Rumah Tak Bernomor di Daeng Tata
ENTAH apa yang terlintas di benak Basri pagi itu. Ia tetap mengayuh becak dan meninggalkan istrinya, Basse, 37 tahun, yang terbaring lemah dengan kehamilan tujuh bulan.
Dua dari empat anaknya, Bahir, 5 tahun, dan Aco, 4 tahun, juga sedang tergolek sakit. ”Saya kan harus cari uang,” kata Basri, 35 tahun, dengan air muka tak berubah, Selasa pekan lalu. ”Kalau tidak, apa yang akan kami makan?”
Jumat siang dua pekan lalu itu, Basri mendapat berita gawat dari kawannya sesama tukang becak. Ia bergegas pulang dan mendapati istri dan anaknya sekarat. Namun, ia tak mengikuti nasihat tetangga untuk segera membawa ke dokter. ”Saya tak punya uang,” katanya.
Selang sekitar dua jam, 14.20 Wita, Basse melepas napas terakhir. Empat menit kemudian, Bahir menyusul. Adapun Aco, sementara Basri mengurus jenazah, Lina, tetangga terdekat, melarikan sang bocah ke Rumah Sakit Umum Haji Makassar.
Sudah dua hari sebetulnya Basse tergolek sakit. Juga kedua anak itu. Tapi, ”Kalau sakit seperti itu, nanti juga sembuh sendiri,” pikir Basri. Lagi pula, ia memang tak punya uang. Bahkan beras pun tak ada di rumah.
Untunglah ada Lina. Perempuan 40 tahun itu tinggal satu rumah beda lantai dengan Basri sekeluarga. Basri di lantai dua, Lina di lantai satu sebuah rumah tak bernomor di lorong Blok V di Jalan Daeng Tata I, Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, Makassar. Suami Lina, Juding, yang enam bulan lalu mengajak keluarga Basri tinggal bersama.
Hari Kamis itu, seperti biasa, Lina pergi ke rumah majikannya untuk mencuci. Waktu pulang, dia mendapat 10 liter beras. Sesampainya di rumah, Lina melihat dua anak Basri lainnya, Salma, 9 tahun, dan Baha, 7 tahun, loyo bermain dengan teman sebayanya. Ketika ditanya, Salma menjawab, ”Kami belum makan.” Ketika ditanya ke mana ibunya. ”Ibu lagi sakit,” kata Salma.
Lina bergegas ke lantai atas dan mendapati Basse dan dua anaknya terbaring lemah. Ia memeriksa tempat beras: kosong bolong. Lina turun dan naik lagi membawa lima liter beras.
Basse kemudian bergegas memasak bubur. Lina heran. ”Kalau masak bubur, satu liter beras bisa dimakan dua atau tiga hari,” Basse menjelaskan. ”Kalau dimasak jadi nasi, hanya bisa dimakan satu hari.”
Basse tak makan. ”Demamnya tinggi, mencret dan muntah-muntah, sehingga tidak punya nafsu makan,” kata Lina. Tetangga sebelah rumah lainnya, Mina, punya cerita sama. Sehari sebelum kematiannya, Basse muntah-muntah. Jenazah Basse dan Bahir dibawa ke Kabupaten Bantaeng, sekitar 2,5 jam dari Makassar.
Dr. Farida Mattalatta yang merawat Aco mengatakan, kemungkinan penyebab kematian Basse dan Bahir sama dengan Aco: diare akut. ”Kalau tak segera ditangani, memang bisa fatal,” katanya.
Ketika dilarikan ke rumah sakit, berat tubuh Aco hanya 9 kg. Berat normal anak seusianya 15 sampai 20 kg. Tulang-tulangnya tampak menyembul dari balik kulitnya yang sawo matang.
Berita kematian ini membuat heboh Makassar. Selasa pekan lalu, puluhan rakyat miskin dan mahasiswa unjuk rasa di Balai Kota Makassar. Mereka mengusung pamflet yang antara lain bertulisan ”Rakyat Makassar Lapar”, ”Kami butuh kartu miskin”, dan ”Pecat aparat kelurahan dan camat yang melakukan pungli”.
”Dalam 10 tahun, ini kali pertama ada kasus seperti ini,” kata Mohammad Darwis, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
Banyak pihak menuding pemerintah tak becus sehingga ada orang mati kelaparan. Reaksi ini membuat gusar Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Setelah mengikuti kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Jepang, ia menggelar jumpa pers di Warung Kopi Phoenam di Jakarta, dua hari setelah peristiwa. ”Dia meninggal karena diare akut,” kata Ilham.
Basri menampik anaknya pernah sehari tak makan, tapi Salma mengungkapkan sebaliknya. Kalau ayahnya membawa ikan, mereka makan nasi berlauk ikan. Namun, kadang hanya dengan tumis kangkung, yang dipetik dari sekitar rumah, atau cukup berlauk garam. ”Kadang tidak makan seharian,” kata Salma. Mina menguatkan penuturan Salma. Basse paling banter membeli beras satu liter di warungnya. ”Itu pun tidak tiap hari.”
Basri mengaku, sehari-hari penghasilannya Rp 5.000 hingga Rp 10 ribu. Tapi, ketika ditemui Tempo, dia mengaku mengisap sebungkus rokok sehari Rp 3.000. ”Kadang juga lebih.”
Di banding tukang becak lainnya, penghasilan ini sangat sedikit. Tetangganya, Juding, juga tukang becak, meski sesekali menggarap order pembangunan rumah. Dari membecak, Juding mengaku bisa membawa pulang sedikitnya Rp 20 ribu sehari. ”Kadang bisa Rp 50 ribu.”
Rusdi, 20 tahun, mengungkapkan hal yang sama. Tukang becak di kawasan Pabaeng-Baeng, Makassar, ini mengaku bisa memperoleh Rp 40 hingga Rp 75 ribu sehari.
Sebagian tetangga mencurigai kebiasaan Basri yang kerap mabuk dan main judi. ”Malah saya pernah sekali melihatnya membawa pulang lima liter tuak,” kata Lina. Basri membantah. ”Dulu saya memang peminum, tapi sejak menikah saya berhenti,” katanya.
Basri adalah satu dari sekitar 70.160 kepala keluarga miskin di Makassar. Warga miskin ini tersebar di 64 titik kawasan kumuh di 14 kecamatan. Empat kecamatan yang paling banyak kawasan kumuhnya adalah Tallo, Ujung Tanah, Mariso, dan Tamalate. Ciri paling menonjol dari daerah miskin ini adalah rumah sebagian besar warganya.
Lihatlah rumah Basri. Bahannya kayu dan seng tua. Kalau musim hujan, penghuni rumah harus menadah bocoran di banyak tempat. Di lantai yang ditempati Basri tak ada jendela. Matahari masuk hanya dari beberapa celah dinding.
Ruangan 8x4 meter itu disekat jadi dua: kamar tidur dan ruang tamu. Di kamar tidur tak ada kasur, hanya radio bekas yang mulai jadi rongsokan. Di ruang tamu yang merangkap dapur terhampar karpet merah kusam, tua dan kotor.
Di salah satu sudut terdapat tumpukan kasur, bantal tak bersarung, dan pakaian tak terlipat. Berantakan, mirip tumpukan sampah. Di dapur hanya ada kompor minyak tanah tua. Di sampingnya ada rak besi, berisi beberapa gelas dan piring plastik. Di dinding tergantung dua panci dan satu wajan uzur.
Tak ada pintu. Masuk rumah Basri mesti melewati rumah Juding, lewat lorong kurang dari satu meter, sebelum naik tangga kayu kecil di atas sumur. Untuk tempat tinggalnya itu, Basri membayar Rp 50 ribu sebulan kepada Juding.
Jalan menuju rumah itu juga tak kalah rumitnya. Dari Daeng Tata I, sekitar 300 meter, barulah Blok V ditemukan. Selang tujuh rumah, masuk lorong di bawah rumah panggung, tampaklah rumah Basri. Ada jalan lain, tapi seperti kubangan di musim hujan.
Meski miskin, Basri tak tersentuh bantuan. ”Basri tak pernah melapor,” kata Ketua RT 1 RW 2 Kelurahan Parang Tambung, Jufri. Kepala Dinas Sosial Makassar, Ibrahim Saleh, juga mengaku kesulitan mendata jumlah penduduk miskin di Makassar, terutama yang sering berpindah-pindah.
Setelah peristiwa ini, Wali Kota minta lurah mengoptimalkan RT dan RW untuk pendataan. Pemerintah menganggarkan Rp 4,3 miliar. Setelah itu, barulah diterbitkan kartu miskin.
Mohammad Darwis mengatakan, nasib tragis yang dialami Basri mungkin saja akibat kebiasaan minum dan judi. ”Tapi, mungkin itu juga pelarian dari kemiskinannya.” Toh, dia menyesalkan kelambanan pemerintah sehingga tragedi ini tak bisa dicegah.
Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan, Sujana Royat, mengaku menerima berita ini tak lama setelah kejadian. ”Setahu saya, ini kasus pertama tahun ini, ada orang miskin meninggal,” katanya.
Menurut informasi yang diterimanya, petugas di daerah itu sudah memberikan bantuan susu dan uang tunai. ”Ya, kesalahannya karena dia memang tak terdata,” kata Sujana.
Sujana mengatakan, data Badan Pusat Statistik 2007 menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 37 juta. Pemerintah menargetkan jumlahnya terus berkurang setiap tahun. Jika pada 2006 jumlahnya 17,7 persen, tahun lalu sudah berkurang menjadi 16,5 persen. Tahun ini ditargetkan turun 14 persen, dan diharapkan menjadi 8,2 persen pada 2009. ”Kami optimistis target itu tercapai,” katanya.
Abdul Manan, Irmawati (Makassar)
Majalah Tempo, Edisi. 03/XXXVII/10 - 16 Maret 2008
Dua dari empat anaknya, Bahir, 5 tahun, dan Aco, 4 tahun, juga sedang tergolek sakit. ”Saya kan harus cari uang,” kata Basri, 35 tahun, dengan air muka tak berubah, Selasa pekan lalu. ”Kalau tidak, apa yang akan kami makan?”
Jumat siang dua pekan lalu itu, Basri mendapat berita gawat dari kawannya sesama tukang becak. Ia bergegas pulang dan mendapati istri dan anaknya sekarat. Namun, ia tak mengikuti nasihat tetangga untuk segera membawa ke dokter. ”Saya tak punya uang,” katanya.
Selang sekitar dua jam, 14.20 Wita, Basse melepas napas terakhir. Empat menit kemudian, Bahir menyusul. Adapun Aco, sementara Basri mengurus jenazah, Lina, tetangga terdekat, melarikan sang bocah ke Rumah Sakit Umum Haji Makassar.
Sudah dua hari sebetulnya Basse tergolek sakit. Juga kedua anak itu. Tapi, ”Kalau sakit seperti itu, nanti juga sembuh sendiri,” pikir Basri. Lagi pula, ia memang tak punya uang. Bahkan beras pun tak ada di rumah.
Untunglah ada Lina. Perempuan 40 tahun itu tinggal satu rumah beda lantai dengan Basri sekeluarga. Basri di lantai dua, Lina di lantai satu sebuah rumah tak bernomor di lorong Blok V di Jalan Daeng Tata I, Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, Makassar. Suami Lina, Juding, yang enam bulan lalu mengajak keluarga Basri tinggal bersama.
Hari Kamis itu, seperti biasa, Lina pergi ke rumah majikannya untuk mencuci. Waktu pulang, dia mendapat 10 liter beras. Sesampainya di rumah, Lina melihat dua anak Basri lainnya, Salma, 9 tahun, dan Baha, 7 tahun, loyo bermain dengan teman sebayanya. Ketika ditanya, Salma menjawab, ”Kami belum makan.” Ketika ditanya ke mana ibunya. ”Ibu lagi sakit,” kata Salma.
Lina bergegas ke lantai atas dan mendapati Basse dan dua anaknya terbaring lemah. Ia memeriksa tempat beras: kosong bolong. Lina turun dan naik lagi membawa lima liter beras.
Basse kemudian bergegas memasak bubur. Lina heran. ”Kalau masak bubur, satu liter beras bisa dimakan dua atau tiga hari,” Basse menjelaskan. ”Kalau dimasak jadi nasi, hanya bisa dimakan satu hari.”
Basse tak makan. ”Demamnya tinggi, mencret dan muntah-muntah, sehingga tidak punya nafsu makan,” kata Lina. Tetangga sebelah rumah lainnya, Mina, punya cerita sama. Sehari sebelum kematiannya, Basse muntah-muntah. Jenazah Basse dan Bahir dibawa ke Kabupaten Bantaeng, sekitar 2,5 jam dari Makassar.
Dr. Farida Mattalatta yang merawat Aco mengatakan, kemungkinan penyebab kematian Basse dan Bahir sama dengan Aco: diare akut. ”Kalau tak segera ditangani, memang bisa fatal,” katanya.
Ketika dilarikan ke rumah sakit, berat tubuh Aco hanya 9 kg. Berat normal anak seusianya 15 sampai 20 kg. Tulang-tulangnya tampak menyembul dari balik kulitnya yang sawo matang.
Berita kematian ini membuat heboh Makassar. Selasa pekan lalu, puluhan rakyat miskin dan mahasiswa unjuk rasa di Balai Kota Makassar. Mereka mengusung pamflet yang antara lain bertulisan ”Rakyat Makassar Lapar”, ”Kami butuh kartu miskin”, dan ”Pecat aparat kelurahan dan camat yang melakukan pungli”.
”Dalam 10 tahun, ini kali pertama ada kasus seperti ini,” kata Mohammad Darwis, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
Banyak pihak menuding pemerintah tak becus sehingga ada orang mati kelaparan. Reaksi ini membuat gusar Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Setelah mengikuti kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Jepang, ia menggelar jumpa pers di Warung Kopi Phoenam di Jakarta, dua hari setelah peristiwa. ”Dia meninggal karena diare akut,” kata Ilham.
Basri menampik anaknya pernah sehari tak makan, tapi Salma mengungkapkan sebaliknya. Kalau ayahnya membawa ikan, mereka makan nasi berlauk ikan. Namun, kadang hanya dengan tumis kangkung, yang dipetik dari sekitar rumah, atau cukup berlauk garam. ”Kadang tidak makan seharian,” kata Salma. Mina menguatkan penuturan Salma. Basse paling banter membeli beras satu liter di warungnya. ”Itu pun tidak tiap hari.”
Basri mengaku, sehari-hari penghasilannya Rp 5.000 hingga Rp 10 ribu. Tapi, ketika ditemui Tempo, dia mengaku mengisap sebungkus rokok sehari Rp 3.000. ”Kadang juga lebih.”
Di banding tukang becak lainnya, penghasilan ini sangat sedikit. Tetangganya, Juding, juga tukang becak, meski sesekali menggarap order pembangunan rumah. Dari membecak, Juding mengaku bisa membawa pulang sedikitnya Rp 20 ribu sehari. ”Kadang bisa Rp 50 ribu.”
Rusdi, 20 tahun, mengungkapkan hal yang sama. Tukang becak di kawasan Pabaeng-Baeng, Makassar, ini mengaku bisa memperoleh Rp 40 hingga Rp 75 ribu sehari.
Sebagian tetangga mencurigai kebiasaan Basri yang kerap mabuk dan main judi. ”Malah saya pernah sekali melihatnya membawa pulang lima liter tuak,” kata Lina. Basri membantah. ”Dulu saya memang peminum, tapi sejak menikah saya berhenti,” katanya.
Basri adalah satu dari sekitar 70.160 kepala keluarga miskin di Makassar. Warga miskin ini tersebar di 64 titik kawasan kumuh di 14 kecamatan. Empat kecamatan yang paling banyak kawasan kumuhnya adalah Tallo, Ujung Tanah, Mariso, dan Tamalate. Ciri paling menonjol dari daerah miskin ini adalah rumah sebagian besar warganya.
Lihatlah rumah Basri. Bahannya kayu dan seng tua. Kalau musim hujan, penghuni rumah harus menadah bocoran di banyak tempat. Di lantai yang ditempati Basri tak ada jendela. Matahari masuk hanya dari beberapa celah dinding.
Ruangan 8x4 meter itu disekat jadi dua: kamar tidur dan ruang tamu. Di kamar tidur tak ada kasur, hanya radio bekas yang mulai jadi rongsokan. Di ruang tamu yang merangkap dapur terhampar karpet merah kusam, tua dan kotor.
Di salah satu sudut terdapat tumpukan kasur, bantal tak bersarung, dan pakaian tak terlipat. Berantakan, mirip tumpukan sampah. Di dapur hanya ada kompor minyak tanah tua. Di sampingnya ada rak besi, berisi beberapa gelas dan piring plastik. Di dinding tergantung dua panci dan satu wajan uzur.
Tak ada pintu. Masuk rumah Basri mesti melewati rumah Juding, lewat lorong kurang dari satu meter, sebelum naik tangga kayu kecil di atas sumur. Untuk tempat tinggalnya itu, Basri membayar Rp 50 ribu sebulan kepada Juding.
Jalan menuju rumah itu juga tak kalah rumitnya. Dari Daeng Tata I, sekitar 300 meter, barulah Blok V ditemukan. Selang tujuh rumah, masuk lorong di bawah rumah panggung, tampaklah rumah Basri. Ada jalan lain, tapi seperti kubangan di musim hujan.
Meski miskin, Basri tak tersentuh bantuan. ”Basri tak pernah melapor,” kata Ketua RT 1 RW 2 Kelurahan Parang Tambung, Jufri. Kepala Dinas Sosial Makassar, Ibrahim Saleh, juga mengaku kesulitan mendata jumlah penduduk miskin di Makassar, terutama yang sering berpindah-pindah.
Setelah peristiwa ini, Wali Kota minta lurah mengoptimalkan RT dan RW untuk pendataan. Pemerintah menganggarkan Rp 4,3 miliar. Setelah itu, barulah diterbitkan kartu miskin.
Mohammad Darwis mengatakan, nasib tragis yang dialami Basri mungkin saja akibat kebiasaan minum dan judi. ”Tapi, mungkin itu juga pelarian dari kemiskinannya.” Toh, dia menyesalkan kelambanan pemerintah sehingga tragedi ini tak bisa dicegah.
Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan, Sujana Royat, mengaku menerima berita ini tak lama setelah kejadian. ”Setahu saya, ini kasus pertama tahun ini, ada orang miskin meninggal,” katanya.
Menurut informasi yang diterimanya, petugas di daerah itu sudah memberikan bantuan susu dan uang tunai. ”Ya, kesalahannya karena dia memang tak terdata,” kata Sujana.
Sujana mengatakan, data Badan Pusat Statistik 2007 menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 37 juta. Pemerintah menargetkan jumlahnya terus berkurang setiap tahun. Jika pada 2006 jumlahnya 17,7 persen, tahun lalu sudah berkurang menjadi 16,5 persen. Tahun ini ditargetkan turun 14 persen, dan diharapkan menjadi 8,2 persen pada 2009. ”Kami optimistis target itu tercapai,” katanya.
Abdul Manan, Irmawati (Makassar)
Majalah Tempo, Edisi. 03/XXXVII/10 - 16 Maret 2008
Comments