Jalan Panjang Menghapus Pidana Mati
Nun di penjara Nusakambangan, Jawa Tengah, Amrozi dan kawan-kawan kini tinggal menghitung hari. Kejaksaan Agung sudah mengisyaratkan segera mengeksekusi para pelaku pengeboman pada 12 Oktober 2002 di Kuta, Bali, itu. “Waktu eksekusinya sebelum bulan puasa (September),” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga kepada Tempo di kantornya, Jumat pekan lalu. Selain Amrozi, pelaku pengeboman yang menewaskan 202 jiwa dan melukai 209 orang itu adalah Ali Gufron dan Imam Samudera.
Jika eksekusi terhadap trio pelaku bom Bali ini sudah dilakukan, daftar korban hukuman mati di Indonesia bertambah panjang. Dalam catatan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejak 1998 sudah ada 20 orang yang mati di depan regu eksekusi. Bahkan masih ada sekitar 120 orang yang menunggu nasib yang sama.
Korban hukuman mati terbaru adalah Rio Martil, pelaku pembunuhan yang menggunakan martil. Ia dieksekusi mati pada 1 Agustus lalu karena pembunuhan sadis terhadap seorang pengacara dan pemilik persewaan mobil di Purwokerto, Jawa Tengah. Ia juga terbukti membunuh tiga korban lain dalam dua peristiwa berbeda di Semarang dan Bandung. Kurang lebih dua minggu sebelumnya, Kejaksaan juga mengeksekusi Sumiasih dan Sugeng. Keduanya terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letnan Kolonel Marinir Purwanto pada 1988. Sumiasih dan Sugeng dihukum mati di Surabaya pada 19 Juli lalu.
Eksekusi terhadap Rio, Sumiasih, dan Sugeng membuka kembali perdebatan pro dan kontra mengenai hukuman mati di Indonesia. Imparsial, lembaga pegiat hak asasi manusia, menyebut pidana pencabutan nyawa ini sebagai bentuk pengingkaran pemerintah atas konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. “Hak hidup dijamin konstitusi,” kata Bhatara Ibnu Reza, peneliti Imparsial. Hak hidup itu diatur dalam Pasal 28A dan Pasal 28I ayat 1 Amendemen Kedua UUD 1945. Berdasarkan pasal itu, hak hidup tak dapat dikurangi dalam situasi dan kondisi apa pun. “Bahkan negara pun tak punya hak merampas nyawa seseorang,” kata dia.
Selama ini, salah satu dasar hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku. Menurut Batara, fakta di lapangan berbicara lain. Dalam kasus narkotik, Imparsial mencatat, kasus yang terjadi pada 2006 meningkat sejak 2005, dari 4.394 menjadi 6.613 kasus. Padahal, pada tahun sebelumnya, ada tiga terpidana yang dieksekusi mati. Dalam kasus terorisme, kata Bhatara, terpidana justru gembira setelah dijatuhi vonis mati. “Mereka menganggap eksekusi itu sebagai mati syahid,” katanya.
“Hukuman mati tak akan membuat teroris jera.” Tak terkecuali bagi koruptor. Menurut dia, dikurung seumur hidup sudah jadi ganjaran setimpal untuk mengganti hukuman mati. Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida satu kata dengan Batara. Menurut dia, meningkatnya angka tindakan kriminal, termasuk korupsi, bukan soal tak adanya hukuman mati, tapi karena hukumannya tak dilaksanakan maksimal.
Sikap Indonesia yang masih menerapkan hukuman mati ini memang agak berbeda dengan tren dunia. Menurut lembaga pengawas hak asasi manusia Amnesty International, hingga Juni 2008 ada 92 negara yang telah menghapus hukuman mati untuk semua tindak kejahatan. Sebanyak 11 negara menghapusnya dari kejahatan pidana biasa, 29 negara melakukan moratorium terhadap pelaksanaan hukuman itu. Badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 Desember 2007 mengesahkan resolusi yang menyerukan moratorium pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Resolusi ini didukung 104 negara. Sebanyak 54 negara, termasuk Indonesia, menolak penangguhan eksekusi tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, mengatakan, belum seragamnya kebijakan menghapus hukuman mati di dunia karena PBB tidak mewajibkan anggotanya menghapus hukuman itu. “Pro dan kontra di masyarakat internasional belum selesai,” kata Romli. Di satu sisi, dengan bermacam-macam deklarasi dan konvensi, PBB mendorong penghapusan hukuman mati. Namun, PBB juga membolehkan anggotanya menerapkan itu dalam hukum positif masing-masing negara. “Hukuman mati sejauh ini tidak salah,” katanya. Alasan lain, hukuman mati bisa berguna untuk melindungi rakyat banyak dari kejahatan, misalnya, narkotik dan terorisme.
Kejaksaan, yang selama ini sebagai pemakai undang-undang, tak bisa mengabaikan pidana itu karena hukum mati ada dalam hukum positif kita. Setidaknya ada 11 dalam undang-undang yang masih menyediakan pidana hukuman pencabutan nyawa itu. Abdul Hakim Ritonga tak keberatan hukuman mati dihapus asal memang itu keinginan pemerintah. “Pemerintah maunya apa, kami laksanakan,” kata Ritonga.
Inilah masalahnya. Dalam konstitusi, hak hidup dijamin, tapi undang-undang di bawahnya menyediakan cukup banyak menyediakan pidana hukuman mati. “Karena itu, yang kami lakukan adalah mendorong Presiden untuk melakukan moratorium hukuman mati,” kata Indria. Artinya, pidana hukuman mati itu tak dijalankan. Wakil Ketua Komisi Ridha Saleh setuju dengan ide ini. Menurut dia, menghapus kebijakan tak manusiawi ini butuh waktu panjang. Sembari menunggu penghapusan, ia berharap Presiden bermurah hati mengabulkan grasi mereka yang dijerat vonis mati.
ABDUL MANAN | ANTON SEPTIAN
Koran Tempo, 17 Agustus 2008
Boks 1: Referensi Soal Hukuman Mati
Undang-Undang Pencabut Nyawa
(KETERANGAN u Desain: Masing-masing undang-undang diberi ilustrasi foto kecil yg berhubungan dengan isi undang undang)
Ada 11 undang-undang yang berlaku di Indonesia yang masih memberlakukan hukuman mati pada pelanggarnya, dari perkara sandang-pangan sampai pemberontakan atau makar. Ini beberapa di antaranya:
1. KUHP
Makar
Mengajak atau menghasut negara lain untuk menyerang RI
Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI
Membunuh kepala negara sahabat
Pembunuhan berencana.
Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati
Pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati
Menganjurkan pemberontakan atau huru-hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang
Melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang
Pemerasan dengan kekerasan
2. UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951
Senjata api
3. Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 1959
Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang-pangan.
4. UU Nomor 11/PNPS/1963
Pemberantasan kegiatan subversif
5. UU Nomor 4 Tahun 1976
Perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
6. UU Nomor 5 Tahun 1997
Psikotropika
7. UU Nomor 22 Tahun 1997
Narkotika
8. UU Nomor 31 Tahun 1999
Pemberantasan Korupsi
9. UU Nomor 26 Tahun 2000
Pengadilan HAM
10. UU Nomor 15 Tahun 2003
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Perundang-undangan
Boks 2: Referensi Soal Hukuman Mati
Yang Mati di Tangan Eksekutor
(KETERANGAN u Desain: Daftar ini dibuat memanjang di samping atau di dalam foto ilustrasi)
Dalam 10 tahun terakhir, ada 20 terpidana yang mati dieksekusi.
2008
- Rio Alex Bullo
Pembunuhan berencana (Jawa Tengah)
- Sumiasih
Pembunuhan berencana (Jawa Timur)
- Sugeng
Pembunuhan berencana (Jawa Timur)
- Tubagus Maulana Yusuf alias Usep
Pembunuhan berencana (Banten)
- Ahmad Suradji alias Dukun AS
Pembunuhan berencana (Sumatera Utara)
- Samuel Iwukchukwu Okoye (warga Nigeria)
Narkotika (Banten)
- Hansen Anthony Nwaolisa (warga Nigeria)
Narkotika (Banten)
2007
- Ayub Bulubili
Pembunuhan berencana (Kalimantan Tengah
2006
- Fabianus Tibo
Pembunuhan berencana (Sulawesi Tengah)
- Marinus Riwu
Pembunuhan berencana (Sulawesi Tengah)
- Dominggus Da Silva
Pembunuhan berencana (Sulawesi Tengah)
2005
- Astini
Pembunuhan berencana (Jawa Timur)
- Turmudi
Pembunuhan berencana (Jambi)
2004
- Ayodya Prasad Chaubey (warga India)
Narkotika (Sumatera Utara)
- Saelow Prasad (warga India)
Narkotika (Sumatera Utara)
- Namsong Sirilak (warga Thailand)
Narkotika (Sumatera Utara)
2003
Tidak ada
2002
Tidak ada
2001
- Gerson Pandie
Pembunuhan berencana (Nusa Tenggara Timur)
- Fredrik Soru
Pembunuhan berencana (Nusa Tenggara Timur)
- Dance Soru
Pembunuhan berencana (Nusa Tenggara Timur)
2000
Tidak ada
1999
Tidak ada
1998
Adi Saputra
Pembunuhan berencana (Bali)
Sumber: Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
TEKS: ANTON SEPTIAN
Jika eksekusi terhadap trio pelaku bom Bali ini sudah dilakukan, daftar korban hukuman mati di Indonesia bertambah panjang. Dalam catatan Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejak 1998 sudah ada 20 orang yang mati di depan regu eksekusi. Bahkan masih ada sekitar 120 orang yang menunggu nasib yang sama.
Korban hukuman mati terbaru adalah Rio Martil, pelaku pembunuhan yang menggunakan martil. Ia dieksekusi mati pada 1 Agustus lalu karena pembunuhan sadis terhadap seorang pengacara dan pemilik persewaan mobil di Purwokerto, Jawa Tengah. Ia juga terbukti membunuh tiga korban lain dalam dua peristiwa berbeda di Semarang dan Bandung. Kurang lebih dua minggu sebelumnya, Kejaksaan juga mengeksekusi Sumiasih dan Sugeng. Keduanya terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letnan Kolonel Marinir Purwanto pada 1988. Sumiasih dan Sugeng dihukum mati di Surabaya pada 19 Juli lalu.
Eksekusi terhadap Rio, Sumiasih, dan Sugeng membuka kembali perdebatan pro dan kontra mengenai hukuman mati di Indonesia. Imparsial, lembaga pegiat hak asasi manusia, menyebut pidana pencabutan nyawa ini sebagai bentuk pengingkaran pemerintah atas konstitusi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. “Hak hidup dijamin konstitusi,” kata Bhatara Ibnu Reza, peneliti Imparsial. Hak hidup itu diatur dalam Pasal 28A dan Pasal 28I ayat 1 Amendemen Kedua UUD 1945. Berdasarkan pasal itu, hak hidup tak dapat dikurangi dalam situasi dan kondisi apa pun. “Bahkan negara pun tak punya hak merampas nyawa seseorang,” kata dia.
Selama ini, salah satu dasar hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku. Menurut Batara, fakta di lapangan berbicara lain. Dalam kasus narkotik, Imparsial mencatat, kasus yang terjadi pada 2006 meningkat sejak 2005, dari 4.394 menjadi 6.613 kasus. Padahal, pada tahun sebelumnya, ada tiga terpidana yang dieksekusi mati. Dalam kasus terorisme, kata Bhatara, terpidana justru gembira setelah dijatuhi vonis mati. “Mereka menganggap eksekusi itu sebagai mati syahid,” katanya.
“Hukuman mati tak akan membuat teroris jera.” Tak terkecuali bagi koruptor. Menurut dia, dikurung seumur hidup sudah jadi ganjaran setimpal untuk mengganti hukuman mati. Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida satu kata dengan Batara. Menurut dia, meningkatnya angka tindakan kriminal, termasuk korupsi, bukan soal tak adanya hukuman mati, tapi karena hukumannya tak dilaksanakan maksimal.
Sikap Indonesia yang masih menerapkan hukuman mati ini memang agak berbeda dengan tren dunia. Menurut lembaga pengawas hak asasi manusia Amnesty International, hingga Juni 2008 ada 92 negara yang telah menghapus hukuman mati untuk semua tindak kejahatan. Sebanyak 11 negara menghapusnya dari kejahatan pidana biasa, 29 negara melakukan moratorium terhadap pelaksanaan hukuman itu. Badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 Desember 2007 mengesahkan resolusi yang menyerukan moratorium pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Resolusi ini didukung 104 negara. Sebanyak 54 negara, termasuk Indonesia, menolak penangguhan eksekusi tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, mengatakan, belum seragamnya kebijakan menghapus hukuman mati di dunia karena PBB tidak mewajibkan anggotanya menghapus hukuman itu. “Pro dan kontra di masyarakat internasional belum selesai,” kata Romli. Di satu sisi, dengan bermacam-macam deklarasi dan konvensi, PBB mendorong penghapusan hukuman mati. Namun, PBB juga membolehkan anggotanya menerapkan itu dalam hukum positif masing-masing negara. “Hukuman mati sejauh ini tidak salah,” katanya. Alasan lain, hukuman mati bisa berguna untuk melindungi rakyat banyak dari kejahatan, misalnya, narkotik dan terorisme.
Kejaksaan, yang selama ini sebagai pemakai undang-undang, tak bisa mengabaikan pidana itu karena hukum mati ada dalam hukum positif kita. Setidaknya ada 11 dalam undang-undang yang masih menyediakan pidana hukuman pencabutan nyawa itu. Abdul Hakim Ritonga tak keberatan hukuman mati dihapus asal memang itu keinginan pemerintah. “Pemerintah maunya apa, kami laksanakan,” kata Ritonga.
Inilah masalahnya. Dalam konstitusi, hak hidup dijamin, tapi undang-undang di bawahnya menyediakan cukup banyak menyediakan pidana hukuman mati. “Karena itu, yang kami lakukan adalah mendorong Presiden untuk melakukan moratorium hukuman mati,” kata Indria. Artinya, pidana hukuman mati itu tak dijalankan. Wakil Ketua Komisi Ridha Saleh setuju dengan ide ini. Menurut dia, menghapus kebijakan tak manusiawi ini butuh waktu panjang. Sembari menunggu penghapusan, ia berharap Presiden bermurah hati mengabulkan grasi mereka yang dijerat vonis mati.
ABDUL MANAN | ANTON SEPTIAN
Koran Tempo, 17 Agustus 2008
Boks 1: Referensi Soal Hukuman Mati
Undang-Undang Pencabut Nyawa
(KETERANGAN u Desain: Masing-masing undang-undang diberi ilustrasi foto kecil yg berhubungan dengan isi undang undang)
Ada 11 undang-undang yang berlaku di Indonesia yang masih memberlakukan hukuman mati pada pelanggarnya, dari perkara sandang-pangan sampai pemberontakan atau makar. Ini beberapa di antaranya:
1. KUHP
Makar
Mengajak atau menghasut negara lain untuk menyerang RI
Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI
Membunuh kepala negara sahabat
Pembunuhan berencana.
Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati
Pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati
Menganjurkan pemberontakan atau huru-hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang
Melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang
Pemerasan dengan kekerasan
2. UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951
Senjata api
3. Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 1959
Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang-pangan.
4. UU Nomor 11/PNPS/1963
Pemberantasan kegiatan subversif
5. UU Nomor 4 Tahun 1976
Perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
6. UU Nomor 5 Tahun 1997
Psikotropika
7. UU Nomor 22 Tahun 1997
Narkotika
8. UU Nomor 31 Tahun 1999
Pemberantasan Korupsi
9. UU Nomor 26 Tahun 2000
Pengadilan HAM
10. UU Nomor 15 Tahun 2003
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Sumber: Diolah dari berbagai sumber Perundang-undangan
Boks 2: Referensi Soal Hukuman Mati
Yang Mati di Tangan Eksekutor
(KETERANGAN u Desain: Daftar ini dibuat memanjang di samping atau di dalam foto ilustrasi)
Dalam 10 tahun terakhir, ada 20 terpidana yang mati dieksekusi.
2008
- Rio Alex Bullo
Pembunuhan berencana (Jawa Tengah)
- Sumiasih
Pembunuhan berencana (Jawa Timur)
- Sugeng
Pembunuhan berencana (Jawa Timur)
- Tubagus Maulana Yusuf alias Usep
Pembunuhan berencana (Banten)
- Ahmad Suradji alias Dukun AS
Pembunuhan berencana (Sumatera Utara)
- Samuel Iwukchukwu Okoye (warga Nigeria)
Narkotika (Banten)
- Hansen Anthony Nwaolisa (warga Nigeria)
Narkotika (Banten)
2007
- Ayub Bulubili
Pembunuhan berencana (Kalimantan Tengah
2006
- Fabianus Tibo
Pembunuhan berencana (Sulawesi Tengah)
- Marinus Riwu
Pembunuhan berencana (Sulawesi Tengah)
- Dominggus Da Silva
Pembunuhan berencana (Sulawesi Tengah)
2005
- Astini
Pembunuhan berencana (Jawa Timur)
- Turmudi
Pembunuhan berencana (Jambi)
2004
- Ayodya Prasad Chaubey (warga India)
Narkotika (Sumatera Utara)
- Saelow Prasad (warga India)
Narkotika (Sumatera Utara)
- Namsong Sirilak (warga Thailand)
Narkotika (Sumatera Utara)
2003
Tidak ada
2002
Tidak ada
2001
- Gerson Pandie
Pembunuhan berencana (Nusa Tenggara Timur)
- Fredrik Soru
Pembunuhan berencana (Nusa Tenggara Timur)
- Dance Soru
Pembunuhan berencana (Nusa Tenggara Timur)
2000
Tidak ada
1999
Tidak ada
1998
Adi Saputra
Pembunuhan berencana (Bali)
Sumber: Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
TEKS: ANTON SEPTIAN
Comments