Cetak Biru di Buku Abu-abu

Kejaksaan punya ”perja”, Mahkamah Agung punya cetak biru. Tapi tak mudah pelaksanaannya di lapangan.

Tak hanya di Departemen Keuangan, reformasi birokrasi juga terjadi di sejumlah departemen dan lembaga tinggi negara. Salah satunya di Kejaksaan Agung. Di lembaga penegakan hukum ini, pada 23 Juli lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji meluncurkan program ”pembaruan kejaksaan”. Paket pembaruan itu tertuang dalam enam peraturan Jaksa Agung (perja). ”Peraturan ini dibuat untuk memperbaiki kultur, disiplin kinerja, dan etika profesi jaksa,” kata Hendarman saat meluncurkan Perja Pembaruan Kejaksaan tersebut.

Paket pembaruan ini terhitung lengkap, mengatur antara lain soal rekrutmen pegawai negeri sipil dan jaksa di instansi kejaksaan, pendidikan dan pelatihannya, standar minimum profesi jaksa, serta pembinaan karier. Selain itu—ini yang terhitung sangat penting—soal kode perilaku jaksa berikut pengawasan dan sanksinya.

Paket pembaruan kejaksaan ini sebenarnya ”warisan” Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Saat menjadi Jaksa Agung, Abdul Rahman membentuk Kelompok Kerja Percepatan Pembaruan Kejaksaan. Kelompok yang dibentuk pada 30 Juni 2005 itu terdiri atas para jaksa, akademisi, dan anggota lembaga swadaya masyarakat. Adapun Kelompok Kerja Penyusunan Standar Minimum Profesi Jaksa dan Kode Perilaku Jaksa dibentuk Abdul Rahman pada 28 Agustus 2006. Tujuannya sama: meningkatkan profesionalisme jaksa.

Meski Jaksa Agung berganti, dari Arman ke Hendarman, kerja tim pembaruan terus berlanjut. Pada 25 Mei 2007, sekitar dua pekan setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, Hendarman meneken keputusan pembentukan Kelompok Kerja Pembaruan Kejaksaan. Tugasnya adalah merampungkan hasil kelompok kerja sebelumnya, yang hasilnya kemudian diumumkan Hendarman kepada publik, Juli lalu.

Lain kejaksaan, lain Mahkamah Agung. Lembaga yang dipimpin Bagir Manan ini sudah memiliki blue print (cetak biru) Pembaruan Mahkamah Agung. ”Pembahasan cetak biru itu dimulai sekitar tahun 2000,” kata Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, salah satu anggota tim penyusunnya. Cetak biru yang dimuat dalam buku bersampul abu-abu itu memuat sistem rekrutmen pegawai, karier, akuntabilitas, serta transparansi lembaga yang dijuluki benteng terakhir peradilan ini.

Cetak biru Mahkamah Agung rampung pada 2003. Ini diikuti munculnya perumusan ”Pedoman Perilaku Hakim”, yang diperkenalkan kepada publik pada Mei 2006. Pedoman ini sempat dikecam karena memberikan kelonggaran kepada hakim untuk menerima pemberian. Pedoman ini lantas diperbaiki dan rampung sekitar tujuh bulan kemudian. Tahun ini, Mahkamah Agung juga membentuk Kelompok Kerja Judicial Transparency untuk mendorong keterbukaan setiap keputusan pengadilan.

Untuk mendorong reformasi birokrasi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara juga menyiapkan sejumlah regulasi. Di antaranya rancangan undang-undang tentang pelayanan publik, pelayanan nirlaba, administrasi pemerintahan, hubungan pusat-daerah, etika penyelenggara negara, kepegawaian negara, kementerian dan kementerian negara, serta pengawasan nasional. ”Tahun ini RUU Pelayanan Publik selesai,” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi. Salah satu yang juga segera digodok Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara adalah soal perbaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri.

Rencana pembaruan di sejumlah instansi itu mendapat sambutan positif berbagai kalangan. Bivitri Susanti, misalnya, menyebut cetak biru Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung sudah ideal secara teoretis. ”Tapi pelaksanaannya yang tak mudah,” kata peneliti yang juga ikut dalam kelompok kerja pembaruan kejaksaan ini. Dia menilai ada orang yang memang melakukan perlawanan terhadap ide pembaruan tersebut.

Koordinator Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Firmansyah Arifin, berpendapat serupa. Dia menilai sudah ada upaya pembaruan di lembaga hukum. Hanya, menurut dia, pelaksanaannya tak berjalan baik. Untuk Kejaksaan Agung, yang baru punya paket pembaruan, kata dia, tentu saja harus dilihat perkembangannya.

Untuk Mahkamah Agung, kata Firmansyah, belum semua pejabatnya punya semangat melakukan pembaruan. Tapi dia juga menunjuk sikap para petinggi Mahkamah Agung yang memilih ”bermain aman” agar tak mendapat perlawanan dari anak buahnya. ”Pimpinan Mahkamah Agung juga tampaknya tak punya political will yang kuat untuk menerapkannya,” kata Firmansyah.

Abdul Manan, Rini Kustiani

Majalah Tempo, Edisi. 26/XXXIIIIII/20 - 26 Agustus 2007


Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO