Baru Sebatas Orang Dalam
Dana nonbujeter Departemen Kelautan mengalir ke mana-mana. Ada yang masuk ke tim sukses calon presiden.
STATUS terdakwa dan empat bulan mendekam di tahanan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri tak membuat penampilan Rokhmin Dahuri berubah. Ia tetap rapi dan tenang. Berbaju batik biru dipadu celana hitam dan rambut yang mulai penuh uban tersisir rapi, ia duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Rabu pekan lalu, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Megawati Soekarno itu sudah empat kali menghadiri persidangan. Dia tekun mendengarkan majelis hakim silih berganti membaca jawaban eksepsi yang diajukannya pada sidang sebelumnya.
Dalam eksepsinya, guru besar Institut Pertanian Bogor ini menyatakan penyi-dik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak berwenang memeriksanya. Alasannya, status penyidik yang mendua.
Begitu pula Muhammad Assegaf, kuasa hukum Rokhmin, menyebutkan, penyidik kasus Rokhmin adalah seorang polisi, yakni Komisaris Besar Eddy Supriadi. ”Harusnya penyidik KPK tak terkait dengan kedudukan dan jabatan semula,” katanya. Karena itu, ia menyebut dakwaan yang diajukan jaksa KPK tidak sah.
Namun, pendapat Assegaf ditolak. Me-nurut majelis hakim, penyidik KPK memang harus polisi atau jaksa sebab, jika status itu hapus, secara otomatis gugur pula status penyidiknya. Majelis hakim menolak eksepsi Rokhmin. ”Dakwaan sudah sah,” kata Mansyurdin, Ketua Majelis Hakim kasus Rokhmin. Pekan ini, sidang perkara Rokhmin mulai bergulir ke tingkat pemeriksaan saksi.
Rokhmin diadili karena tersandung kasus dana nonbujeter. Dana itu diambil dari tiap anggaran proyek di lingkungan Departemen Kelautan. Besarnya satu persen dari nilai proyek. Menurut sumber Tempo, pembicaraan mengenai pungutan tersebut pertama kali dilakukan di Puncak, Bogor, Februari 2002. ”Saat itu Departemen Kelautan menyelenggarakan rapat koordinasi,” ujarnya. Rapat tentang pungutan itu, kata sang sumber, kemudian dilanjutkan di Jakarta.
Sebagai koordinasi dana nonbujeter ini ditunjuk Andin H. Taryoto, Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan yang kini juga menjadi tersangka. Pungutan ini berjalan lancar. Ada yang dipotong langsung saat anggaran itu turun, ada pula pejabat daerah yang khusus ke Jakarta untuk menyetornya. ”Itu kan instruksi dari Departemen, kami tak kuasa menolak,” kata Ubaidillah, bekas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
Bekas Direktur Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Suryo Supeno, saat dimintai keterangannya sebagai saksi mengaku ikut menyetor uang untuk dana nonbujeter. Demikian pula bekas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Husni Manggabarani, dan bekas Direktur Jenderal Budidaya Perikanan Susilo Indroyono. ”Sebagian besar keberatan. Akhirnya, bersifat sukarela,” kata Susilo.
Mulanya, data pemasukan dan pengeluaran uang setoran tak tercatat. Hanya disebutkan setoran yang terkumpul masih bersisa Rp 652 juta. Setahun kemudian pencatatan dana nonbujeter mulai rapi. Misalnya, pada 2003 bisa terdata total setoran Rp 5,5 miliar. Pada 2004, dana yang terkumpul mencapai Rp 7 miliar.
Ternyata pungutan ini tak cuma berlaku di dalam departemen, tetapi juga ada sumbangan dari para pengusaha dan rekanan Departemen Kelautan. Didi Sadili, bekas Kepala Subdirektorat Identifikasi Potensial Pulau-pulau Kecil, berperan memegang rekening setoran dari pengusaha ini. Hasilnya mencapai Rp 19,7 miliar. Total dana nonbujeter yang terkumpul sekitar Rp 30 miliar.
Rokhmin tak membantah soal itu. ”Ini cara lain untuk membantu masyarakat,” ujarnya, ”terutama para nelayan.” Dana ini memang mengalir dan masuk kantong banyak pihak. Yang terhitung paling kerap menikmati dana itu anggota DPR. Untuk pembahasan RUU Perikanan, misalnya, tercatat Departemen Kelautan menghabiskan dana Rp 5 miliar yang diambil dari dana nonbujeter itu. Tapi, sejumlah anggota DPR yang disebut-sebut membantah menerima dana itu. ”Saya tidak pernah menerima dana itu,” kata Awal Kusumah.
Selain anggota DPR, yang kecipratan dana itu juga Syaifullah Yusuf dan Abdurrahman Wahid. Besarnya sekitar Rp 30 juta. Tapi, kedua orang ini menyatakan tak pernah menerima. ”Saya tidak pernah mendengar ada bantuan untuk Gus Dur. Mungkin saja ada orang yang memanfaatkan nama Gus Dur,” ujar Yeni Wahid, putri Gus Dur.
Salah satu lembaga yang pernah menerima dana itu adalah almamater Rokhmin, Institut Pertanian Bogor. Besarnya sekitar Rp 306 juta. Tapi, saat diminta konfirmasi, Wakil Rektor II Bidang Keuangan IPB, Herry Suhardiyanto, menepis adanya dana dari Rokhmin. ”Semua dana yang masuk IPB tercatat dan tidak ada dana dari Rokhmin,” ujar Herry.
Sumber Tempo yang tahu benar aliran dana itu menyebutkan, sejumlah tim sukses calon presiden juga pernah menerima dana itu. Salah satunya ”tim sukses SBY”. ”Besarnya dana yang diterima Rp 250 juta. Saya kira KPK juga sudah memiliki data nama orang yang menerimanya,” kata sumber itu. Tapi, kepada Tempo, Usamah Hisyam, koordinator Media Center Tim Kampanye Nasional gabungan SBY-JK membantah adanya sumbangan itu. ”Nggak ada itu. Kepada siapa dia menyumbang, orang itu yang harus ditanya,” kata Usamah.
Saat Rokhmin lengser dari menteri dan digantikan Freddy Numberi pada Oktober 2004 pungutan ini sebenarnya terus berjalan. Freddy mengaku tak tahu soal dana nonbujeter itu lantaran tak ada serah terima dana itu. Kepada penyidik KPK, Freddy mengaku baru tahu adanya dana itu dari Andin pada 2005. ”Saya bilang itu tidak boleh karena menyalahi aturan. Namun, karena dana itu sudah terkumpul dan besar, saya minta dipakai untuk keperluan departemen,” ujarnya.
Yang pasti Freddy tercatat juga sering memakai dana itu. Misalnya, untuk pengadaan peralatan rumah dinasnya sebesar Rp 90 juta dan perjalanan ke Roma Rp 93 juta. ”Memang, ada kegiatan seperti itu, tapi saya tidak tahu dana itu berasal dari dana nonbujeter,” ujar Freddy kepada penyidik KPK pada November 2006.
Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., penyidik saat ini sedang menelusuri ke mana saja dana itu mengalir. ”Terutama mengumpulkan bukti-bukti,” katanya. Ini jelas bukan hal gampang. Persoalannya, untuk urusan dana seperti ini, penerima biasanya enggan meneken tanda terima.
Dari penelusuran Tempo, yang lebih banyak meneken tanda terima memang pegawai Departemen Kelautan sendiri. Asri Setiawati, bekas Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Pelayanan Masyarakat Departemen Kelautan, misalnya, mengaku kerap meneken pencairan dana itu. ”Saya cuma disuruh-suruh,” kata Asri yang kini menjadi Kepala Bidang Informasi Pusat Data dan Informasi.
Menurut Asri, yang sering memerintahkan dia mencairkan dana adalah Adi Priana Pasaribu, Kepala Pusat Pe-layanan Masyarakat yang kini menjabat Sekretaris Korpri Departemen Kelautan. Tapi, menyangkut dana ini, Adi tak mau berkomentar. ”Nanti bisa mempengaruhi sidang, apalagi saya bukan saksi,” katanya.
Kasus dana nonbujeter ini memang belum selesai dan baru sebatas menyeret Rokhmin dan Andin. Sejumlah aktivis antikorupsi meminta KPK memeriksa siapa saja yang menerima ”duit Rokhmin”. ”KPK harus mengusut siapa pun, termasuk para politisi yang menerima dana itu,” kata Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM, Denny Indrayana.
Nurlis E. Meuko, Abdul Manan, Budi S. Haris, dan Deffan P.
Majalah Tempo, Edisi. 08/XXXIIIIII/16 - 22 April 2007
STATUS terdakwa dan empat bulan mendekam di tahanan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri tak membuat penampilan Rokhmin Dahuri berubah. Ia tetap rapi dan tenang. Berbaju batik biru dipadu celana hitam dan rambut yang mulai penuh uban tersisir rapi, ia duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Rabu pekan lalu, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Megawati Soekarno itu sudah empat kali menghadiri persidangan. Dia tekun mendengarkan majelis hakim silih berganti membaca jawaban eksepsi yang diajukannya pada sidang sebelumnya.
Dalam eksepsinya, guru besar Institut Pertanian Bogor ini menyatakan penyi-dik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak berwenang memeriksanya. Alasannya, status penyidik yang mendua.
Begitu pula Muhammad Assegaf, kuasa hukum Rokhmin, menyebutkan, penyidik kasus Rokhmin adalah seorang polisi, yakni Komisaris Besar Eddy Supriadi. ”Harusnya penyidik KPK tak terkait dengan kedudukan dan jabatan semula,” katanya. Karena itu, ia menyebut dakwaan yang diajukan jaksa KPK tidak sah.
Namun, pendapat Assegaf ditolak. Me-nurut majelis hakim, penyidik KPK memang harus polisi atau jaksa sebab, jika status itu hapus, secara otomatis gugur pula status penyidiknya. Majelis hakim menolak eksepsi Rokhmin. ”Dakwaan sudah sah,” kata Mansyurdin, Ketua Majelis Hakim kasus Rokhmin. Pekan ini, sidang perkara Rokhmin mulai bergulir ke tingkat pemeriksaan saksi.
Rokhmin diadili karena tersandung kasus dana nonbujeter. Dana itu diambil dari tiap anggaran proyek di lingkungan Departemen Kelautan. Besarnya satu persen dari nilai proyek. Menurut sumber Tempo, pembicaraan mengenai pungutan tersebut pertama kali dilakukan di Puncak, Bogor, Februari 2002. ”Saat itu Departemen Kelautan menyelenggarakan rapat koordinasi,” ujarnya. Rapat tentang pungutan itu, kata sang sumber, kemudian dilanjutkan di Jakarta.
Sebagai koordinasi dana nonbujeter ini ditunjuk Andin H. Taryoto, Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan yang kini juga menjadi tersangka. Pungutan ini berjalan lancar. Ada yang dipotong langsung saat anggaran itu turun, ada pula pejabat daerah yang khusus ke Jakarta untuk menyetornya. ”Itu kan instruksi dari Departemen, kami tak kuasa menolak,” kata Ubaidillah, bekas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
Bekas Direktur Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, Suryo Supeno, saat dimintai keterangannya sebagai saksi mengaku ikut menyetor uang untuk dana nonbujeter. Demikian pula bekas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Husni Manggabarani, dan bekas Direktur Jenderal Budidaya Perikanan Susilo Indroyono. ”Sebagian besar keberatan. Akhirnya, bersifat sukarela,” kata Susilo.
Mulanya, data pemasukan dan pengeluaran uang setoran tak tercatat. Hanya disebutkan setoran yang terkumpul masih bersisa Rp 652 juta. Setahun kemudian pencatatan dana nonbujeter mulai rapi. Misalnya, pada 2003 bisa terdata total setoran Rp 5,5 miliar. Pada 2004, dana yang terkumpul mencapai Rp 7 miliar.
Ternyata pungutan ini tak cuma berlaku di dalam departemen, tetapi juga ada sumbangan dari para pengusaha dan rekanan Departemen Kelautan. Didi Sadili, bekas Kepala Subdirektorat Identifikasi Potensial Pulau-pulau Kecil, berperan memegang rekening setoran dari pengusaha ini. Hasilnya mencapai Rp 19,7 miliar. Total dana nonbujeter yang terkumpul sekitar Rp 30 miliar.
Rokhmin tak membantah soal itu. ”Ini cara lain untuk membantu masyarakat,” ujarnya, ”terutama para nelayan.” Dana ini memang mengalir dan masuk kantong banyak pihak. Yang terhitung paling kerap menikmati dana itu anggota DPR. Untuk pembahasan RUU Perikanan, misalnya, tercatat Departemen Kelautan menghabiskan dana Rp 5 miliar yang diambil dari dana nonbujeter itu. Tapi, sejumlah anggota DPR yang disebut-sebut membantah menerima dana itu. ”Saya tidak pernah menerima dana itu,” kata Awal Kusumah.
Selain anggota DPR, yang kecipratan dana itu juga Syaifullah Yusuf dan Abdurrahman Wahid. Besarnya sekitar Rp 30 juta. Tapi, kedua orang ini menyatakan tak pernah menerima. ”Saya tidak pernah mendengar ada bantuan untuk Gus Dur. Mungkin saja ada orang yang memanfaatkan nama Gus Dur,” ujar Yeni Wahid, putri Gus Dur.
Salah satu lembaga yang pernah menerima dana itu adalah almamater Rokhmin, Institut Pertanian Bogor. Besarnya sekitar Rp 306 juta. Tapi, saat diminta konfirmasi, Wakil Rektor II Bidang Keuangan IPB, Herry Suhardiyanto, menepis adanya dana dari Rokhmin. ”Semua dana yang masuk IPB tercatat dan tidak ada dana dari Rokhmin,” ujar Herry.
Sumber Tempo yang tahu benar aliran dana itu menyebutkan, sejumlah tim sukses calon presiden juga pernah menerima dana itu. Salah satunya ”tim sukses SBY”. ”Besarnya dana yang diterima Rp 250 juta. Saya kira KPK juga sudah memiliki data nama orang yang menerimanya,” kata sumber itu. Tapi, kepada Tempo, Usamah Hisyam, koordinator Media Center Tim Kampanye Nasional gabungan SBY-JK membantah adanya sumbangan itu. ”Nggak ada itu. Kepada siapa dia menyumbang, orang itu yang harus ditanya,” kata Usamah.
Saat Rokhmin lengser dari menteri dan digantikan Freddy Numberi pada Oktober 2004 pungutan ini sebenarnya terus berjalan. Freddy mengaku tak tahu soal dana nonbujeter itu lantaran tak ada serah terima dana itu. Kepada penyidik KPK, Freddy mengaku baru tahu adanya dana itu dari Andin pada 2005. ”Saya bilang itu tidak boleh karena menyalahi aturan. Namun, karena dana itu sudah terkumpul dan besar, saya minta dipakai untuk keperluan departemen,” ujarnya.
Yang pasti Freddy tercatat juga sering memakai dana itu. Misalnya, untuk pengadaan peralatan rumah dinasnya sebesar Rp 90 juta dan perjalanan ke Roma Rp 93 juta. ”Memang, ada kegiatan seperti itu, tapi saya tidak tahu dana itu berasal dari dana nonbujeter,” ujar Freddy kepada penyidik KPK pada November 2006.
Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., penyidik saat ini sedang menelusuri ke mana saja dana itu mengalir. ”Terutama mengumpulkan bukti-bukti,” katanya. Ini jelas bukan hal gampang. Persoalannya, untuk urusan dana seperti ini, penerima biasanya enggan meneken tanda terima.
Dari penelusuran Tempo, yang lebih banyak meneken tanda terima memang pegawai Departemen Kelautan sendiri. Asri Setiawati, bekas Kepala Bagian Tata Usaha Pusat Pelayanan Masyarakat Departemen Kelautan, misalnya, mengaku kerap meneken pencairan dana itu. ”Saya cuma disuruh-suruh,” kata Asri yang kini menjadi Kepala Bidang Informasi Pusat Data dan Informasi.
Menurut Asri, yang sering memerintahkan dia mencairkan dana adalah Adi Priana Pasaribu, Kepala Pusat Pe-layanan Masyarakat yang kini menjabat Sekretaris Korpri Departemen Kelautan. Tapi, menyangkut dana ini, Adi tak mau berkomentar. ”Nanti bisa mempengaruhi sidang, apalagi saya bukan saksi,” katanya.
Kasus dana nonbujeter ini memang belum selesai dan baru sebatas menyeret Rokhmin dan Andin. Sejumlah aktivis antikorupsi meminta KPK memeriksa siapa saja yang menerima ”duit Rokhmin”. ”KPK harus mengusut siapa pun, termasuk para politisi yang menerima dana itu,” kata Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM, Denny Indrayana.
Nurlis E. Meuko, Abdul Manan, Budi S. Haris, dan Deffan P.
Majalah Tempo, Edisi. 08/XXXIIIIII/16 - 22 April 2007
Comments
Maka itu saran saya kalau bekerja jangan memakai perasaan! Pakailah ketegasan dan aturan yg sudah ditetapkan terhadap atasan dan bawahan! Perubahan aturan dari atasan bukan sekedar perintah dimulut, minta juga hitam diatas putih dan umumkan pada seluruh pegawai di instansi tsb. Itu baru namanya keterbukaan, jujur, jelas!
jadi ketika ada masalah akan gampang mengusutnya!
Perbaiki dan rubahlah system dan kebiasaan lama yg sdh kuno kalau mau maju.