Jaksa Masuk Hutan Memedi
NAMANYA tim jaksa penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dari sini bisa dibaca yang bakal menjadi target khusus tim bentukan Kejaksaan Agung itu. Mereka adalah pengemplang kakap atau biasa disebut debitor bermasalah, obligor nakal, dan konglomerat hitam yang selama ini menikmati utang dari bank sentral alias duit negara—yang nilainya beratus miliar atau bahkan triliunan rupiah.
Saat ini tim yang akan berisi 35 jaksa itu sedang disiapkan. ”Targetnya, sebelum 22 Juli sudah harus terbentuk,” kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Kamis pekan lalu. Tanggal itu bertepatan dengan hari jadi kejaksaan. Kemas sudah mengantongi 75 nama calon anggotanya sebelum dikempiskan. Mereka berasal dari ber-bagai daerah, sebagian dari Kejaksa-an Agung. ”Sedang diseleksi jaksa agung muda,” kata Kemas Rahman.
Untuk tempat kerja, tak ada soal. Tim akan menggunakan ruang bekas Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tim yang dipimpin Hendarman Supandji, kini Jaksa Agung, itu sudah dibubarkan pada 11 Juni lalu setelah bekerja selama dua tahun. Sedangkan tim BLBI ini berbeda dengan pendahulunya itu, baik dari sisi tugas maupun personelnya. Timtas Tipikor gabungan jaksa dengan polisi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta lembaga lain. ”Tim ini murni kejaksaan,” kata juru bicara Kejaksaan Agung Salman Maryadi.
Menurut Salman, tim ini nantinya akan dipecah lagi menjadi dua regu: Rurik (Regu Pemeriksa) dan Rudak (Regu Penindakan). Tugas Regu Pemeriksa adalah meneliti semua berkas kasus BLBI, mulai dari kasus yang baru pada tahap penyelidikan sampai yang sudah mendapat surat keterangan lunas (SKL). Sedangkan Regu Penindakan terfokus pada perburuan para terdakwa atau terpidana yang melarikan diri serta mengejar pengembalian asetnya.
Selain mempersiapkan tim, kata Kemas Yahya, Kejaksaan Agung sudah mulai memeriksa semua berkas kasus BLBI. ”Termasuk mereka yang menerima SKL,” kata dia. Dengan kajian ini, sebelum 22 Juli diharapkan Kejaksaan Agung sudah punya daftar nama debitor BLBI yang akan diusut. ”Setelah itu, baru action,” kata Kemas Yahya.
Khusus untuk SKL akan berbeda penanganannya. Kebijakan SKL-nya tak akan diutak atik. Yang diperiksa adalah apakah kebijakan itu dikeluarkan berdasarkan pertimbangan yang tepat. Misalnya, apakah nilai aset yang diserahkan sesuai dengan kewajibannya. ”Kalau ditemukan ada debitor yang memberikan aset tak sesuai dengan kenyataan, itu yang kami usut,” kata dia.
Tugas tim ini tak ringan. ”Pembentukan tim khusus ini agar jaksa terfokus pada soal BLBI saja,” kata Salman Maryadi. Untuk memastikan bahwa tim ini bekerja dengan baik, menurut Salman, integritas menjadi pertimbangan utama seleksi calon anggota tim ini. Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam sebuah wawancara mengatakan, ”Menangani kasus BLBI ibarat masuk hutan yang penuh memedi (hantu),” kata dia. Itulah sebabnya tim ini harus diisi jaksa kuat dan tak kenal takut.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), masih banyak kasus BLBI yang tak terselesaikan. Hingga akhir 2006, ICW mencatat ada 65 orang yang diperiksa terkait kasus BLBI. Dari jumlah itu, baru 16 orang sudah dibawa ke pengadilan. Selebihnya, 7 tersangka masih dalam proses penyidikan, 31 perkara masih dalam proses penyelidikan. ”Yang lebih memprihatinkan, sudah 11 tersangka yang dihentikan penyidikannya oleh kejaksaan,” kata Koordinator ICW Bidang Monitoring Peradilan, Emerson Yuntho.
Emerson setuju dengan rencana Kejaksaan Agung yang akan memeriksa kembali debitor penerima surat keterangan lunas. Dalam catatan ICW, ada 22 debitor yang menerima kebijakan yang bersandarkan pada Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian release and discharge ini. ”Padahal terbukti banyak aset bodong yang diserahkan ke pemerintah,” kata dia.
Pada 2003 ICW pernah melakukan uji materi terhadap Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 itu ke Mahkamah Agung. Gugatan itu ditolak. Mahkamah Agung menyatakan, instruksi presiden bukan aturan perundang-undangan sehingga bukan obyek yang bisa mereka uji. ”Itu soal kebijakan,” kata Emerson, mengutip pertimbangan Mahkamah Agung. Putusan itu diterima ICW pada awal bulan ini.
Karena itulah Emerson mewanti-wanti agar pemerintah benar-benar serius menangani perkara gawat ini. Menurut ICW, penanganan kasus BLBI selama ini tak banyak perkembangan, bahkan terhenti pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ini. Kalau saat ini pemerintah mau mengusut lagi, kata Emerson, jangan sampai hanya sebagai upaya pencitraan semata.
Abdul Manan, Sandy I. Pratama
Majalah Tempo, Edisi. 18/XXXIIIIII/25 Juni - 01 Juli 2007
Saat ini tim yang akan berisi 35 jaksa itu sedang disiapkan. ”Targetnya, sebelum 22 Juli sudah harus terbentuk,” kata Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Kamis pekan lalu. Tanggal itu bertepatan dengan hari jadi kejaksaan. Kemas sudah mengantongi 75 nama calon anggotanya sebelum dikempiskan. Mereka berasal dari ber-bagai daerah, sebagian dari Kejaksa-an Agung. ”Sedang diseleksi jaksa agung muda,” kata Kemas Rahman.
Untuk tempat kerja, tak ada soal. Tim akan menggunakan ruang bekas Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Tim yang dipimpin Hendarman Supandji, kini Jaksa Agung, itu sudah dibubarkan pada 11 Juni lalu setelah bekerja selama dua tahun. Sedangkan tim BLBI ini berbeda dengan pendahulunya itu, baik dari sisi tugas maupun personelnya. Timtas Tipikor gabungan jaksa dengan polisi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta lembaga lain. ”Tim ini murni kejaksaan,” kata juru bicara Kejaksaan Agung Salman Maryadi.
Menurut Salman, tim ini nantinya akan dipecah lagi menjadi dua regu: Rurik (Regu Pemeriksa) dan Rudak (Regu Penindakan). Tugas Regu Pemeriksa adalah meneliti semua berkas kasus BLBI, mulai dari kasus yang baru pada tahap penyelidikan sampai yang sudah mendapat surat keterangan lunas (SKL). Sedangkan Regu Penindakan terfokus pada perburuan para terdakwa atau terpidana yang melarikan diri serta mengejar pengembalian asetnya.
Selain mempersiapkan tim, kata Kemas Yahya, Kejaksaan Agung sudah mulai memeriksa semua berkas kasus BLBI. ”Termasuk mereka yang menerima SKL,” kata dia. Dengan kajian ini, sebelum 22 Juli diharapkan Kejaksaan Agung sudah punya daftar nama debitor BLBI yang akan diusut. ”Setelah itu, baru action,” kata Kemas Yahya.
Khusus untuk SKL akan berbeda penanganannya. Kebijakan SKL-nya tak akan diutak atik. Yang diperiksa adalah apakah kebijakan itu dikeluarkan berdasarkan pertimbangan yang tepat. Misalnya, apakah nilai aset yang diserahkan sesuai dengan kewajibannya. ”Kalau ditemukan ada debitor yang memberikan aset tak sesuai dengan kenyataan, itu yang kami usut,” kata dia.
Tugas tim ini tak ringan. ”Pembentukan tim khusus ini agar jaksa terfokus pada soal BLBI saja,” kata Salman Maryadi. Untuk memastikan bahwa tim ini bekerja dengan baik, menurut Salman, integritas menjadi pertimbangan utama seleksi calon anggota tim ini. Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam sebuah wawancara mengatakan, ”Menangani kasus BLBI ibarat masuk hutan yang penuh memedi (hantu),” kata dia. Itulah sebabnya tim ini harus diisi jaksa kuat dan tak kenal takut.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), masih banyak kasus BLBI yang tak terselesaikan. Hingga akhir 2006, ICW mencatat ada 65 orang yang diperiksa terkait kasus BLBI. Dari jumlah itu, baru 16 orang sudah dibawa ke pengadilan. Selebihnya, 7 tersangka masih dalam proses penyidikan, 31 perkara masih dalam proses penyelidikan. ”Yang lebih memprihatinkan, sudah 11 tersangka yang dihentikan penyidikannya oleh kejaksaan,” kata Koordinator ICW Bidang Monitoring Peradilan, Emerson Yuntho.
Emerson setuju dengan rencana Kejaksaan Agung yang akan memeriksa kembali debitor penerima surat keterangan lunas. Dalam catatan ICW, ada 22 debitor yang menerima kebijakan yang bersandarkan pada Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian release and discharge ini. ”Padahal terbukti banyak aset bodong yang diserahkan ke pemerintah,” kata dia.
Pada 2003 ICW pernah melakukan uji materi terhadap Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 itu ke Mahkamah Agung. Gugatan itu ditolak. Mahkamah Agung menyatakan, instruksi presiden bukan aturan perundang-undangan sehingga bukan obyek yang bisa mereka uji. ”Itu soal kebijakan,” kata Emerson, mengutip pertimbangan Mahkamah Agung. Putusan itu diterima ICW pada awal bulan ini.
Karena itulah Emerson mewanti-wanti agar pemerintah benar-benar serius menangani perkara gawat ini. Menurut ICW, penanganan kasus BLBI selama ini tak banyak perkembangan, bahkan terhenti pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ini. Kalau saat ini pemerintah mau mengusut lagi, kata Emerson, jangan sampai hanya sebagai upaya pencitraan semata.
Abdul Manan, Sandy I. Pratama
Majalah Tempo, Edisi. 18/XXXIIIIII/25 Juni - 01 Juli 2007
Comments