. Suara paling keras datang dari anggota komisi yang juga duduk di panitia anggaran. ”Kita yang paling rawan dituding terlibat percaloan,” kata Happy Bone. ”Harus kita klarifikasi untuk menjaga martabat komisi.”
Memang tak semua bereaksi keras. Dalam rapat tersebut, ada juga yang menilai pernyataan Juwono itu sebagai peringatan. Setelah sekitar dua jam diskusi, rapat memutuskan meminta klarifikasi. ”Menteri Pertahanan juga sudah mengundang kita jam lima sore,” kata Theo Sambuaga.
Dalam pertemuan dengan Juwono, Theo didampingi delapan anggota Komisi Pertahanan. Adapun Menteri Juwono didampingi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Djoko Suyanto, dan Direktur Jenderal Rencana Pertahanan Departemen Pertahanan Tedjo Edhy Pudjianto. Juwono langsung membantah telah menuding DPR. ”Yang saya katakan, kita harus waspada terhadap para calo yang mendekati DPR dan Departemen Pertahanan,” katanya.
Setelah Juwono, Happy Bone angkat bicara. Ia mengungkit upaya yang dilakukan komisinya untuk meningkatkan anggaran Departemen Pertahanan. Katanya, sejak 2005, anggaran departemen ini terus naik—dari Rp 24 triliun menjadi Rp 33 triliun pada 2007—meski masih di bawah yang diharapkan pemerintah, yakni Rp 100 triliun.
Happy juga menyampaikan prestasi komisinya menegosiasikan uang pembayaran utang bahan bakar minyak TNI kepada Pertamina. Seharusnya tahun depan membayar Rp 500 miliar, tapi cukup Rp 200 miliar. Sisa uangnya akan digunakan untuk membeli amunisi persenjataan. Kata Happy, komisinya juga memperjuangkan dana untuk TNI di Aceh serta tambahan anggaran Rp 135 miliar dalam APBN Perubahan. ”Tapi apa yang kami dapat? Alih-alih pujian atau penghargaan, tapi fitnah yang kami dapat dari Saudara,” kata Happy. Belum selesai, anggota Fraksi Partai Golkar ini juga meminta Juwono menyebutkan siapa anggota DPR yang disebut calo. ”Tudingan ini membuat sesama anggota DPR saling curiga.”
Dalam pertemuan tertutup itu, tak ada nama calo yang disebut. Juga tak ada tanya-jawab. Pertemuan diakhiri dengan membuat rumusan tiga poin kesepakatan yang akan disampaikan kepada wartawan. Yang utama, tentu saja, soal klarifikasi Menteri Pertahanan yang tak pernah mengatakan ada percaloan di DPR. Dua lainnya soal Departemen Pertahanan dan DPR akan saling menghargai tugas masing-masing dan permintaan kepada media untuk akurat dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Setelah draf disusun, ada satu koreksi: kata ”konsultasi” antara Komisi Pertahanan dan Menteri Pertahanan diganti dengan ”klarifikasi”.
l l l
APA yang sebenarnya terjadi? Sumber-sumber di Departemen Pertahanan mengatakan, pernyataan Juwono soal percaloan itu muncul karena banyaknya lobi yang dilakukan politikus DPR di Departemen Pertahanan. Modusnya macam-macam. Ada yang datang ke kantor Departemen Pertahanan, ada juga yang mengusulkan rekanan—setelah bersuara keras agar terkesan kritis terhadap pemerintah. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi yakin Juwono punya data soal itu. ”Mungkin dia (Juwono) sudah jengkel dengan persoalan ini,” kata Muladi.
Menurut sumber di Departemen Pertahanan, lobi tak hanya dilakukan anggota DPR. Disebut-sebut Ketua DPR Agung Laksono pernah pula menemui Juwono dalam sebuah resepsi makan siang di Mid Plaza, Jakarta, sekitar enam bulan lalu dan membicarakan proyek pengadaan senjata.
Agung Laksono mengakui ada sejumlah pertemuan dengan menteri, termasuk Menteri Pertahanan. Tapi, ”Nggak ada kaitan membawa-bawa calo,” katanya kepada wartawan Tempo Dianing Sari dan Dwi Riyanto, Jumat pekan lalu (lihat ”Agung Laksono: Saya Ketemu Menteri Setiap Saat”). Adapun Menteri Juwono tak menjawab pertanyaan Tempo soal hal ini—meski melalui pesan pendek dia menjawab pertanyaan tentang hal lain.
Sumber Tempo di Panitia Anggaran mengatakan beberapa anggota DPR yang tahu soal harga senjata dan punya koneksi dengan pengusaha senjatalah yang biasanya mengajukan rekanan. Ujung-ujungnya adalah fee alias uang komisi. Besarnya bervariasi, tapi umumnya nilai komisi ditentukan di muka.
Happy Bone tak menafikan jika ada anggota yang mungkin saja menjadi calo. ”Ada gula, pasti ada semut,” katanya. Tapi, dia menambahkan, semua tergantung Departemen Pertahanan. ”Kalau mereka kuat, calo berusaha dengan cara apa pun pasti tidak akan tembus,” kata Happy Bone. ”Ibarat tutup nasi, kalau perlu, Departemen Pertahanan membuatnya dari baja agar tak tembus calo.”
l l l
”LUBANG” yang memungkinkan calo DPR masuk adalah Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam beleid itu, DPR diberi kewenangan untuk memeriksa daftar belanjaan departemen sampai ke unit yang terkecil—lazim disebut satuan tiga. Ayat 5 pasal 17 undang-undang itu menyebutkan, ”APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.”
DPR beranggapan pengawasan sampai detail proyek itu tetap penting untuk fungsi kontrol. Happy Bone menyebut soal pengadaan tank buatan Prancis yang saat itu digunakan TNI ke Libanon. Dalam pagu yang diajukan Departemen Pertahanan, anggaran untuk sekitar 30 tank itu lebih-kurang Rp 735 miliar. Setelah DPR bersuara, nilainya bisa dipangkas lebih dari separuhnya.
Tapi Departemen Pertahanan menilai, karena DPR masuk terlalu jauh itulah politikus Senayan jadi punya kesempatan untuk ”mengintip” semua rencana pemerintah. Alih-alih menjalankan fungsi kontrol, ditengarai ada anggota DPR yang malah mengajukan proposal. Inilah yang merisaukan Menteri Juwono.
Sayangnya, perdebatan DPR dan Departemen Pertahanan itu diselesaikan dengan jalan damai. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin memastikan Menteri Pertahanan tak ditekan oleh DPR. ”Kalau (tekanan) itu dilakukan, mungkin (pertemuan) tidak selesai sampai pagi,” katanya. Juwono sendiri dalam pesan pendek yang dikirim kepada Tempo Sabtu pekan lalu menyangkal telah meralat pernyataan. Yang benar, katanya, dia menggugat pemuatan berita oleh dua surat kabar nasional tentang pernyataannya soal calo DPR.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Fahmi Badoh, menilai penyelesaian soal dugaan percaloan ini antiklimaks. ”Itu hasil yang kompromistis,” kata dia. Mestinya skandal calo ini bisa dituntaskan. Tak hanya calo di DPR, tapi juga di Departemen Pertahanan sendiri.
Abdul Manan, Raden Rachmadi, Dianing Sari, Dwi Riyanto
Majalah Tempo
Edisi. 37/XXXVI/05 - 11 November 2007
CERITA itu berakhir antiklimaks. Seusai pertemuan tiga jam dengan anggota Komisi Pertahanan DPR di gedung Departemen Pertahanan, Menteri Juwono Sudarsono membantah telah menuding anggota DPR menjadi calo pengadaan alat utama sistem persenjataan Indonesia. ”Yang benar, semua pihak harus mewaspadai kemungkinan terjadinya percaloan,” kata Juwono, didampingi Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga, kepada pers di Ruang Bhinneka Tunggal Ika, Departemen Pertahanan, Jakarta, Senin pekan lalu.
Sebelumnya, dalam acara halalbihalal di Jakarta, Rabu dua pekan lalu, Juwono bersuara lain. ”Saya tidak mau anggaran Departemen Pertahanan jadi obyek calo-calo, baik rekanan maupun calo yang adalah sebagian anggota DPR yang berkepentingan,” katanya.
Pernyataan ini membuat merah telinga anggota Komisi Pertahanan. Saat pernyataan ini dilansir media, sebagian besar anggota komisi itu sedang melakukan kunjungan kerja ke luar kota. ”Saya menerima puluhan SMS yang mempertanyakan apa saya menjadi calo,” kata Happy Bone Zulkarnaen, Koordinator Panitia Anggaran di Komisi I DPR. Ia lalu mengusulkan kepada pemimpin komisinya untuk meminta klarifikasi kepada Juwono.
Melalui pesan pendek, Theo Sambuaga mengirimkan undangan rapat khusus. Tak banyak yang datang dalam rapat Senin pekan lalu itu karena sebagian besar anggota DPR masih menjalani reses. Dalam rapat internal itu, anggota Komisi Pertahanan membahas tudingan percaloan itu. Suara paling keras datang dari anggota komisi yang juga duduk di panitia anggaran. ”Kita yang paling rawan dituding terlibat percaloan,” kata Happy Bone. ”Harus kita klarifikasi untuk menjaga martabat komisi.”
Memang tak semua bereaksi keras. Dalam rapat tersebut, ada juga yang menilai pernyataan Juwono itu sebagai peringatan. Setelah sekitar dua jam diskusi, rapat memutuskan meminta klarifikasi. ”Menteri Pertahanan juga sudah mengundang kita jam lima sore,” kata Theo Sambuaga.
Dalam pertemuan dengan Juwono, Theo didampingi delapan anggota Komisi Pertahanan. Adapun Menteri Juwono didampingi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Djoko Suyanto, dan Direktur Jenderal Rencana Pertahanan Departemen Pertahanan Tedjo Edhy Pudjianto. Juwono langsung membantah telah menuding DPR. ”Yang saya katakan, kita harus waspada terhadap para calo yang mendekati DPR dan Departemen Pertahanan,” katanya.
Setelah Juwono, Happy Bone angkat bicara. Ia mengungkit upaya yang dilakukan komisinya untuk meningkatkan anggaran Departemen Pertahanan. Katanya, sejak 2005, anggaran departemen ini terus naik—dari Rp 24 triliun menjadi Rp 33 triliun pada 2007—meski masih di bawah yang diharapkan pemerintah, yakni Rp 100 triliun.
Happy juga menyampaikan prestasi komisinya menegosiasikan uang pembayaran utang bahan bakar minyak TNI kepada Pertamina. Seharusnya tahun depan membayar Rp 500 miliar, tapi cukup Rp 200 miliar. Sisa uangnya akan digunakan untuk membeli amunisi persenjataan. Kata Happy, komisinya juga memperjuangkan dana untuk TNI di Aceh serta tambahan anggaran Rp 135 miliar dalam APBN Perubahan. ”Tapi apa yang kami dapat? Alih-alih pujian atau penghargaan, tapi fitnah yang kami dapat dari Saudara,” kata Happy. Belum selesai, anggota Fraksi Partai Golkar ini juga meminta Juwono menyebutkan siapa anggota DPR yang disebut calo. ”Tudingan ini membuat sesama anggota DPR saling curiga.”
Dalam pertemuan tertutup itu, tak ada nama calo yang disebut. Juga tak ada tanya-jawab. Pertemuan diakhiri dengan membuat rumusan tiga poin kesepakatan yang akan disampaikan kepada wartawan. Yang utama, tentu saja, soal klarifikasi Menteri Pertahanan yang tak pernah mengatakan ada percaloan di DPR. Dua lainnya soal Departemen Pertahanan dan DPR akan saling menghargai tugas masing-masing dan permintaan kepada media untuk akurat dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Setelah draf disusun, ada satu koreksi: kata ”konsultasi” antara Komisi Pertahanan dan Menteri Pertahanan diganti dengan ”klarifikasi”.
l l l
APA yang sebenarnya terjadi? Sumber-sumber di Departemen Pertahanan mengatakan, pernyataan Juwono soal percaloan itu muncul karena banyaknya lobi yang dilakukan politikus DPR di Departemen Pertahanan. Modusnya macam-macam. Ada yang datang ke kantor Departemen Pertahanan, ada juga yang mengusulkan rekanan—setelah bersuara keras agar terkesan kritis terhadap pemerintah. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi yakin Juwono punya data soal itu. ”Mungkin dia (Juwono) sudah jengkel dengan persoalan ini,” kata Muladi.
Menurut sumber di Departemen Pertahanan, lobi tak hanya dilakukan anggota DPR. Disebut-sebut Ketua DPR Agung Laksono pernah pula menemui Juwono dalam sebuah resepsi makan siang di Mid Plaza, Jakarta, sekitar enam bulan lalu dan membicarakan proyek pengadaan senjata.
Agung Laksono mengakui ada sejumlah pertemuan dengan menteri, termasuk Menteri Pertahanan. Tapi, ”Nggak ada kaitan membawa-bawa calo,” katanya kepada wartawan Tempo Dianing Sari dan Dwi Riyanto, Jumat pekan lalu (lihat ”Agung Laksono: Saya Ketemu Menteri Setiap Saat”). Adapun Menteri Juwono tak menjawab pertanyaan Tempo soal hal ini—meski melalui pesan pendek dia menjawab pertanyaan tentang hal lain.
Sumber Tempo di Panitia Anggaran mengatakan beberapa anggota DPR yang tahu soal harga senjata dan punya koneksi dengan pengusaha senjatalah yang biasanya mengajukan rekanan. Ujung-ujungnya adalah fee alias uang komisi. Besarnya bervariasi, tapi umumnya nilai komisi ditentukan di muka.
Happy Bone tak menafikan jika ada anggota yang mungkin saja menjadi calo. ”Ada gula, pasti ada semut,” katanya. Tapi, dia menambahkan, semua tergantung Departemen Pertahanan. ”Kalau mereka kuat, calo berusaha dengan cara apa pun pasti tidak akan tembus,” kata Happy Bone. ”Ibarat tutup nasi, kalau perlu, Departemen Pertahanan membuatnya dari baja agar tak tembus calo.”
l l l
”LUBANG” yang memungkinkan calo DPR masuk adalah Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam beleid itu, DPR diberi kewenangan untuk memeriksa daftar belanjaan departemen sampai ke unit yang terkecil—lazim disebut satuan tiga. Ayat 5 pasal 17 undang-undang itu menyebutkan, ”APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.”
DPR beranggapan pengawasan sampai detail proyek itu tetap penting untuk fungsi kontrol. Happy Bone menyebut soal pengadaan tank buatan Prancis yang saat itu digunakan TNI ke Libanon. Dalam pagu yang diajukan Departemen Pertahanan, anggaran untuk sekitar 30 tank itu lebih-kurang Rp 735 miliar. Setelah DPR bersuara, nilainya bisa dipangkas lebih dari separuhnya.
Tapi Departemen Pertahanan menilai, karena DPR masuk terlalu jauh itulah politikus Senayan jadi punya kesempatan untuk ”mengintip” semua rencana pemerintah. Alih-alih menjalankan fungsi kontrol, ditengarai ada anggota DPR yang malah mengajukan proposal. Inilah yang merisaukan Menteri Juwono.
Sayangnya, perdebatan DPR dan Departemen Pertahanan itu diselesaikan dengan jalan damai. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin memastikan Menteri Pertahanan tak ditekan oleh DPR. ”Kalau (tekanan) itu dilakukan, mungkin (pertemuan) tidak selesai sampai pagi,” katanya. Juwono sendiri dalam pesan pendek yang dikirim kepada Tempo Sabtu pekan lalu menyangkal telah meralat pernyataan. Yang benar, katanya, dia menggugat pemuatan berita oleh dua surat kabar nasional tentang pernyataannya soal calo DPR.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Fahmi Badoh, menilai penyelesaian soal dugaan percaloan ini antiklimaks. ”Itu hasil yang kompromistis,” kata dia. Mestinya skandal calo ini bisa dituntaskan. Tak hanya calo di DPR, tapi juga di Departemen Pertahanan sendiri.
Abdul Manan, Raden Rachmadi, Dianing Sari, Dwi Riyanto
Majalah Tempo
Edisi. 37/XXXVI/05 - 11 November 2007
Comments