Mulus dengan Catatan
SETUJU! Pekik itu menggema di ruang sidang ketika Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono meminta persetujuan pengesahan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Kamis pekan lalu. ”Undang-undang ini memang tinggal ketuk palu saja,” kata ketua panitia kerja rancangan undang-undang itu, Arif Mudatsir Mandan.
Sebetulnya, pengesahan itu tak mulus-mulus benar. Fraksi Kebangkitan Bangsa satu-satunya yang menyampaikan catatan keberatan: soal pemberlakuan undang-undang ini pada 2010. ”Undang-undang ini amanat reformasi, sehingga kami memberi catatan keberatan kalau harus diberlakukan dua tahun lagi,” kata juru bicara FKB, Masduki Baidlowi.
Memang tak terlalu mengejutkan. Sehari sebelum sidang paripurna, Komisi I DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata. Dalam rapat yang dibuka pukul 19.00 dan berakhir menjelang tengah malam itu, hanya FKB yang menyampaikan catatan keberatan soal waktu pemberlakuan undang-undang ini. Untuk soal lainnya, semua fraksi akur.
Menurut Arif, mulusnya pengesahan sudah bisa diperkirakan sekitar seminggu sebelum sidang. Dua soal yang paling alot, yaitu tentang badan usaha milik negara dan daerah serta besarnya sanksi bagi pejabat publik dan pengguna informasi, sudah disepakati melalui lobi terakhir di Ruang ASEAN Hotel Sultan, Jakarta, 27 Maret lalu. Pasal-pasal lain sudah beres lebih dulu.
l l l
AWALNYA, ini merupakan inisiatif DPR periode 1999-2004. Namanya RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Panitia khususnya dibentuk pada 18 Februari 2003. Pembahasan belum kelar, masa tugas Dewan keburu berakhir. DPR periode 2004-2009 melanjutkan inisiatif ini. Pada 5 Juli 2005, DPR resmi menjadikan rancangan ini sebagai inisiatif DPR.
Cukup banyak soal krusial dalam RUU ini. Pertama, soal nama. Dalam usul DPR, namanya adalah RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Namun, ”Pemerintah alergi dengan penggunaan istilah kebebasan,” kata anggota Pansus, Andreas Parera. Akhirnya, nama pun berubah.
Itu baru satu soal. Pasal krusial lainnya mengenai Komisi Informasi, jenis informasi yang dikecualikan, masa berlaku undang-undang, masuk-tidaknya BUMN dalam kategori lembaga publik, serta sanksi untuk pengguna informasi.
Tiga soal yang disebut di depan bisa diselesaikan dalam pembahasan panitia kerja selama kurun waktu Juni 2005 hingga Januari 2008. Tapi tidak demikian halnya dengan dua yang disebut belakangan. Hingga awal 2008, DPR dan pemerintah belum satu kata, sehingga harus ada lobi.
Pada 27 Februari 2008, terjadi lobi pertama antara wakil pemerintah dan DPR. Bertempat di Restoran Nippon Khan, Hotel Sultan, tim pemerintah diwakili Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata.
Tim ini diperkuat oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Ahmad Ramli, Sekretaris Menteri Negara BUMN Said Didu, serta Direktur Jenderal Sistem Komunikasi dan Diseminasi Informatika Departemen Komunikasi Fredy Tulung. Tim lobi DPR dipimpin Ketua Komisi Informasi DPR Theo L. Sambuaga serta wakil tiap-tiap fraksi.
Pemerintah menyampaikan, terbukanya informasi soal strategi bisnis di BUMN bisa mengakibatkan penurunan daya saing. ”Kalau strategi dan segala macamnya itu dibuka, kan bisa menurunkan daya saing karena rahasianya diketahui kompetitor,” kata Ramli, menirukan argumentasi pemerintah dalam pertemuan itu.
Sofyan Djalil memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan rezim politik dan rezim bisnis harus dibedakan. Kepada wakil dari DPR, Sofyan menyatakan BUMN itu masuk rezim bisnis. Wakil dari DPR tak setuju dengan argumen itu. ”Tak bisa sepenuhnya dipisahkan seperti itu,” kata wakil dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Parera.
Dedy Jamaluddin Malik dari Fraksi Amanat Nasional langsung menyampaikan bantahan dengan menggunakan contoh pengangkatan Andi Arief sebagai komisaris PT Pos dan Syaifullah Yusuf sebagai komisaris BRI. ”Apakah itu bisa disebut BUMN mengikuti rezim bisnis?” tanya Dedy. Sofyan Djalil berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengatakan, ”O, kalau begitu harus dijabarkan ketentuannya.”
Rapat yang dimulai sekitar pukul 19.00 itu menyepakati lobi lanjutan, yang membahas soal apa saja yang bisa dibuka dari BUMN. Dalam pertemuan sekitar tiga jam tersebut, pemerintah juga menyinggung soal sanksi bagi pengguna informasi. Pemerintah ingin pengguna pun diberi sanksi setimpal dengan pejabat publik, sedangkan DPR berpendapat sebaliknya: sanksi bagi pengguna harus minimal. ”Kami tak membahas soal sanksi ini karena soal BUMN itu belum selesai,” kata Dedy.
Lobi kedua dilakukan pada 17 Maret lalu di The Olive Tree Restaurant, Hotel Nikko Jakarta. Waktunya sama seperti sebelumnya, pesertanya lebih sedikit. Pemerintah diwakili Fredy Tulung, Ahmad Ramli, dan Said Didu.
Dalam pertemuan ini, pemerintah menawarkan tiga hal yang bisa dibuka dari BUMN, yaitu kepemilikan saham; maksud, tujuan, dan kegiatan usaha perusahaan; kegiatan usaha terkait dengan penugasan pemerintah dalam pelayanan publik; serta informasi lain yang ditetapkan peraturan perundangan.
Bagi wakil DPR, tawaran ini kurang menarik. ”Karena kategorinya sangat umum dan kurang tegas,” kata Dedy Jamaluddin. Lobi yang berlangsung sekitar dua setengah jam itu tak menghasilkan kesepakatan. Akhirnya, lobi akan dilanjutkan di tempat sama, dengan peserta yang sama, dua hari berikutnya.
Dalam lobi yang ketiga, DPR menilai tawaran pemerintah lebih baik. Pemerintah menyodorkan 13 daftar informasi yang bisa dibuka BUMN. ”Kami akhirnya setuju, karena ada klausul yang menyebutkan bahwa mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewan komisaris bisa dibuka,” kata Dedy.
Dengan dibukanya ketentuan ini, menurut Dedy, publik bisa mempersoalkan jika terjadi pengangkatan komisaris atau direksi yang tak sesuai dengan kriteria. Ahmad Ramli mengakui ada kesan DPR mencurigai pemerintah memanfaatkan BUMN untuk kepentingannya. ”Tapi kan akhirnya informasi BUMN juga dibuka,” ujarnya.
Pertemuan sekitar satu setengah jam itu juga membahas soal ancaman sanksi bagi pengguna informasi. Pemerintah menuntut adanya persamaan perlakuan antara pejabat publik dan pengguna yang melanggar undang-undang ini. ”Akhirnya, komprominya adalah besar hukumannya sama-sama diturunkan,” kata Arif Mudatsir Mandan.
Hasil inilah yang kemudian dilaporkan dalam lobi berikutnya di Ruang ASEAN Hotel Sultan, 27 Maret lalu. Tim lobi pemerintah dan DPR menyampaikan hasil dua pertemuan sebelumnya. Pertama, ada sejumlah daftar informasi yang bisa dibuka oleh BUMN. Kedua, besar sanksi pidana dan penjara untuk pejabat dan pengguna informasi dikurangi separuhnya. ”Wakil fraksi menerima hasil itu,” kata Dedy.
DPR menilai undang-undang ini merupakan hasil terbaik yang bisa dicapai. ”Ini hasil maksimal,” kata anggota tim lobi, Dedy Jamaluddin. Andreas Parera menambahkan, ”Undang-undang ini diharapkan dapat menjadi kontrol publik terhadap penyelenggaraan negara oleh lembaga pemerintah dan nonpemerintah.”
Koordinator Lobi Koalisi Kebebasan Informasi Publik Agus Sudibyo menilai undang-undang ini lebih jelek daripada draf inisiatif DPR. Ia mempertanyakan adanya sanksi bagi pengguna informasi. ”Dari 75 negara di dunia yang memiliki undang-undang kebebasan memperoleh informasi, hanya ini yang menyediakan sanksi bagi pengguna informasi,” ujar Agus. Pasal pidananya pun bisa bersifat karet. Tapi, kata Agus, bukan berarti tak ada nilai positifnya. ”Undang-undang ini memberikan kepastian tentang apa yang wajib dibuka dan apa yang dikecualikan,” katanya.
Abdul Manan
Yang Krusial dari UU Keterbukaan Informasi Publik
Informasi yang tak boleh dibuka atau dikecualikan (Pasal 17)
* Informasi yang bisa menghambat proses penegakan hukum;
* Informasi yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan HAKI dan perlindungan persaingan usaha tidak sehat;
* Informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
* Informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;
* Informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri;
* Informasi berisi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir atau wasiat seseorang;
* Informasi yang mengungkap rahasia pribadi.
Komisi Informasi (Pasal 23-28)
* Komisi Informasi Pusat beranggotakan 7 orang, komisi informasi provinsi/kabupaten/kota, yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat;
* Rekrutmen calon anggota dilaksanakan oleh pemerintah. Untuk tingkat pusat, seleksi dilakukan DPR, untuk daerah oleh DPRD.
Sanksi Pidana (Pasal 51-5)
* Setiap orang yang sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 juta;
* Badan publik yang tidak menyediakan informasi publik dan mengakibatkan kerugian orang lain dipidana penjara 1 tahun atau denda paling banyak Rp 5 juta;
* Setiap orang yang menghancurkan, merusak, atau menghilangkan dokumen informasi publik dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 10 juta;
* Setiap orang yang sengaja mengakses, memperoleh, atau memberikan informasi yang dikecualikan dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 juta;
* Setiap orang yang sengaja mengakses, memperoleh, atau memberikan informasi yang bisa mengancam pertahanan dan keamanan negara atau merugikan ketahanan ekonomi nasional dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 20 juta;
* Setiap orang yang sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian orang lain dipidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 5 juta.
Majalah Tempo, Edisi. 37/VII/07 - 13 April 2008
Sebetulnya, pengesahan itu tak mulus-mulus benar. Fraksi Kebangkitan Bangsa satu-satunya yang menyampaikan catatan keberatan: soal pemberlakuan undang-undang ini pada 2010. ”Undang-undang ini amanat reformasi, sehingga kami memberi catatan keberatan kalau harus diberlakukan dua tahun lagi,” kata juru bicara FKB, Masduki Baidlowi.
Memang tak terlalu mengejutkan. Sehari sebelum sidang paripurna, Komisi I DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata. Dalam rapat yang dibuka pukul 19.00 dan berakhir menjelang tengah malam itu, hanya FKB yang menyampaikan catatan keberatan soal waktu pemberlakuan undang-undang ini. Untuk soal lainnya, semua fraksi akur.
Menurut Arif, mulusnya pengesahan sudah bisa diperkirakan sekitar seminggu sebelum sidang. Dua soal yang paling alot, yaitu tentang badan usaha milik negara dan daerah serta besarnya sanksi bagi pejabat publik dan pengguna informasi, sudah disepakati melalui lobi terakhir di Ruang ASEAN Hotel Sultan, Jakarta, 27 Maret lalu. Pasal-pasal lain sudah beres lebih dulu.
l l l
AWALNYA, ini merupakan inisiatif DPR periode 1999-2004. Namanya RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Panitia khususnya dibentuk pada 18 Februari 2003. Pembahasan belum kelar, masa tugas Dewan keburu berakhir. DPR periode 2004-2009 melanjutkan inisiatif ini. Pada 5 Juli 2005, DPR resmi menjadikan rancangan ini sebagai inisiatif DPR.
Cukup banyak soal krusial dalam RUU ini. Pertama, soal nama. Dalam usul DPR, namanya adalah RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Namun, ”Pemerintah alergi dengan penggunaan istilah kebebasan,” kata anggota Pansus, Andreas Parera. Akhirnya, nama pun berubah.
Itu baru satu soal. Pasal krusial lainnya mengenai Komisi Informasi, jenis informasi yang dikecualikan, masa berlaku undang-undang, masuk-tidaknya BUMN dalam kategori lembaga publik, serta sanksi untuk pengguna informasi.
Tiga soal yang disebut di depan bisa diselesaikan dalam pembahasan panitia kerja selama kurun waktu Juni 2005 hingga Januari 2008. Tapi tidak demikian halnya dengan dua yang disebut belakangan. Hingga awal 2008, DPR dan pemerintah belum satu kata, sehingga harus ada lobi.
Pada 27 Februari 2008, terjadi lobi pertama antara wakil pemerintah dan DPR. Bertempat di Restoran Nippon Khan, Hotel Sultan, tim pemerintah diwakili Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata.
Tim ini diperkuat oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Ahmad Ramli, Sekretaris Menteri Negara BUMN Said Didu, serta Direktur Jenderal Sistem Komunikasi dan Diseminasi Informatika Departemen Komunikasi Fredy Tulung. Tim lobi DPR dipimpin Ketua Komisi Informasi DPR Theo L. Sambuaga serta wakil tiap-tiap fraksi.
Pemerintah menyampaikan, terbukanya informasi soal strategi bisnis di BUMN bisa mengakibatkan penurunan daya saing. ”Kalau strategi dan segala macamnya itu dibuka, kan bisa menurunkan daya saing karena rahasianya diketahui kompetitor,” kata Ramli, menirukan argumentasi pemerintah dalam pertemuan itu.
Sofyan Djalil memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan rezim politik dan rezim bisnis harus dibedakan. Kepada wakil dari DPR, Sofyan menyatakan BUMN itu masuk rezim bisnis. Wakil dari DPR tak setuju dengan argumen itu. ”Tak bisa sepenuhnya dipisahkan seperti itu,” kata wakil dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Parera.
Dedy Jamaluddin Malik dari Fraksi Amanat Nasional langsung menyampaikan bantahan dengan menggunakan contoh pengangkatan Andi Arief sebagai komisaris PT Pos dan Syaifullah Yusuf sebagai komisaris BRI. ”Apakah itu bisa disebut BUMN mengikuti rezim bisnis?” tanya Dedy. Sofyan Djalil berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengatakan, ”O, kalau begitu harus dijabarkan ketentuannya.”
Rapat yang dimulai sekitar pukul 19.00 itu menyepakati lobi lanjutan, yang membahas soal apa saja yang bisa dibuka dari BUMN. Dalam pertemuan sekitar tiga jam tersebut, pemerintah juga menyinggung soal sanksi bagi pengguna informasi. Pemerintah ingin pengguna pun diberi sanksi setimpal dengan pejabat publik, sedangkan DPR berpendapat sebaliknya: sanksi bagi pengguna harus minimal. ”Kami tak membahas soal sanksi ini karena soal BUMN itu belum selesai,” kata Dedy.
Lobi kedua dilakukan pada 17 Maret lalu di The Olive Tree Restaurant, Hotel Nikko Jakarta. Waktunya sama seperti sebelumnya, pesertanya lebih sedikit. Pemerintah diwakili Fredy Tulung, Ahmad Ramli, dan Said Didu.
Dalam pertemuan ini, pemerintah menawarkan tiga hal yang bisa dibuka dari BUMN, yaitu kepemilikan saham; maksud, tujuan, dan kegiatan usaha perusahaan; kegiatan usaha terkait dengan penugasan pemerintah dalam pelayanan publik; serta informasi lain yang ditetapkan peraturan perundangan.
Bagi wakil DPR, tawaran ini kurang menarik. ”Karena kategorinya sangat umum dan kurang tegas,” kata Dedy Jamaluddin. Lobi yang berlangsung sekitar dua setengah jam itu tak menghasilkan kesepakatan. Akhirnya, lobi akan dilanjutkan di tempat sama, dengan peserta yang sama, dua hari berikutnya.
Dalam lobi yang ketiga, DPR menilai tawaran pemerintah lebih baik. Pemerintah menyodorkan 13 daftar informasi yang bisa dibuka BUMN. ”Kami akhirnya setuju, karena ada klausul yang menyebutkan bahwa mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewan komisaris bisa dibuka,” kata Dedy.
Dengan dibukanya ketentuan ini, menurut Dedy, publik bisa mempersoalkan jika terjadi pengangkatan komisaris atau direksi yang tak sesuai dengan kriteria. Ahmad Ramli mengakui ada kesan DPR mencurigai pemerintah memanfaatkan BUMN untuk kepentingannya. ”Tapi kan akhirnya informasi BUMN juga dibuka,” ujarnya.
Pertemuan sekitar satu setengah jam itu juga membahas soal ancaman sanksi bagi pengguna informasi. Pemerintah menuntut adanya persamaan perlakuan antara pejabat publik dan pengguna yang melanggar undang-undang ini. ”Akhirnya, komprominya adalah besar hukumannya sama-sama diturunkan,” kata Arif Mudatsir Mandan.
Hasil inilah yang kemudian dilaporkan dalam lobi berikutnya di Ruang ASEAN Hotel Sultan, 27 Maret lalu. Tim lobi pemerintah dan DPR menyampaikan hasil dua pertemuan sebelumnya. Pertama, ada sejumlah daftar informasi yang bisa dibuka oleh BUMN. Kedua, besar sanksi pidana dan penjara untuk pejabat dan pengguna informasi dikurangi separuhnya. ”Wakil fraksi menerima hasil itu,” kata Dedy.
DPR menilai undang-undang ini merupakan hasil terbaik yang bisa dicapai. ”Ini hasil maksimal,” kata anggota tim lobi, Dedy Jamaluddin. Andreas Parera menambahkan, ”Undang-undang ini diharapkan dapat menjadi kontrol publik terhadap penyelenggaraan negara oleh lembaga pemerintah dan nonpemerintah.”
Koordinator Lobi Koalisi Kebebasan Informasi Publik Agus Sudibyo menilai undang-undang ini lebih jelek daripada draf inisiatif DPR. Ia mempertanyakan adanya sanksi bagi pengguna informasi. ”Dari 75 negara di dunia yang memiliki undang-undang kebebasan memperoleh informasi, hanya ini yang menyediakan sanksi bagi pengguna informasi,” ujar Agus. Pasal pidananya pun bisa bersifat karet. Tapi, kata Agus, bukan berarti tak ada nilai positifnya. ”Undang-undang ini memberikan kepastian tentang apa yang wajib dibuka dan apa yang dikecualikan,” katanya.
Abdul Manan
Yang Krusial dari UU Keterbukaan Informasi Publik
Informasi yang tak boleh dibuka atau dikecualikan (Pasal 17)
* Informasi yang bisa menghambat proses penegakan hukum;
* Informasi yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan HAKI dan perlindungan persaingan usaha tidak sehat;
* Informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
* Informasi yang dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;
* Informasi yang dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri;
* Informasi berisi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir atau wasiat seseorang;
* Informasi yang mengungkap rahasia pribadi.
Komisi Informasi (Pasal 23-28)
* Komisi Informasi Pusat beranggotakan 7 orang, komisi informasi provinsi/kabupaten/kota, yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat;
* Rekrutmen calon anggota dilaksanakan oleh pemerintah. Untuk tingkat pusat, seleksi dilakukan DPR, untuk daerah oleh DPRD.
Sanksi Pidana (Pasal 51-5)
* Setiap orang yang sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 juta;
* Badan publik yang tidak menyediakan informasi publik dan mengakibatkan kerugian orang lain dipidana penjara 1 tahun atau denda paling banyak Rp 5 juta;
* Setiap orang yang menghancurkan, merusak, atau menghilangkan dokumen informasi publik dipidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 10 juta;
* Setiap orang yang sengaja mengakses, memperoleh, atau memberikan informasi yang dikecualikan dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 juta;
* Setiap orang yang sengaja mengakses, memperoleh, atau memberikan informasi yang bisa mengancam pertahanan dan keamanan negara atau merugikan ketahanan ekonomi nasional dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 20 juta;
* Setiap orang yang sengaja membuat informasi publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian orang lain dipidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 5 juta.
Majalah Tempo, Edisi. 37/VII/07 - 13 April 2008
Comments