Bukan Menerka Bajaj Belok
Tak banyak debat dalam rapat tertutup di kantor Partai Golkar di kawasan Slipi, Jakarta, Senin malam dua pekan lalu itu. Hanya setengah jam berselang, rapat yang dipimpin Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla itu sudah membuat sikap partai ini berbelok tajam dalam penentuan calon legislatif. Semula mendasarkan pada nomor urut seperti digariskan dalam Pasal 214 Undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kini berganti menjadi suara terbanyak.
Golkar sebenarnya tak sendirian. Beberapa partai lain juga punya aspirasi sama. Itulah sebabnya 60 anggota DPR dari Partai Golkar, Demokrat, Partai Amanat Nasional, PDI Perjuangan, Fraksi Bintang Reformasi, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi resmi mengusulkan perubahan Pasal 214 dalam sidang DPR, 26 Agustus lalu.
Pasal 214 ayat (1) Undang Undang Pemilu mengatur cara penetapan calon terpilih. Calon yang mendapatkan 100 persen bilangan pembagi pemilih, otomatis masuk calon jadi. Prioritas kedua diberikan kepada calon yang memenuhi sedikitnya 30 persen BPP. Jika masih ada sisa kursi yang belum dibagi, maka pasal ini menyatakan, prioritasnya diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut paling kecil.
Penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak memang mendapatkan dukungan banyak kalangan, tapi perubahan mendadak Partai Beringin ini mengundang kritik dan tanda tanya. Sebab, semula partai ini berada di barisan partai yang meminta penggunaan nomor urut saat pembahasan Undang Undang Pemilu. Namun, setelah undang-undang itu disahkan, Golkar berbalik sikap dan memilih sistem yang dulu ditolaknya: suara terbanyak.
Tentu saja bukan tanpa sebab Golkar berubah pikiran. Sejumlah sumber di Golkar menyebutkan, perubahan ini akibat banyaknya tekanan orang-orang dekat Kalla yang meminta nomor urut jadi. “Orang-orang dekat ketua umum jumlahnya ratusan yang meminta nomor jadi. Padahal daerah pemilihan hanya 70,” kata sumber tersebut. Dia mencontohkan di daerah pemilihan VII Cirebon ada Enggartiasto Lukito dan Yuddi Chrisnandi. Keduanya memiliki peran dan posisi yang kuat di Partai Golkar. Keduanya menghendaki posisi di nomor jadi.
Awalnya perubahan sikap ini disampaikan Kalla dalam sidang pleno Partai Golkar Juni lalu. Riuh protes pun menggema. Kalla tak bergeming. Kekalahan dalam sejumlah pemilihan kepada daerah memperkuat alasan partai menentapkan model baru ini. Dia melihat ada kecenderungan kader yang sudah berada di nomor jadi lebih santai dan kurang berkeringat untuk berkampanye, karena yakin pasti jadi. “Karena pengalaman saya melihat beberapa kali Pemilu, kalau sudah nomor jadi, dia tenang saja,” ujar Kalla.
Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan, apa di balik ide revisi ini tak sesulit menerka bajaj belok -sindiran untuk perilaku tukang bajaj yang kerap ganti haluan seenaknya. Menurut dia, ini memang cara Golkar untuk meredam konflik internal di partainya. Dengan memberi peluang calon-calon baru yang segar masuk ke dalam partai sampai 20 persen, otomatis partai harus memberikan tawaran yang lebih menarik kepada para darah segar bagi partai itu. “Kalau pake nomor urut, kan tidak kompetitif bagi pendatang baru,” kata dia.
Masalahnya adalah, sistem suara terbanyak tak diakui Undang Undang Pemilu. Golkar, juga Partai Amanat Nasional, serta partai lain yang menempuh kebijakan serupa, tak kehilangan akal. Mereka menyiasatinya dengan menggunakan mekanisme internal. Golkar dan Partai Amanat Nasional meminta calonnya untuk tanda tangan kontrak siap mundur jika ada calon yang suaranya lebih besar. Artinya, mereka harus rela melepas kursinya kepada calon yang memiliki suara terbanyak, meski nomor urutnya lebih kecil.
Namun, mekanisme internal partai ini masih mengundang kerawanan. “Tak ada jaminan calon yang sudah tandatangan mau mundur,” kata Ray Rangkuti. Calon juga bisa menggugat keputusan partai itu ke pengadilan. Peluang untuk menggugat ke pengadilan ini sangat besar, termasuk kemungkinan menangnya, karena Undang Undang Pemilu mengatur sisa kursi dengan sistem nomor urut, bukan suara terbanyak. Ray juga mengingatkan bahwa untuk maju dalam calon legislatif itu kan butuh biaya banyak. “Apa mau dia menyerahkan kursinya ke yang lain,” kata Ray.
Hakim Konstitusi Jimly Assidiqie punya pandangan sama. Partai yang menggunakan sistem suara terbanyak rawan digugat. “Ini bakal menjadi sumber persoalan,” kata Jimly. Ketua Komisi Pemilihan Umum Hafid Anshari punya pendapat senada. “Lebih baik undang-undangnya direvisi daripada menyulitkan KPU menghitung,” kata Anshary. Ini pula yang ada di benak para petinggi partai, termasuk Golkar, sehingga memilih merevisi pasal “bermasalah” itu. “Untuk menghindarkan berbagai masalah hukum dikemudian hari,” kata Ketua DPR Agung Laksono, soal ide revisi itu.
Menurut Ray Rangkuti, mekanisme suara terbanyak itu merupakan hal yang positif karena lebih menghargai aspek partisipasi masyarakat. Namun, ia melihat perubahan ini tak sepenuhnya karena tujuan mulia untuk lebih mendengar aspirasi rakyat. “Ini lebih karena Golkar ingin keluar dari konflik internalnya,” kata dia. Ini pula yang dirasakan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddik. “Terkesan kuat ketidakmampuan partai dalam mengelola konflik kepentingan dalam pencalonan yang dikompensasi dalam bentuk revisi,” kata dia. Menurut Ray, bukan hal yang baik merevisi undang-undang hanya karena kepentingan salah satu partai atau sekelompok orang.
Abdul Manan | Anton Aprianto | Dwi Riyanto | Pramono | Kurniasih Budi | Anton S
Koran Tempo, 1 September 2008
Golkar sebenarnya tak sendirian. Beberapa partai lain juga punya aspirasi sama. Itulah sebabnya 60 anggota DPR dari Partai Golkar, Demokrat, Partai Amanat Nasional, PDI Perjuangan, Fraksi Bintang Reformasi, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi resmi mengusulkan perubahan Pasal 214 dalam sidang DPR, 26 Agustus lalu.
Pasal 214 ayat (1) Undang Undang Pemilu mengatur cara penetapan calon terpilih. Calon yang mendapatkan 100 persen bilangan pembagi pemilih, otomatis masuk calon jadi. Prioritas kedua diberikan kepada calon yang memenuhi sedikitnya 30 persen BPP. Jika masih ada sisa kursi yang belum dibagi, maka pasal ini menyatakan, prioritasnya diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut paling kecil.
Penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak memang mendapatkan dukungan banyak kalangan, tapi perubahan mendadak Partai Beringin ini mengundang kritik dan tanda tanya. Sebab, semula partai ini berada di barisan partai yang meminta penggunaan nomor urut saat pembahasan Undang Undang Pemilu. Namun, setelah undang-undang itu disahkan, Golkar berbalik sikap dan memilih sistem yang dulu ditolaknya: suara terbanyak.
Tentu saja bukan tanpa sebab Golkar berubah pikiran. Sejumlah sumber di Golkar menyebutkan, perubahan ini akibat banyaknya tekanan orang-orang dekat Kalla yang meminta nomor urut jadi. “Orang-orang dekat ketua umum jumlahnya ratusan yang meminta nomor jadi. Padahal daerah pemilihan hanya 70,” kata sumber tersebut. Dia mencontohkan di daerah pemilihan VII Cirebon ada Enggartiasto Lukito dan Yuddi Chrisnandi. Keduanya memiliki peran dan posisi yang kuat di Partai Golkar. Keduanya menghendaki posisi di nomor jadi.
Awalnya perubahan sikap ini disampaikan Kalla dalam sidang pleno Partai Golkar Juni lalu. Riuh protes pun menggema. Kalla tak bergeming. Kekalahan dalam sejumlah pemilihan kepada daerah memperkuat alasan partai menentapkan model baru ini. Dia melihat ada kecenderungan kader yang sudah berada di nomor jadi lebih santai dan kurang berkeringat untuk berkampanye, karena yakin pasti jadi. “Karena pengalaman saya melihat beberapa kali Pemilu, kalau sudah nomor jadi, dia tenang saja,” ujar Kalla.
Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengatakan, apa di balik ide revisi ini tak sesulit menerka bajaj belok -sindiran untuk perilaku tukang bajaj yang kerap ganti haluan seenaknya. Menurut dia, ini memang cara Golkar untuk meredam konflik internal di partainya. Dengan memberi peluang calon-calon baru yang segar masuk ke dalam partai sampai 20 persen, otomatis partai harus memberikan tawaran yang lebih menarik kepada para darah segar bagi partai itu. “Kalau pake nomor urut, kan tidak kompetitif bagi pendatang baru,” kata dia.
Masalahnya adalah, sistem suara terbanyak tak diakui Undang Undang Pemilu. Golkar, juga Partai Amanat Nasional, serta partai lain yang menempuh kebijakan serupa, tak kehilangan akal. Mereka menyiasatinya dengan menggunakan mekanisme internal. Golkar dan Partai Amanat Nasional meminta calonnya untuk tanda tangan kontrak siap mundur jika ada calon yang suaranya lebih besar. Artinya, mereka harus rela melepas kursinya kepada calon yang memiliki suara terbanyak, meski nomor urutnya lebih kecil.
Namun, mekanisme internal partai ini masih mengundang kerawanan. “Tak ada jaminan calon yang sudah tandatangan mau mundur,” kata Ray Rangkuti. Calon juga bisa menggugat keputusan partai itu ke pengadilan. Peluang untuk menggugat ke pengadilan ini sangat besar, termasuk kemungkinan menangnya, karena Undang Undang Pemilu mengatur sisa kursi dengan sistem nomor urut, bukan suara terbanyak. Ray juga mengingatkan bahwa untuk maju dalam calon legislatif itu kan butuh biaya banyak. “Apa mau dia menyerahkan kursinya ke yang lain,” kata Ray.
Hakim Konstitusi Jimly Assidiqie punya pandangan sama. Partai yang menggunakan sistem suara terbanyak rawan digugat. “Ini bakal menjadi sumber persoalan,” kata Jimly. Ketua Komisi Pemilihan Umum Hafid Anshari punya pendapat senada. “Lebih baik undang-undangnya direvisi daripada menyulitkan KPU menghitung,” kata Anshary. Ini pula yang ada di benak para petinggi partai, termasuk Golkar, sehingga memilih merevisi pasal “bermasalah” itu. “Untuk menghindarkan berbagai masalah hukum dikemudian hari,” kata Ketua DPR Agung Laksono, soal ide revisi itu.
Menurut Ray Rangkuti, mekanisme suara terbanyak itu merupakan hal yang positif karena lebih menghargai aspek partisipasi masyarakat. Namun, ia melihat perubahan ini tak sepenuhnya karena tujuan mulia untuk lebih mendengar aspirasi rakyat. “Ini lebih karena Golkar ingin keluar dari konflik internalnya,” kata dia. Ini pula yang dirasakan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddik. “Terkesan kuat ketidakmampuan partai dalam mengelola konflik kepentingan dalam pencalonan yang dikompensasi dalam bentuk revisi,” kata dia. Menurut Ray, bukan hal yang baik merevisi undang-undang hanya karena kepentingan salah satu partai atau sekelompok orang.
Abdul Manan | Anton Aprianto | Dwi Riyanto | Pramono | Kurniasih Budi | Anton S
Koran Tempo, 1 September 2008
Comments