Robohnya Patung Nona
TAK ada lagi patung perempuan muda menenteng keranjang buah di pintu masuk perumahan elite Kampoeng Paradise, Pekalongan, Jawa Tengah. Awalnya, patung itu dibuat sebagai penanda kompleks berarsitektur gaya Prancis ini. “Patungnya sudah lama diturunkan,” kata Adri Sulistia Nugraha, Manajer Proyek PT Arta Kibar, kontraktor Kampoeng.
Si Nona lenyap sejak tiga bulan lalu. Pada suatu malam, 30-an orang beratribut Front Pembela Islam menimpukinya dengan batu. Nona yang berdiri di ketinggian tiga meter itu babak-belur. Tubuhnya bopeng di sana-sini. Para penyerang juga berusaha merobohkan sang Nona, tapi buru-buru dicegah Adri, yang sedang berpatroli.
Saat berdialog, para penyerang mengira si Nona itu Bunda Maria. “Mereka mengira di perumahan ini ada kristenisasi,” kata Adri. Ia lalu menjelaskan bahwa itu patung Trevi, lambang panen raya di Versailles, Prancis. Sama-sama perempuan. Bedanya: Bunda Maria membopong bayi, Trevi menggendong keranjang buah. Penjelasan itu ternyata tak memuaskan sehingga pertemuan dilanjutkan esok harinya di kantor Front.
Dalam pertemuan itu, Front menjatuhkan fatwa: pembuatan patung yang menggambarkan manusia dan binatang dilarang. “Hukumnya haram,” kata Adri, mengutip pendapat Front. Ia angkat tangan. Beberapa hari setelah pertemuan itu, patung diturunkan. Si Nona kini menghuni gudang. “Demi keamanan dan kenyamanan penghuni,” kata Adri.
Sayangnya, Ketua Front Pembela Islam Pekalongan Abu Ayas, yang ikut dalam pertemuan itu, tak bisa dimintai konfirmasi soal cerita ini. Ia tak ada di rumahnya, yang juga menjadi markas Front, ketika hendak ditemui Kamis pekan lalu. Telepon selulernya pun tak aktif.
Si Nona di Kampoeng Paradise itu hanya satu contoh korban aksi Front, yang dibentuk 17 Agustus 1998. Aksi yang membuat mereka populer adalah razia tempat hiburan. Kafe Star Deli di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pernah kena “kunjungan tak diharapkan” ini, empat tahun lalu.
Malam 23 Oktober itu, kafe dan resto dengan interior bergaya country ini nyaris luluh-lantak. Kaca depan restoran pecah berhamburan. Dari tujuh keping kaca setebal 5 milimeter yang berukuran 1,5 x 2,5 meter itu, hanya dua yang tidak berlubang. Pintu masuk restoran kehilangan bentuk. Foto-foto artis dan pengunjung yang lazim dipajang di dinding kafe berantakan.
Tak ada korban jiwa, karena pengelola kafe sudah mendapatkan pemberitahuan dari polisi satu jam sebelum massa datang. Kafe itu ditutup dua jam lebih cepat dibanding biasanya sekitar pukul 12 malam. Semua karyawan pulang. Hanya ada petugas keamanan yang berjaga di depan. Namun mereka tak bisa berbuat banyak ketika massa datang. “Kerusakannya sekitar 50 persen,” kata Ida, manajer kafe itu, mengenang.
Ida tak tahu alasan kafenya jadi sasaran massa malam itu. Ia menduga kafenya jadi korban karena berada paling depan dari arah massa datang. Setahun setelah peristiwa itu, kata Ida, seseorang yang mengaku anggota Front datang. “Ia menawarkan bantuan jasa pengamanan,” katanya Kamis malam pekan lalu. “Tawaran itu kami tolak.”
Pada 2007, dilaporkan tiga razia dilakukan Front terhadap tempat-tempat hiburan. Front berdalih tempat hiburan tetap dibuka meski bulan Ramadan. Selain itu, mereka tetap menjual minuman keras meski peraturan daerah melarangnya. Pengurus Front membantah razia itu dipakai untuk kemudian menawarkan jasa pengamanan. “Kalau ada, silakan laporkan kepada kami. Kami pasti menindaknya,” kata Tubagus Sidiq, Ketua Bidang Pertahanan Front.
Massa Partai Persatuan Pembebasan Nasional juga pernah menjadi korban Front. Mereka terlibat bentrok fisik dengan massa Front pada 29 Maret 2007, ketika para aktivisnya hendak mendeklarasikan partai itu di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat.
Siang itu massa Partai Persatuan Pembebasan Nasional hendak berdemonstrasi di Hotel Shangri-La, Jakarta, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri suatu acara. Di sekitar Dukuh Atas, setengah kilometer dari hotel tujuan, mereka dihadang massa Front yang bergabung dengan massa Forum Betawi Rempug, Forum Ukhuwah Islamiyah, dan Gerakan Nasional Patriot Indonesia. Beberapa orang anggota Partai Persatuan terluka. “Kami tak menyangka diserang,” kata Dita Indah Sari, aktivis partai itu.
Front menuding partai itu jelmaan Partai Komunis Indonesia. Dita Indah Sari menampik tudingan ini dan menegaskan semua perjuangan Partai Persatuan tak berkaitan dengan komunis. Front tak percaya alasan itu. “Partai Persatuan Pembebasan Nasional itu PKI gaya baru,” kata Sidiq, yang mengaku sudah mempelajari anggaran dasar partai itu.
“Sasaran” Front yang tak kalah penting adalah Jemaat Ahmadiyah. Pada 9 Juli 2005, bersama massa dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Front Pembela Islam mendatangi Kampus Al-Mubarak, Parung, Bogor, 9 Juli 2005. Saat itu, Ahmadiyah memang menggelar acara jalsah salanah alias pertemuan tahunan Jemaat Ahmadiyah Qadian, yang diikuti ribuan peserta, 8-10 Juli 2005.
Sepekan sebelum terjadi penyerangan, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam melayangkan surat ke polisi agar mencabut izin dan membatalkan pertemuan tahunan itu. Sehari sebelumnya, massa pernah mendatangi kampus itu dan memberikan peringatan agar pertemuan tak diteruskan. Keesokan harinya, pertemuan jalan terus. Akhirnya, sekitar 400 orang langsung mendatangi Kampus Al-Mubarak. Mereka mulai merobohkan dan menginjak-injak gapura tripleks berwarna hijau di jalan masuk ke kampus tersebut. Mereka merangsek ke depan pintu gerbang, meminta pintu gerbang dibuka.
Puluhan anggota Jemaat Ahmadiyah bertahan di dalam. Suasana memanas ketika mulai ada batu melayang ke arah kampus. Keributan memuncak saat terjadi aksi saling lempar. Perang batu berlangsung lima menit sebelum dihentikan oleh tembakan polisi ke udara untuk menghalau massa. Situasi berangsur reda saat 30 anggota Pasukan Pengendali Massa Kepolisian Resor Bogor datang.
Bagi Front, tuntutan terhadap Ahmadiyah sudah tegas. “Ibaratnya, mereka itu membangun rumah di dalam rumah. Jadi, mereka harus dibubarkan,” kata petinggi Front, Tubagus Sidiq. Bekas koordinator lapangan ini juga menegaskan aksi-aksi terhadap pembangunan gereja, Partai Persatuan Pembebasan Nasional, dan tempat-tempat hiburan itu dilakukan setelah masukan yang disampaikannya tak kunjung ditindaklanjuti pemerintah. “Begitu ada tindakan, dianggap anarkis. Bagi Front, aksi-aksi ini upaya terakhir,” kata Sidiq.
Tentu saja ada aktivitas positif anggota Front. Mereka, misalnya, ikut menurunkan tim bantuan ketika tsunami menggulung Aceh pada akhir 2004. Begitu juga ketika gempa menggoyang Yogyakarta pada pertengahan 2005.
Abdul Manan, Vennie Melyani, Edi Faisol
Majalah Tempo, Edisi 9 Juni 2008
Si Nona lenyap sejak tiga bulan lalu. Pada suatu malam, 30-an orang beratribut Front Pembela Islam menimpukinya dengan batu. Nona yang berdiri di ketinggian tiga meter itu babak-belur. Tubuhnya bopeng di sana-sini. Para penyerang juga berusaha merobohkan sang Nona, tapi buru-buru dicegah Adri, yang sedang berpatroli.
Saat berdialog, para penyerang mengira si Nona itu Bunda Maria. “Mereka mengira di perumahan ini ada kristenisasi,” kata Adri. Ia lalu menjelaskan bahwa itu patung Trevi, lambang panen raya di Versailles, Prancis. Sama-sama perempuan. Bedanya: Bunda Maria membopong bayi, Trevi menggendong keranjang buah. Penjelasan itu ternyata tak memuaskan sehingga pertemuan dilanjutkan esok harinya di kantor Front.
Dalam pertemuan itu, Front menjatuhkan fatwa: pembuatan patung yang menggambarkan manusia dan binatang dilarang. “Hukumnya haram,” kata Adri, mengutip pendapat Front. Ia angkat tangan. Beberapa hari setelah pertemuan itu, patung diturunkan. Si Nona kini menghuni gudang. “Demi keamanan dan kenyamanan penghuni,” kata Adri.
Sayangnya, Ketua Front Pembela Islam Pekalongan Abu Ayas, yang ikut dalam pertemuan itu, tak bisa dimintai konfirmasi soal cerita ini. Ia tak ada di rumahnya, yang juga menjadi markas Front, ketika hendak ditemui Kamis pekan lalu. Telepon selulernya pun tak aktif.
Si Nona di Kampoeng Paradise itu hanya satu contoh korban aksi Front, yang dibentuk 17 Agustus 1998. Aksi yang membuat mereka populer adalah razia tempat hiburan. Kafe Star Deli di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pernah kena “kunjungan tak diharapkan” ini, empat tahun lalu.
Malam 23 Oktober itu, kafe dan resto dengan interior bergaya country ini nyaris luluh-lantak. Kaca depan restoran pecah berhamburan. Dari tujuh keping kaca setebal 5 milimeter yang berukuran 1,5 x 2,5 meter itu, hanya dua yang tidak berlubang. Pintu masuk restoran kehilangan bentuk. Foto-foto artis dan pengunjung yang lazim dipajang di dinding kafe berantakan.
Tak ada korban jiwa, karena pengelola kafe sudah mendapatkan pemberitahuan dari polisi satu jam sebelum massa datang. Kafe itu ditutup dua jam lebih cepat dibanding biasanya sekitar pukul 12 malam. Semua karyawan pulang. Hanya ada petugas keamanan yang berjaga di depan. Namun mereka tak bisa berbuat banyak ketika massa datang. “Kerusakannya sekitar 50 persen,” kata Ida, manajer kafe itu, mengenang.
Ida tak tahu alasan kafenya jadi sasaran massa malam itu. Ia menduga kafenya jadi korban karena berada paling depan dari arah massa datang. Setahun setelah peristiwa itu, kata Ida, seseorang yang mengaku anggota Front datang. “Ia menawarkan bantuan jasa pengamanan,” katanya Kamis malam pekan lalu. “Tawaran itu kami tolak.”
Pada 2007, dilaporkan tiga razia dilakukan Front terhadap tempat-tempat hiburan. Front berdalih tempat hiburan tetap dibuka meski bulan Ramadan. Selain itu, mereka tetap menjual minuman keras meski peraturan daerah melarangnya. Pengurus Front membantah razia itu dipakai untuk kemudian menawarkan jasa pengamanan. “Kalau ada, silakan laporkan kepada kami. Kami pasti menindaknya,” kata Tubagus Sidiq, Ketua Bidang Pertahanan Front.
Massa Partai Persatuan Pembebasan Nasional juga pernah menjadi korban Front. Mereka terlibat bentrok fisik dengan massa Front pada 29 Maret 2007, ketika para aktivisnya hendak mendeklarasikan partai itu di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat.
Siang itu massa Partai Persatuan Pembebasan Nasional hendak berdemonstrasi di Hotel Shangri-La, Jakarta, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri suatu acara. Di sekitar Dukuh Atas, setengah kilometer dari hotel tujuan, mereka dihadang massa Front yang bergabung dengan massa Forum Betawi Rempug, Forum Ukhuwah Islamiyah, dan Gerakan Nasional Patriot Indonesia. Beberapa orang anggota Partai Persatuan terluka. “Kami tak menyangka diserang,” kata Dita Indah Sari, aktivis partai itu.
Front menuding partai itu jelmaan Partai Komunis Indonesia. Dita Indah Sari menampik tudingan ini dan menegaskan semua perjuangan Partai Persatuan tak berkaitan dengan komunis. Front tak percaya alasan itu. “Partai Persatuan Pembebasan Nasional itu PKI gaya baru,” kata Sidiq, yang mengaku sudah mempelajari anggaran dasar partai itu.
“Sasaran” Front yang tak kalah penting adalah Jemaat Ahmadiyah. Pada 9 Juli 2005, bersama massa dari Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Front Pembela Islam mendatangi Kampus Al-Mubarak, Parung, Bogor, 9 Juli 2005. Saat itu, Ahmadiyah memang menggelar acara jalsah salanah alias pertemuan tahunan Jemaat Ahmadiyah Qadian, yang diikuti ribuan peserta, 8-10 Juli 2005.
Sepekan sebelum terjadi penyerangan, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam melayangkan surat ke polisi agar mencabut izin dan membatalkan pertemuan tahunan itu. Sehari sebelumnya, massa pernah mendatangi kampus itu dan memberikan peringatan agar pertemuan tak diteruskan. Keesokan harinya, pertemuan jalan terus. Akhirnya, sekitar 400 orang langsung mendatangi Kampus Al-Mubarak. Mereka mulai merobohkan dan menginjak-injak gapura tripleks berwarna hijau di jalan masuk ke kampus tersebut. Mereka merangsek ke depan pintu gerbang, meminta pintu gerbang dibuka.
Puluhan anggota Jemaat Ahmadiyah bertahan di dalam. Suasana memanas ketika mulai ada batu melayang ke arah kampus. Keributan memuncak saat terjadi aksi saling lempar. Perang batu berlangsung lima menit sebelum dihentikan oleh tembakan polisi ke udara untuk menghalau massa. Situasi berangsur reda saat 30 anggota Pasukan Pengendali Massa Kepolisian Resor Bogor datang.
Bagi Front, tuntutan terhadap Ahmadiyah sudah tegas. “Ibaratnya, mereka itu membangun rumah di dalam rumah. Jadi, mereka harus dibubarkan,” kata petinggi Front, Tubagus Sidiq. Bekas koordinator lapangan ini juga menegaskan aksi-aksi terhadap pembangunan gereja, Partai Persatuan Pembebasan Nasional, dan tempat-tempat hiburan itu dilakukan setelah masukan yang disampaikannya tak kunjung ditindaklanjuti pemerintah. “Begitu ada tindakan, dianggap anarkis. Bagi Front, aksi-aksi ini upaya terakhir,” kata Sidiq.
Tentu saja ada aktivitas positif anggota Front. Mereka, misalnya, ikut menurunkan tim bantuan ketika tsunami menggulung Aceh pada akhir 2004. Begitu juga ketika gempa menggoyang Yogyakarta pada pertengahan 2005.
Abdul Manan, Vennie Melyani, Edi Faisol
Majalah Tempo, Edisi 9 Juni 2008
Comments