Tujuh Persen yang Luar Biasa
INILAH ironi Partai Kebangkitan Bangsa. Menang dalam Pemilu 2004 di Jawa Timur, kini jagonya keok dalam pemilihan gubernur. Perhitungan cepat dari sejumlah lembaga survei memastikan pasangan Achmady-Suhartono, yang disorong partai kaum nahdliyin, berada dalam urutan buncit, dengan menjumput hanya 7,8 persen suara.
Dalam pemilihan kepala daerah pada Rabu pekan lalu, Achmady bersaing dengan calon “berbau” pesantren lainnya. Khofifah Indar Parawansa, misalnya, adalah Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama. Ali Maschan Moesa, yang mendampingi calon gubernur dari Golkar, Soenarjo, adalah bekas Ketua Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Ada pula Saifullah Yusuf, yang kini Ketua Gerakan Pemuda Ansor.
Nama Achmady disorongkan sebagai calon gubernur berdasarkan kesepakatan internal PKB Jawa Timur pada September 2007. Selain Achmady, yang dielus-elus sebagai jago adalah Haris Sudarno dan Djoko Subroto–keduanya bekas Pangdam V/Brawijaya–dan peneliti Hermawan Sulistyo. Minus Hermawan, nama tiga calon lalu dikirim ke PKB pusat. Jakarta lalu memutuskan Achmady sebagai kandidat gubernur.
Belum lagi pemilihan kepala daerah terlaksana, kisruh melanda partai para kiai itu: PKB Jawa Timur pimpinan Imam Nachrowi dibekukan oleh Sekretaris Jenderal PKB Pusat Yenny Wahid. Pengurus baru dipercayakan kepada Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo. Pembekuan dilakukan karena ada dugaan pengurus partai meminta uang kepada para calon gubernur.
Soal politik uang itu dibenarkan Mas’ud Adnan, salah satu panitia tim penjaringan. Katanya, saat itu tiap calon diminta menyetor uang pendaftaran Rp 350 juta. Dari situ terkumpul Rp 1,4 miliar. “Semua uang itu digunakan untuk proses seleksi,” kata Mas’ud.
Di pusat, pengurus PKB juga bertengkar. Ketua PKB Muhaimin Iskandar dipecat Ketua Dewan Syura Abdurrahman Wahid. Lalu terjadi dualisme kepemimpinan. Oleh Muhaimin, PKB Jawa Timur yang dibekukan Yenny diaktifkan kembali. PKB Jawa Timur dengan demikian punya dua pimpinan: Imam Nachrowi dan Hasan Aminuddin. Yang terakhir ini adalah pimpinan yang direstui kubu Abdurrahman.
Calon gubernur terbelah: Achmady disokong kubu Gus Dur, dan Samiatun yang dicalonkan kubu Muhaimin. Namun Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur memilih Achmady, calon yang sebelumnya sudah diajukan PKB.
Buntutnya bisa diduga: partai tak lagi kompak. Suara kubu Imam Nachrowi terserak. Ketua Dewan Syura PKB Jawa Timur versi Imam Nachrowi, KH Azis Mansyur, malah memilih mendukung pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa beberapa hari sebelum pencoblosan.
Menurut ketua tim sukses Achmady, Syafik Rofii, konflik ini membingungkan calonnya. “Mesin partai juga tak bergerak,” katanya. Hasil exit poll Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Surabaya menunjukkan, suara PKB yang terbesar justru lari ke pasangan Khofifah dan Mudjiono. Achmady hanya mendapat 16,44 persen–kalah dengan dukungan yang diberikan kepada Soekarwo-Saifullah Yusuf (29,9 persen).
Selain soal konflik, popularitas calon juga jadi penyebab kekalahan Achmady. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Institut Survei Publik, tercatat pada Mei lalu, hanya 3,2 persen publik Jawa Timur yang mengenal Achmady.
Lahir di Mojokerto, 8 November 1950, Achmady memulai kariernya dari bawah. Pada 1973 ia adalah pembantu juru parkir Pasar Pohjejer Mojokerto. Sempat menjadi camat, pada 2000 ia menjadi Bupati Mojokerto dan terpilih lagi dalam pemilihan pada 2005. Posisi bupati ia tinggalkan ketika namanya resmi disorongkan PKB sebagai calon gubernur.
Disokong oleh partai yang compang-camping, Achmady tak berdaya. Agung Trihatna, anggota tim sukses Achmady, mengatakan bahwa duit untuk mengegolkan bosnya sangat minim. “Cuma ratusan juta.” Padahal idealnya untuk memesan spanduk, baliho, dan beriklan di televisi diperlukan setidaknya Rp 250 miliar.
Meski dipastikan kalah, Achmady mengaku masih menunggu hasil resmi penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum. Soal suara Achmady yang cuma 7 persen, Agung mengatakan, itu sudah luar biasa. “Survei sebelumnya hanya berkisar 2-5 persen,” katanya.
Abdul Manan, Iqbal Muhtarom
Majalah Tempo, 28 Juli 2008
Dalam pemilihan kepala daerah pada Rabu pekan lalu, Achmady bersaing dengan calon “berbau” pesantren lainnya. Khofifah Indar Parawansa, misalnya, adalah Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama. Ali Maschan Moesa, yang mendampingi calon gubernur dari Golkar, Soenarjo, adalah bekas Ketua Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Ada pula Saifullah Yusuf, yang kini Ketua Gerakan Pemuda Ansor.
Nama Achmady disorongkan sebagai calon gubernur berdasarkan kesepakatan internal PKB Jawa Timur pada September 2007. Selain Achmady, yang dielus-elus sebagai jago adalah Haris Sudarno dan Djoko Subroto–keduanya bekas Pangdam V/Brawijaya–dan peneliti Hermawan Sulistyo. Minus Hermawan, nama tiga calon lalu dikirim ke PKB pusat. Jakarta lalu memutuskan Achmady sebagai kandidat gubernur.
Belum lagi pemilihan kepala daerah terlaksana, kisruh melanda partai para kiai itu: PKB Jawa Timur pimpinan Imam Nachrowi dibekukan oleh Sekretaris Jenderal PKB Pusat Yenny Wahid. Pengurus baru dipercayakan kepada Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo. Pembekuan dilakukan karena ada dugaan pengurus partai meminta uang kepada para calon gubernur.
Soal politik uang itu dibenarkan Mas’ud Adnan, salah satu panitia tim penjaringan. Katanya, saat itu tiap calon diminta menyetor uang pendaftaran Rp 350 juta. Dari situ terkumpul Rp 1,4 miliar. “Semua uang itu digunakan untuk proses seleksi,” kata Mas’ud.
Di pusat, pengurus PKB juga bertengkar. Ketua PKB Muhaimin Iskandar dipecat Ketua Dewan Syura Abdurrahman Wahid. Lalu terjadi dualisme kepemimpinan. Oleh Muhaimin, PKB Jawa Timur yang dibekukan Yenny diaktifkan kembali. PKB Jawa Timur dengan demikian punya dua pimpinan: Imam Nachrowi dan Hasan Aminuddin. Yang terakhir ini adalah pimpinan yang direstui kubu Abdurrahman.
Calon gubernur terbelah: Achmady disokong kubu Gus Dur, dan Samiatun yang dicalonkan kubu Muhaimin. Namun Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur memilih Achmady, calon yang sebelumnya sudah diajukan PKB.
Buntutnya bisa diduga: partai tak lagi kompak. Suara kubu Imam Nachrowi terserak. Ketua Dewan Syura PKB Jawa Timur versi Imam Nachrowi, KH Azis Mansyur, malah memilih mendukung pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa beberapa hari sebelum pencoblosan.
Menurut ketua tim sukses Achmady, Syafik Rofii, konflik ini membingungkan calonnya. “Mesin partai juga tak bergerak,” katanya. Hasil exit poll Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Surabaya menunjukkan, suara PKB yang terbesar justru lari ke pasangan Khofifah dan Mudjiono. Achmady hanya mendapat 16,44 persen–kalah dengan dukungan yang diberikan kepada Soekarwo-Saifullah Yusuf (29,9 persen).
Selain soal konflik, popularitas calon juga jadi penyebab kekalahan Achmady. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Institut Survei Publik, tercatat pada Mei lalu, hanya 3,2 persen publik Jawa Timur yang mengenal Achmady.
Lahir di Mojokerto, 8 November 1950, Achmady memulai kariernya dari bawah. Pada 1973 ia adalah pembantu juru parkir Pasar Pohjejer Mojokerto. Sempat menjadi camat, pada 2000 ia menjadi Bupati Mojokerto dan terpilih lagi dalam pemilihan pada 2005. Posisi bupati ia tinggalkan ketika namanya resmi disorongkan PKB sebagai calon gubernur.
Disokong oleh partai yang compang-camping, Achmady tak berdaya. Agung Trihatna, anggota tim sukses Achmady, mengatakan bahwa duit untuk mengegolkan bosnya sangat minim. “Cuma ratusan juta.” Padahal idealnya untuk memesan spanduk, baliho, dan beriklan di televisi diperlukan setidaknya Rp 250 miliar.
Meski dipastikan kalah, Achmady mengaku masih menunggu hasil resmi penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum. Soal suara Achmady yang cuma 7 persen, Agung mengatakan, itu sudah luar biasa. “Survei sebelumnya hanya berkisar 2-5 persen,” katanya.
Abdul Manan, Iqbal Muhtarom
Majalah Tempo, 28 Juli 2008
Comments
salam kenal 0_0