Rumah Tak Rampung di Danau Raya
Menteri Pertanian era Habibie menjadi calon tersangka. Gara-gara rumah dan tanah pemberian.
PEREMPUAN paruh baya itu terlihat ragu-ragu keluar dari sebuah rumah di Kelurahan Tegal Lega, Bogor, Jawa Barat. Siti Sianah, istri Menteri Pertanian era Habibie, Soleh Solahuddin, memang melenggang keluar meski mengunci mulut. ”Jangan wawancara sekarang. Nanti saja,” katanya pada Jumat pekan lalu.
Yang seharusnya ia bicarakan adalah perihal sang suami yang disebut Kejaksaan Agung sebagai calon tersangka dalam kasus dugaan suap Monsanto—perusahaan multinasional pengembang benih transgenik terbesar di dunia yang juga beroperasi di Indonesia. ”Ada bukti awal yang cukup kuat,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Selasa pekan lalu.
Berita tentang penyuapan ini mulanya tersebar tiga tahun lalu. Pada awal Januari 2005, asisten jaksa di Divisi Kejahatan Christopher A. Wray melansir berkas pengadilan Distrik Columbia, Amerika Serikat. Berkas itu menyatakan Monsanto melanggar Foreign Corrupt Practices Act karena melakukan pembayaran tak sah US$ 50 ribu kepada pejabat senior di Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia.
Akibat kasus ini, pengawas pasar modal Amerika Serikat memberikan sanksi denda US$ 500 ribu kepada Monsanto. Perusahaan itu juga diwajibkan mengangkat konsultan independen untuk memperbaiki sistem kepatuhan perusahaan selama tiga tahun. Departemen Kehakiman Amerika Serikat memberikan sanksi denda lebih berat: US$ 1 juta.
Sama dengan pengawas pasar modal, Departemen Kehakiman AS juga mewajibkan Monsanto memperbaiki sistem kepatuhan perusahaan. Jika dalam tiga tahun perbaikan sistemnya dinilai memuaskan, barulah pejabat Monsanto terlepas dari ancaman hukum pidana.
Untuk melicinkan operasi pengembangan kapas transgenik di Indonesia, perusahaan yang berkantor pusat di St. Louisiana, Columbia, AS itu tak hanya mengucurkan uang US$ 50 juta. Selama periode 1997-2002, Monsanto dilaporkan menggelontorkan dana hingga US$ 700 ribu kepada sekitar 140 pejabat Indonesia. Salah satunya berupa rumah dan tanah melalui istri pejabat senior di Departemen Pertanian, yang nilainya sekitar US$ 360 ribu.
Sebelum kabar tak sedap ini berembus, lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan Indonesia sudah mencium bau busuk itu. Tejo W. Jatmiko, yang saat itu Direktur Eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konpalhindo), mengatakan bahwa kecurigaan ini bermula dari sikap tidak konsisten pejabat kita menyikapi uji coba kapas transgenik di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kata Tejo, setiap uji coba produk baru diwajibkan memiliki analisis dampak lingkungan. Tapi regulasi ini diterabas dengan surat keputusan bersama empat menteri tertanggal 17 Mei 1999, yang menyatakan kapas transgenik tak membahayakan lingkungan. Penandatangan surat itu salah satunya Menteri Pertanian Soleh Solahuddin.
Protes LSM lingkungan ternyata tak menyurutkan dukungan terhadap hadirnya kapas transgenik di Indonesia. Selang dua tahun kemudian, keluar surat keputusan Menteri Pertanian Bungaran Saragih yang mengizinkan Monsanto menanam kapas transgenik secara terbatas di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan.
Kebijakan ini digugat koalisi LSM lingkungan, antara lain Kopalhindo, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan ini kalah dari tingkat pertama sampai kasasi (2005).
Tejo, yang kini Koordinator Kampanye Sekretariat Bersama Indonesia Berseru, mengaku mendengar informasi dari orang dalam Departemen Pertanian bahwa ada kiriman bukti invoice senilai Rp 250 juta untuk sosialisasi kapas transgenik. ”Waktu itu belum kami dalami karena masih berkonsentrasi di gugatan hukum,” kata Tejo.
Koalisi LSM lalu mengontak Komisi Pemberantasan Korupsi. Semua dokumen yang terkait dengan soal kapas transgenik juga diserahkan sebagai bahan pendukung. Waktu itu KPK menyatakan kasus ini akan dipelajari terlebih dulu. Pasalnya, ada kekhawatiran kasus ini tak bisa disentuh oleh lembaga yang mandatnya berdasarkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2002 itu. ”Jika itu yang terjadi, kemungkinan kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung,” kata Tejo, mengutip pejabat KPK.
Satu per satu, wakil Monsanto dan pejabat yang namanya disebut-sebut dalam penyuapan itu diperiksa KPK. Misalnya bekas Menteri Pertanian Soleh Solahuddin, Bungaran Saragih, Anton Apriyantono, dan bekas Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. Hasil penyelidikan KPK itu akhirnya benar-benar dilimpahkan ke Kejaksaan Agung pada Agustus 2007. Soal pelimpahan kasus ini, juru bicara KPK Johan Budi S.P. beralasan, ”Karena waktu kejadiannya (tempus delicti) sebelum lahirnya UU KPK No. 30 Tahun 2002.”
Tiga bulan kemudian, Kejaksaan Agung mulai melakukan pemeriksaan. Soleh Solahuddin dan Siti Sianah, istrinya, sudah dua kali diperiksa. Presiden Direktur PT Monagro Kimia, Gyanendra Shukla, sudah pula dipanggil kejaksaan. Monagro adalah anak perusahaan Monsanto di Indonesia.
Dalam pemeriksaan terhadap Gyanendra, penyidik antara lain mengajukan pertanyaan tentang tiga cek senilai Rp 615 juta dan dua cek lainnya senilai sekitar Rp 200 juta. Cek yang dikeluarkan antara November 1998 dan Januari 1999 itu datang dari Monagro dan PT Branita Sandhini—mitra Monagro dalam pengadaan kapas transgenik.
Pengacara Gyanenda, Palmer Situmorang, tak bersedia menjelaskan apa saja yang ditanyakan penyidik kepada kliennya. ”Kami memang dikonfirmasi sejumlah data. Kami masih melakukan pengecekan,” kata Palmer.
Sejumlah sumber Tempo menyebutkan Monagro telah mengeluarkan ”biaya pemasaran” untuk memperlancar usahanya di Indonesia. Salah satunya adalah untuk membeli rumah dan tanah di Perumahan Danau Raya Bogor itu. Rumah seluas 1.585 meter persegi itu bernilai Rp 1,2 miliar.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Mohammad Salim mengatakan serius menyelidiki kasus tersebut. ”Bukan hanya soal itu (rumah dan tanah), tapi juga soal lainnya,” kata Salim. Dalam penyelidikan ini, penyidik diberi waktu dua minggu lagi untuk melengkapi berkas sebelum masuk penyidikan dan penetapan tersangka.
Tanah dan rumah yang dimaksud dalam penyelidikan kasus ini adalah yang berada di Perumahan Danau Raya, Bogor. Ketika Tempo mendatangi lokasi itu pada Jumat pekan lalu, rumah itu belum rampung. Ada tembok setinggi 4 sampai 5 meter, yang sudah ditumbuhi lumut, di sekelilingnya. Di bagian luarnya dilapisi seng, yang sebagian sudah berkarat.
Fondasi rumah itu baru selesai sebagian. Atap rumah belum ada. Sebagian dinding rumahnya tampak ambrol. ”Rumah itu dibangun sekitar lima tahun lalu tapi tak diteruskan,” kata Afdal, salah satu penjaga di sana. Pria yang sudah bekerja sebagai penjaga lebih kurang 15 tahun ini tahu bahwa rumah itu milik Solahuddin.
Soleh Solahuddin, yang ditemui Tempo di rumahnya di kompleks Institut Pertanian Bogor Baranangsiang, Tegal Lega, Bogor, tak bersedia memberikan keterangan. Istrinya sama saja. ”Maaf, kami belum bisa diwawancarai karena masih berunding dengan pengacara kami. Lain waktu saja, ya,” katanya.
Abdul Manan, Deffan Purnama, Rini Kustiani
Majalah Tempo
Edisi. 47/XXXVI/14 - 20 Januari 2008
PEREMPUAN paruh baya itu terlihat ragu-ragu keluar dari sebuah rumah di Kelurahan Tegal Lega, Bogor, Jawa Barat. Siti Sianah, istri Menteri Pertanian era Habibie, Soleh Solahuddin, memang melenggang keluar meski mengunci mulut. ”Jangan wawancara sekarang. Nanti saja,” katanya pada Jumat pekan lalu.
Yang seharusnya ia bicarakan adalah perihal sang suami yang disebut Kejaksaan Agung sebagai calon tersangka dalam kasus dugaan suap Monsanto—perusahaan multinasional pengembang benih transgenik terbesar di dunia yang juga beroperasi di Indonesia. ”Ada bukti awal yang cukup kuat,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Selasa pekan lalu.
Berita tentang penyuapan ini mulanya tersebar tiga tahun lalu. Pada awal Januari 2005, asisten jaksa di Divisi Kejahatan Christopher A. Wray melansir berkas pengadilan Distrik Columbia, Amerika Serikat. Berkas itu menyatakan Monsanto melanggar Foreign Corrupt Practices Act karena melakukan pembayaran tak sah US$ 50 ribu kepada pejabat senior di Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia.
Akibat kasus ini, pengawas pasar modal Amerika Serikat memberikan sanksi denda US$ 500 ribu kepada Monsanto. Perusahaan itu juga diwajibkan mengangkat konsultan independen untuk memperbaiki sistem kepatuhan perusahaan selama tiga tahun. Departemen Kehakiman Amerika Serikat memberikan sanksi denda lebih berat: US$ 1 juta.
Sama dengan pengawas pasar modal, Departemen Kehakiman AS juga mewajibkan Monsanto memperbaiki sistem kepatuhan perusahaan. Jika dalam tiga tahun perbaikan sistemnya dinilai memuaskan, barulah pejabat Monsanto terlepas dari ancaman hukum pidana.
Untuk melicinkan operasi pengembangan kapas transgenik di Indonesia, perusahaan yang berkantor pusat di St. Louisiana, Columbia, AS itu tak hanya mengucurkan uang US$ 50 juta. Selama periode 1997-2002, Monsanto dilaporkan menggelontorkan dana hingga US$ 700 ribu kepada sekitar 140 pejabat Indonesia. Salah satunya berupa rumah dan tanah melalui istri pejabat senior di Departemen Pertanian, yang nilainya sekitar US$ 360 ribu.
Sebelum kabar tak sedap ini berembus, lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan Indonesia sudah mencium bau busuk itu. Tejo W. Jatmiko, yang saat itu Direktur Eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konpalhindo), mengatakan bahwa kecurigaan ini bermula dari sikap tidak konsisten pejabat kita menyikapi uji coba kapas transgenik di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kata Tejo, setiap uji coba produk baru diwajibkan memiliki analisis dampak lingkungan. Tapi regulasi ini diterabas dengan surat keputusan bersama empat menteri tertanggal 17 Mei 1999, yang menyatakan kapas transgenik tak membahayakan lingkungan. Penandatangan surat itu salah satunya Menteri Pertanian Soleh Solahuddin.
Protes LSM lingkungan ternyata tak menyurutkan dukungan terhadap hadirnya kapas transgenik di Indonesia. Selang dua tahun kemudian, keluar surat keputusan Menteri Pertanian Bungaran Saragih yang mengizinkan Monsanto menanam kapas transgenik secara terbatas di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan.
Kebijakan ini digugat koalisi LSM lingkungan, antara lain Kopalhindo, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan ini kalah dari tingkat pertama sampai kasasi (2005).
Tejo, yang kini Koordinator Kampanye Sekretariat Bersama Indonesia Berseru, mengaku mendengar informasi dari orang dalam Departemen Pertanian bahwa ada kiriman bukti invoice senilai Rp 250 juta untuk sosialisasi kapas transgenik. ”Waktu itu belum kami dalami karena masih berkonsentrasi di gugatan hukum,” kata Tejo.
Koalisi LSM lalu mengontak Komisi Pemberantasan Korupsi. Semua dokumen yang terkait dengan soal kapas transgenik juga diserahkan sebagai bahan pendukung. Waktu itu KPK menyatakan kasus ini akan dipelajari terlebih dulu. Pasalnya, ada kekhawatiran kasus ini tak bisa disentuh oleh lembaga yang mandatnya berdasarkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2002 itu. ”Jika itu yang terjadi, kemungkinan kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Agung,” kata Tejo, mengutip pejabat KPK.
Satu per satu, wakil Monsanto dan pejabat yang namanya disebut-sebut dalam penyuapan itu diperiksa KPK. Misalnya bekas Menteri Pertanian Soleh Solahuddin, Bungaran Saragih, Anton Apriyantono, dan bekas Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. Hasil penyelidikan KPK itu akhirnya benar-benar dilimpahkan ke Kejaksaan Agung pada Agustus 2007. Soal pelimpahan kasus ini, juru bicara KPK Johan Budi S.P. beralasan, ”Karena waktu kejadiannya (tempus delicti) sebelum lahirnya UU KPK No. 30 Tahun 2002.”
Tiga bulan kemudian, Kejaksaan Agung mulai melakukan pemeriksaan. Soleh Solahuddin dan Siti Sianah, istrinya, sudah dua kali diperiksa. Presiden Direktur PT Monagro Kimia, Gyanendra Shukla, sudah pula dipanggil kejaksaan. Monagro adalah anak perusahaan Monsanto di Indonesia.
Dalam pemeriksaan terhadap Gyanendra, penyidik antara lain mengajukan pertanyaan tentang tiga cek senilai Rp 615 juta dan dua cek lainnya senilai sekitar Rp 200 juta. Cek yang dikeluarkan antara November 1998 dan Januari 1999 itu datang dari Monagro dan PT Branita Sandhini—mitra Monagro dalam pengadaan kapas transgenik.
Pengacara Gyanenda, Palmer Situmorang, tak bersedia menjelaskan apa saja yang ditanyakan penyidik kepada kliennya. ”Kami memang dikonfirmasi sejumlah data. Kami masih melakukan pengecekan,” kata Palmer.
Sejumlah sumber Tempo menyebutkan Monagro telah mengeluarkan ”biaya pemasaran” untuk memperlancar usahanya di Indonesia. Salah satunya adalah untuk membeli rumah dan tanah di Perumahan Danau Raya Bogor itu. Rumah seluas 1.585 meter persegi itu bernilai Rp 1,2 miliar.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Mohammad Salim mengatakan serius menyelidiki kasus tersebut. ”Bukan hanya soal itu (rumah dan tanah), tapi juga soal lainnya,” kata Salim. Dalam penyelidikan ini, penyidik diberi waktu dua minggu lagi untuk melengkapi berkas sebelum masuk penyidikan dan penetapan tersangka.
Tanah dan rumah yang dimaksud dalam penyelidikan kasus ini adalah yang berada di Perumahan Danau Raya, Bogor. Ketika Tempo mendatangi lokasi itu pada Jumat pekan lalu, rumah itu belum rampung. Ada tembok setinggi 4 sampai 5 meter, yang sudah ditumbuhi lumut, di sekelilingnya. Di bagian luarnya dilapisi seng, yang sebagian sudah berkarat.
Fondasi rumah itu baru selesai sebagian. Atap rumah belum ada. Sebagian dinding rumahnya tampak ambrol. ”Rumah itu dibangun sekitar lima tahun lalu tapi tak diteruskan,” kata Afdal, salah satu penjaga di sana. Pria yang sudah bekerja sebagai penjaga lebih kurang 15 tahun ini tahu bahwa rumah itu milik Solahuddin.
Soleh Solahuddin, yang ditemui Tempo di rumahnya di kompleks Institut Pertanian Bogor Baranangsiang, Tegal Lega, Bogor, tak bersedia memberikan keterangan. Istrinya sama saja. ”Maaf, kami belum bisa diwawancarai karena masih berunding dengan pengacara kami. Lain waktu saja, ya,” katanya.
Abdul Manan, Deffan Purnama, Rini Kustiani
Majalah Tempo
Edisi. 47/XXXVI/14 - 20 Januari 2008
Comments