Bersaksi Benar atau Penjara
Saksi mencabut kesaksian karena diancam. Kalau tak benar, bisa kena tujuh tahun penjara.
ONGEN kembali jadi berita. Awalnya, pria dengan nama lengkap Raymond J.J. Latuihamallo ini mengejutkan publik dengan keterangannya kepada polisi tentang orang yang bersama Munir menjelang kematian aktivis hak asasi manusia itu. Kini, pria necis berambut gondrong itu kembali membuat kejutan dengan aksinya membantah keterangan dalam berkas acara pemeriksaan (BAP).
”Memang hak dia untuk tak mengakui hasil pemeriksaan polisi,” kata pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudi Satryo, Jumat pekan lalu. Kalau keterangan di depan sidang yang tak benar, ”Dia bisa dijerat Pasal 242 KUHP,” kata Rudi. Pasal itu menjerat saksi yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.
Ihwal keterangan palsu ini bermula dari BAP Ongen di polisi. Kepada penyidik, Ongen mengaku melihat Pollycarpus Budihari Priyanto di Coffee Bean Bandara Changi, Singapura, bersama Munir, pada 6 September 2004. Keterangan itu ternyata tak diakuinya ketika Ongen diperiksa sebagai saksi dalam sidang peninjauan kembali kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 22 Agustus lalu.
Dalam sidang, Ongen menyatakan dia memberikan keterangan itu karena diancam akan dijadikan tersangka dan dicekal ke luar negeri oleh ketua tim penyidik kasus pembunuhan Munir, Brigadir Jenderal Mathius Salempang. ”Ancaman diberikan bukan saat pemeriksaan, tapi sebelumnya,” kata kuasa hukum Ongen, Ozhak Sihotang. Mathius tegas membantah tudingan itu. ”Tidak pernah saya melakukan itu,” katanya.
Saksi memang punya hak untuk tak mengakui keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan polisi. Apalagi keterangan saksi di depan penyidik biasanya tak disumpah, kecuali untuk saksi ahli atau saksi yang tak bisa datang dalam sidang. ”Dalam KUHAP, keterangan saksi di depan sidang yang punya nilai pembuktian,” kata Rudi Satryo. Tentang ini, Mathius menyatakan Ongen disumpah ketika memberikan keterangan dalam BAP.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan, Hasril Hertanto, bisa mengerti jika Ongen disumpah. ”Bisa saja karena alasan keamanan dan keselamatan, sehingga Ongen kemungkinan tak bisa hadir,” katanya. Namun, karena Ongen bisa bersaksi di pengadilan, keterangan di depan sidanglah yang lebih punya kekuatan pembuktian daripada di BAP.
Dengan bantahan itu, kata Hasril, bukan berarti BAP tak berarti. ”BAP tetap bisa jadi petunjuk,” katanya. Namun Ongen bisa dijerat dengan pemberian keterangan palsu jika yang disampaikan di depan sidang tak sesuai dengan kenyataan. ”Kalau keterangan Ongen tak benar, bisa jadi dia kena karena memberikan keterangan yang tidak sebenarnya di bawah sumpah.”
Jika saksi dijerat dengan pasal keterangan palsu, kata Rudi Satryo, ada dua cara yang bisa dilakukan. Bisa saja hakim menyatakan saksi itu memberikan keterangan palsu, lalu meminta penyidik mengusutnya. Tapi bisa juga polisi yang langsung mengusut jika kuat indikasinya saksi memberikan keterangan palsu. ”Dalam praktek, yang sering dipakai adalah yang pertama,” kata Rudi.
Dalam dugaan pemberian keterangan palsu seperti ini, kata Hasril, peran aktif jaksa dan hakim sangat penting. Dalam sidang, jaksa harus bisa meyakinkan hakim bahwa yang disampaikan Ongen di depan sidang itu bohong. ”Jaksa harus bisa membuktikan itu,” kata Hasril. Jika terbukti, Ongen bisa terjerat Pasal 242 KUHP, yang ancamannya tujuh tahun penjara.
Pengacara Ongen, Ozhak Sihotang, tak bersedia memberikan banyak komentar soal ancaman keterangan palsu di bawah sumpah ini. ”Ongen tak ingin dilibatkan lagi dalam soal ini,” kata Ozhak. ”Lagi pula kewenangan hakim yang bisa menyatakan itu.”
Abdul Manan, Rini Kustiani
Majalah Tempo, Edisi. 28/XXXVI/03 - 9 September 2007
ONGEN kembali jadi berita. Awalnya, pria dengan nama lengkap Raymond J.J. Latuihamallo ini mengejutkan publik dengan keterangannya kepada polisi tentang orang yang bersama Munir menjelang kematian aktivis hak asasi manusia itu. Kini, pria necis berambut gondrong itu kembali membuat kejutan dengan aksinya membantah keterangan dalam berkas acara pemeriksaan (BAP).
”Memang hak dia untuk tak mengakui hasil pemeriksaan polisi,” kata pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudi Satryo, Jumat pekan lalu. Kalau keterangan di depan sidang yang tak benar, ”Dia bisa dijerat Pasal 242 KUHP,” kata Rudi. Pasal itu menjerat saksi yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.
Ihwal keterangan palsu ini bermula dari BAP Ongen di polisi. Kepada penyidik, Ongen mengaku melihat Pollycarpus Budihari Priyanto di Coffee Bean Bandara Changi, Singapura, bersama Munir, pada 6 September 2004. Keterangan itu ternyata tak diakuinya ketika Ongen diperiksa sebagai saksi dalam sidang peninjauan kembali kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 22 Agustus lalu.
Dalam sidang, Ongen menyatakan dia memberikan keterangan itu karena diancam akan dijadikan tersangka dan dicekal ke luar negeri oleh ketua tim penyidik kasus pembunuhan Munir, Brigadir Jenderal Mathius Salempang. ”Ancaman diberikan bukan saat pemeriksaan, tapi sebelumnya,” kata kuasa hukum Ongen, Ozhak Sihotang. Mathius tegas membantah tudingan itu. ”Tidak pernah saya melakukan itu,” katanya.
Saksi memang punya hak untuk tak mengakui keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan polisi. Apalagi keterangan saksi di depan penyidik biasanya tak disumpah, kecuali untuk saksi ahli atau saksi yang tak bisa datang dalam sidang. ”Dalam KUHAP, keterangan saksi di depan sidang yang punya nilai pembuktian,” kata Rudi Satryo. Tentang ini, Mathius menyatakan Ongen disumpah ketika memberikan keterangan dalam BAP.
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan, Hasril Hertanto, bisa mengerti jika Ongen disumpah. ”Bisa saja karena alasan keamanan dan keselamatan, sehingga Ongen kemungkinan tak bisa hadir,” katanya. Namun, karena Ongen bisa bersaksi di pengadilan, keterangan di depan sidanglah yang lebih punya kekuatan pembuktian daripada di BAP.
Dengan bantahan itu, kata Hasril, bukan berarti BAP tak berarti. ”BAP tetap bisa jadi petunjuk,” katanya. Namun Ongen bisa dijerat dengan pemberian keterangan palsu jika yang disampaikan di depan sidang tak sesuai dengan kenyataan. ”Kalau keterangan Ongen tak benar, bisa jadi dia kena karena memberikan keterangan yang tidak sebenarnya di bawah sumpah.”
Jika saksi dijerat dengan pasal keterangan palsu, kata Rudi Satryo, ada dua cara yang bisa dilakukan. Bisa saja hakim menyatakan saksi itu memberikan keterangan palsu, lalu meminta penyidik mengusutnya. Tapi bisa juga polisi yang langsung mengusut jika kuat indikasinya saksi memberikan keterangan palsu. ”Dalam praktek, yang sering dipakai adalah yang pertama,” kata Rudi.
Dalam dugaan pemberian keterangan palsu seperti ini, kata Hasril, peran aktif jaksa dan hakim sangat penting. Dalam sidang, jaksa harus bisa meyakinkan hakim bahwa yang disampaikan Ongen di depan sidang itu bohong. ”Jaksa harus bisa membuktikan itu,” kata Hasril. Jika terbukti, Ongen bisa terjerat Pasal 242 KUHP, yang ancamannya tujuh tahun penjara.
Pengacara Ongen, Ozhak Sihotang, tak bersedia memberikan banyak komentar soal ancaman keterangan palsu di bawah sumpah ini. ”Ongen tak ingin dilibatkan lagi dalam soal ini,” kata Ozhak. ”Lagi pula kewenangan hakim yang bisa menyatakan itu.”
Abdul Manan, Rini Kustiani
Majalah Tempo, Edisi. 28/XXXVI/03 - 9 September 2007
Comments