Satu Pasal, Dua Tafsir
PERANG” itu sudah dimulai pada Kamis pekan lalu. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pengacara Mohammad Assegaf lantang bersuara. ”Peninjauan kembali oleh jaksa tidak berdasar,” katanya. Assegaf adalah pengacara Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak terbukti membunuh Munir.
Wirawan Adnan, pengacara Polly lainnya, mempertanyakan langkah jaksa karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya memberikan hak peninjauan kembali (PK) kepada terdakwa dan ahli warisnya. ”Jaksa tidak berhak,” kata Wirawan sembari menyitir pasal 263 KUHAP.
Adnan mengutip penjelasan pasal 263 yang menyebut aturan ini bersifat limitatif. Artinya, hanya yang disebut tegas dalam pasal itu yang memiliki hak PK. ”Jaksa kan sudah diberi hak tiga kali menuntut, dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai Mahkamah Agung. Jadi, kalau bebas, jangan diperiksa lagi,” katanya. ”Kalau jaksa dibolehkan PK, terdakwa bisa diadili terus-menerus.”
Kejaksaan Agung punya argumentasi lain. Rujukannya juga KUHAP pada pasal yang sama. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga, pasal itu menyebut soal tak adanya larangan bagi terdakwa dan ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali, kecuali dalam putusan bebas. Polly tidak dihukum bebas dalam pengadilan sebelumnya karena divonis dua tahun penjara akibat memalsukan surat tugas. ”Tak ada larangan bagi jaksa untuk menggunakan PK,” kata Ritonga.
Jaksa bukan kali ini saja mengajukan peninjauan kembali. Sebelumnya ada kasus Muchtar Pakpahan. Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ini diadili karena dianggap menyulut aksi unjuk rasa buruh di Medan, 1994. Pengadilan Negeri Medan dan pengadilan tinggi mengganjarnya empat tahun penjara. Ketika kasasi, Muchtar dibebaskan. Pada 1996, jaksa mengajukan peninjauan kembali dan Muchtar dibui empat tahun.
Ritonga juga menyitir pernyataan salah satu pakar hukum tentang doktrin hukum pidana. Menurut dia, dalam kasus pidana, jaksa mewakili kepentingan korban. ”Jaksa mewakili kepentingan masyarakat untuk memenuhi rasa keadilan,” kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ini. ”Peninjauan kembali ini adalah bentuk pencarian kebenaran.”
Dalam pandangan pakar hukum pidana Andi Hamzah, KUHAP memang hanya memberikan hak kepada keluarga dan ahli warisnya. ”Dari sisi KUHAP, memang jaksa tak dibolehkan PK untuk kasus yang diputus bebas,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Andi berpendapat, Polly diputus bebas dalam kasus pembunuhan Munir—dua tahun bui untuknya adalah untuk kasus yang lain. Kalaupun jaksa menyebut preseden kasus Muchtar Pakpahan, kata dia, ”Itu melanggar hukum.”
Dalam kasus Munir ini, Andi menilai, jaksa sebenarnya bisa saja mengajukan gugatan baru jika memang kejadiannya berbeda. Dalam dakwaan pertama, Munir diduga dibunuh di dalam pesawat Garuda dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Dalam bukti yang dibawa jaksa dalam peninjauan kembali, Munir diduga dibunuh di Bandara Changi, Singapura. ”Kalau kejadiannya berbeda, tak kena nebis in idem,” kata ketua tim amendemen KUHAP ini. Nebis in idem adalah prinsip hukum yang melarang seseorang diadili dua kali untuk kasus yang sama.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M. Zain, dalam kasus ini memang ada dilema antara mencari kebenaran material dan soal kepastian hukum bagi terdakwa. ”Untuk kepentingan mencari kebenaran material, harusnya PK dimungkinkan,” katanya.
Abdul Manan, Sandy Indra Pratama
Majalah Tempo, Edisi. 26/XXXIIIIII/20 - 26 Agustus 2007
Wirawan Adnan, pengacara Polly lainnya, mempertanyakan langkah jaksa karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya memberikan hak peninjauan kembali (PK) kepada terdakwa dan ahli warisnya. ”Jaksa tidak berhak,” kata Wirawan sembari menyitir pasal 263 KUHAP.
Adnan mengutip penjelasan pasal 263 yang menyebut aturan ini bersifat limitatif. Artinya, hanya yang disebut tegas dalam pasal itu yang memiliki hak PK. ”Jaksa kan sudah diberi hak tiga kali menuntut, dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai Mahkamah Agung. Jadi, kalau bebas, jangan diperiksa lagi,” katanya. ”Kalau jaksa dibolehkan PK, terdakwa bisa diadili terus-menerus.”
Kejaksaan Agung punya argumentasi lain. Rujukannya juga KUHAP pada pasal yang sama. Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga, pasal itu menyebut soal tak adanya larangan bagi terdakwa dan ahli warisnya untuk mengajukan peninjauan kembali, kecuali dalam putusan bebas. Polly tidak dihukum bebas dalam pengadilan sebelumnya karena divonis dua tahun penjara akibat memalsukan surat tugas. ”Tak ada larangan bagi jaksa untuk menggunakan PK,” kata Ritonga.
Jaksa bukan kali ini saja mengajukan peninjauan kembali. Sebelumnya ada kasus Muchtar Pakpahan. Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ini diadili karena dianggap menyulut aksi unjuk rasa buruh di Medan, 1994. Pengadilan Negeri Medan dan pengadilan tinggi mengganjarnya empat tahun penjara. Ketika kasasi, Muchtar dibebaskan. Pada 1996, jaksa mengajukan peninjauan kembali dan Muchtar dibui empat tahun.
Ritonga juga menyitir pernyataan salah satu pakar hukum tentang doktrin hukum pidana. Menurut dia, dalam kasus pidana, jaksa mewakili kepentingan korban. ”Jaksa mewakili kepentingan masyarakat untuk memenuhi rasa keadilan,” kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ini. ”Peninjauan kembali ini adalah bentuk pencarian kebenaran.”
Dalam pandangan pakar hukum pidana Andi Hamzah, KUHAP memang hanya memberikan hak kepada keluarga dan ahli warisnya. ”Dari sisi KUHAP, memang jaksa tak dibolehkan PK untuk kasus yang diputus bebas,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini. Andi berpendapat, Polly diputus bebas dalam kasus pembunuhan Munir—dua tahun bui untuknya adalah untuk kasus yang lain. Kalaupun jaksa menyebut preseden kasus Muchtar Pakpahan, kata dia, ”Itu melanggar hukum.”
Dalam kasus Munir ini, Andi menilai, jaksa sebenarnya bisa saja mengajukan gugatan baru jika memang kejadiannya berbeda. Dalam dakwaan pertama, Munir diduga dibunuh di dalam pesawat Garuda dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Dalam bukti yang dibawa jaksa dalam peninjauan kembali, Munir diduga dibunuh di Bandara Changi, Singapura. ”Kalau kejadiannya berbeda, tak kena nebis in idem,” kata ketua tim amendemen KUHAP ini. Nebis in idem adalah prinsip hukum yang melarang seseorang diadili dua kali untuk kasus yang sama.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M. Zain, dalam kasus ini memang ada dilema antara mencari kebenaran material dan soal kepastian hukum bagi terdakwa. ”Untuk kepentingan mencari kebenaran material, harusnya PK dimungkinkan,” katanya.
Abdul Manan, Sandy Indra Pratama
Majalah Tempo, Edisi. 26/XXXIIIIII/20 - 26 Agustus 2007
Comments