Teri Masuk, Hiu Belum Dapat
Vincent diadili dengan dakwaan melakukan pencucian uang dan memalsu tanda tangan. Bisa membuat orang takut menjadi whistle blower.
Vincentius Amin Sutanto tahu siapa yang dihadapinya. Kepada pengacaranya, bekas financial controller Asian Agri Group kelahiran Singkawang 21 Januari 1963 itu minta kasus yang membelitnya tak diadili lebih dulu. ”Biar bisa membantu pengusutan kasus yang dilaporkannya,” kata Petrus Bala Pattyona, pengacara Vincentius.
Vincent, panggilan akrab Vincentius, melaporkan dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group, salah satu perusahaan induk Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto, ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian, pada 14 Desember 2006, ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya, setelah diburu karena menggelapkan uang perusahaan. Tapi permintaan agar dirinya tidak diadili dulu tak dikabulkan. Kasusnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada Senin pekan lalu, agendanya menginjak pemeriksaan saksi.
Vincent diadili karena diduga melakukan pembobolan dana milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd., salah satu anak perusahaan Asian Agri Group. Dalam dakwaannya, jaksa Supardi menyatakan Vincent bersama dua kawannya, Hendry Susilo, 48 tahun, dan Agustinus Ferry Sutanto, 32 tahun, menggangsir uang milik perusahaan. Modusnya, Vincent memalsu tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil, lalu mengalirkan duit yang disebutnya ”tak bertuan” ke rekening dua perusahaan.
Sebelumnya, kata Supardi, Vincent meminta dua koleganya itu membuat dua perusahaan, yakni PT Asian Agri Jaya dan PT Asian Agri Utama, sekaligus membuka rekeningnya di Bank Panin Jakarta Barat. Ia juga minta dibuatkan stempel untuk dua perusahaan itu plus PT Asian Agri Oil and Fats Ltd.
Setelah itu, barulah ia mengalirkan uang milik perusahaan Sukanto ke rekening perusahaan barunya. Pada 13 November 2006, Vincent membuat dua lembar aplikasi pengiriman uang PT Asian Agri Oil and Fats Ltd., di Bank Fortis Singapura. Isinya, perintah mentransfer US$ 1,2 juta ke rekening PT Asian Agri Utama dan US$ 1,9 juta ke PT Asian Agri Jaya. Aplikasi dibuat dan ditandatangani Vincent dengan memalsu tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil.
Lantas duit senilai sekitar US$ 3,1 juta pun mengucur. Pada 16 November, Hendry menarik Rp 200 juta dan yang Rp 150 juta diberikan ke Vincent. Hendry sempat berencana mencairkan jumlah yang sama, tapi urung karena Vincent mengatakan uang itu bermasalah. Vincent pun kabur ke Singapura sebelum pulang ke Jakarta dan mengadu ke KPK.
Jaksa menjerat Vincent melanggar Undang-Undang Pencucian Uang. ”Vincentius telah menerima uang hasil kejahatan,” kata jaksa Supardi. Jaksa juga menjeratnya dengan pasal penipuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena memalsu tanda tangan.
Petrus menilai dakwaan ini prematur. Alasannya, Vincent dijerat dengan pasal pencucian uang karena membobol uang yang diduga hasil penggelapan pajak, sementara kasus penggelapan pajak itu sendiri belum diadili. ”Seharusnya kasus induknya dulu yang diadili untuk membuktikan uang itu hasil tindak kejahatan atau bukan,” kata Petrus.
Menurut Petrus, jasa baik kliennya yang membongkar dugaan manipulasi pajak perusahaannya mestinya dihargai. ”Karena ini membantu menyelamatkan uang negara,” ujarnya. Menurut Petrus, Vincent minta diberi kesempatan membuktikan laporannya. ”Dengan posisi dia diadili seperti ini dan ditahan di penjara Salemba, dia tak bisa membantu pengungkapan kasus ini,” kata Petrus lagi.
Menurut Eva Kusumandari, anggota DPR yang juga penyusun Undang-Undang Perlindungan Saksi (UU No.13/2006), kendati membocorkan kecurangan perusahaannya, Vincent tetap tak bisa lolos dari hukum. UU Perlindungan Saksi, kata Eva, hanya memberikan perlindungan kepada pelapor (whistle blower) dari kasus yang diungkapkannya. ”Kalau dia punya kasus pidana lain, dia tak bisa menghindar,” kata Eva.
Di mata juru bicara Koalisi Perlindungan Saksi, Supriyadi, inilah salah satu kelemahan UU No. 13/2006 tersebut. ”Perlindungannya masih parsial,” kata dia. Menurut Supriyadi, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, aturan tentang perlindungan saksi memungkinkan whistle blower menegosiasikan kesaksiannya dengan pembebasan atau pengurangan hukuman atas tindak pidana lainnya. ”Prinsipnya, teri dilepas untuk mendapatkan hiu,” katanya.
Pendapat senada disampaikan pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji. Menurut Indriyanto, seharusnya pelapor kasus korupsi mendapat perlindungan hukum. Dalam kasus Vincent ini, ujar Indriyanto, perlindungan bisa diberikan dengan memprioritaskan pengadilan kasus penggelapan pajaknya lebih dulu. Jadi, bukan Vincent masuk pengadilan terlebih dulu. ”Kalau seperti ini yang terjadi, tidak akan ada yang mau jadi whistle blower,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Abdul Manan, Muhammad Nafi (Jakarta)
Rubrik: Ekonomi dan Bisnis
Majalah Tempo, Edisi. 13/XXXIIIIII/21 - 27 Mei 2007
Vincentius Amin Sutanto tahu siapa yang dihadapinya. Kepada pengacaranya, bekas financial controller Asian Agri Group kelahiran Singkawang 21 Januari 1963 itu minta kasus yang membelitnya tak diadili lebih dulu. ”Biar bisa membantu pengusutan kasus yang dilaporkannya,” kata Petrus Bala Pattyona, pengacara Vincentius.
Vincent, panggilan akrab Vincentius, melaporkan dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group, salah satu perusahaan induk Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto, ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian, pada 14 Desember 2006, ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya, setelah diburu karena menggelapkan uang perusahaan. Tapi permintaan agar dirinya tidak diadili dulu tak dikabulkan. Kasusnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada Senin pekan lalu, agendanya menginjak pemeriksaan saksi.
Vincent diadili karena diduga melakukan pembobolan dana milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd., salah satu anak perusahaan Asian Agri Group. Dalam dakwaannya, jaksa Supardi menyatakan Vincent bersama dua kawannya, Hendry Susilo, 48 tahun, dan Agustinus Ferry Sutanto, 32 tahun, menggangsir uang milik perusahaan. Modusnya, Vincent memalsu tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil, lalu mengalirkan duit yang disebutnya ”tak bertuan” ke rekening dua perusahaan.
Sebelumnya, kata Supardi, Vincent meminta dua koleganya itu membuat dua perusahaan, yakni PT Asian Agri Jaya dan PT Asian Agri Utama, sekaligus membuka rekeningnya di Bank Panin Jakarta Barat. Ia juga minta dibuatkan stempel untuk dua perusahaan itu plus PT Asian Agri Oil and Fats Ltd.
Setelah itu, barulah ia mengalirkan uang milik perusahaan Sukanto ke rekening perusahaan barunya. Pada 13 November 2006, Vincent membuat dua lembar aplikasi pengiriman uang PT Asian Agri Oil and Fats Ltd., di Bank Fortis Singapura. Isinya, perintah mentransfer US$ 1,2 juta ke rekening PT Asian Agri Utama dan US$ 1,9 juta ke PT Asian Agri Jaya. Aplikasi dibuat dan ditandatangani Vincent dengan memalsu tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil.
Lantas duit senilai sekitar US$ 3,1 juta pun mengucur. Pada 16 November, Hendry menarik Rp 200 juta dan yang Rp 150 juta diberikan ke Vincent. Hendry sempat berencana mencairkan jumlah yang sama, tapi urung karena Vincent mengatakan uang itu bermasalah. Vincent pun kabur ke Singapura sebelum pulang ke Jakarta dan mengadu ke KPK.
Jaksa menjerat Vincent melanggar Undang-Undang Pencucian Uang. ”Vincentius telah menerima uang hasil kejahatan,” kata jaksa Supardi. Jaksa juga menjeratnya dengan pasal penipuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena memalsu tanda tangan.
Petrus menilai dakwaan ini prematur. Alasannya, Vincent dijerat dengan pasal pencucian uang karena membobol uang yang diduga hasil penggelapan pajak, sementara kasus penggelapan pajak itu sendiri belum diadili. ”Seharusnya kasus induknya dulu yang diadili untuk membuktikan uang itu hasil tindak kejahatan atau bukan,” kata Petrus.
Menurut Petrus, jasa baik kliennya yang membongkar dugaan manipulasi pajak perusahaannya mestinya dihargai. ”Karena ini membantu menyelamatkan uang negara,” ujarnya. Menurut Petrus, Vincent minta diberi kesempatan membuktikan laporannya. ”Dengan posisi dia diadili seperti ini dan ditahan di penjara Salemba, dia tak bisa membantu pengungkapan kasus ini,” kata Petrus lagi.
Menurut Eva Kusumandari, anggota DPR yang juga penyusun Undang-Undang Perlindungan Saksi (UU No.13/2006), kendati membocorkan kecurangan perusahaannya, Vincent tetap tak bisa lolos dari hukum. UU Perlindungan Saksi, kata Eva, hanya memberikan perlindungan kepada pelapor (whistle blower) dari kasus yang diungkapkannya. ”Kalau dia punya kasus pidana lain, dia tak bisa menghindar,” kata Eva.
Di mata juru bicara Koalisi Perlindungan Saksi, Supriyadi, inilah salah satu kelemahan UU No. 13/2006 tersebut. ”Perlindungannya masih parsial,” kata dia. Menurut Supriyadi, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, aturan tentang perlindungan saksi memungkinkan whistle blower menegosiasikan kesaksiannya dengan pembebasan atau pengurangan hukuman atas tindak pidana lainnya. ”Prinsipnya, teri dilepas untuk mendapatkan hiu,” katanya.
Pendapat senada disampaikan pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji. Menurut Indriyanto, seharusnya pelapor kasus korupsi mendapat perlindungan hukum. Dalam kasus Vincent ini, ujar Indriyanto, perlindungan bisa diberikan dengan memprioritaskan pengadilan kasus penggelapan pajaknya lebih dulu. Jadi, bukan Vincent masuk pengadilan terlebih dulu. ”Kalau seperti ini yang terjadi, tidak akan ada yang mau jadi whistle blower,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Abdul Manan, Muhammad Nafi (Jakarta)
Rubrik: Ekonomi dan Bisnis
Majalah Tempo, Edisi. 13/XXXIIIIII/21 - 27 Mei 2007
Comments