Berebut Kursi, Juga Duit
Sri Edi Swasono meminta Adi Sasono mundur sebagai Ketua Dewan Koperasi Indonesia. Ia akan menggugat pemerintah jika mengucurkan dana untuk Dekopin.
SRI Edi Swasono memasang kuda-kuda untuk menyiapkan gugatan baru. Jika pemerintah tetap dianggapnya berpihak pada Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) pimpinan Adi Sasono, ia akan mengambil langkah hukum lagi. ”Kami sedang bersiap melakukan gugatan baru,” ujarnya di sela-sela rapat ”pengurus” Dekopin, Kamis pekan lalu. Edi, sampai kini, tetap menganggap dirinya pejabat Ketua Umum Dekopin yang sah.
Sebelumnya, menantu Bung Hatta ini pernah menggugat Menteri Koperasi. Ini lantaran Menteri Koperasi pada 2005 dinilainya melakukan kesalahan fatal: membuat surat keputusan pembentukan panitia Rapat Anggota Sewaktu-waktu (RAS). Rapat itulah yang mengusung Adi Sasono ”naik” dan ”menguasai” Dekopin. Sri dan kelompoknya, yang terpental, menganggap rapat itu tak sah lantaran difasilitasi Menteri Koperasi, bukan pengurus Dekopin.
Kemelut di tubuh Dekopin bermula tiga tahun lalu, tatkala Nurdin Halid, Ketua Dekopin periode 2004-2009, ditahan karena kasus penyelewengan dana subsidi minyak goreng. Saat itu Nurdin menunjuk Agung Sujatmiko sebagai pejabat ketua umum untuk menggantikan dirinya. Pada 1 April 2005, jabatan ini beralih ke Sri Edi Swasono, yang saat itu menjabat Ketua Dewan Penasihat Dekopin.
Sebelum Nurdin menunjuk Agung, sejumlah anggota Dekopin sudah meminta digelarnya RAS. Rapat luar biasa ini, yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Dekopin, memang disiapkan untuk mencari pengganti ketua umum yang berhalangan tetap. ”Waktu itu Sri Edi berjanji akan menggelar RAS itu pada Mei 2005,” kata Ketua Bidang Organisasi Bidang Kelembagaan Dekopin, Aip Saifuddin.
Sampai tenggat lewat, rapat tak kunjung digelar. Anggota Dekopin kembali mendesak Sri Edi. Lagi-lagi Sri Edi berjanji rapat akan digelar sebelum 12 Juli 2005. Tapi, sampai Hari Koperasi itu berlalu, rapat tak tetap kunjung terlaksana.
Menurut Saifuddin, anggota Dekopin pun mulai tak sabar. Akhirnya mereka sepakat membuat pernyataan bersama yang disampaikan ke Menteri Koperasi Suryadharma Ali. Pernyataan itu mereka berikan pada 12 Desember 2005. ”Kami minta Menteri memfasilitasi RAS karena pengurus Dekopin tak menepati janji,” kata Saifuddin, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Induk Koperasi Angkutan.
Hari itu juga Suryadharma menerbitkan SK No. 176/2005, yang berisi pengesahan kepanitiaan RAS yang akan dilaksanakan pada 17 Desember 2005. Rapat digelar di Hotel Bidakara, yang dihadiri, menurut Saifuddin, sekitar 95 persen anggota. ”Dekopin memiliki anggota 30 juta orang, yang terwakili dalam 50 induk koperasi unit desa dan 30 Dekopin wilayah,” kata Saifuddin.
Menteri Koperasi sempat berkirim surat kepada Sri Edi perihal rapat itu. ”Tapi saya tidak mau datang karena itu urusan internal Dekopin,” kata Sri. ”Bukan tempatnya Menteri memfasilitasi pertemuan seperti itu.” Menurut dia, RAS tak kunjung digelarnya karena dana dari pemerintah saat itu tak turun-turun. ”Ada indikasi dananya ditahan,” katanya. Dalam APBN 2005, dana untuk pos bantuan Dekopin sebenarnya cukup gede, Rp 50 miliar. Nah, rapat di Hotel Bidakara itu akhirnya menetapkan Adi Sasono sebagai Ketua Umum Dekopin.
Merasa dipecundangi, Sri Edi pun menggugat surat keputusan Menteri Koperasi tentang pengesahan kepanitiaan RAS ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN). Sri Edi menilai SK itu sebagai campur tangan pemerintah dalam urusan internal Dekopin. Gugatan Sri Edi diterima. Dalam sidang 14 Agustus 2006, PTUN menyatakan SK Menteri Koperasi tersebut tidak sah dan harus dicabut. Menteri Koperasi melakukan banding. Tapi hasilnya sama saja. Pada 11 Januari 2007, majelis hakim banding menguatkan putusan PTUN Jakarta.
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) ini mengejutkan kubu Adi Sasono. Mereka pun berkirim surat, meminta penjelasan PTTUN tentang putusan itu. Pada 5 Maret 2007, Wakil Ketua PTTUN Jakarta, Kadar Slamet, memberikan jawaban. ”Putusan itu dinyatakan tak terkait langsung dengan kepengurusan Dekopin,” kata pengacara Dekopin, Dorel Almir. Artinya, kepengurusan Adi Sasono dianggap tetap sah.
Ganti Sri Edi berkirim surat. Tidak ke Pengadilan Tinggi TUN, tapi ke Mahkamah Agung. Jawaban Mahkamah Agung melegakan Sri Edi. Dalam suratnya pada 13 Juni 2007, Mahkamah menyatakan, Wakil Ketua PTTUN tak memiliki dasar memberikan keterangan atau fatwa seperti itu.
Kendati kalah, Menteri Koperasi ternyata tak berniat mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi TUN. Sebaliknya, mereka mematuhi perintah pengadilan. Pada 20 Maret 2007, Menteri Koperasi mencabut SK No. 176. ”Kami tak melakukan kasasi karena soal keabsahan pengurus bukan kewenangan Menteri Koperasi, itu urusan internal Dekopin,” kata Asisten Deputi Bidang Perundang-undangan Departemen Koperasi, Untung Tribasuki.
Bagi Sri Edi Swasono, dengan putusan TUN itu, harusnya kepengurusan Adi Sasono membubarkan diri. ”Karena hasil dari SK itu juga harusnya batal,” kata Sahroni, pengacara Sri Edi. ”Dekopin pimpinan Adi Sasono sudah tidak punya legitimasi hukum.”
Tapi Adi Sasono berpendapat lain. Menurut mantan Menteri Koperasi ini, putusan PTUN dan pencabutan SK Menteri Koperasi tak serta-merta membuat kepengurusannya tak sah. ”Keabsahan Dekopin tak ditentukan oleh Menteri Koperasi dan PTUN,” kata Adi. Keabsahan pengurus Dekopin, ujarnya, ditentukan anggota.
Meski menang di PTUN, Sri Edi sadar posisinya tak sekuat Adi Sasono. Menurut dia, Adi kuat karena memiliki dukungan politik dari pemerintah. ”Mestinya, kalau pemerintah ingin netral, jangan bekerja sama dengan Dekopin Adi Sasono,” katanya. Ia menunjuk contoh peringatan Hari Koperasi 12 Juli lalu di Bali, yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Departemen Koperasi sendiri menolak jika disebut memihak Adi Sasono. ”Pada saat Hari Koperasi lalu itu kami termasuk diundang,” kata Untung Tribasuki.
Salah satu yang kini dicegah Sri Edi adalah turunnya dana puluhan miliar rupiah dari APBN untuk ”Dekopin Adi Sasono”. Itulah yang membuatnya bersiap menggugat pemerintah. ”Jika dana itu turun, kami akan segera menggugat,” ujarnya. Berbeda dari tahun 2005, untuk 2007 ini dana untuk Dekopin menggelembung menjadi Rp 70 miliar. Dana itu sendiri siap dikucurkan ke brankas Dekopin. ”Kemungkinan memang segera cair,” kata Mindo Sitorus, Direktur Pengembangan dan Jaminan Usaha Dekopin.
Besarnya dana itulah yang memunculkan suara-suara, sengkarut di Dekopin itu sebenarnya tak lepas dari rebutan menguasai duit puluhan miliar rupiah tersebut. Tapi, tentang hal ini, Sri Edi menyanggah. ”Nggak ada itu. Kalau kepengurusan Adi Sasono mau bubar, saya bersedia mundur. Setelah itu, cari penyelesaian terbaik,” katanya.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Edisi. 22/XXXIIIIII/23 - 29 Juli 2007
SRI Edi Swasono memasang kuda-kuda untuk menyiapkan gugatan baru. Jika pemerintah tetap dianggapnya berpihak pada Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) pimpinan Adi Sasono, ia akan mengambil langkah hukum lagi. ”Kami sedang bersiap melakukan gugatan baru,” ujarnya di sela-sela rapat ”pengurus” Dekopin, Kamis pekan lalu. Edi, sampai kini, tetap menganggap dirinya pejabat Ketua Umum Dekopin yang sah.
Sebelumnya, menantu Bung Hatta ini pernah menggugat Menteri Koperasi. Ini lantaran Menteri Koperasi pada 2005 dinilainya melakukan kesalahan fatal: membuat surat keputusan pembentukan panitia Rapat Anggota Sewaktu-waktu (RAS). Rapat itulah yang mengusung Adi Sasono ”naik” dan ”menguasai” Dekopin. Sri dan kelompoknya, yang terpental, menganggap rapat itu tak sah lantaran difasilitasi Menteri Koperasi, bukan pengurus Dekopin.
Kemelut di tubuh Dekopin bermula tiga tahun lalu, tatkala Nurdin Halid, Ketua Dekopin periode 2004-2009, ditahan karena kasus penyelewengan dana subsidi minyak goreng. Saat itu Nurdin menunjuk Agung Sujatmiko sebagai pejabat ketua umum untuk menggantikan dirinya. Pada 1 April 2005, jabatan ini beralih ke Sri Edi Swasono, yang saat itu menjabat Ketua Dewan Penasihat Dekopin.
Sebelum Nurdin menunjuk Agung, sejumlah anggota Dekopin sudah meminta digelarnya RAS. Rapat luar biasa ini, yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Dekopin, memang disiapkan untuk mencari pengganti ketua umum yang berhalangan tetap. ”Waktu itu Sri Edi berjanji akan menggelar RAS itu pada Mei 2005,” kata Ketua Bidang Organisasi Bidang Kelembagaan Dekopin, Aip Saifuddin.
Sampai tenggat lewat, rapat tak kunjung digelar. Anggota Dekopin kembali mendesak Sri Edi. Lagi-lagi Sri Edi berjanji rapat akan digelar sebelum 12 Juli 2005. Tapi, sampai Hari Koperasi itu berlalu, rapat tak tetap kunjung terlaksana.
Menurut Saifuddin, anggota Dekopin pun mulai tak sabar. Akhirnya mereka sepakat membuat pernyataan bersama yang disampaikan ke Menteri Koperasi Suryadharma Ali. Pernyataan itu mereka berikan pada 12 Desember 2005. ”Kami minta Menteri memfasilitasi RAS karena pengurus Dekopin tak menepati janji,” kata Saifuddin, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Induk Koperasi Angkutan.
Hari itu juga Suryadharma menerbitkan SK No. 176/2005, yang berisi pengesahan kepanitiaan RAS yang akan dilaksanakan pada 17 Desember 2005. Rapat digelar di Hotel Bidakara, yang dihadiri, menurut Saifuddin, sekitar 95 persen anggota. ”Dekopin memiliki anggota 30 juta orang, yang terwakili dalam 50 induk koperasi unit desa dan 30 Dekopin wilayah,” kata Saifuddin.
Menteri Koperasi sempat berkirim surat kepada Sri Edi perihal rapat itu. ”Tapi saya tidak mau datang karena itu urusan internal Dekopin,” kata Sri. ”Bukan tempatnya Menteri memfasilitasi pertemuan seperti itu.” Menurut dia, RAS tak kunjung digelarnya karena dana dari pemerintah saat itu tak turun-turun. ”Ada indikasi dananya ditahan,” katanya. Dalam APBN 2005, dana untuk pos bantuan Dekopin sebenarnya cukup gede, Rp 50 miliar. Nah, rapat di Hotel Bidakara itu akhirnya menetapkan Adi Sasono sebagai Ketua Umum Dekopin.
Merasa dipecundangi, Sri Edi pun menggugat surat keputusan Menteri Koperasi tentang pengesahan kepanitiaan RAS ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN). Sri Edi menilai SK itu sebagai campur tangan pemerintah dalam urusan internal Dekopin. Gugatan Sri Edi diterima. Dalam sidang 14 Agustus 2006, PTUN menyatakan SK Menteri Koperasi tersebut tidak sah dan harus dicabut. Menteri Koperasi melakukan banding. Tapi hasilnya sama saja. Pada 11 Januari 2007, majelis hakim banding menguatkan putusan PTUN Jakarta.
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) ini mengejutkan kubu Adi Sasono. Mereka pun berkirim surat, meminta penjelasan PTTUN tentang putusan itu. Pada 5 Maret 2007, Wakil Ketua PTTUN Jakarta, Kadar Slamet, memberikan jawaban. ”Putusan itu dinyatakan tak terkait langsung dengan kepengurusan Dekopin,” kata pengacara Dekopin, Dorel Almir. Artinya, kepengurusan Adi Sasono dianggap tetap sah.
Ganti Sri Edi berkirim surat. Tidak ke Pengadilan Tinggi TUN, tapi ke Mahkamah Agung. Jawaban Mahkamah Agung melegakan Sri Edi. Dalam suratnya pada 13 Juni 2007, Mahkamah menyatakan, Wakil Ketua PTTUN tak memiliki dasar memberikan keterangan atau fatwa seperti itu.
Kendati kalah, Menteri Koperasi ternyata tak berniat mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi TUN. Sebaliknya, mereka mematuhi perintah pengadilan. Pada 20 Maret 2007, Menteri Koperasi mencabut SK No. 176. ”Kami tak melakukan kasasi karena soal keabsahan pengurus bukan kewenangan Menteri Koperasi, itu urusan internal Dekopin,” kata Asisten Deputi Bidang Perundang-undangan Departemen Koperasi, Untung Tribasuki.
Bagi Sri Edi Swasono, dengan putusan TUN itu, harusnya kepengurusan Adi Sasono membubarkan diri. ”Karena hasil dari SK itu juga harusnya batal,” kata Sahroni, pengacara Sri Edi. ”Dekopin pimpinan Adi Sasono sudah tidak punya legitimasi hukum.”
Tapi Adi Sasono berpendapat lain. Menurut mantan Menteri Koperasi ini, putusan PTUN dan pencabutan SK Menteri Koperasi tak serta-merta membuat kepengurusannya tak sah. ”Keabsahan Dekopin tak ditentukan oleh Menteri Koperasi dan PTUN,” kata Adi. Keabsahan pengurus Dekopin, ujarnya, ditentukan anggota.
Meski menang di PTUN, Sri Edi sadar posisinya tak sekuat Adi Sasono. Menurut dia, Adi kuat karena memiliki dukungan politik dari pemerintah. ”Mestinya, kalau pemerintah ingin netral, jangan bekerja sama dengan Dekopin Adi Sasono,” katanya. Ia menunjuk contoh peringatan Hari Koperasi 12 Juli lalu di Bali, yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Departemen Koperasi sendiri menolak jika disebut memihak Adi Sasono. ”Pada saat Hari Koperasi lalu itu kami termasuk diundang,” kata Untung Tribasuki.
Salah satu yang kini dicegah Sri Edi adalah turunnya dana puluhan miliar rupiah dari APBN untuk ”Dekopin Adi Sasono”. Itulah yang membuatnya bersiap menggugat pemerintah. ”Jika dana itu turun, kami akan segera menggugat,” ujarnya. Berbeda dari tahun 2005, untuk 2007 ini dana untuk Dekopin menggelembung menjadi Rp 70 miliar. Dana itu sendiri siap dikucurkan ke brankas Dekopin. ”Kemungkinan memang segera cair,” kata Mindo Sitorus, Direktur Pengembangan dan Jaminan Usaha Dekopin.
Besarnya dana itulah yang memunculkan suara-suara, sengkarut di Dekopin itu sebenarnya tak lepas dari rebutan menguasai duit puluhan miliar rupiah tersebut. Tapi, tentang hal ini, Sri Edi menyanggah. ”Nggak ada itu. Kalau kepengurusan Adi Sasono mau bubar, saya bersedia mundur. Setelah itu, cari penyelesaian terbaik,” katanya.
Abdul Manan
Majalah Tempo, Edisi. 22/XXXIIIIII/23 - 29 Juli 2007
Comments
Wassalam,
Julissar An-Naf