Penari Palsu di Cellini
Kasus ”lukisan palsu” Nyoman Gunarsa mulai disidangkan. Pertama kalinya digunakan Undang-Undang Hak Cipta untuk hasil karya seni lukis.
SAVE Our Bali, Save Our Art”. ”Undang-Undang Hak Cipta Dilanggar, Seniman Terkapar”. Poster-poster bertuliskan kalimat itu diusung puluhan seniman saat mereka menggelar aksi simpatik untuk pelukis Bali, Nyoman Gunarsa. Hari itu, Selasa dua pekan silam, Pengadilan Negeri Denpasar menggelar sidang pertama kasus dugaan pelanggaran hak cipta terhadap lukisan Nyoman Gunarsa. Suasana meriah segera mewarnai halaman pengadilan.
Kasus ini berawal dari adanya sejumlah lukisan ”karya Gunarsa” yang dipajang di Cellini Gallery di Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Masalahnya, sang pelukis menyatakan tak pernah membuat lukisan itu. Inilah yang menyeret sang pemilik galeri, Hendradinata, ke pengadilan. Jaksa mendakwa Sinyo—demikian pria 62 tahun ini biasa dipanggil—melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, undang-undang yang bersemangat melindungi hak kekayaan intelektual. Ancaman hukuman bagi pelanggar undang-undang ini maksimal tiga tahun penjara.
Kisah ditemukannya ”lukisan palsu” ini bermula pada 10 Januari 2000. Kala itu, istri Nyoman Gunarsa, Indrawati, melintas di depan Cellini Gallery. Selintas wanita ini melihat lukisan mirip karya suaminya. Benar. Petugas galeri menyebut itu lukisan Gunarsa. Pada 10 lukisan di situ, memang ada tanda tangan Gunarsa dan stiker mungil bertulisan ”karya Nyoman Gunarsa”. Tapi Indrawati yakin itu semua palsu.
Salah satunya, misalnya, yang menggambarkan tiga penari Bali sedang asyik bercengkerama. Dalam goresan Gunarsa asli, tiga penari ini seolah ”hidup”. Kecantikan penari bersinar oleh paduan warna yang menyala dan proporsional, khas Gunarsa. Lukisan yang tergantung di Cellini berbeda, kendati temanya sama. Indrawati melihat latar belakang lukisan itu juga dominan biru dan warnanya suram. Garis dan sapuannya kaku dan ragu-ragu. ”Istri saya tahu betul karena bertahun-tahun menemani saya melukis,” kata Gunarsa kepada Tempo.
Keesokan harinya, putra Gunarsa, Gde Artison Andarawata, mendatangi Cellini. Ia bermaksud memotret lukisan-lukisan itu, tapi batal karena dilarang Hendradinata. Artison bertanya dari mana lukisan itu didapat. ”Dijawab lukisan itu dibeli dari sejumlah peting-gi polisi di Bali,” kata Gunarsa.
Gunarsa melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Bali. Pada April 2000, bersama petugas Polda Bali, seniman ini mengecek lukisan-lukisan itu. Lukisan-lukisan itu kemudian diperiksa Pusat Laboratorium Forensik Polda Bali. Setelah membandingkannya dengan lukisan asli Gunarsa, polisi menyatakan lukisan itu palsu, termasuk tanda tangan Gunarsa di kanvas.
Tapi, kala itu, polisi ternyata tidak memperkarakan Hendradinata. Yang dinyatakan bersalah I Made Suwitha. Kepada polisi, Suwitha mengaku dialah yang menjual lukisan Gunarsa ke Sinyo. ”Kenapa Sinyo ketika itu tak disentuh, saya tidak tahu,” kata Gunarsa. Gunarsa mengaku sebelumnya memang kenal dekat dengan Suwitha dan pernah memberikan empat lukisannya kepada lelaki tersebut. ”Tapi, dari lukisan yang saya berikan, tak ada satu pun yang dipa-jang di Cellini Gallery,” katanya.
Polisi lantas membidik Suwitha melanggar Pasal 380 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang larangan memberi nama atau tanda palsu di atas hasil karya seni. Ancaman hukuman bagi pelanggar pasal ini maksimal 2 tahun 6 bulan penjara. Pada 14 Maret 2002, hakim menyatakan Suwitha bersalah. Ia dihukum penjara 6 bulan dengan masa percobaan 10 bulan.
Tapi, tak berselang lama, ganti Hendradinata yang melaporkan Indrawati karena telah melakukan perusakan dan pencemaran nama baik. Menurut Sinyo, ketika melihat-lihat lukisan miliknya, Indrawati sempat memukul dan merusak lukisan itu.
Tak menyerah, Gunarsa balik melaporkan Sinyo ke polisi. Laporan kepada polisi pada Juni 2004 itu manjur. Sinyo sempat datang ke rumah Gunarsa untuk minta maaf. Menurut Gunarsa, dia bersedia memberi maaf dengan syarat: Sinyo bersedia mengaku bersalah lantaran menjual lukisan palsu, meminta maaf di media massa, dan mencabut laporannya ke polisi soal Indrawati. ”Dia bersedia dan menandatangani kertas berisi perjanjian itu, tapi sampai saat ini tidak dilaksanakan,” katanya. Sinyo membenarkan cerita itu. Hanya, dia tak setuju dengan syarat yang disodorkan Gunarsa.
Alhasil, upaya damai pun kandas. Pengusutan jalan terus dan kasus ini pun, dua pekan lalu, akhirnya masuk ruang pengadilan. Jaksa Made Endrawan mendakwa Hendradinata melanggar Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta. ”Karena terdakwa mengumumkan itu lukisan hasil karya Gunarsa,” kata jaksa. Menurut Made Endrawan, pihaknya akan membawa sejumlah bukti yang menyatakan Hendradinata melakukan pemalsuan lukisan. ”Tapi memperbanyak lukisan itu sulit sekali pembuktiannya,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi Hendradinata lolos dari pasal ini, jaksa Endrawan melapisinya dengan dakwaan berikutnya: memamerkan dan menjual barang hasil pelanggaran hak cipta. ”Karena lukisan yang dijual atau dipamerkan itu adalah lukisan palsu atau hasil perbanyakan yang tidak sah,” katanya.
Pengacara Hendradinata, Gde Widiatmika, menilai dakwaan jaksa tak tepat. Menurut dia, pengertian pelanggaran hak cipta adalah pelanggaran terhadap hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak cipta. Dalam kasus ini, menurut Widiatmika, Gunarsa sendiri menyangkal keaslian lukisan itu. ”Itu berarti Gunarsa tidak memiliki hak cipta atas lukisan itu,” kata Widiatmika. Selain itu, kata Widiatmika lagi, kliennya mendapatkan lukisan tersebut dari Suwitha. Padahal Suwitha tak pernah didakwa dengan pemalsuan lukisan, tapi dengan pemalsuan identitas Gunarsa.
Sinyo sendiri tetap yakin lukisan di galerinya asli karya Nyoman Gunarsa. Sepuluh lukisan itu, kata dia, dibarternya dengan sedan Timor seharga Rp 60 juta dan lukisan karya pelukis Doho seharga Rp 70 juta. Menurut Sinyo, untuk kasus ini dia sebenarnya bisa menggugat Suwitha. ”Tapi bagaimana lagi? Wong dia sudah bangkrut,” katanya. Kepada Sinyo, Suwitha berkeras bahwa lukisan itu asli. ”Dia mengaku siap sumpah cor (sumpah di pura),” kata Sinyo.
Sinyo percaya kepada Suwitha karena melihat kedekatan pria itu dengan Gunarsa. ”Memang ada goresan yang kurang mantap, tapi saya pikir itu karena Gunarsa sempat sakit,” kata Sinyo. Pada 1998, Gunarsa memang sempat dirawat karena stroke. Sinyo, pemilik showroom mobil dan pengusaha properti, juga membantah punya koneksi kuat di Polda Bali sehingga saat kasus ini muncul pada tahun 2000 ia seperti tak terjamah.
Di mata Agus Sarjono, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia bidang hak atas kekayaan intelektual, kasus Sinyo dan Gunarsa ini tidak masuk wilayah hak cipta. Prinsip hak cipta, kata Agus, adalah pada hak menggandakan. ”Ini pemalsuan,” kata Agus. ”Sebab, pelukisnya sendiri tak mengakui itu hasil ciptaannya.” Dia juga mempertanyakan jaksa yang menggunakan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1997. ”Padahal sudah ada yang baru, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.”
Namun jaksa Endrawan punya alasan kenapa memakai undang-undang yang terbit pada 1997 itu. Undang-undang lama dipakai karena peristiwanya terjadi sebelum undang-undang baru lahir. Endrawan yakin kasus yang dipegangnya itu masalah pelanggaran hak cipta. ”Ini kasus pertama soal hak cipta tentang lukisan,” ujarnya. Dia berharap, dari kasus ini, kelak publik lebih sadar dan para seniman akan terlindungi. ”Supaya hasil karya cipta mereka tak diperlakukan seenaknya,” kata Endrawan.
Abdul Manan, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Majalah Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
SAVE Our Bali, Save Our Art”. ”Undang-Undang Hak Cipta Dilanggar, Seniman Terkapar”. Poster-poster bertuliskan kalimat itu diusung puluhan seniman saat mereka menggelar aksi simpatik untuk pelukis Bali, Nyoman Gunarsa. Hari itu, Selasa dua pekan silam, Pengadilan Negeri Denpasar menggelar sidang pertama kasus dugaan pelanggaran hak cipta terhadap lukisan Nyoman Gunarsa. Suasana meriah segera mewarnai halaman pengadilan.
Kasus ini berawal dari adanya sejumlah lukisan ”karya Gunarsa” yang dipajang di Cellini Gallery di Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Masalahnya, sang pelukis menyatakan tak pernah membuat lukisan itu. Inilah yang menyeret sang pemilik galeri, Hendradinata, ke pengadilan. Jaksa mendakwa Sinyo—demikian pria 62 tahun ini biasa dipanggil—melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, undang-undang yang bersemangat melindungi hak kekayaan intelektual. Ancaman hukuman bagi pelanggar undang-undang ini maksimal tiga tahun penjara.
Kisah ditemukannya ”lukisan palsu” ini bermula pada 10 Januari 2000. Kala itu, istri Nyoman Gunarsa, Indrawati, melintas di depan Cellini Gallery. Selintas wanita ini melihat lukisan mirip karya suaminya. Benar. Petugas galeri menyebut itu lukisan Gunarsa. Pada 10 lukisan di situ, memang ada tanda tangan Gunarsa dan stiker mungil bertulisan ”karya Nyoman Gunarsa”. Tapi Indrawati yakin itu semua palsu.
Salah satunya, misalnya, yang menggambarkan tiga penari Bali sedang asyik bercengkerama. Dalam goresan Gunarsa asli, tiga penari ini seolah ”hidup”. Kecantikan penari bersinar oleh paduan warna yang menyala dan proporsional, khas Gunarsa. Lukisan yang tergantung di Cellini berbeda, kendati temanya sama. Indrawati melihat latar belakang lukisan itu juga dominan biru dan warnanya suram. Garis dan sapuannya kaku dan ragu-ragu. ”Istri saya tahu betul karena bertahun-tahun menemani saya melukis,” kata Gunarsa kepada Tempo.
Keesokan harinya, putra Gunarsa, Gde Artison Andarawata, mendatangi Cellini. Ia bermaksud memotret lukisan-lukisan itu, tapi batal karena dilarang Hendradinata. Artison bertanya dari mana lukisan itu didapat. ”Dijawab lukisan itu dibeli dari sejumlah peting-gi polisi di Bali,” kata Gunarsa.
Gunarsa melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Bali. Pada April 2000, bersama petugas Polda Bali, seniman ini mengecek lukisan-lukisan itu. Lukisan-lukisan itu kemudian diperiksa Pusat Laboratorium Forensik Polda Bali. Setelah membandingkannya dengan lukisan asli Gunarsa, polisi menyatakan lukisan itu palsu, termasuk tanda tangan Gunarsa di kanvas.
Tapi, kala itu, polisi ternyata tidak memperkarakan Hendradinata. Yang dinyatakan bersalah I Made Suwitha. Kepada polisi, Suwitha mengaku dialah yang menjual lukisan Gunarsa ke Sinyo. ”Kenapa Sinyo ketika itu tak disentuh, saya tidak tahu,” kata Gunarsa. Gunarsa mengaku sebelumnya memang kenal dekat dengan Suwitha dan pernah memberikan empat lukisannya kepada lelaki tersebut. ”Tapi, dari lukisan yang saya berikan, tak ada satu pun yang dipa-jang di Cellini Gallery,” katanya.
Polisi lantas membidik Suwitha melanggar Pasal 380 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang larangan memberi nama atau tanda palsu di atas hasil karya seni. Ancaman hukuman bagi pelanggar pasal ini maksimal 2 tahun 6 bulan penjara. Pada 14 Maret 2002, hakim menyatakan Suwitha bersalah. Ia dihukum penjara 6 bulan dengan masa percobaan 10 bulan.
Tapi, tak berselang lama, ganti Hendradinata yang melaporkan Indrawati karena telah melakukan perusakan dan pencemaran nama baik. Menurut Sinyo, ketika melihat-lihat lukisan miliknya, Indrawati sempat memukul dan merusak lukisan itu.
Tak menyerah, Gunarsa balik melaporkan Sinyo ke polisi. Laporan kepada polisi pada Juni 2004 itu manjur. Sinyo sempat datang ke rumah Gunarsa untuk minta maaf. Menurut Gunarsa, dia bersedia memberi maaf dengan syarat: Sinyo bersedia mengaku bersalah lantaran menjual lukisan palsu, meminta maaf di media massa, dan mencabut laporannya ke polisi soal Indrawati. ”Dia bersedia dan menandatangani kertas berisi perjanjian itu, tapi sampai saat ini tidak dilaksanakan,” katanya. Sinyo membenarkan cerita itu. Hanya, dia tak setuju dengan syarat yang disodorkan Gunarsa.
Alhasil, upaya damai pun kandas. Pengusutan jalan terus dan kasus ini pun, dua pekan lalu, akhirnya masuk ruang pengadilan. Jaksa Made Endrawan mendakwa Hendradinata melanggar Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta. ”Karena terdakwa mengumumkan itu lukisan hasil karya Gunarsa,” kata jaksa. Menurut Made Endrawan, pihaknya akan membawa sejumlah bukti yang menyatakan Hendradinata melakukan pemalsuan lukisan. ”Tapi memperbanyak lukisan itu sulit sekali pembuktiannya,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi Hendradinata lolos dari pasal ini, jaksa Endrawan melapisinya dengan dakwaan berikutnya: memamerkan dan menjual barang hasil pelanggaran hak cipta. ”Karena lukisan yang dijual atau dipamerkan itu adalah lukisan palsu atau hasil perbanyakan yang tidak sah,” katanya.
Pengacara Hendradinata, Gde Widiatmika, menilai dakwaan jaksa tak tepat. Menurut dia, pengertian pelanggaran hak cipta adalah pelanggaran terhadap hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak cipta. Dalam kasus ini, menurut Widiatmika, Gunarsa sendiri menyangkal keaslian lukisan itu. ”Itu berarti Gunarsa tidak memiliki hak cipta atas lukisan itu,” kata Widiatmika. Selain itu, kata Widiatmika lagi, kliennya mendapatkan lukisan tersebut dari Suwitha. Padahal Suwitha tak pernah didakwa dengan pemalsuan lukisan, tapi dengan pemalsuan identitas Gunarsa.
Sinyo sendiri tetap yakin lukisan di galerinya asli karya Nyoman Gunarsa. Sepuluh lukisan itu, kata dia, dibarternya dengan sedan Timor seharga Rp 60 juta dan lukisan karya pelukis Doho seharga Rp 70 juta. Menurut Sinyo, untuk kasus ini dia sebenarnya bisa menggugat Suwitha. ”Tapi bagaimana lagi? Wong dia sudah bangkrut,” katanya. Kepada Sinyo, Suwitha berkeras bahwa lukisan itu asli. ”Dia mengaku siap sumpah cor (sumpah di pura),” kata Sinyo.
Sinyo percaya kepada Suwitha karena melihat kedekatan pria itu dengan Gunarsa. ”Memang ada goresan yang kurang mantap, tapi saya pikir itu karena Gunarsa sempat sakit,” kata Sinyo. Pada 1998, Gunarsa memang sempat dirawat karena stroke. Sinyo, pemilik showroom mobil dan pengusaha properti, juga membantah punya koneksi kuat di Polda Bali sehingga saat kasus ini muncul pada tahun 2000 ia seperti tak terjamah.
Di mata Agus Sarjono, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia bidang hak atas kekayaan intelektual, kasus Sinyo dan Gunarsa ini tidak masuk wilayah hak cipta. Prinsip hak cipta, kata Agus, adalah pada hak menggandakan. ”Ini pemalsuan,” kata Agus. ”Sebab, pelukisnya sendiri tak mengakui itu hasil ciptaannya.” Dia juga mempertanyakan jaksa yang menggunakan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1997. ”Padahal sudah ada yang baru, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.”
Namun jaksa Endrawan punya alasan kenapa memakai undang-undang yang terbit pada 1997 itu. Undang-undang lama dipakai karena peristiwanya terjadi sebelum undang-undang baru lahir. Endrawan yakin kasus yang dipegangnya itu masalah pelanggaran hak cipta. ”Ini kasus pertama soal hak cipta tentang lukisan,” ujarnya. Dia berharap, dari kasus ini, kelak publik lebih sadar dan para seniman akan terlindungi. ”Supaya hasil karya cipta mereka tak diperlakukan seenaknya,” kata Endrawan.
Abdul Manan, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Majalah Tempo, Edisi. 07/XXXIIIIII/09 - 15 April 2007
Comments
Secara logis dan tepatnya .. terdakwa Memperjualbelikan barang palsu dan penadah barang2 palsu!