Rame-rame Lahirkan Kota Baru
RAPAT Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat itu dibuka dengan interupsi. Para interuptor mengingatkan absennya unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pembahasan pembentukan 14 kabupaten dan satu provinsi baru itu. Senin pekan lalu itu, rapat akhirnya hanya berlangsung 20 menit. ”Sidang ditunda,” ujar Ketua Komisi, E.E. Mangindaan.
Para ”senator” memang mempersoalkan terus mekarnya daerah administrasi baru. Laode Ida, Wakil Ketua DPD, mengingatkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato di depan anggota lembaga itu, 27 Agustus tahun lalu. Ketika itu Presiden mengatakan perlunya ”moratorium pemekaran daerah”.
Dalam suratnya kepada Komisi Pemerintahan, petinggi Dewan Perwakilan Daerah mengatakan tak bisa ikut rapat. Alasannya, mereka masih akan membahas masalah ini dalam sidang paripurna, Kamis pekan ini. Laode mengatakan, lembaganya ingin pembahasan daerah administrasi baru dilakukan setelah ada hasil evaluasi dan kajian lengkap soal ”pemekaran” selama 1999-2007.
Laode punya alasan. Dari 173 daerah administrasi baru, hanya sekitar 30 persen yang sukses. R. Situ Zuhro, peneliti dari Pusat Kajian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, malah menyimpulkan lebih rendah. ”Mungkin hanya 5 persen yang berhasil,” katanya. Kabupaten Tarakan (Kalimantan Timur), Kota Batu (Jawa Timur), Provinsi Banten dan Gorontalo, misalnya, termasuk yang sukses.
Mengapa daerah ingin dipecah? Abdul Fatah, Direktur Penataan Otonomi Daerah, menilai banyak pembentukan daerah administrasi bermotif politik untuk kepentingan individu. ”Setelah dimekarkan, datang protes dari masyarakat,” katanya. Ia mencontohkan adanya pengajuan uji materi atas pembentukan Kota Tual (Maluku Utara) serta Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara).
Departemen Dalam Negeri mencatat bahwa kini ada 173 daerah administrasi baru—kabupaten, kota, dan provinsi—yang dibentuk pada periode 1999-2007. Gelombang pertama dimulai 1999 dengan dibentuknya 44 kabupaten dan kota. Setelah itu, setiap tahun lahir rata-rata 15 kabupaten atau kota baru.
Motivasi pemekaran itu bermacam-macam. ”Sebagian besar untuk mendekatkan jangkauan pelayanan sekaligus meningkatkan kesejahteraan daerah,” kata Siti. Tapi, menurut dia, ada juga untuk kepentingan elite politik lokal.
Lembaga swadaya masyarakat Publika di Manado, Sulawesi Utara, mencatat, tujuh kabupaten dibentuk di provinsi itu sejak 1999, di antaranya Kota Kotamobagu yang merupakan pecahan dari Kabupaten Bolaang Mongondow bersama dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Pemecahan dilakukan pada Januari tahun lalu.
Ismail Dahab, direktur Publika, menilai pemecahan itu tidak layak, sebab pendapatan asli daerah hasil pecahan masih sangat rendah. Ia menyatakan, pemecahan itu lebih banyak bermuatan politik. Jainuddin Damopoli, penggagas pemecahan, menurut Ismail, akan maju sebagai calon Wali Kota Kotamobagu tahun ini.
Jainuddin menampik tudingan Ismail. Ia mengatakan pemecahan wilayah administrasi itu semata-mata demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi, menurut dia, wilayah Bolaang Mongondow sangat luas. ”Sekitar 51 persen wilayah Sulawesi Utara,” katanya.
Kini, para aktivis di daerah itu juga sedang menyiapkan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan. Bersama dengan tiga daerah yang sudah dibentuk, kelak mereka menggagas pembentukan Provinsi Totabuan.
Dengan alasan rentang wilayah yang luas itu pula, Kabupaten Mamuju Utara dibentuk pada 2003. Dulu, daerah ini masuk wilayah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Selatan. Tahun lalu, wilayah ini pun ”memisahkan diri” dari Sulawesi Selatan dan membentuk Provinsi Sulawesi Barat.
Mamuju Utara digagas Agus Ambo Jiwa, yang merintis daerah administrasi baru itu bersama kakaknya, Yaumil. Menggandeng tiga kolega, mereka beralasan bagian utara Kabupaten Mamuju tak terjamah pemerintah setempat. ”Jarak dari Mamuju ke Pasangkayu sekitar 300 km,” kata Agus. Pasangkayu, yang bisa ditempuh enam jam dengan mobil dari Mamuju, kini menjadi ibu kota Kabupaten Mamuju Utara.
Setelah kabupaten itu disahkan lima tahun lalu, kakak beradik penggagas pembentukan Mamuju Utara itu berpolitik. Agus memimpin PDI Perjuangan dan Yaumil menjadi Ketua Partai Golkar di sana. Saat pemilihan bupati digelar, keduanya bersaing. Yaumil sebagai calon bupati, dan Agus menjadi calon wakil bupati mendampingi Abdullah Rasyid. Sang adik memenangkan pemilihan dan kini menjadi wakil bupati.
Agus menepis tudingan pembentukan Mamuju Utara dilandasi ambisi politik para tokoh elite lokal. ”Jika saya berambisi kekuasaan, saya akan maju sebagai bupati, bukan wakilnya,” ia menegaskan. Ia bersikeras meyakinkan bahwa pemecahan semata demi kesejahteraan masyarakat. Terbukti, ia mengklaim, Mamuju Utara kini lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. ”Pendidikan hingga SMP dan kesehatan pun kini gratis,” ia menjelaskan.
Ada pula pendapat lain. Rahman Bande, Direktur Mandar Corruption Watch, mengatakan, pembentukan Mamuju Utara memang membawa perubahan. Sudah tampak pembangunan infrastruktur di sana. ”Tapi apakah pelayanan juga membaik? Belum kami monitor,” katanya.
Luasnya wilayah juga menjadi alasan pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai yang semula masuk Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, pada 1999. Mentawai terdiri dari empat pulau besar, yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Lokasi pulau-pulau itu sangat jauh dari Pariaman. Butuh satu malam perjalanan laut untuk menuju pusat kabupaten itu.
Meski tak disebutkan secara terbuka, alasan suku juga dijadikan alasan membentuk daerah sendiri. Minangkabau dan Mentawai adalah suku asli di Sumatera Barat. Suku Minangkabau menganut ”adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” alias menganut Islam. Adapun masyarakat Mentawai mayoritas Protestan dan Katolik. ”Tetapi alasan utama tetap karena letak geografis Mentawai. Budaya bukan persoalan utama,” kata Ketua DPRD Mentawai, Kortanius Sabeleake, yang dulu ikut aktif menggagas pembentukan kabupaten itu.
Cerita serupa ada di Bengkalis, Kepulauan Riau. Daerah ini dipecah menjadi empat kabupaten pada 1999. Tiga kabupaten baru adalah Dumai, Rokan Hilir, dan Siak. Para penggagasnya beralasan bahwa daerah mereka sangat jauh ke Bengkalis. Bagan Siapi-api, ibu kota Rokan Hilir, sekitar 400 kilometer dari Bengkalis. Adapun jarak Bengkalis ke Siak 200 kilometer dan Biak-Dumai 200 kilometer.
Dengan pemekaran ini, masyarakat Bagan Siapi-api tidak perlu menempuh perjalanan 5 jam ke Bengkalis. ”Pembentukan tiga kabupaten baru itu memang kebutuhan,” kata Johansyah Syarif, juru bicara pemerintah Bengkalis.
Abdul Manan, Dwi Rianto Purnomo (Jakarta), Jupernalis (Riau), Febrianti (Padang)
Majalah Tempo, Edisi. 02/XXXVII/03 - 9 Maret 2008
Para ”senator” memang mempersoalkan terus mekarnya daerah administrasi baru. Laode Ida, Wakil Ketua DPD, mengingatkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato di depan anggota lembaga itu, 27 Agustus tahun lalu. Ketika itu Presiden mengatakan perlunya ”moratorium pemekaran daerah”.
Dalam suratnya kepada Komisi Pemerintahan, petinggi Dewan Perwakilan Daerah mengatakan tak bisa ikut rapat. Alasannya, mereka masih akan membahas masalah ini dalam sidang paripurna, Kamis pekan ini. Laode mengatakan, lembaganya ingin pembahasan daerah administrasi baru dilakukan setelah ada hasil evaluasi dan kajian lengkap soal ”pemekaran” selama 1999-2007.
Laode punya alasan. Dari 173 daerah administrasi baru, hanya sekitar 30 persen yang sukses. R. Situ Zuhro, peneliti dari Pusat Kajian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, malah menyimpulkan lebih rendah. ”Mungkin hanya 5 persen yang berhasil,” katanya. Kabupaten Tarakan (Kalimantan Timur), Kota Batu (Jawa Timur), Provinsi Banten dan Gorontalo, misalnya, termasuk yang sukses.
Mengapa daerah ingin dipecah? Abdul Fatah, Direktur Penataan Otonomi Daerah, menilai banyak pembentukan daerah administrasi bermotif politik untuk kepentingan individu. ”Setelah dimekarkan, datang protes dari masyarakat,” katanya. Ia mencontohkan adanya pengajuan uji materi atas pembentukan Kota Tual (Maluku Utara) serta Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara).
Departemen Dalam Negeri mencatat bahwa kini ada 173 daerah administrasi baru—kabupaten, kota, dan provinsi—yang dibentuk pada periode 1999-2007. Gelombang pertama dimulai 1999 dengan dibentuknya 44 kabupaten dan kota. Setelah itu, setiap tahun lahir rata-rata 15 kabupaten atau kota baru.
Motivasi pemekaran itu bermacam-macam. ”Sebagian besar untuk mendekatkan jangkauan pelayanan sekaligus meningkatkan kesejahteraan daerah,” kata Siti. Tapi, menurut dia, ada juga untuk kepentingan elite politik lokal.
Lembaga swadaya masyarakat Publika di Manado, Sulawesi Utara, mencatat, tujuh kabupaten dibentuk di provinsi itu sejak 1999, di antaranya Kota Kotamobagu yang merupakan pecahan dari Kabupaten Bolaang Mongondow bersama dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Pemecahan dilakukan pada Januari tahun lalu.
Ismail Dahab, direktur Publika, menilai pemecahan itu tidak layak, sebab pendapatan asli daerah hasil pecahan masih sangat rendah. Ia menyatakan, pemecahan itu lebih banyak bermuatan politik. Jainuddin Damopoli, penggagas pemecahan, menurut Ismail, akan maju sebagai calon Wali Kota Kotamobagu tahun ini.
Jainuddin menampik tudingan Ismail. Ia mengatakan pemecahan wilayah administrasi itu semata-mata demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi, menurut dia, wilayah Bolaang Mongondow sangat luas. ”Sekitar 51 persen wilayah Sulawesi Utara,” katanya.
Kini, para aktivis di daerah itu juga sedang menyiapkan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan. Bersama dengan tiga daerah yang sudah dibentuk, kelak mereka menggagas pembentukan Provinsi Totabuan.
Dengan alasan rentang wilayah yang luas itu pula, Kabupaten Mamuju Utara dibentuk pada 2003. Dulu, daerah ini masuk wilayah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Selatan. Tahun lalu, wilayah ini pun ”memisahkan diri” dari Sulawesi Selatan dan membentuk Provinsi Sulawesi Barat.
Mamuju Utara digagas Agus Ambo Jiwa, yang merintis daerah administrasi baru itu bersama kakaknya, Yaumil. Menggandeng tiga kolega, mereka beralasan bagian utara Kabupaten Mamuju tak terjamah pemerintah setempat. ”Jarak dari Mamuju ke Pasangkayu sekitar 300 km,” kata Agus. Pasangkayu, yang bisa ditempuh enam jam dengan mobil dari Mamuju, kini menjadi ibu kota Kabupaten Mamuju Utara.
Setelah kabupaten itu disahkan lima tahun lalu, kakak beradik penggagas pembentukan Mamuju Utara itu berpolitik. Agus memimpin PDI Perjuangan dan Yaumil menjadi Ketua Partai Golkar di sana. Saat pemilihan bupati digelar, keduanya bersaing. Yaumil sebagai calon bupati, dan Agus menjadi calon wakil bupati mendampingi Abdullah Rasyid. Sang adik memenangkan pemilihan dan kini menjadi wakil bupati.
Agus menepis tudingan pembentukan Mamuju Utara dilandasi ambisi politik para tokoh elite lokal. ”Jika saya berambisi kekuasaan, saya akan maju sebagai bupati, bukan wakilnya,” ia menegaskan. Ia bersikeras meyakinkan bahwa pemecahan semata demi kesejahteraan masyarakat. Terbukti, ia mengklaim, Mamuju Utara kini lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. ”Pendidikan hingga SMP dan kesehatan pun kini gratis,” ia menjelaskan.
Ada pula pendapat lain. Rahman Bande, Direktur Mandar Corruption Watch, mengatakan, pembentukan Mamuju Utara memang membawa perubahan. Sudah tampak pembangunan infrastruktur di sana. ”Tapi apakah pelayanan juga membaik? Belum kami monitor,” katanya.
Luasnya wilayah juga menjadi alasan pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai yang semula masuk Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, pada 1999. Mentawai terdiri dari empat pulau besar, yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Lokasi pulau-pulau itu sangat jauh dari Pariaman. Butuh satu malam perjalanan laut untuk menuju pusat kabupaten itu.
Meski tak disebutkan secara terbuka, alasan suku juga dijadikan alasan membentuk daerah sendiri. Minangkabau dan Mentawai adalah suku asli di Sumatera Barat. Suku Minangkabau menganut ”adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” alias menganut Islam. Adapun masyarakat Mentawai mayoritas Protestan dan Katolik. ”Tetapi alasan utama tetap karena letak geografis Mentawai. Budaya bukan persoalan utama,” kata Ketua DPRD Mentawai, Kortanius Sabeleake, yang dulu ikut aktif menggagas pembentukan kabupaten itu.
Cerita serupa ada di Bengkalis, Kepulauan Riau. Daerah ini dipecah menjadi empat kabupaten pada 1999. Tiga kabupaten baru adalah Dumai, Rokan Hilir, dan Siak. Para penggagasnya beralasan bahwa daerah mereka sangat jauh ke Bengkalis. Bagan Siapi-api, ibu kota Rokan Hilir, sekitar 400 kilometer dari Bengkalis. Adapun jarak Bengkalis ke Siak 200 kilometer dan Biak-Dumai 200 kilometer.
Dengan pemekaran ini, masyarakat Bagan Siapi-api tidak perlu menempuh perjalanan 5 jam ke Bengkalis. ”Pembentukan tiga kabupaten baru itu memang kebutuhan,” kata Johansyah Syarif, juru bicara pemerintah Bengkalis.
Abdul Manan, Dwi Rianto Purnomo (Jakarta), Jupernalis (Riau), Febrianti (Padang)
Majalah Tempo, Edisi. 02/XXXVII/03 - 9 Maret 2008
Comments